The Worst Person in the World: Dunia Boleh Runtuh tanpa Perempuan, asal Kopiku Selalu Tersedia

Julie: “Aku benci mendengarnya, tapi bisakah kau bilang bahwa aku akan menjadi ibu yang baik?”

Ini jelas bukan film yang sekadar Oke, ini film adalah luar biasa, bagus bingitz. Seusai nonton seperti ada rasa yang mengganjal, ada yang meresahkan, tapi yang meresahkan itu memang sudah berlalu. Ya seperti waktu, kita sudah menjalani, lantas kita merasa ada yang salah di masa lalu, keputusan-keputusan dan tindakan kita salah, seperti kejahatan atau perbuatan yang menyakitkan orang lain yang terlanjur dilakukan. Namun rasa itu terdistorsi, seolah gumam, “ya mau gmana lagi? Setiap perbuatan ada konsekuensinya.” Nah seperti itulah perasaan saat credit title muncul, ada efek yang menggelenyar setelahnya, penonton tak dibiarkan tenang, penonton bahkan kena beban, seolah merasa kasih andil kesalahan, feminism kebablasan? Ataukah egoism yang membuncah? Film ditutup menimbulkan perasaan kacau, saya merasa seolah-olah turut melakukan kejahatan.

Julie (Renate Reinsve) yang cantik, muda, berpikiran bebas. Dengan masa depan terbentang di depan ia seolah bisa melakukan apa saja. Kuliah kedokteran bosan, pengen lainnya, ambil psikologi, bosan ingin yang lainnya lagi, dst. Otaknya jelas cerdas dengan keingintahuan yang tak kenal lelah. Anak muda memang laiknya menyerap ilmu sebanyak mungkin. Yang salah kaprah mungkin memihak seks bebas, hati pasangan serius atau hura-hura siapa yang tahu? Dengan kecantikannya, ia memikat banyak lelaki, bergonta-ganti pasangan, dari dosen, seniman, hingga penulis komik. Nah, yang terakhir ini hatinya benar-benar terjerat.

Aksel (Anders Danielsen Lie) usianya sudah di atas 40 tahun saat hubungan kilat terjalin dengan Julie. Ia dengan gamblang bilang, perbedaan usia ini akan menyulitkan interaksi ke depannya, maka hubungan ini sebaiknya cukup di sini. Namun, seolah ada pukulan keras di otaknya berbunyi ‘Ding!’, setelah keluar kamar, Julie berubah pikiran, kembali masuk kamar dan bilang, ‘aku jatuh cinta padamu.’

Awalnya hubungan ini romantis dan tampak akan langgeng. Julie bekerja sebagai penjaga toko buku, Aksel dengan kegiatan rutinnya sebagai seniman komik, menulis, menggambar, dan menelurkan banyak karya. Hubungan kedua keluarga juga harmonis, kecuali mungkin ayah Julie yang sudah tua. Saat perayaan ulang tahun 30 tahunnya, beliau tak mau datang ke Oslo sebab sakit pinggang, sebab sakit tua. Agak mengcewakan hati, semacam noda kecil di kemeriahan berkumpul keluarga.

Saat Julie ditemani Aksel berkunjung ke rumah bapaknya, ternyata bukan karena sakitnya ia tak mau datang, tapi malah kekhawatiran sepele nantinya kesulitan parkir di kota besar. Canggung, sedih, tak ada pengertian balik. Well, gaes ini orangtua, marilah kita lebih menghormati mereka.

Julie yang feminis, memang seringkali mendapat sejenis ilham tindakan. Seperti saat ia menggoda Aksel saat bekerja di depan mesin gambar dengan memamerkan daerah sensitif, ia lantas malah bisa menulis esai tentang seksualitas. Dikirim ke media daring, dan mendapat tanggapan positif. Sempat viral juga. Namun sejatinya ini hanya titik mula kenakalan. Artikel tentang kelamin pria yang lemas dan ialah yang mengeraskan itu lantas menyeret ke rasa penasaran lain.

Suatu petang, Julie seperti menemukan ilham lain. Ia jalan saja ke area perumahan, tanpa tujuan jelas. Ia menemukan sebuah pesta pernikahan di sebuah rumah, ia masuk dan menikmati hidangan. Ia ikut nimbrung dengan bu ibu, “Anak manja di masa depan berpotensi menggunakan narkoba.” Kerut kening teman diskusi, emang lu dah punya anak?

Ia adalah tamu tak diundang, ia nyelonong aja pokoknya. Dan di sanalah ada pria tamvan sendiri, Julie menggodanya dengan kerlip, lantas mengajak ngobrol, lantas akrab, bahkan dengan tenang ia builang tak kenal siapapun di situ. Eivind (Herbert Norfrum) juga sudah punya pasangan, dan komit sedari mula mereka takkan selingkuh. Klik yang terjadi menghasilkan keakraban yang dahsyat. Hingga pagi, mereka berceloteh dengan bebas, vulgar, ganas, meriah.

Paginya mereka berpisah, dan menegaskan mereka tak selingkuh kan? Di sinilah, kebebasan itu digunakan dengan kebablasan. Ada batas nakal manusia, ada batas usia yang seharusnya sudah berpikiran dewasa, ada konsekuensi di tiap tindakan, tapi Julie memilih melakukan pembengkokan. Ia kepikiran terus sama pria tamvan ini. Ia terus berandai ini itu, ia menjadi murung, dan membandingkan. Bis asaj sedang bosan, dan kebosanan bisa mengakibatkan segala macam hal. Justru kebosananlah yang membuat orang menusukkan jarum emas pada diri orang lain.

Kesempatan itu muncul tak sengaja, saat bekerja seorang pengunjung datang menanyakan buku tentang Yoga, dan ternyata ia pasangan Eivind yang ada di belakangnya. Pertemuan kembali tak sengaja ini mematik rasa. Komitmen tak selingkuh jadi terasa omong kosong. Terjadilah apa yang memang semestinya tak terjadi. Dalam adegan surealis dengan saklar yang ditekan manusia-manusia terbekukan, kita menjadi saksi perubahan, sebuah tindakan klik. Berkhayal memasang perabotan dalam pikirannya. Itu bukan sekadar perasaan, melainkan sebuah pesan, yang berdentang seperti lonceng: “Ding! Ding! Ding!” Saatnya menorehkan luka untuk laki-laki.

Manusia di mana pun jua dan kapan pun jua, siapa pun dia, lebih suka berbuat menurut pilihannya dan tidak menurut ketentuan-ketentuan akal dan keuntungan. Dengan segala terjangan era digital, sungguh langka manusia-manusia setia pada pasangan. Dan begitulah, riskan rasanya memiliki pasangan muda, cantik, berwawasan luas. Bom waktu, suatu hari dalam luapan naluri kegenitan seorang gadis. Jadi mau diseret kemana hubungan ini?

Judulnya janggal, manusia terburuk? Seburuk itu? Padahal sebelum nonton mentalku sudah disiapkan, bila perlu mencela-celanya secara destruktif segala tindakan. Namun rasanya segala tindakan terasa wajar, dan inilah bagusnya film, tampak wajar dan mengalir. Pilihan kebebasan juga hak setiap individu. H. Spencer menyatakan azas egoisme atau azas ‘mendahulukan kepentingan diri sendiri atas kepentingan orang lain’, mutlak perlu bagi jenis-jenis makhluk untuk dapat bertahan dalam alam yang kejam. Wajar sekali ketika pilihan untuk pergi, dan itu sah walau menyakitkan. Apa kamu tidak lihat bahwa tukang bantai yang paling cakap adalah justru orang yang paling cantik?

Musibah yang menimpa memang tak ada yang bisa prediksi, bisa saja hari ini kamu di puncak ketenaran lusa sudah di kubangan nista. Apalagi penyakit zaman sekarang yang ganas itu, seolah Tuhan mengayunkan pendulum yang menghantam manusia acak untuk menerima penyakit. Rasa takut yang terbesar adalah rasa takut terhadap peristiwa yang ia sadari pasti akan terjadi padanya, ialah tibanya maut. Kesadaran akan tibanya maut inilah yang merupakan salah satu sebab timbulnya suatu unsur penting dalam kehidupan manusia, yaitu reliji. Namun kembali lagi, kesadaran rohani setiap individu unik, setiap orang melakukan apa yang harus dilakukan saat hari kematian akan tiba. Detail percakapan di akhir dengan kesedihan membuncah itu sungguh memilukan.

Catat namanya, Renate Reinsve. Dia secantik bunga anggrek. Menghipnotis, bukan hanya para pria di layar, tapi juga penonton. Bikin betah melewati menit-menit sepanjang dua jam. Bahkan ada adegan, ia mabuk narkoba hingga dalam halusinasi menua dengan kebingungan, tetap terlihat menawan. Dengan dua gores darah di pipi, ia melalangbuana dalam dimensi antah, dunia berjamur.

Apa yang akan kamu dapatkan darinya selain kegetiran dan patah hati? Saat di taman, seolah pamitan itu. Saya turut menangis. Aksel menyebut-nyebut namanya dengan suara parau. Betapa kamu adalah pasangan terbaik yang pernah ada. Bayangkan! Kamu disakiti, kamu dicampakkan, dan kamu masih memujanya, padahal kini dunia sudah menghitam. Mungkin, setiap lelaki zaman kita ialah seorang pengecut dan seorang budak. Itu wajar. Lelaki diciptakan dan dibentuk untuk itu. Sejak dulu, selama-lamanya, seorang lelaki terhormat ialah seirang pengecut dan seorang budak. Kebetulan tadi siang saya mendapat WA terusan tentang Hari Suami Sedunia, sedih bacanya.

Kekuatan perempuan, tak ada yang bisa menggapainya dengan tepat. Begitu pula, saat dengan sedih bilang tak perlulah berpura-pura tak ada masalah, jelas jiwa pemberontakannya dalam karikatur itu luruh, merasakan optimismenya memudar.

Oscar Best International Feature sudah ku kunci untuk Drive My Car sayangnya, jadi tetap tak kujagokan: So far sudha nonton tiga kandidat untuk Best Original Screenplay, dan The Worst is The Best. Goodluck!

Kebahagiaan picisan atau penderitaan yang agung? Ya, mana yang lebih baik? Apakah dunia runtuh akibat ditinggalkan perempuan atau saya harus hidup tanpa kopi? Menurutku, dunia boleh saja runtuh tanpa perempuan, asal kopiku selalu tersedia. Bedebah kau Julie dan perempuan-perempuan yang pergi saat lelaki lagi sayang-sayangnya!

The Worst Person in the world | Year 2021 | Norwegia | Directed by Joachim Trier | Screenplay Joachim Trier, Eskil Vogt | Cast Renate Reinsve, Anders Danielsen Lie, Herbert Nordrum | Skor: 5/5

Karawang, 110222 – Erin Boheme – Teach Me Tonight