tick, tick… BOOM!: Proposinya Sempurna dan Performanya Elok

Kuhabisakan delapan tahun menyiksa diri untuk musikal yang takkan dipentaskan.” – Larson

Ini adalah jenis film yang berhasil diangkat satu aktor. Andrew Garfield so far paling layak menang best actor. Performa terbaiknya. Tanpa mengurangi rasa hormat sama peran lainnya, Garfield benar-benar menjadi perajut utama plot, menggulirkannya dengan dentuman menggairahkan. Tak seperti misalkan Will Smith yang menjadi bapaknya petenis terkenal, ia jadi perencana, walau alur digulirkan di sekelilingnya, tetap saja pusat film sejatinya kehebatan duo Williams. Atau Cumberbatch yang jadi aktor utama tapi malah mendorong Kodi mengalami transformasi pendewasaan. Dengan Garfield kita bisa menikmati tingkah yang bisa gemulai, bisa menyanyi, bermonolog, frustasi, hingga pesona musisi bermasalah, jelas ia ada di pole position untuk mendapat piala.

Kisahnya tentang musisi Jonathan David Larson (Andrew Garfield), seorang komposer musik. Setting tahun 1990-an di New York, masa ia mengalami dilematis jelang usia 30 tahun, ia mau mengarah ke mana? Coba tembus Broadway selalu gagal. Menulis lagu melimpah penuh dedikasi, tapi tak dipentaskan. Apakah tetap melaju di bidang musik atau menyerah menjadi buruh seperti kebanyakan orang. Di bagian ini pikiran melankolisku terusik sekali lagi. rata-rata manusia menidurkan impiannya di usia 25 tahun sebab di usia seperempat abad itulah, manusia betul-betul dewasa dan mengemban tanggung jawab menafkahi anak orang. Maka salut buat kalian yang terus menjaga api mimpi terus menyala sampai 40, 50, bahkan usia 60 tahun. Kalian, sekadar menjaga asa itu nyala saja sudah patut diacungi jempol.

tick, tick… Boom! Menyoroti proses bagaimana mencapai apa yang dinamakan kesempatan tampil. Kesempatan adalah titik mula jalan sukses. ;ihat saja, ribuan orang tenggelam dalam kubangan karena tak mendapat kesempatan. Apalagi di era lama, tak seperti sekarang yang seba digital. Jonathan banyak menulis lagu, dengan antusias melimpah sampai rasanya mau pingsan. Audisi penyayi dan aktor, yang karena masih kere ya yang mau dibayar murah. Berlatih keras demi lokakarya mandiri. Semacam demo untuk memperkenalkan produk. Proses kreatif demi membuka pintu panggung besar.

Karena saya tak akrab sama tokohnya, maka yang ditampilkan sungguh fresh. Banyak hal baru yang kutahu, seperti karya-karyanya, layak dimasukkan ke daftar teman baca, mati muda, berhenti di punck! hingga bagaimana inspirasi lagunya didapat. Salah satunya agak absurd melalui pelukan terketuk. Film berkutat di situ, dengan bumbu dilematis asmara kekasihnya Susan (Alexandra Shipp) yang menambah konfliks mendapat pekerjaan mengajar keluar kota, yang berarti harus berpisah.

Begitu juga hubungan persahabatan dengan Michael (Robin de Jesus) yang menjadi sobat utama mendorongnya untuk terus mengejar mimpi. Beberapa kali namanya dimasukkan dalam lagu, teman curhat sejak kecil. Teman main musik sejatinya, tapi Michael memutuskan menjadi orang kebanyakan menjadi pekerja kerah biru. Impian jadi aktor sudah ditinggalkan, maka ia berharap Larson tetap menyalakan api harapan. Ada adegan yang mengharukan saat Larson ke kantor Michael, lelah akan proses mencipta karya tapi tak pernah mentas, ia curhat ingin jadi manusia kantor saja, tapi justru Larson terpukul akan kabar mengejutkan.

Ini bukan tentang apakah tembus panggung atau tidak. Ini tentang proses panjang orang besar demi pengakuan karya. Tak mudah, apalagi tak punya orang dalam. Jonathan benar-benar membangun dari orang-orang sekeliling. Dan terutama gairahnya pada musik yang tak luntur. Untuk menampilkan lokakarya promosi itu, durasi film sudah habis tiga perempat. Panggung sederhana yang disaksikan, hanya ruangan aula sederhana, yang hadir kebanyakan teman dan kerabat, dan tentu saja mengundang orang penting. Dari orangtua hingga sobat kentalnya, sampai akhirnya orang penting studio secara dramatis datang. Pertunjukan ini tanpa tiket. Ia masih musisi tanpa nama, orangtuanya membesarkan hatinya.

Lokakarya itu menyediakan kursi khusus untuk kekasihnya, kursi paling depan itu sampai pertunjukan selesai, tak terisi. Pertunjukannya sendiri luar biasa, bagian terbaik film ini. menghentak hebat, kalau dari kacamata awam jelas itu sudah layak masuk panggung utama. Suaranya tak terduga: agung dan semerdu lonceng, dentuman iramanya sederhana, liriknya jernih, benar-benar nyaman. Satu suara yang jernih dan merdu, lalu suara lain menimpali, naik dan turun, dijawab dengan paduan suara yang kaya. Suaranya mencengangkan, berat dan merdu. Jujur saja, sepanjang film saya hampir selalu ketiduran saat lagu menyala, atau paling tidak ngantuk saat mulai akan dinyanyikan. Pas di bagian lokakarya itulah, lagu pertama yang full saya tak mengantuk. Berikutnya ada beberapa lagu lagi, bagus-bagus, tapi memang tak bisa melampaui lagu demo itu. Proposinya sempurna dan performanya elok.

Nyatanya, untuk meraih yang namanya kesempatan tak semudah itu. Jonathan mandapat nasehat dari temannya yang sudah pengalaman di jalur itu, tetaplah menulis lagu, tetaplah berkarya, menulislah tentang apa yang kamu ketahui. Telepon itu mengempiskan semangat. Impian dan kenyataan memang bergaris tebal. Namun percayalah, saat mereka bersatu, damba dan ngeri itu bertabrakan begitu dahsyat. Rasanya ingin memeluk bahagia, saat pesan suara itu diperdengarkan. Mengharukan.

Menanti telpon produser/atau tawaran masuk untuk menggung lama tak muncul. Sempat frustasi, sebab orang-orang jenius sudah pada masuk panggung sebelum usia 30 tahun. Mungkin karena waktu dua puluh tahun sudah terlalu lama bagi penulis yang aktif, untuk mengingat perjuangan apa pun, apa lagi proses yang gelap, bosan, dan berduri, yang memohon untuk diapresiasi. Saat di persimpang jalan itulah, kita tahu dunia bergerak dengan misterinya. Hal-hal baik pada akhirnya dihargai, hal-hal indah akhirnya dipercaya, dan tak ada yang sia-sia. Hanya saja, ternyata ia mati muda. Ia meninggalkan warisan karya yang patut mendapat tepuk tangan meriah. Patut diapresiasi, karyanya abadi.

Sedikit film musikal yang berhasil menghiburku, atau tuntas kusaksikan. Dan jelas, tick, tick… BOOM masuk dalam daftar itu. Ketika video footage di credit title itu ditampilkan, rasanya hatiku meleleh bagai salju di pagi yang cerah dan hangat.

Belfast akan menang di bagian teknik, lagu-lagunya bagus banget. Namun takkan menang di bidang prestise, kecuali satu. Goodluck Garfield.

tick, tick… BOOM | 2021 | USA | Directed by Lin-Manuel Miranda | Screenplay Steven Leverson | Cast Andrew Garfield, Alexandra Shipp, Robin de Jesus | Skor: 4/5

Karawang, 180322 – Rob Thomas – The Man to Hold the Water