
“Saya adalah bunda yang tak wajar.” – Leda
Bagus banget. Alurnya sangat lambat, tapi sangat patut dinanti hingga tikungan terakhir. Meskipun banyak dialog sampingan yang melenceng dari inti film, kita tahu ini film Oscar, kita harus menyimak dan mengayaknya untuk memperoleh butir-butir fakta yang bisa mengungkap benang cerita. Kesabaran itu terbayarkan. Iya, Jessie Buckley sangat cantik, tapi hiks, ia juga jahat. Olivia Colman memang sudah kelas aktingnya, udah level tinggi. Cuma senyum kecut, atau meringis pamer gigi kelinci aja bisa bikin meleleh. Mereka jadi duo Leda, keduanya sangat pas dan memukau. Namun Sang juara bagiku adalah Maggie Gyllenhaal. Adaptasi cerita ini berhasil bermain-main dengan konteksnya. Suatu hari ia bakalan dapat piala Oscar untuk bidang sutradara. Catet ya. Mencipta film alur lambat penuh pesan moral, dengan permainan tempo yang ciamik seperti ini, sangat sulit. Rasanya The Lost Daughter laik dapat lebih dari tiga nominasi.
Leda tua, oh… Ia menikmati vakansi, tapi terasa sedang diburu oleh pengejar yang tak kelihatan. Dia dapat sewajarnya mengartikulasi rasa frustasi, sedih, dan kebingungan yang sama-sama (akan) kita alami.
Leda Caruso (Olivia Colman), wanita jelang paruh baya ini berniat menghabiskan liburan musim panas di pondok dekat pantai di Yunani yang eksotik. Seorang profesor, penulis buku dan penerjamah, dengan koper penuh buku. Ia datang terlambat, sang penjaga pondok Lyle (Ed Harris) dengan gesture-nya kesal, tapi tak mengapa, tamu adalah ratu. Malam itu berlangsung tenang, dengan cahaya mercusuar berkilat sesekali masuk ke kamar.
Besoknya, ia berjemur di pantai. Wajah perempuan itu tampak tirus dan pucat dalam cahaya pagi hari. Mengamati sekitar, menulis di kertas-kertas, menghabiskan me time dengan sempurna dalam ketenangan. Seorang penjaga pantai Will (Paul Mescal) menawarkan bantuan menggeser kursi pantai agar tak tersengat mentari, berkenalan singkat menawarkan es krim. Begitulah, perkenalan-perkenalan dengan orang baru akan menghasilkan petualangan baru.
Tersebutlah pengunjung lain, gerombolan keluarga yang ramai. Terdiri atas anak, istri, suami, pengasuh dan seterusnya. Pokoknya riuh, sempat terasa mengganggu keheningan Leda, tapi malah akhirnya saling berkenalan. Poinnya, salah satu yang nantinya dekat adalah Nina (Dakota Johnson), ibu seorang anak kecil yang sangat berterima kasih sebab anaknya sempat hilang, ditemukan oleh Leda. Hubungan mereka timbul tenggelam secara instan, tapi sebuah rahasia besar tergenggam.
Nina seorang istri yang bahagia, putri kecilnya mungkin rewel dan sesekali mencipta jengkel, tapi tetap saja ia adalah seorang yang bahagia, betapa mencintai suaminya, betapa bersyukurnya. Namun jiwa mudanya bergolak, ia memang berpikir bebas, merdeka, nah keblabasan. Ia selingkuh, kepergok Leda. Wajarnya ia khawatir, dan dengan tersirat memintan menjaga rahasia. Namun malah ngelunjak, suatu petang Will menunggu di depan pondoknya, menyampaikan pesan memuakkan. Suatu hari yang cerah, waktu yang dijanjikan mereka mengirim kode. Dan film ini pecah di sana. Sebuah boneka menjadi simbol kerapuhan, bagaimana benda mati itu begitu berharga di tangan yang tepat. Rumah tangga yang baik mirip dengan seminari masyarakat, suatu tempat yang tenang, indah, dan tertib. Di sini, penuh gemuruh dan begitu acak.
Film disampaikan dengan sangat jitu dan luar biasa. Selang seling plot-nya antara masa kini dan masa lalu Leda muda (Jessie Buckley). Ia adalah pribadi cerdas, dengan nilai akademik sangat baik. Menulis makalah berjudul The Crisis yang disanjung para pendengar di kampus, apalagi saat karyanya dibacakan oleh Profesor Hardy (Peter Sarsgaard) yang terkenal, pamornya langsung naik. Mencipta koneksi berikutnya.
Makalah tentang kebebasan, tentang pemikiran Ricceur dalam bahasa, hingga kutipan Simone Weil bahwa Perhatian adalah barang paling langka, dan bentuk kedermawanan yang paling murni. Berapa kali Yeats disebut? Banyak, tak bisa kuhitung. Sayangnya, Leda muda yang jiwanya lagi membuncah, penuh gairah melakukan hal-hal terlarang. Ia sudah menikah dan memiliki dua anak, ia terjerebab. Profesor memberinya salam di meja makan malam, dan Lena menanggapinya. Berpaling dari anak-anak? Apa yang akan kau dapatkan darinya selain kegetiran dan patah hati. Kesalahan fatal yang menjadi inti cerita ini, menghantuinya hingga kupas-an kulit jeruk terakhir.
Leda muda, terlepas dari keputusan bodohnya, sangat sukses diperankan Jessie. Gerak-geriknya menunjukkan kecerdasan yang menyingkapkan derajat intelegensia bawaan yang tinggi. Kebimbangan yang muncul, saat mula kesalahan itu sangat wajar. Natural. Wanita cerdas, tentu saja tertarik sama otak professor yang encer pula. Untuk menang Oscar mungkin sulit, tapi tandai namanya Jessie Buckley. Patut dinanti film-film berikutnya.
Tanpa perlu telaah mendalam, makna masa lalu dan sekarang yang bertabrakan disampaikan sungguh mengena. Para perempuan yang terlena, memiliki keluarga sejahtera, tapi merasa tak cukup, kenakalan berujung petaka, berulang. Namun balik lagi, manusia kalau tak melakukan apa yang diangankan, hanya akan berkutat dalam otak. Film ini relate sama beberapa pikiranku beberapa hari ini. Ketika di puncak kemarahan dengan May, sempat terlintas pergi jauh meninggalkan segalanya, menemukan impian masa muda, menghamburkan waktu mengejar angan yang tak tergapai hingga kini. Namun, di film ini seolah potongan cenayang, manusia-manusia paruh baya yang kesepian dan rapuh. Sebab menjadi tua itu pasti, forever young hanya jargon, biarkan fiksi Twilight yang ngawur yang mencipta hype. Keriput Anda akan muncul, ralat, pasti muncul. Penuaan tanda-tandanya akan hadir, ralat, pasti hadir. Rambut misalnya, tanda penuaan itu bisa dalam bentuk rontok sebagian, botak tengah belakang, atau botak kedua sisi depan. Atau penuh uban, yang bisa muncul dalam tempo sesingkat-singkatnya memenuhi kepala. Makanya, Leda tua jelas menggambarkan sosok itu. Tanpa melihat gender, usia tua harusnya bijak. Ada masa-masa yang sudah lewat, yang sudah tak perlu dipikir ulang dalam sesal, waktu terus bergerak maju. Apapun yang terjadi, dalam keluarga harus menghadapinya bersama-sama.
Untuk kesekian kalinya, film-film drama berbobot ending-nya adalah pantai atau laut. Tempat nyaman untuk wisata, simbol motorik arah ideal menghabiskan waktu bagi jiwa-jiwa yang lelah. Pantai, tempat wisata yang sempurna memang, gelombang birunya menenangkan, destinasi pas selain gunung yang dingin berwarna hijau. Di sini, bukan hanya di akhir, tapi malah sepanjang film, seolah melimpahinya penuh keagungan. Kiasan bagus, melalui deru samudera yang berdebur menampar penonton.
Masa lalu dan sekarang ditabrakan dalam sinema, pola yang pintar. Masa lalu yang telah dilalui Leda seolah ingin diubah seandainya ia bisa, sekaligus masa sekarang yang menemui kasus mirip, ia berusaha membuatnya berpaling dari debu-debu hitam perbuatannya. Seakan-akan segala sesuatu dalam hidupnya disegarkan dan dipulihkan. Ah harapan masa depan yang ingin digapainya, adakah yang bisa diperbaiki?
The Lost Daughter | 2021 | USA | Directed by Maggie Gyllenhall | Screenplay Maggie Gyllenhaal | Cast Olivia Colman, Jessie Buckley, Dakota Johnson, Ed Harris, Peter Sarsgaard, Darmara Dominczyk, Paul Mescal, Jack Farthing | Skor: 4/5
Karawang, 210322 – Rob Thomas – One Less Day (Dying Young)