
“Aku sering melihat… hal-hal aneh, melalui ujung mataku, hanya sekilas. Benda-benda seperti bergerak, atau kelihatan berbeda.” – Joel
Apakah memang ada kekuatan supernatural di rumah ini atau hal itu hanya imajinasinya saja? Buku tipis yang tipikal. Kalian pasti bisa menebaknya. Keluarga baru, pasangan tunangan yang masing-masing sudah punya dua anak bersatu ke rumah tua yang baru saja dibeli. Rumah itu tampak angker, yang memang ada penghuni lain. Seperti judulnya, ia jadi para pengganggu. Empat anak yang bersatu tak akur, saling silang tak mau bersatu. Dan misteri rumah tua itupun coba diungkap. Masa lalu kelam. Mereka tak hanya menyaksikan sebuah ilusi optik pendek, namun mereka juga disentuh, dicengkeram, dan terjepit pintu yang tak bisa ditutup siapa pun. “Kita memang selalu bertindak gila.”
Kisahnya tentang Cassie Demetrius yang suka menyendiri, suka baca buku, dan muak sama anggota keluarga barunya. Adiknya Joel lebih terbuka dan sopan. Ibunya baru saja bertunangan dengan duda beranak dua, Gerard Wilder. Cassie keberatan menerima ayah dan saudara tiri, maka ia bersikap dingin.
Mereka bersatu dalam rumah baru bertingkat dan tampak angker. Ibunya selalu membujuk Cassie untuk lebih terbuka, tak kolot, memberi kesempatan, laiknya sang adik yang justru malah tampak lebih dewasa. Gerard, laiknya ayah tiri, pasif menjaga jarak. Damon dan Tim juga menjaga jarak, bersatunya dua keluarga ini sepertinya tak akan mulus. Memang secara fisik, dua keluarga ini sangat berbeda. Wilder bertubuh gempal, Demetrius pada kurus. Hanya Tim yang bertubuh kurus. Namun harusnya tak jadi soal ‘kan fisik?
Damon tampak jujur dan menarik, Tim lebih halus dan mudah panik. Cassie tertutup dan selalu curiga, Joel lebih riang dan selalu memandang hal-hal secara positif. Seharunya seluruh perbedaan sifat ini malah menyatukan dan melengkapi.
Dan petang itu, saat dua mobil sampai di rumah baru dan tua, bagai minyak dan air, keduanya sulit disatukan. Namun kekhawatiran mereka sepertinya lebih baik dilimpahkan ke hal lainnya yang lebih urgent, dan gawat. Dalam keheningan, tak ada suara apa pun kecuali napas mereka dan suara televisi yang berdengung keras. Rumah itu tampaknya berhantu. Berbagai penampakan, dan hal-hal berbau mistis muncul. Terutama Joel yang sering lihat penampakan, “Cassie, kau harus percaya. Rumah ini berhantu. Ada sesuatu yang terjadi di sini.”
Awalnya dikira halusinasi, tapi lama-kelamaan makin berwujud. Bahkan dalam mimpinya yang berulang ia tertekan, “Kalau aku sampai mati dalam tidurku, aku berdoa semoga Tuhan menerima jiwaku di sisi-Nya, kalau aku sampai mati dalam tidurku…”
Ini sudah sangat mengganggu, dan taruhannya keselamatan keluarga. Berhasilkah dua keluarga ini akhirnya disatukan? Apakah benar ada hantu di sana? Apakah hanya oknum yang bergerak, demi kepentingan individu atau golongan yang menaruh tangannya di rumah itu untuk sebuah niat jahat? Rasanya kalian bisa menebaknya bahkan sebelum menyentuh sepertiga buku.
Ketegangan yang disajikan sejatinya cukup pas. Dengan adegan mengagetkan, saling picing mata, saling tuduh, dst. Lantai atas gelap gulita sehingga mereka merasa seperti buta. Semua ini hanya permainan adu nyali. Untuk ukuran buku anak, sudah cukup menyeramkan. Terutama Joel sang penakut, “Suara napasnya bergemuruh, sangat kencang – terlalu kencang, sehingga ia ingin mencekik dirinya sendiri agar tidak berisik. Ia kemudian sadar kalau napas pendek itu adalah serangkaian kata, sebuah doa yang terus-menerus mengalun.”
Cassie sendiri tampak menyebalkan. Ia seolah tukang atur, sebab sebagai anak sulung yang sok kuasa, dan juga tampak sinis. “Aku wanita dewasa, coba dengar aumanku!” Begitu juga saat adiknya ketakutan, ia selalu menanggapi. “Hantu hanyalah bayangan, itu saja. Oke? Dan mimpi buruk tidak terlalu menakutkan. Semua ini hanya imajinasimu.”
Salah satu percakapan menarik, adalah Cassie selalu rasional. Logika selalu di depan. Adiknya panik mulu. Pernah sarkas meledek, “Yah, Joel kasus ini semakin lama semakin menarik.” Akhirnya Cassie tergerak ikut pada suasana keluarga baru dan nuansa seram. Dibalas dengan gemetar adiknya, “Kurasa maksudmu menyeramkan.” Haha, lucu dan menggemaskan.
Joel yang memang seolah selalu dikuntit. Ia jadi tokoh yang ditekan keadaan. Hantunya masak mengincar dia saja? Melalui penampakan, melalui mimpi. “Seperti mimpi-mimpi kami. Hantu itu mungkin tidak berusaha masuk ke dalam pikiran kami, namun kenangan-kenangan yang ada… gema dari semua kejadian yang ada terlalu kuat untuk berlalu begitu saja.”
Keadaan di sekitar terasa begitu hening sampai-sampai Joel bisa mendengar kakaknya menelan ludah sebelum menajutkan bicara. Badai pun berkecamuk. Bagai terperangkap di bawah sehelai selimut dingin. Jejak itu memenuhi pikirannya dengan potongan doa yang diulang-ulang. “Apakah ini akan berakhir buruk?”
Sekali lagi, buku terbitan Atria, memuaskan dengan catatan. Hanya harus bisa menempatkan diri dari sudut pandang anak-anak. Tak mungkin kan kita mengkritisi buku anak dengan sudut orangtua? Ya, harus diakui, mungkin dari sekian banyak buku Atria, buku ini yang paling lemah. Plotnya tertebak, sudah banyak kisah horror dicipta dengan ending sejenis saat ini. buku dicipta 2006, sebelum itu sudah kita sering lihat film-film dengan kejutan seperti itu. Namun tetap saja, ini cukup fun. Polanya mirip novel-novel Stephen King, di mana rumah baru sebagai pembuka. Opening sejenis ini memang lebih nyaman, sebab pembaca ditempatkan ke setting tempat asing.
Deret antri Atria panjang di rak, dengan sedikit penurunan kualitas ini, tak terlalu mengganggu mood untuk terus gaaas, menikmati buku-buku lainnya. Minimal sebulan satu Atria, bagaimana dengan Maret ini? See ya…
Para Pengganggu | by E.R. Richardson | Copyright 2006 | Diterjemahkan dari The Intruders | terbitan The Bodley Head, an imprint of Random House Children’s Books | Penerjemah Mukti Mulyana | Penyunting Ferry Halim | Pewajah isi e-Lie | Penerbit Atria | PT. Serambi Ilmu Semesta | Cetakan I: Juni 2007 | ISBN 979-1112-08-8 | Skor: 3.5/5
Untuk Sam dan Tara
Karawang, 080322 – Betty Carter – That Sunday, That Summer
Thx to Ade Buku, Bdg