
“Berhenti menggunakan waktu sebagai alasan, Alana. Jalan kami membawanya ke sana. Berhenti terdengar seperti filsafat.” – Gary
Perjalanan berakhir di pertemuan para kekasih, setiap orang memahaminya Temanya cinta yang galau, pencarian jati diri, hingga kenakalan pemuda-pemudi. Tak perlu ambil pusing, filmnya sweet, menjurus ke klise. Tarik ulur hubungan dua insan manusia di usia labil memang sangat wajar, dan umumnya keraguan akan tindakan ada di puncak kegelisahan. Lihat saja, mereka ragu ambil keputusan ini itu, ragu mengajak kencan, ragu memilih menghabiskan malam dengan siapa dan bagaimana, dst. Mereka bertengkar dengan kemarahan elegan yang hanya bisa lahir dari cinta. Natural dan apa adanya, masalah adalah bagian dari hidup, dan jika tidak membaginya, kita tidak memberi kesempatan pada orang yang mencintai kita untuk cukup mencintai kita.
Gary Valentine (Cooper Hoffman) siswa yang baru lulus, saat sesi pemotretan ada wanita dengan wajah malesi dan melasi Alana Kane (Alana Haim) menawarkan cermin melawan arus antrian, dengan sisa keberanian Gary menyapa dan mengajak berkenalan, bahkan langsung nembak ajak makan malam. Alana menyanggupi godaan sang bocah. Malam sederhana, ngobrol apa saja, saling merajut kata tentang keseharian mereka.
Hubungan mula ini canggung dan sungguh wajar. Apa yang akan dilakukan selepas pendidikan jadi pertanyaan penting setiap manusia sebab ini adalah babak baru. Mereka sedang memasuki putaran baru kehidupan. Masa yang sudah boleh tidak lagi mengikuti petunjuk siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Usia penting selepas remaja, di sini ditampilkan dengan natural. Gary ikut pementasan yang berakhir kacau, begitu juga saat ikut audisi, ia gagal total. Nantinya saat Alana diwawancarai tentang sebuah peran, diminta Gary untuk selalu jawab Ya. Bahasa portugis, mahir naik kuda, hingga siap telanjang depan kamera. Gary tentu saja jawab ya, Alana tetap Ya. Ada ketidakrelaan daerah sensitifnya diperlihatkan umum. Dan Alana malah marah, akting sejatinya kudu natural. Maka saat ia lakukan di depan Gary, bagaimana rasanya? Apakah boleh menyentuh? Langsung kena tabok! Dalam demam kebingungan dan keinginan yang sudah ditetapkan untuk melakukannya tapi semenit kemudian disesali.
Gary seolah mendapat ilham, saat bergabung ke marketing toko kasus dengan alas air. Inovasi aneh dan tak lazim ini dipamerkan di bazar, dijual dengan promo unik. Alana yang kerja serabutan akhirnya bergabung juga, dibantu adik-adik Gary jadilah mereka satu tim.
Sebelumnya ada kasus antah, Gary tiba-tiba ditangkap polisi. Tanpa tahu salah apa, ia digelandang ke kantor polisi, yang ternyata salah tangkap. Hanya ciri fisik dan pakaian yang mirip saja, Alana dengan dramatis datang bersamaan, Gary segera saja dilepas kembali tanpa permintaan maaf, berdua berlari bebas menikmati hiruk pikuk jalanan. Mereka berlari sampai mereka tak bisa bernapas. Berlari dengan pegas di langkah.
Di bisnis kasur inilah keduanya timbul tenggelam hubungan. Sebagai teman, ada rasa ketertarikan. Benar adanya, laki-laki dan perempuan rasanya mustahil murni teman bila setiap hari bertemu, apalagi kegalauan berkali-kali muncul. Alana juga seolah dapat ilham saat gabung dengan tim kampanye seorang anggota dewan, yang anehnya pelupa, teledor, dan agak bodoh. Pengalaman di depan telpon juga membuatnya tahu hubungan antar-manusia, kecurigaan dengan pengunjung asing, hingga pendewasaan. Alana kesal kalau Gary digoda cewek lain, begitu pula sebaliknya, Gary akan marah saat Alana digoda cowok lain. Dan begitulah, menit-menit akan banyak berkutat di sana, keduanya dalam keraguan dan intensitas pertemuan. Mau sampai kapan keadaan ini berlangsung?
Film yang aneh, dari kasur air sampai cek iklan obat jantan, dari pria gaek ngegas motor di atas api unggun sampai pinball, dari kampanye anggota dewan sampai harga BBM naik. Ruwet, ada dua hal yang tampak menonjol dan bagus di sini. Setting tempat jadul yang retro dan tampak sedap dipandang. Pakaian klasik sederhana, model rambut belah pinggir, hingga iklan-iklan nostalgia. Alana terutama, sepanjang film senang mengenakan rok denim yang mengayung menggoda menawan. Alana bertungkai panjang dan pakaian minim. Satu lagi, lagu-lagunya. Sepanjang film, secara bergantian lagu-lagu dengan tema cinta dan persahabatan bergantian memenuhi telinga. Enak, renyah, laik dijadikan teman baca.
Secara cerita biasa, sangat biasa. Aneh rasanya menang naskah terbaik, terbaru malah menggondol piala BAFTA. Saya sih tak menjagokannya di Oscar. Ada dua aktor terkenal (setidaknya terkenal menurutku) yang muncul, pertama Sean Pean sebagai lelaki gaek yang mengendarai motor gede melontarkan Alana, ingat usia woy. Kedua, Bradley Cooper yang jadi pejantan molek dengan mobil mewahnya, sebagai costumer kasur air ia tak ingin rumahnya dikotori. Apes, mobil mahalnya kehabisan bensin di tengah jalan. Adegan memundurkan mobil itu hampir saja kupilih sebagai adegan terbaik, tapi setelah bermenit jalan ada satu absurditas yang lebih layak. Mereka terbaring berdua melek merem menatap langit-langit selama beberapa menit sambil tersenyum simpul, Gary menyapukan lidah ke giginya setelah Alana memejamkan mata, lalu ia melirik rok. Keraguan, ah keraguan manusia muncul di kala yang tepat.
Kadang-kadang dalam hidup, seseorang dikejutkan oleh kesadaran yang menakjubkan. Setelah berlalunya banyak waktu, hubungan mereka harus dipertegas. Kesadaran itu baru muncul di akhir, di masa yang sudah berkali-kali terjalani bersama. Masih syukur tak terlambat, diselamatkan oleh sebuah klik kesadaran bahwa ada hal istimewa di sana. Tanpa kata, mereka sudah sepakat untuk memarkir ego masing-masing. Keduanya tersenyum atas kecanggungan itu, dua pecinta menyepakati suatu perjanjian suci setelah berlari saling cari. Saat mereka berbaur, mereka berdentum dan bersatu dalam pelukan hangat.
Iklan merembes ke dalam budaya kita. Banyak sekali muncul di film. Dari yang ada dalam Koran, cara klasik mencari barang hingga di pinggir jalan kanan kiri. Terasa jadul, sebab tak ada sentuhan internet. Kita sebagai konsumen melakukan pilihan disertai informasi jelas mengenai produk. Ada adegan absurd saat Gary melihat malu-malu iklan obat kuat atau sejenisnya di koran, di depan Alana. Bukankah kita pernah melakukan hal-hal seperti itu? Ini bukan kemunafikan, ini adalah rasa penasaran, rasa melawan tabu, dan terasa sangat wajar. Di usia labil, banyak hal dunia dipertanyakan.
Terakhir, interaksi antar manusia selalu menumbuhkan kenangan untuk kedua pihak, baik yang tersimpan ataupun terlupakan. Kita tak pernah tahu nasib ke depan bagaimana. Apakah orang ini jodohku? Ataukah pendekatan selama ini akan terkoyak gagal? Tak ada yang tahu, walau seyakin apapun, seragu apapun. Masa lalu, masa depan, semuanya terbungkus dalam sekarang. Begitulah, kita terperangkap dalam sekarang. Maka, hanya tindakan terbaik yang bisa diandalkan, untuk orang-orang terkasih dalam lingkaran kita. Begitulah hidup, semuanya akan normal lagi, membosankan lagi, lantas indah lagi. Well, tak ada pizza di sini, ada yang tahu arti judulnya?
Licorice Pizza | Year 2021 | USA | Directed by Paul Thomas Anderson | Screenplay Paul Thomas Anderson | Cast Alana Haim, Cooper Hoffman, Will Angarola, Griff Giacchino, James Kelley, Sean Harris, Bradley Cooper | Skor: 3.5/5
For Robert Downey, SR.
Karawang, 150322 – Rob Thomas – Early in the Morning