
“Aku juga baru mendengar belum lama ini. Dulu kita masih kecil, Mae. Semua tampak indah tanpa masalah. Begitu sudah menjadi ibu seperti aku ini, kulit keindahan dunia terkoyak, dan tampaklah borok-borok tersembunyi itu.” – Musri
Bagus. Ini adalah novel kedua Ramayda Akmal yang kubaca setelah Tango dan Sadimin yang luar biasa itu. Cerita masih berkutat dalam realita muram kehidupan kampung dengan segala problematikanya. Kali mengangkat isu pemilihan kepala desa, buruh migran, dan kenangan masa kecil yang menguar mengancam. Dedikasi akan kampung halaman bisa berbagai macam cara, tapi merenggut para pemudi untuk diangkut ke negeri seberang dengan berbagai iming-iming, dan tahu bakalan amburadul, jelas bukan dedikasi yang laik ditiru. Sayangnya, ini bukan isapan fiksi belaka.
Kisahnya mengambil sudut pandang orang pertama, Mae yang dalam pembuka dinarasikan pulang kampung. Ia adalah juga buruh migran, naik pangkat sebab ekonominya sedikit terangkat. Punya koneksi dengan orang-orang penting. Ia mudik bukan sekadar nostalgia menikmati kenangan, tapi mengemban tugas merekrut para wanita untuk dijadikan Tenaga Kerja Wanita (TKW) asing ke negeri Jiran.
Secara bersamaan sedang ramai kampanye pemilihan kepala desa, dengan tiga kandidat. Dan seperti yang kita semua tahu, pilkades selalu ricuh, anarki, korupsi di mana-mana, segala cara kotor disajikan demi kemenangan. Di sini jelas dibahas banyak, dominan malah sebab sebagai kuda tunggangan Akmal untuk memuluskan plot utama.
Mae tinggal sama saudaranya, Sitas yang hidup susah. Jualan cendol, kamar kumuh, di belakang rumah bau kandang bebek. Gambaran hitam keluarga miskin dengan mengalir saja kehidupan. Mae tentu saja mengeluarkan banyak kocek demi melancarkan aksi, ia seperti berdiri di tengah-tengah dua kandidat Juragan Jompro dan Mardi. Secara umum jelas ia menjadi juru kampanye Jompro sebab calon ini membantu administrasi bagi calon TKW yang direkrut, ada pula pelindung sekaligus pelaksana pelancar misi perekrutan, Malim yang sudah tahu luar dalam Mae. Kadang hitam, kadang putih, kadang bukan keduanya.
Tapi sedikit banyak Mae juga condong ke calon Mardi, karena di sana ada sobat masa kecil yang dulunya adalah cinta monyet Gao, dulunya pemain Ebeg Jayeng Wisesa yang bubar sebab kasus rumit tentang salah lempar tuah. Walaupun tentu saja, ia muak sama pilkada, sama seperti kita semua.
Calon lainnya tak terlalu dieksprore Joko, tapi ternyata sama berbahayanya. Ketiganya mengeluarkan modal yang sungguh banyak. Janji-janji diumbar, sembako dibagikan, uang dilipat dan disalurkan. Bahkan cara buruk dengan mengintai dengan ninja dilakukan. Mae, ada dalam pusaran itu. Kebimbangan adalah wajar, siapa sih yang tak gentar di posisi dilema saat ancaman muncul di banyak penjuru? Hingga akhirnya keputusan-keputusan dibuat dengan konsekuensinya masing-masing. Endingnya bagus, tak tertebak. Bukan bagian tawonnya, tapi bagian mata-mata yang mengembara itu tak jauh dari jangkauan tangan.
Sedikit kita kupas beberapa hal yang menggelitik di sini. Calon pertama Jompro, seorang yang egois sebab tidak peduli kepada apa pun, kecuali perasaannya sendiri. Ia mengabdi untuk dirinya sendiri. Dalam negosiasi bahkan ‘memakai’ Mae. Duitnya banyak, tapi jelas sungguh gilani. Calin kedua, Mardi sama buruknya. Polos mungkin, tapi naïf juga. Banyak mengapa bila dipandang dari sisi awam, ia mengeluarkan duit tapi juntrungnya tak jelas. Ada nada kasihan, tapi ya birokrasi politik memang kejam. Ketiga, Joko. Sejatinya diluar lingkar kisah utama Jatisaba, tapi halaman terakhir buku ini malah memberi pengesahan betapa pilkades di manapun tuh bobrok.
Tahun lalu, saya saksi sendiri. Di desaku di Karawang, pilkades mawut. Money politic dilakukan terang-terangan. Uang digelontorkan bak air bah ke warga. Perbiakan jalan, pembagian sembako, amplop diedarkan dengan lancar, stiker dukungan dipasang di tiap pintu, yang lantas serangan fajar dilakukan. Lempar tulah, ancaman dukun, sihir hitam tak lepas dari lingkaran. Saya sendiri tak ambil amplop manapun, saya malah pilih calon minor, dan tentu saja kalah, tak mengapa. Setidaknya saya berpartisipasi politik, pernah dengar jargon, “Pilihlah yang buruk dari yang terburuk.”
Mempunyai kenangan indah itu memang berisiko besar. Ketika mengingatnya, seluruh kebahagiaan di dunia seolah dihadiahkan kepadaku. Itulah kenangan. Kenangan adalah kehilangan terbesar. Suka sekali bagian nostalgia. Kita semua memiliki masa kecil yang bahagia. Hal-hal kecil di masa lalu seperti itu terasa sangat indah dan berarti bagi kita semua. Di sini tentu saja dimofikasi, “kenangan bisa menggerakkan seseorang menjadi begitu kejam.” Dan dengan bigitu kita mampu memasuki babak imaji, dan konfliks yang disaji bisa dinikmati.
Suka sama kalimat ini, “Setelah gemuk dan kenyang oleh angan-angan, aku akan memasukkan mereka satu per satu ke mesin pemotong, seperti nasib ayam legorn. Berpesta sebentar sebelum kemudian disembelih.” Sebuah pengandaian pas betapa saat kita mengingin sesuatu, kita membuai target. Target bisa apa saja. Di sini, para calon korban TKW. Sedih, dengan fakta, “… kemudian disembelih.” Berita kematian TKW memang sudah sangat sering muncul di berita, tapi kenyataan pahit di daerah bagi keluarga kurang mampu tetap saja memaksa keluar kandang. Perdagangan manusia yang terus terjadi, terus berulang.
Novel ini memang Sayembara Novel DKJ 2010. Biasanya naskah yang menang, naik cetak tak lama berselang dari tahun penyelenggaraan. Entah cetakan mulanya di mana, di sini hanya dicantum dicetak kembali pada Maret 2017. Walau bukan jaminan pemenang DKJ bakal memuaskan pembaca, tapi setidaknya ada saringan handal para panitia. Dan kali ini sepakat, ini buku bagus. Mungkin sedikit dibawah Tango, yang benar-benar matang dan menghentak. Namun jelas, karya-karya Ramayda laik dinanti. Dua buku memuaskan jelas bukti sahih, dia salah satu penulis lokal paling handal.
Catatan kututup dengan nada sentimental. Dulu awal-awal merantau saya merasakan kegetiran perpisahan. Dengan orangtua, dengan saudara, dengan orang-orang terkasih. Dan tentu juga desa kecilku di Palur. Mengingat itu mencipta anak sungai air mata. Masa muda yang takkan kembali. Namun, pemuda memang pantasnya merantau, menemui banyak petualang. Maka pas sekali kalimat ini saya kutip, “Kenikmatan perpisahan justru ada pada ketidakrelaan kita untuk pergi.”
Jatisaba by Ramayda Akmal | Penerbit Grasindo | 2017 | Dicetak kembali pada Maret 2017 | 57.17.1.0017 | Penyunting Septi Ws | Perancang sampul Studio Broccoli | ISBN 978-602-375-871-5 | Skor: 4.5/5
Karawang, 120121 – Richie Hart – Blues for the Half Note