
“Kamu adalah Bulldog dari Bergen, kebanggan New Jersey. Kau adalah harapan semua orang dan pahlawan anak-anakmu. Kau adalah juara di hatiku, James J. Braddock.” – Mae
Kisah nyata petinju legendaris James “Jim” J. Braddock, si Bulldog dari Bergen di tahun 1930-an. Timbul tenggelam kariernya, sebagai kepala keluarga ia wajib menghidupi anak istri, saat kena ban dari asosiasi ia kere, sekere-kerenya, sampai harus berebut jadi kuli panggul di Pelabuhan Newark, di Teluk Newark, salah satu pelabuhan kargo terbesar di Amerika Serikat. Dalam satu partai sebagai underdog, yang notabene dianggap sebagai partai loncatan unggulan untuk perebutan takhta, ia malah mengejutkan semua orang, luar biasa. Ia memiliki pukulan kiri yang dahsyat.
Keluarga Braddock hanyalah satu tetes di lautan keluarga terlantar yang kehilangan rumah, tabungan, dan dalam beberapa kasus kehilangan lebih banyak lagi. Nasib telah berkomplot mengganggu lonjakan meteoriknya sebagai petinju. Melucuti optimisme dan rasa percaya dirinya. Era depresi Amerika ini menelan banyak korban. Gelombang kepanikan menghantam, pialang-pialang melepas saham-saham mereka, bank-bank menarik dana mereka, dan pasar benar-benar kolaps. Segala cara diperbuat untuk bertahan hidup. Jim memiliki istri hebat. Memilih Mae Theresa Fox sebagai istri menjadikannya pria paling beruntung di dunia. Tiga orang anak, Jay, Rosy, dan Howard. Tahun 1930 awal Jim baru saja terjerebab karier, ia tak memiliki banyak materi hingga terpaksa jadi kuli. Ia percaya pada Tuhan, kerja keras, dan berbuat kebajikan pada sesama manusia. Dan ia menekankan ajaran ini pada semua putranya.
Di dok yang dinamai Pelabuhan Newark itu orang-orang antri dan juga berkerumun, berebut pekerjaan. Dari puluhan orang yang mengajukan diri, sudah menanti sejak subuh, hanya dipilih sepuluh. Ngeri kan, sesama kuli saling sikut. Ada adegan, mandor sudah memilih sepuluh, ada satu orang yang mengancam dengan pistol, di bawah tekanan, sang mandor terpaksa menambahkannya, nah setelah masuk kapal, langsung diringkus dan jelas berakhir di penjara. Begitulah kerasnya hidup.
Karena rutinitas kerjanya inilah, Jim malah menemukan kekuatan baru. Tangan kirinya yang lemah dalam adu jotos, kini secara alami kuat. Ia telah ditempa alam. Maka saat bosnya bilan, “Kurasa karena punya keluarga yang hebat, pelatih yang hebat.” Maka disambut, “Dan tangan kiri yang hebat.”
Hubungan baik dengan manajernya Joe Gould menjadilah landasan bangkit. Maka suatu hari saat Joe membutuhkan lawan tanding, promotor tinju untuk petarung muda, ia menghubungi Jim. Sempat ditentang Mae, sebab ia sudah pensiun, tapi karena keuangan tipis, tinju bisa jadi jalan pintas dapat uang. Joe tampak perlente, mobil bagus, jas keren. Maka Mae yang kesal, petinjunya kere, bosnya kaya, ia berinisiatif datang langsung ke tempat tinggal sang manajer. Apa yang didapat? Rumahnya melompong, ternyata Joe juga kere. Itulah falsafah Joe Gould selama ini: menjaga penampilan, dan tak pernah membiarkan lawan mengalahkannya.
Haha, sama saja ternyata. Yang paling penting adalah menjaga agar keluarga ini tetap bersatu. Jim berjuang setengah mati demi hal itu dengan mengambil sebanyak mungkin pekerjaan. Maka ia pun kembali turun gunung. Karena lama tak tanding, ia mengenakan perlengkapan pinjaman, jubah pinjaman, semua ala kadar. Hasilnya malah luar biasa, Jim menang KO. Secara instan namanya kembali diperbincangkan. Dan tentu saja ini menjadi jalan keluar kesulitan keuangan. Istrinya yang wanti-wanti hanya turun sekali lagi saja, jelas gagal. Seolah ia prajurit yang pulang dari medan perang. Seorang petinju, entah menang atau kalah, bakal selalu pulang ke rumah demi meraih kesetiaan tak tergoyahkan.
Kemenangan tak terduga Braddock atas John Henry Lewis ternyata menjadi mematik polemik. Johnston menyimpulkan Braddock lebih dari beruntung, ia menang bagus. Dan situasi membantu upayanya. “Pada siapa kau berterima kasih atas kemenanganmu pada Lasky?”
Pantai selanjutnya, Jim diminta benar-benar berlatih di sasana. Latihan resmi itu dibiayani Joe, dan apa yang ditempa profesional tentu saja kini menjadikannya kembali hebat. Di dok, di langsiran kereta, penampungan batu bara, berlatih dengan Jeannette tampak seperti liburan. Latihan alam telah mengeraskan hantamannya, latihan di sasana telah kembali memulihkan tenaganya. “Kabar baiknya adalah semua kerja keras dan kurang makan itu membuat tubuhmu langsing terbentuk, dan sekuat paku.” Dan kembali jadi nomor satu menemukan takdirnya.
Kebahagiaan tertinggi jelas sama keluarga. Saat ia kembali berpunya, mapan secara ekonomi dan batin ia malah bertanya-tanya bagaimana kebahagiaan semacam itu bisa tumbuh di tengah begitu banyak penderitaan yang merendahkan martabat. Lantas muncul ironis dalam lanskap tanya, “Setiap hari memperbaiki dunia, bagaimana dengan memperbaiki keluarga kamu?”
“Semoga yang terbaiklah yang menang”. Itu kata-kata bukanlah soal kemenangan. Tapi, tentang menjadi tipe manusia tertentu. Tipe manusia yang menjaga harga dirinya dengan bertarung secara jujur dan menghormati aturan. Karena protagonisnya Jim, maka tampak ia begitu jujur dan hebat. Saya sendiri pernah membayangkan, bagaimana kalau biografi mengambil sudut pandang yang kalah? Menarik bukan? Sekali lagi keduanya berdansa wals di atas kanvas, kanvas gores memoar. Kalau ada kesempatan, pasti dengan senang hati kubaca.
Saking miskinnya, ada adegan haru saat Jim bertarung, seluruh keluarganya tak tahu hasilnya, sampai dia pulang. Keluarga Braddock tak punya lagi radio – mereka sudah menggadaikannya bersama barang-barang lain, sehingga Mae dan anak-anak tidak bisa mengetahui hasil pertandingan malam itu. Mae biasanya telah terlelap saat sang suami menyelinap masuk, selepas tengah malam. Malam partai besar itupun tak berbeda. Bayangkan dengan era digital, semua orang normal tahu apa yang terjadi di arena tinju Amerika sana, dalam hitungan detik, dan bisa live komen di sosial media, saat itu juga! Gila ya.
Rasa malu itu hampir terlalu berat untuk ditanggung. Di era kapanpun, di manapun, kemiskinan selalu ada. Begitulah masa itu, banyak pengemis di kota. Antrean peminta bantuan yang tak berujung, sampai muncul penyataan, “Cacing-cacing yang berjalan seperti manusia.” Tinggal cara menyikapinya. Keluarga Braddock sendiri dididik keras untuk jujur. Ada adegan anaknya mencuri roti saking laparnya, sama ayahnya dimarahi, rotinya dikembalikan, meminta maaf, dan berjanji takkan mengulangi. Kemiskinan bisa saja menimpa, tapi harga diri dan kejujuran jelas di atas materi, tak bisa ditawar.
Jadi dimana julukan judul buku ini pertama muncul? Adalah seorang reporter yang mengulas laga keesokan harinya, seperti yang telah ditulis Damon Runyon, ia adalah “Cinderella Man”. Pada partai puncak ia jadi nomor satu. Sorak sorai penonton menggelegar langit-langit, menggema cukup keras untuk sampai ke balik dinding arena Garden, ke jalan-jalan sibuk Manhattan.
Dari Damon pula muncul kutipan terkenal dalam dunia tinju, “Siapa juri yang lebih baik: publik atau para pakar? Menurutku publik.” Katanya, ini jadi patokan saat melawan juara bertahan atau unggulan, jalan satu-satunya yang terang untuk jadi pemenang hanyalah merobohkan lawan, meng-KO-nya, jangan andalkan juri! Tak hanya di era lama, sampai saat ini di zaman canggih pun, muncul spekulasi kenetralan juri.
Buku ini berdasar skenario film yang dibuat oleh Cliff Hollingsworth dan Akiva Goldman, saya sudah menyaksikannya di vcd lama sekali. Namun agak lupa, Cuma bagian ronde-ronde genting saat jadi juara itu yang tersisa. Sosok Russel Crowe yang hebat itu, mungkin perlu tonton ulang, sama May biar lebih nikmat.
Lalu sepintas lewat ada kalimat ini, “Seorang pria bernama La Guardia menjadi wali kota.” Tahu nama ini di film Sully, jadi nama bandara. Apakah dari nama yang sama? Entahlah, perlu baca beberapa buku lain buat literasi.
Apa yang didapat dari buku kecil ini? Jelas kerja keras dan kerja cerdas, harapan akan selalu ada bagi hambanya yang berjuang. Jangan pernah sia-siakan kesempatan, tetap menempa diri sekalipun sedang tak ‘bertarung’, dan sebagai penutup saya bagikan kutipan komentator radio yang menyatakan betapa Jim adalah sosok luar biasa, sekalipun kena hantam keras. “Tapi, Braddock tak hanya berdiri… ia bergerak maju… dengan gagah berani melayani lawannya.”
Cinderella Man | by Marc Cerasini | Diterjemahkan dari Cinderella Man | Terbitan HarperEntertainment, New York | Based on the screenplay Cliff Hollingsworth & Akiva Goldman | Copyright 2005, Universal Studio | Penerjemah Utti Setyawati | Penyinting Yus Ariyanto | Penerbit Dastan Books | Desain sampul Expertoha Studio | Cetakan 1, Juni 2006 | 408 hlm.; 12.5 x 19 cm | ISBN 979-3972-06-8 | Skor: 4/5
Buku ini dipersembahkan untuk Antonio A, Alfonsi dan John F. Cerasini
Karawang, 260122 – Linkin Park – Frgt
Thx to Fatika Bookstore, Jakarta