
“Berharaplah Mrs. March, hanya itu yang bisa dapat kita semua lakukan.”
Ini semacam sekuel tak resmi dari cerita keluarga March dalam Little Women series karya Louis May Alcott, dengan label di muka ‘diilhami’. Karena selama ini yang kita tahu hanya keluarga March yang ditinggalkan perang Marmee dan empat putri kesayangan, maka Geraldine Brooks berinisiasi mencerita nasib sang ayah/suami di medan perang, menyandang sebagai pendeta tentara, kita diajak mengarungi kerasnya masa itu. Cinta dan segala hal esensi kehidupan diramu dengan sangat bagus. Bertahan hidup tentu saja jadi hasrat manusia di posisi tertinggi, demi keluarga yang menanti, demi harga diri.
Cerita Alcott mengisahkan bagaimana setahun kehidupan di tepian perang telah menempa kepribadian para wanita kecil itu, dari Natal ke Natal tahun berikutnya, tetapi bagaimana perang itu telah mengubah March sendiri dibiarkan tak terungkap. Kebenaran tidak terjangkau oleh imajinasiku waktu itu, sampai akhirnya kita diajak berpetualang langsung di medan perang. Ungkapan pahit ini memberi kita gambaran betapa perang itu dibenci umat manusia. “Aku bersyukur aku hanya memiliki anak perempuan, dan tak punya laki-laki.”
Ini buku tentang perasaan yang kuat: cinta dan takut. Membayangkan perang bagi seorang pendeta Union yang memiliki keyakinan abolisionis dan transendentalis Bronson Alcott. Tokoh utama harus hidup di dalam alur cerita Little Women. Idenya tampak eksotik, banyak alur seperti ini dibuat, rerata gagal karena riskan dan rapuh, tapi kali ini Brooks berar-benar sukses.
Awal mulanya bagus, “Rumah tangga yang baik mirip dengan seminari masyarakat, suatu tempat yang tenang, indah, dan tertib.” Namun di ujung muncul pertanyaan, rumah tangga yang baik itu yang bagaimana? Setia tanpa kompromi? Ataukah rela berkorban demi kebahagiaan pasangan dengan maaf membuncah? Atau kepentingan anak-anak di atas segalanya? Arti ‘rumah tangga yang baik’ jadi sangat lebar untuk dikupas.
March menjalani wajib militer di perang saudara Amerika abad ke-19. Ia meninggalkan keluarga, seorang istri Marmee March dan empat anak perempuan. Menjalani kehidupan dalam kecamuk perang, sebagai ayah yang dicerita selama ini, dengan surat-surat romansa dan kerinduan membuncah, ia juga manusia yang memiliki sisi negatif. Sebagai vegetarian, ia ditunjuk sebagai pendeta. Tugasnya memang di belakang garis, tapi tetap saja mengkhawatirkan. “Sebagai pendeta tentara, aku tidak diberi perintah, jadi aku berada ditempat yang kuyakini paling bermanfaat.”
Berada di pihak Union, March berpedoman tak membunuh. Sejatinya mau di pihak Union atau Konfederasi, tak terlalu berbeda sebab sisi kemanusiaan ada di atas keberpihakan. Ia mendoakan bagi para tentara terluka, mengajaknya menyebut Tuhan di setiap helaan napas. Membawakan bekal makanan, menjalin komunkasi dengan warga di sekitar lokasi perang, dan pada akhirnya menjalin asmara dengan seorang wanita kulit hitam di sebuah keluarga ningrat. “Aku dapat memperoleh makanan spiritual di geraja, karena aku hanya menemukan ritual basi dan muluk di Utara.”
Karena ini mengambil sudut pandang March yang galau, kita jadi tahu isi macam-macam kepalanya. Kesepian, jauh dari rumah, remuk secara emosional. “Terlalu banyak di antara kami yang, demi mencari laba, menukar kejujuran dengan kelicikan, kesopanan dengan kekasaran.”
Grace sang budak tampak istimewa, sebagai pelayan ia menjadi satu-satunya yang bertahan di lingkaran keluarga Canning di perkebunan Oak Landing, padahal semua budak sudah kabur melarikan diri. Ia ditahan? Tidak. Ia diberi kekebasan bila mau keluar. Ada rahasia besar, jadi kepikiran, timing hidup berperan besar akan nasib hidup. Orang kulit hitam di masa itu sungguh bernasib sedih.
March yang memang hobi baca, jadi betah tiap berkunjung ke keluarga Tuan Canning. Di sana berderet buku-buku yang jadi impiannya tinggal, seperti surga katanya. Dan juga bisa dekat dengan Grace. “Sejak dulu aku membayangkan surga mirip perpustakaan. Sekarang aku tahu bagaimana rupa tempat itu.”
Tuan Canning sendiri memiliki nasib tragis atas anak-anaknya. Uang bukan jaminan bahagia jadi nyata di sini. Makanya ada satu ‘anak’ lagi yang coba dijaga, tapi tersamar. Tampak kejam di luar, sejatinya mendamba hingga gila. Oh dunia fana yang kejam dan menyakitkan.
Suka sekali sama karakter kutu buku, tak peduli di era manapun. Apalagi membumi seperti ini. artinya sebanyak apapun ilmu yang dilahap, ia tetap haus dan tak sombong. “… Jika kukatakan aku lebih tertarik menabung kekayaan pikiran.”
Kesendirian bukanlah kawan bagi ilmu pengetahuan. Tiap ada kesempatan, ia menulis surat kepada keluarganya. Surat-surat yang kita baca di novel itu. Semangat Jo saat tukang pos datang, keceriaan membacai kata-kata. Kita jadi tahu proses kreatifnya. “Kebenaran menyusut dengan setiap kata yang kutulis.”
Rahasia asmaranya terbongkar, ia kena hukum. Terusir. Sedih, tapi memang sejatinya salah jua. Sampai akhirnya ia sakit keras, dia terkena penyakit kuning dan paru-paru basah. Di level sekarat, yang dalam buku, istrinya terpaksa datang langsung naik kereta api ke rumah sakit.
Nah, bagian ini sungguh emosional. Dengan sudut pandang Marmee, merawat suaminya dan dengan kelapanagn hati, momen membuncah melepas rindu dengan keadaan badan terluka. Apa yang didapat tak seperti yang dibayangkan, sebab wanita lain itu disebut dalam igauan, bukan sekadar ceracau asal, tapi lembut dengan kasih menghantam sanubari. Merusak mood, hingga memertanya arti kesetiaan. Bagaimana akhir perjalanan March, kita tahu di Little Women bagaimana, akhir bahagia, tapi ternyata ada duri yang menelisik di sana. Dunia orang dewasa penuh rona dan labirin rasa melimpah. “Aku tersenyum, tetapi senyum itu mati di bibirku.”
Ada bagian pasrah ikhlas saat March salah investasi sehingga sang istri akan tetap berada di sisinya. “Aku tak pernah menyalahkan suamiku karena menghamburkan seluruh harta kami untuk usaha Brown.” Bukankah di zaman kita yang namanya dana investasi juga tak bisa ditebak? Dunia ini tak bisa diprediksi dengan jitu. Alangkah mudahnya memberikan remah-remah nasehat bijak, namun alangkah sulit menjalaninya. Sesal, itu muncul belakangan.
Sebagai novel pemenang Pulitzer for Fiction 2006. Imaji Brooks luar biasa. Ingat, sulit sekali mencipta dan mengembangkan kerangka ajaib yang sudah terkenal. Little Women itu novel klasik, sakral. Ini dengan pede dibuat sisi lain, mana sukses berat pula. Puitik dengan bilur-bilur kata enak diikuti. Seperti pengakuan sang penulis di sisi catatan akhir, bahwa; “Hal yang menarik bagiku dalam fiksi sejarah adalah pengambilan catatan faktual sejauh yang diketahui, menggunakan itu sebagai perancah, lalu membiarkan imajinasi membangun struktur yang mengisi hal-hal yang tak mungkin diketahui dengan pasti.”
Ini buku pertama Geraldine Brooks yang kubaca. Tentu saja masuk daftar penulis patut kejar karya-karya lainnya. Novel ini banyak membahas iman dan prahara, dan saya suka.
Kapten March | by Geraldine Brooks | Diterjemahkan dari March | Terbitan Penguins Books, Ltd. | Copyright 2005 | Penerjemah Femmy Syahrani & Herman Ardiyanto | Penerbit Hikmah | Pewajah sampul Windu Tampan | Pewajah isi Dinan Hasbudin AR | Penata letak elcreative26@yahoo.com | ISBN (13): 978-979-114-065-2 | ISBN (10): 979-114-065-0 | Cetakan I: Mei 2007 | Skor: 5/5
Untuk Darleen dan Cassie – yang sama sekali bukan wanita kecil
Karawang, 200122 – 250122 – Sabrina – Price Tag (akustik)
Thx to Buku Aja, Yogyakarta