
“Sepertinya dunia sudah terlalu kompleks untuk jawaban sederhana.”
Tampak dingin. Tampak hening. Film perjalanan, dengan kecamuk masalah dalam kepala, seorang pria melakukan perjalanan melintasi laut dan Negara untuk menemui ibunya, yang di matanya sungguh bermasalah seakan ingin ia ledakkan. Ia mantan atlit renang hebat yang menekuri kebimbangan. Berkenalan dengan pria asing, agak nakal tapi nyatanya tak senakal itu, saling melengkapi, menghargai, dan dari keisengan jadi membuncah. Sepanjang perjalanan, yang satu melontarkan pertanyaan, yang lainnya menjawab. Ya, dalam perjalanan inilah orang belajar sabar. Inilah film Yunani yang mewakili Oscar tahun ini, tak masuk daftar pendek.
Kisahnya tentang Victor (Vasilis Magouliotis) di Yunani, yang tinggal sama neneknya yang sakit menua. Dengan sepedanya ia menjenguk, mengirim bunga, dan tak lama kemudian neneknya meninggal. Ia kini sah sendirian, maka gegas hubungi ibunya yang kini sudah menikah lagi dan tinggal di Jerman. Ibunya tak bakal sempat datang di pemakaman, dengan seremoni sederhana, ia mengantar neneknya ke peristirahatan terakhir.
Victor lantas melakukan perjalanan, jauh ke Jerman menemui ibunya, menemui adik tirinya yang akan merayakan ulang tahun. Dengan uang pas-pasan, menjual medali renang yang ia punya, mobil tuanya dibuka selubungnya, kembali diaktifkan, mulailah ia berpetualang. Mobilnya tua dan polos. Tak ada stiker bumber. Tak ada apa pun yang menunjukkan afiliasi politik, nurani sosial, atau tim olahraga favoritnya. Tak ada apa pun kecuali kesederhanaan.
Sendiri, bermobil lintas Negara, naik kapal feri. Di atas lautan itulah ia berkenalan dengan pemuda, tukang curi. Mengambil roti di kantin kapal, menawarinya separuh, ditolak. Victor mendengus dan menggelengkan kepala perlahan-lahan. “aku mengambilnya, karena harganya yang kemahalan.”
Pasif, berbohong ia tak berkendara, males kenalan sama pencuri. Namun memang keadaan memaksa mereka kembali bertemu dan pada akhirnya menjadi teman jalan. Mathias (Anton Weil) adalah seorang petualang, ia juga mau ke Jerman. Dengan melihat orang tersenyum, sebenarnya kita tahu betapa sifat orang itu, dan apabila tersenyum tulus seseorang yang baru pertama kali berkenalan dengan kita enak kedengarannya, bolehlah kita percaya, bahwa ia seorang yang baik. Sudah bisa ku tebak, Mathias akan jadi teman perjalanan yang hebat.
Ia bisa bahasa Italia, menyarankan lewat selatan agar bisa menikmati pemandangan menakjubkan, mandi di danau, mampir ke pesta perkawinan. Banyak adegan lucu akan kekakuan tindakan, pesan makan, yang mengenyangkan tapi murah. Ada polisi lalu lintas, oh tidak ada SIM. Dansa-dansa bernuansa keceriaan. Ada saat-saat mereka berbagi rokok, bukan karena ingin berhemat, tapi tersebab metafora kebersamaan. Rokok itu terasa rapuh di antara jemarinya. Hingga pada keputusan penting, apakah mereka akan terus bersama atau berpisah di jalan?
Penumpang menanyakan acak hal-hal yang pernah dilakukan Sopir di masa lalu, dan dijawab sambil lalu. Dalam perjalanan jauh ini dua orang asing saling melengkapi, terjadi tautan kuat, walau perbedaan pandangan beberapa kali muncul. Lantas, saat kita sampai di garis finish, apakah kepuasan yang didapat? Ataukah kemuakan akan kerinduan masa lalu yang takkan terulang?
Karena ini film perjalanan, kita disuguhi pemandangan indah di setiap sudutnya. Victor yang penyendiri mendapati hal-hal baru, pengalaman baru, ia seolah mendapat seseorang dengan titik temu yang klop. Dengan ditanya, ia dipaksa menjawab, dengan menjawab maka terjadilah komunikasi, secara otomatis lempar tangkap pembicaraan ini menjadi alur, Victor mencurahkan kemasygulannya. Dalam perkataannya tersembunyi ketetapan.
Drama perjalanan memang selalu menarik. Kita tak tahu ada apa di ujung perjalanan itu, apalagi walaupun ia seorang tenang, sejati memendam amarah. Ini bisa jadi bahan renungan. Riak-riak yang muncul juga terlihat realitis, dan dalam pendewasaan ia berhasil menyingkirkannya. Entah di tahun berapa setting film, ia masih mengandalkan peta kertas lebar yang dibentangkan, bukan Google map yang lebih praktis. Kejadian di hotel itu ditampilkan refleks, tak niatan menghadirkan seksualitas, tergambar mereka normal, tapi saat akhirnya terjadi kita seolah memakluminya, sebab ini sudah iradat Tuhan.
Tujuan kita semua adalah kemerdekaan. Maka akhirnya pertemuan terjadi lantas muncul rasa untuk memaafkan, sekaligus dimaafkan, di situasi seperti itulah kita semua sejatinya telah merdeka.
The Man with the Answers | Year 2021 | Greece | Directed by Stelios Kammitsis | Screenplay Stelios Kammitsis | Cast Vasilis Magou;iotis, Anton Weil, Pier Andrea Bosna | Skor: 4/5
Karawang, 190122 – Stan Getz – Tenderly