
“Hidup dalam sebuah zaman yang terkoyak antara tradisi dan modernitas, mereka mendukung kakakku menikah dengan pria pilihannya sendiri – pernikahan berdasar cinta yang telah menyebabkan rasa pedih dan kesedihan.”
Novel yang unik. Mengambil sudut pandang bergantian, dua orang yang kontradiksi. Satu tentara Jepang yang sedang bertugas di area pendudukan China, satu gadis remaja China yang jago main Go. Dibuat dengan tulisan pendek-pendek. Keduanya setelah setengah buku lebih baru dipertemukan. Setiap ganti bab, sudut berganti, setelah dipertemu, keadaan merumit dan sepanas perang Jepang-Cina, hubungan keduanya juga mendidih. Di puncak konfliks, cerita ditutup. Tragis, perang memang tak pandang bulu memakan korban.
Permainan Go sendiri tak kupahami, kurang populer di Indonesia juga. Orang tentu lebih kenal Catur, atau Monopoli, atau bahkan Halma ketimbang Go. Walaupun dijelaskan poin-poinnya, tetap tak klik. Hanya bisa membayangkan, bahkan permainan bisa dilanjutkan esok hari dengan mencatat posisi pion. Tidak ada yang bersifat spiritual dalam permainan Go. Di sini gim ini jadi semacam kendaraan saja, tema utama adalah perang, masa-masa Jepang menduduki Manchuria, berpijak pada sejarah sebelum meletus Perang Dunia Kedua tahun 1930-an. Kisahnya tentang Gadis China dan Pemuda Jepang. Karakter tanpa nama, keduanya menjelma terikat erat, padahal Negara mereka berperang.
Pemuda Jepang sedang menjalani wajib militer. Ia berangkat ke Manchuria dengan bekal nasihat ibunya, bila memilih antara mati mulia atau kepengecutan, maka tanpa ragu pilihlah kematian. Adiknya nantinya juga menyusul, nasib para pria di era perang. Ia menjalani masa-masa kelam nan mencekam di medan laga, setiap saat nyawanya bisa melayang, ledakan terjadi tak mengenal waktu, ancaman pemberontakan penduduk yang dijajah muncul dari berbagai tempat. Ia menjalani hari-hari dengan tak nyaman, rindu rumah, rindu ibu, setiap beberapa waktu mengirim surat ke keluarga. Mengabarkan kondisi dan situasi.
Sang Gadis, menyebut dirinya “Namaku Nyanyian Malam.” adalah remaja putri yang cantik. Ia masih sekolah, memiliki dua sahabat dekat Min dan Jing. Jelas keduanya jatuh hati padanya. Kukira bakal dengan Jing, sebab rona-rona asmara ditebar. “Sapu tanganmu baunya enak.” Katanya hampir seperti bisikan. Namun tidak, kisah cinta ini malah merumit. Bahkan di akhir malah liar.
Sang Gadis hobi dan jago main Go. Di Manchuria yang bergolak, para pemuda selalu diawasi. Dan benar saja, suatu hari di perayaan ualng tahun temannya Min, terdapat pidato yang mengarah pada perlawanan mengusir penjajah. Yang secara otomatis ia tersenggol, sebab datang. Permainan Go hanyalah kamuflase, di sana di alun-alun itu, saat mereka berpura-pura bermain permainan perang, musuh-musuh kita bersama-sama merancang strategi mereka yang berubah-ubah.
Ada masa kala tentara bosan, pergi ke pelacuran. Pemuda Jepang jadi langganan pelacur Anggrek, di sanalah terjadi cinta nafsu sesaat. Ada kebebasan berekspresi saat menyewa wanita di pelacuran. Maka sungguh aneh, pernah mendapat keberuntungan, semacam ‘kawin kontrak’ mendapat seorang Geisha untuk dipersembahkan, masih suci, justru ia tak bisa. Ia melakukan hal yang membuat kerut kening mayoritas laki-laki berlipat. Dunia memang penuh orang aneh.
Di sekolah, Sang Gadis termasuk siswa yang baik. Tapi hubungan asmaranya dengan Min ternyata terlalu jauh. Ia menyerahkan keperawanan hingga hamil. “Aku masih mengenakan seragam biruku seperti gadis-gadis lain, tetapi aku tahu sekarang aku berbeda.” Ironisnya, sang kakak yang sudah menikah lama tak kunjung punya anak, padahal begitu mendamba. Dua fakta berlawanan saat menerima hasil tes kehamilan. Karena ia masih sekolah, ia coba gugurkan. Bersama teman akrabnya Huong, mencari jalan keluar. Sempat lega saat jalan keluar itu diambil, tapi tidak ini novel yang akan membuatmu sesak air mata.
Nah, keduanya baru bertemu di separuh novel. Sang tentara diperintahkan menyamar jadi warga China sebab ia memiliki kemampuan berbicara dengan aksen Peking, dan bisa main Go. Menyelidiki para pemberontak. Bertemulah di Lapangan Seribu Angin dengan sang gadis, yang juga sudah paham politik. Bagaimana nasib akhir dua manusia berlainan jenis ini? The Girl Who Played Go jelas berhasil meledakkan diri di akhir, kalian takkan bisa menebaknya dengan tepat.
Ditulis dengan bahasa puitik. Pemakaian kiasan muncul di banyak halaman. “Langit seputih mutiara dan matahari yang berwarna merah tua itu tenggelam, mati.”; “Malam ini tak ada bulan dan angin meraung seperti bayi yang baru lahir. Jauh di atas kami, para dewa-dewi, bersama-sama menaburkan bintang-bintang.”; “Kakak iparku mencium bahunya dengan lembut dan kurasakan sebuah rasa sesak mencengkeram hatiku.”; dst. Benar-benar sarat keindahan. Dan saya suka. Dan sepertinya ini memang keunggulan Sang Penulis.
Begitu pula mencerita detail vulgar. Ada banyak penjabaran bagaimana kedua insan memagut cinta. Sang gadis dengan Min, sang tentara di pelacuran, sampai saat berhadapan dengan Geisha. Bertaburan, walau tak eksplisit tapi nyata itu bisa membuat emosi naik, beberapa bahkan dijelaskan saat akhirnya amarah reda, mereka menghamburkannya di tempat tidur. “Min menciumku dengan penuh rasa gairah seperti seorang kolektor yang berhasil menemukan barang langka.”
Dengan kegalauan yang melimpah, para karakter sering membawa kegelisahan itu dalam mimpi. Sebuah dunia mimpi yang merdeka dan meriah. “Mimpiku menghilang, hanya meninggalkan kenangan dan kepedihan.”
Dengan setiap saat peluru bisa nyasar, kematian memang mengintai tanpa jeda. Dan saat kelompok tersebut ditangkap dan dieksekusi, Sang Gadis merasa, nasibnya tak ‘kan jauh dari teman-temannya. Setiap manusia harus mati, memilih melupakannya adalah satu-satunya cara menang atas kematian itu. “Aku telah memikirkan kematianku sendiri selama bertahun-tahun sehingga hal itu menjadi seringan bulu.”
Pertanyaannya, yang disebut pahlawan itu siapa? Pihak China jelas mengutuk penjajahan dan para pemuda sebagai pahlawan dalam melakukan gerakan pembebasan. Begitu pula pihak Jepang, tentara yang dikirim ke medan perang adalah para pahlawan mereka. Tapi jalan yang harus ditapaki seorang pahlawan tidaklah semulus yang kita bayangkan: berliku-liku dan melewati kerasnya gunung pengorbanan. Pengorbanan yang tak kecil.
Tema utama memang perang, tapi ini mengangkat banyak isu lain. Dari perlawanan para generasi muda, aborsi yang terpaksa sebab tak berbapak, hingga pilihan untuk menjalani hidup, berpegang teguh pendirian ataukah mengikuti arus zaman. Menurut Confucius, “Seseorang yang tahu akan kemanusiaan tidak akan pernah setuju untuk mempertahankan hidupnya dengan mengorbankan kemanusiaan itu sendiri.”
Ada kisah yang secara flashback, bagaimana dulu ada sepasang kekasih. Tentara Jepang dan gadis China pelayan restoran. Cinta mereka awalnya tak terlihat orang, disimpan dengan rapat. Namun di masa perang, desas-desus mudah menyebar bak api melahap kertas. Saat asmara mereka terbongkar, keduanya habis. Tentara dipindahkan, sang gadis dihukum mati. Ngeri ya.
Ini adalah novel pertama Shan Sa yang kubaca, saat ini sudah punya Maharani di rak. Bagus sekali cara menyampaikan alur, tak rumit, walaupun agak bertele, melingkar menjelas detail. Pembagian bab pendek mengingatkanku pada novel-novel Dan Brown tapi karena novel Shan Sa duluan, kita tahu siapa yang menginspirasi, seperti cerpen sehingga pembaca bisa bernapas lega, dan tak lelah. Bisa jeda ambil napas tiap lima enam menit. Shan Sa lahir di Beijing tahun 1972, tahun 1990 ke Prancis untuk melanjutkan kuliah dan menjadi pembantu lukis Balthus. Bisa jadi ia kini jadi penulis favoritku terbaru, “Sekarang kita sendirian, tidak seorangpun bisa mendengar kita kecuali angin.”
Gadis Pemain Go | by Shan Sa | Diterjemahkan dari The Girl Who Played Go | Vintage 2003 | Pertama terbit dalam bahasa Prancis La Joueuse de go | Bernard Grasset, 2001 | Alih bahasa Amanda Casimira | Quilla Books Publisher, 2005 | Penyunting Yossy Suparyo | Proff reader Handy S | Cetakan pertama, September 2005 | lay-out dan desain sampul quill@art.lab | ISBN 979-999-853-0 | 400 hlm.; 120 x 185 mm | Skor: 4.5/5
Karawang, 040222 – 090222 – Leann Rimes – How Do I Live
Thx to Ade Buku, Bandung