Nama Saya Tawwe Kabota

Nama Saya Tawwe Kabota

“Aku suka kakak Bulu sama seperti aku menyukai laut.”

Apa yang akan kunikmati dari kenangan masa lalu itu? Cerita sungguh sinetron. Hanya setting tempatnya dipindahkan ke Indonesia Timur. Dramanya juga standar, bagaimana cinta yang terluka lantas melampiaskan ke orang lain yang lantas memiliki anak, adat melarang zina, masa berlari di jauh hari kemudian, di hari tua ia bertemu dengan salah satu tokoh yang ia kenal tanpa sengaja. Nah, tipikal sinetron ‘kan? Judulnya bisa jadi, “Rekan Kerjaku dari Amerika Ternyata adalah ****ku Sendiri.” Atau bisa lebih sinetron bisa juga, “Dunia Bulu.

Kisahnya tentang Bulu yang sejatinya sudah dijodohkan dengan Ghole, perempuan satu suku. Mereka berdua dari keluarga yang sangat memelihara teguh adat Merapu turun temurun sejak moyang. “Kadang, cintaku pada Ghole sekuat benciku padanya.” Namun waktu telah menempa keduanya untuk menemui kerasnya kehidupan. Kuliah di Bali, masa muda yang menggairahkan itu kebablasan. Bulu malah menghamili wanita asing bernama Kalli. Wanita merdeka yang tampak cerdas dan membuncah. Merokok, menjunjung feminism, merdeka. Sesuai adat di sana, di daerah Merapu, Nusa Tenggara Timur. Maka dilakukan upacara buang sial. Upacara pelepas aib atau biasa disebut Tawwe Kabota.

Hiruk pikuk kemudaan akan bermuara pada kesendirian dan kekerontangan. Lantas apakah Bulu menyesal? Dalam sebuah kejadian aneh, justru menyaksi Ghole mencium sahabatnya dari luar negeri, mereka lesbi! Ya ampun, tema buku malah absurd. Keputusan-keputusan tak kalah aneh berikutnya terjadi, dan memang, dunia orang dewasa itu keras sekaligus membingungkan.

Lantas di masa kini, Bulu sudah jadi arkeolog, laki-laki kampung sarjana arkeolog tua lebih tepatnya, lajang sebab ada ‘musibah’ yang menimpa Kalli. Ia mendapat tawaran pekerjaan dari sebuah intitusi luar negeri untuk melakukan penelitian di Kupang. Dan pekerja-pekerja lain dikirim untuk jadi admin, staf, dan asistennya. Kejutan disampaikan, tapi sungguh terasa sinetron, sebab hal-hal dramatis sejenis itu hanya ada di TV dengan zoom dan skoring jreng-jreng-jreng membahana. Apakah kejutannya?

Beberapa nasehat juga disampaikan. Yang ini pernah baca: “Tiga hal yang tidak akan kembali, kata-kata yang telah diucapkan, waktu yang sudah pergi, dan kesempatan yang terbuang percuma.” Hanya dimodifikasi sahaja, salah satunya adalah “anak panah yang melesat dari busurnya” untuk kata-kata kesempatan.

Lalu hikayat Sysyphus juga disinggung, “Karena tak ada lagi siksaan yang lebih parah daripada mengerjakan suatu pekerjaan sia-sia.” Kita tahu cerita makhluk pendorong batu ke bukit, yang lantas menggelinding lagi ke bawah. Dilakukan lagi mendorong batu, menggelinding lagi, dst. Capek, tapi ini kewajiban Bro. Sedih ya? Apakah kehidupan juga seperti itu?

Atau nasehat tentang kesempatan. “Kehidupan telah memberiku kesempatan namun kebodohan telah merampok daging dan pikiranku sehingga memberiku impian yang terus saja merontok.” Tentu saja semua orang memiliki waktu selama hidup, hanya beda-beda persepsi, penggunaan, durasinya. Masa muda memang masa yang luar biasa, maka masa itulah kesempatan emas sejatinya.

Atau tentang mengenal sifat manusia? “Jika ingin tahu siapa orang itu, seperti apa budayanya, kunci utamanya adalah lihatlah apa yang dimakannya.” Ya, bisa jadi. Tapi makanan hanya salah satu indikator. Kebiasaan yang lebih luas bisa menjadi patokan. Kalau dalam ilmu sosiologi ada dua hal pembentuk karakter seseorang: kebiasaan dan tingkah laku.

Bukunya tipis sekali, dicetak mungil seperti buku saku, dan jumlah halamannya hanya seratusan. Kubaca sekali duduk pada 11.12.21 saat jadi sopir keluarga ke Mal Resinda Park, Karawang. Kutuntaskan di parkir lantai basemen. Buku pertama Mezra E. Pellondou yang kubaca, ini adalah buku keduanya setelah Loge. Terlihat beliau memiliki semangat menggebu untuk menulis cerita, patut dihargai dan dinanti. Walau buku ini terbaca biasa saja, semangat dan misinya luar biasa. Baik, kita lihat saja apakah blog ini akan mengulas buku karya beliau lainnya suatu hari nanti.

Nama Saya Tawwe Kabota | by Mezra E. Pellondou | Cetakan I, Mei 2008 | ISBN 978-979-168494-4 | Penyunting Raudal Tanjung Banua | Desain isi Adi Samara | Desain sampul Nur Wahid Idris | Gambar cover Katrin Bandel | Penerbit Frame Publishing | Skor: 3/5

Untuk tiga lelakiku: Adi, Mujizat, dan Amsal

Karawang, 200122 – Eagles – Hotel California

Thx to Jual Buku Sastra, Yogyakarta