King Richard: Masing-Masing Istimewa dan Indah

Kau akan menjadi yang terhebat sepanjang masa. Bagaimana ayah tahu? Karena ayah sudah merencanakannya.” – Richard

Ayah selalu mencintai anak perempuannya lebih daripada ibunya. Bikin film biografi tuh seperti ini, sodorkan hal-hal yang tak diketahui khalayak umum. Aduk emosi penonton dengan curang. Kalau diberi buku tulis, jangan menulis mengikuti garis, bikinlah tulisan miring, kalau perlu bukunya dibalik, kertanya disobek-sobek, lalu tulisannya dipecah, sehingga pembaca tak langsung paham. King Richard benar-benar mengaduk-aduk emosi. Salut. Bisa-bisanya Will Smith menemukan naskah cerita sekeren ini.

Kisahnya tak mengambil sudut pandang orang terkenal, tapi malah menyorot tata cara membesarkan orang terkenal. Siapa sih yang tak kenal Williams Bersaudari, mereka melalangbuana berlimpah gelar di dunia Tenis. Saya yang bukan penggemar olahraga ini saja, sampai heran. Kariernya terasa sangat panjang. Sedari saya Sekolah Dasar, sudah bersliweran beritanya di TV, hingga sudah punya anak Sekolah Dasar, mereka masih aktif! Luar biasa, nah King Richard justru mencerita bapaknya. Bagaimana membesarkan dan membentuk karakternya, tegas, keras, disiplin, sangat protektif. Dan beginilah, film biografi idealnya dicipta. Kita tak tahu apa yang terjadi para orang hebat saat tertatih. Penonton senang mengingat-ingat kesusahannya tapi tidak berniat mengingat kesenangannya.

Venus (Saniyyan Sidney) dan Serena Williams (Demi Singleton) muda begitu berbakat di bidang tenis. Dilatih dengan intens oleh keluarga, bukan hanya tentang bagaimana bermain hebat tapi juga diajarkan akhlak yang baik. Richard Williams (Will Smith) jelas berperan sangat banyak untuk perkembangan karier, ia begitu menjaga dan melindungi anak-anaknya. Ibunya Oracene ‘Brandy’ Williams (Aujanue Ellis) juga berhasil mengimbangi. Saat latihan sama petenis besar Pete Sampras dan pelatihnya Paul Cohen (Tony Goldwyn), yang kepilih hanya Venus, maka Serena yang patah semangat, oleh ibunya didorong untuk tetap kuat, dilatih intens tersendiri, terutama memperbaiki servis-nya. Richard selalu meyakini, Venus dan Serena punya kemampuan untuk jadi nomor satu dunia, masing-masing istimewa dan indah, hanya jalurnya saat ini Venus sudah menapaki tangga dulu.

Dalam berlatih rutin di lapangan umum, ada gangguan dari warga kulit hitam lainnya. Digodain saudarinya, dan Richard sebagai bapak melakukan tindakan, apesnya ia malah sampai dihajar berdarah. Ada momen di puncak kemarahan, ia akan membalas. Dengan pistol dan kegeraman, dan boom… Tuhan mengayunkan tangannya. Sang berandal ditembak oleh gangster lainnya. Begitulah, semesta berjalan dengan misterinya. Bayangkan saja seandainya jari Richard yang menarik pelatuk. Bayangkan sahaja…

Di usia 13 tahun berbagai gelar tenis remaja disikat. Venus tampak sangat menjanjikan. Oleh pelatih rutinnya disodorkan ikut turnamen junior, dan di sini terjadi gap. Richard sudah merencana ikut turnamen nasional, perpecahan terjadi. Maka Richard memutuskan mencari pelatih lain. Terjadilah kontak dengn Rick Macci (Jon Bernthal) dari Florida. Kontrak baru ditandatangani dengan Richard tetap sebagai pelatih internal.

Perubahan besar ini otomatis mengakut keluarga ke Florida. Latihan lebih intens, dan langkah-langkah besar di mula diambil. Bertemu dan bersama pemain muda potensial Jennifer Capriati. Dan segala yang tampaknya cerah. Kontrak sponsor disodorkan. Mengantre untuk Venus, begitu juga keputusan Venus akan diikutkan ke turnamen mana? Rick meminta mengikuti garis umum dengan turut di junior dulu, tapi tidak. Richard kukuh ikut turnamen Bank of West Classic, ajang yang lebih besar sebab ada nama-nama Petenis dunia di sana. Hufh…

Tahun 1994, langkah awal itu terbilang OK. Venus melaju ke babak berikutnya, sayang di partai berikut harus langsung menghadapi petenis nomor satu WTA Arantxa Sanchez Vicario dari Spanyol. Di usia semuda itu, 14 tahun mendapat tekanan besar. Kontrak dengan Nike senilai 3 juta dollar sebelum turnamen juga sudah ditolak sebab meyakini akan ada tawaran lebih besar, Rick sampai geleng-geleng kepala dan heran, sulit dipercaya. Dan partai puncak yang menakjubkan tercipta. Hebat, mendebarkan, sangat menggugah. Kalian (terutama yang tak ikuti tenis) akan tercengang dengan partai seru nan mendebarkan itu.

Usai menonton, saya langsung berniat menonton ulang sama May. Beginilah cara hebat membesarkan anak. Kebetulan Hermione (7 tahun) sedang di persimpang jalan untuk menentukan hidupnya mau diarahkan ke mana? Ngaji sudah diikutkan seminggu tiga kali, dan mendapat piala beberapa terkait hapalan surat atau lomba ngaji. Sekolah akademik, Insya Allah baik sebab dua tahun ini ditunjuk sekolah untuk mewakili lomba Calistung tingkat kecamatan. Nah, yang diluar lingkar sekolah, bidang extra kulikuler yang perlu dipikirkan masak-masak.

Pernah mau diarahkan ke bulutangkis, tapi tak bagus ayunan raketnya, dan malas latihan. Diarahkan catur, tak terlalu minat, bidaknya dibanting tiap langkah terhenti. Begitu pula saat kita bacakan banyak buku, ia lebih nyaman sama HP. Buku-buku dongeng lebih nyaman dibacakan, bukan dibaca sendiri. Hufh… yang agak mendingan justru tak sengaja les renang. Ia begitu antusias, baru dua minggu ikut sudah bisa teknik dasar dan berani ke kolam kedalaman tiga meter! Sampai saat ini, sudah dua bulan antusiasmenya masih sangat tinggi. Atau ke arah mana? Masih jadi misteri, mungkin di usia delapan atau Sembilan akan lebih mantab. Yang jelas, film ini sangat menginspirasi, sangat bagus untuk memotivasi para orangtua.

King Richard bukan tentang ketenaran, tapi bagaimana merencana. Ia jelas orang yang berhati kuat yang tidak mau berkompromi dengan masalah eksternal, semuanya harus dibentuk dari dalam. “Saya punya value, maka kamulah yang harus ikut dengan caraku!” Kalau perlu ia bersedia bertindak bertentangan dengan semua alur, artinya, bertentangan dengan logika, kehormatan, kedamaian, kesejahteraan; pendeknya, bertentangan dengan semua hal yang berguna dan baik asal saja anaknya dapat memperoleh keuntungan yang paling menguntungkan dan sifatnya fundamental. Demi anak, segalanya dilakukan, yang terbaik apapun itu. Dua adegan yang bisa kita maklumi dan salut, pertama saat lihat tv bagaimana Capriati terjatuh, kedua saat keputusan sponsor, bukan lagi orangtua yang memutuskan final, tapi dikembalikan ke individu. Nilainya sangat besar, dan itu tak menggoyahkan hati. Setiap langkah akan lebih menggiurkan dari langkah sebelumnya. Takjub rasanya, itulah penting pendidikan anak tak melulu nilai akademi.

Tagline-nya bagus banget: Venus, Serena and a plan for greatness. Jadi ini lebih ke rencana-rencana, endingnya juga pas bagaimana rencana banyak itu terrealisasi. Keras kepala akan bebek-bebek yang berjajar untuk diasuh dan “di-angon” terasa sangat hebat. Warga kulit hitam, minoritas di olahraga ini, kini malah jadi panutan banyak orang. Ketika ditanya, ingin bermain seperti siapa? Dengan senyum merekah, ingin mereka yang menginginkan bermain seperti saya. Wow, keren.

Untuk Oscar, rasanya sangat layak piala di bagian teknis maupun akting. Will Smith patut menang, Ellis juga sangat OK. Minimal salah satunya dapat. Di naskah, so far yang sudah kutonton, bagus semua. Masih sulit diprediksi, untuk editing juga bagus semua. Untuk lagu, rasanya tidak. Yang jelas, mustahil film sekeren ini nirgelar. Goodluck Will Smith.

King Richard | USA | 2021 | Directed by Reinaldo Marcus Green | Screenplay Zack Baylin | Cast Will Smith, Aunjanue Ellis, Jon Bernthal, Saniyya Sidney, Demi Singelon, Tony Goldwyn | Skor: 5/5

Karawang, 140222 – Peter Pan – Sahabat