Penjual Bunga Bersyal Merah

“Bunga yang kucari benar-benar bunga yang menggambarkan kesedihan. Bunga yang menggenapkan luka.”

Apa yang bisa saya kupas? Ceritanya abu-abu, beberapa tampak tak wajar. Tak serta merta langsung terpahami sebab disampaikan dengan diksi tak umum. Butuh beberapa detik untuk klik tiap beberapa paragraf, walaupun tak rumit-rumit amat, tapi tetap saja intinya tak linier. Beberapa memang berlanjut, beberapa cerita sudah lepas landas. Tak perlu kerut kening memikirkan inti cerita, mengalir sahaja sebab seperti hidup ini, tak perlu pusing-pusing mau kemana, yang utama dan pertama adalah saat ini, bukan berlebih mengkhawatirkan masa depan apalagi masa lalu yang sudah dilindas kenyataan. Bahagia itu kapan? Sekarang! Sebab orang yang tidak bahagia akan padam perlahan-lahan.

Jangankan sebulan dua bulan, tak sampai seminggu inti buku ini sudah terlupakan. Kalau ditanya kisahnya tentang apa, sederhananya mengacu pada judul, tentu akan teringat adegan jual beli bunga. “Tuhan yang melakukannya agar aku sampai pada takdirku terlahir sebagai penjual bunga kesedihan.”

Cerita sejenis ini akan hanya masuk memori sesaat, renamen. Tancapan pakunya tak kokoh. Entah, mungkin plotnya yang biasa, atau dasar pijaknya tak kuat. Walaupun begitu, ada dua yang lumayan bagus. Pertemuan di mimpi yang tak bisa kita kendalikan dan kita bisa apa saat mimpi tak bagus, kita terpaksa menyapa dan melanjutkannya ‘kan? Kita tak sadar ini adalah mimpi, ini adalah dunia antah surantah, apa saja bisa terjadi, “Hanya saja, karena janji itu terjadi di dalam mimpi, maka aku tidak bisa menolaknya.”

Dan kesempatan kedua di cerita akhir. Bukan sebuah penyesalan saat kita memutuskan sesuatu, hidup pilihan, saat sudah memilih lubang cacing ini, maka kamu hanya bisa maju terus, entah apa yang kamu temui di ujung lubang pilihan itu, memang itulah jalan takdir. Sudah digariskan, kita hanya jalani, merangkak menyusuri cahaya dalam lubang. Lantas saat kesempatan kedua itu ada, bahwa kamu menemukan lubang cacing lain yang memberi semacam perulangan nasib yang tak dipilih, tanpa perlu membengkokkan luka, atau meneriaki dinding lupa penuh amarah, akankah diambil? Hanya dijawab, hatinya megar. “Aku tahu kau perempuan yang hidup dengan mimpi-mimpi besar.”

Banyak metafora, pengandaian dengan kupu-kupu sebagai binatang buruan. Bunga sebagai cinta, dan juga kesedihan, atau patung, sebuah benda seni yang dicipta dengan ketelitian rumit. Menyenangkan sejatinya permainan psikologis, pengandaian sebagai tunggangan. Rona-rona dunia bawah sadar, gilda-gilda puitik, atau lontaran tanya sebenarnya penulis bermaksud apa? Atau mau ke arah mana, sedikit banyak libatkan pembaca, ajaklah emosi bersama dengan tokohnya. Namun balik lagi, yang utama adalah cerita. Lelaki Harimau bisa begitu hebat, sebab twist-nya disimpan di ujung. Menuju ke sana kita harus sabar, perjalanan itu tetap menyenangkan. Cerita, utama.

Di halaman 161, ada dua paragraf penuh dengan pengulangan nama Cesel. Paragraf pendek itu terdapat 11 kata itu. Bacanya sampai kesel. Ada satu lembar cetak dobel. Ga papa sih kalau dobel, yang masalah cetak kurang. Di Toko Kue Yosilia, halaman 195-196 terdapat dua.

Nama-nama tokohnya modern atau sudah kena hok racun abad ini, tak ada Joko, Budi, Agus, atau segala nama berawalan Su- yang berarti baik. Inilah yang membuat cerita ini malah ngawang-awang. Sudah ceritanya dituturkan dengan melingkar, nama-nama karakter juga tak lazim. Simak saja: Maganda, Bibo, Martina, Dora, Lili, Landra, Kae, Odera, Masya, Tanalia, Cesel, Shana, Nomimi, Niceli, Norm, Nenek Ce, Yosilia, Loneli, Marinda, Tara, Jiro, Vivin, Derapu, Lucy, Anan, si kembar Nadhira Nadhiva. Lihat, tak satupun ndeso. Kalau saya diberi kesempatan menulis, hal sederhana seperti ini takkan kulakukan. Tak membumi, tak baik, terlalu ke-Barat-an. Kalau setting cerita misal di Middle Earth, dunia antah rekaan, kita maklum ada nama Bilbo atau Frodo, masalahnya cerita ini di Indonesia, dimana Mas Agus?

Sepintas lalu, saya menemukan pos di media sosial sebuah foto presensi anak-anak sekolah dengan kerumitan nama, bahkan ada yang berisi huruf konsonan dominan, di sini sudah diwakilkan. Masalahnya, pos itu rerata isinya hujatan, atau setidaknya kekesalan. Name, now day…

Ambil contoh beberapa buku lokal akhir-akhir ini yang kubaca. Jatisaba, tokoh utamanya bernama Mae, bukan May atau Mey, tapi Maesaroh. Membumi bukan? Saya suka sekali Jatisaba. Segala yang Diisap Langit tentang Sumatra seabad silam, nama tokohnya Bungo Rabiah. Membumi sekali ‘kan, saya suka. Rekayasa Buah, di zaman masa depan. Tokoh-tokohnya aneh semua, rekayasa murni, ngawang-awang. Rekayasa Buah mencipta banyak sekali varian kata baru yang bikin kzl, seolah turut merasakan buah busuk dilahap, pengen muntah. Saya memberi rate buruk, sangat buruk. Damar Kambang, setting Madura isinya nama-nama daerah sana seperti Kacong, Cebbhing, dan tradisi karavan sebagai tunggangannya. Sudah sungguh pas. Bagus banget. Lihat, setting menentukan kebiasaan, budaya, tradisi, dan tentu saja juga penamaan tokoh. Satu lagi deh, contoh buku Bibir karya Krishna Mihardja, itu penamaan tokohnya membumi banget, dari Dimas hingga Rini, dari Sastro sampai Gimin. Saya suka sekali, cerita kritik sosial membumi sejenis ini.

Karena saya tak bisa gambar dengan bagus (Ciprut pintar sekali bikin ilustrasi di segala tempat), ilustrasinya berhasil melukiskan sekelumit kejadian. Pada dasarnya saya mudah suka pada hal-hal yang tak umum atau tak kubisai. Menilai buku/film misalnya, itu umum dan rutin. Makanya kalau ceritanya sekadar repetitif, alai, atau biasa ditemui, nilainya pasti kecil. Karena sastra tak banyak yang mencantum ilustrasi di dalamnya, makanya mudah jatuh hati. Di sini, setiap cerita/bab ada gambarnya. Suka.

Terakhir, sebelum kututup catatan ini, ternyata bukan dua cerita yang tersisa lekat di ingatan. Satu lagi yang justru paling bagus adalah pertemuan di kafe tentang penantian. Orang asing yang ngopi, disapa, menanti kekasih yang tak kunjung datang, lantas ia malah cinta. Dan ia menggantikan kedudukannya. Bisa-bisa, agak lebai tapi nalar replacement sejenis ini masih sangat bisa diterima, dengan terbuka. “Cinta macam apa yang bisa tumbuh pada gadis yang sedang patah hati?”

Penjual Bunga Bersyal Merah dan Cerita Lainnya | by Yetti A. KA | Penyunting Mahajjah Saratini | Penyelaras akhir RN | Ilustrator Isi Amo | Tata Sampul Joni Ariadinata | Lukisan Karya Arif Bahtiar (drawing.ink on paper) | Tata Isi Violetta | Pracetak Antini, Dwi, Wardi | Penerbit Diva Press | Cetakan pertama, Juni 2016 | 224 hlm; 14 x 20 cm | ISBN 978-602-391-180-6 | Skor: 3.5/5

Karawang, 180122 – Manhattan Jazz Quartet

Thx to Ade Buku, Bdg