
“Go to university. It will be good for your mental health too.”
Keinginan merubah nasib, mengikuti ujian kuliah di kampus berujung petaka, sebab dilakukan dengan tatacara curang. Dengan opsi, kalau engga kuliah ya nikah, maka dilema itu makin berat sebab perempuan, dengan menikah maka kebebasan menentukan nasibnya sendiri otomatis terdistorsi. Sang kakak mencoba memberi solusi dengan berbagai cara curang untuk lolos tes, hasilnya ambyar. Bukan hanya soal tesnya, tapi seluruh kehidupan beserta sekelilingnya. Lilin itu terbakar di kedua sisi, dan ia tak tahu harus memprioritaskan mana yang dipadamkan.
Kisahnya tentang Shilan (Avan Jamal), yang ingin adiknya Rojin (Vania Salar) lulus ujian tes perguruan tinggi. Dalam pembuka jelas, Rojin dilamar tapi Shilan dengan tegas bilang ingin adiknya kuliah. Maka opsinya jelas, ia harus lulus tes kuliah, gagal berarti berakhir di pelaminan. Mereka mendatangi gedung setengah jadi dengan plang ‘Kursus Inggris’. Di sana banyak orang berkoordinasi untuk melakukan kecurangan dalam tes ujian kampus. Dengan resiko tinggi, tentu harga tinggi pula. Dengan alat bantu dengar yang diselipkan ke telinga, HP diselundupkan ke celana dalam, lantas nanti pas ujian, akan diberitahu kunci jawabannya. Kolaborasi curang ini, tampak realistis diwujudkan. Dengan biaya yang amat mahal, sampai menjual perhiasan kesayangan. Bahkan, walau jelas dalam Islam dilarang ke dukun, upaya itu jua dilakukan. Ke Orang Pintar minta jimat dimantrai!
Sang suami sudah mengingatkan, biarkan saja adik lu berusaha sendiri apa adanya, jangan malah kamu dorong, nanti malah rusak. Kalau engga lulus toh sudah ada yang melamar, perempuan ujung-ujungnya dapur. Seorang penjual daging ikan yang emosional ini, suatu hari makin berang sebab mendapati istrinya menelan obat KB. Mereka sudah punya seorang putri Senur, dan ia mengingin satu lagi laki-laki, Shilan berontak tak mau. Inilah gambaran keluarga yang gagal dalam komunikasi dan harmonisasi. Ibunya ingin Senur tak seperti dirinya atau Rojin, tumbuh jadi perempuan lemah di bawah kaki lelaki. Orangtua dan suaminya berusaha membuat kehidupan berjalan normal, tapi normal adalah istilah yang relatif.
Proses kecurangan dalam ujian sendiri terkendala banyak hal. Hari pertama, ada laki-laki yang ketahuan, langsung dikeluarkan. Hari kedua, ada kendala terkait alatnya harus diambil di bak sampah di luar gedung, dan karena Shilan ada di situ, dialah yang diminta ambil, dengan janji potongan biaya, hari ketiga, giliran sang suami yang kesal, ia muak akan kelakuan Shilan yang urusin adiknya, maka saat ambil HP di bak sampah, langsung diangkut, hari berikutnya, panitia ujian yang curiga, mematikan sinyal di ruangan, maka para kolabulator kecurangan ini tak mau menyerah, mereka menggunakan HT dengan truk boks daging di dekat gedung dalam jangkauan. Di boks truk itulah banyak sekali para pengirim kunci jawaban ke peserta. Dan hari terakhir, segalanya berantakan. Sungguh perjuangan manusia yang sia-sia, laiknya Sisipus ke puncak bukit dengan gelinding batu bersusah payah, yang pada akhirnya kembali menggelinding jatuh.
Keputusan-keputusan itu bersifat fana, pemicunya duniawi, akhirlah yang abadi. Sungguh menyedihkan.
Pertama yang berbesit, tentu saja film Bad Genius, tata kelola contek dalam ujian kampus. Kali ini kerja samanya melebar lebih besar, melibat orang kampus sendiri, para penggede yang sudah mendedikasikan di dunia pendidikan tiga puluh tahun. Proses kecuranganya juga tak rumit, dengan Bluetooth di telinga, menerima kunci dengan cepat dan pasti, tanpa banyak kode. Begitu pula, saat pengerjaan soal, dilakukan oleh akademisi yang sudah profesional, disalurkan melalui komunikasi langsung. Dunia pendidikan yang keras dan ambisius, jelas seperti pisau berujung tajam di kedua sisi.
Exam menautkan banyak film. Selain Bad Genius, Yuni kalau masalah feminism, justru yang paling kuat, perempuan berkeinginan membentuk masa depan yang lebih baik, atau berakhir di dapur selekas sekolah. Spider-man: No Way Home-pun kalau mau dikaitkan ada, remaja gagal masuk kuliah, dan kecewa. Haha, yang jelas Exam terasa lebih jleeb sebab realitasnya terasa, perjuangan perempuan, yang sering kalah ditekan keadaan.
Ending di pantai memang semacam jadi ritual untuk film-film bagus sekelas festival. Banyak sekali akhir dengan menatap ombak untuk film berbujet kecil. Daftarnya panjang sekali untuk tahun lalu saja yang sudah kutonton ada tiga: After Love, Yuni, My Heart Can’t Beat Unless You Tell It To. The Exam menambah daftar panjang itu. Mengingatkan pada sebuah pertanyaan di sosmed, refreshing inginnya ke mana? A. Pantai, B. Gunung; persentase mayoritas menjawab A, sebagai bukti bahwa pantai memang sebuah pengandaian tempat ideal tujuan melepas penat, maka tak heran sinema mengambilnya sebagai lanskap akhir. Ditemani matahari, ombak, hempasan gelombang, dan angin sepoi-sepoi, pikiran lepas untuk mengurai beban hidup. Awalnya di pantai, akhirnya di pantai. Menatap ombak berdiri diam tanpa bergerak, membuat kita tersadar bahwa keheningan memiliki suara.
Hidup terkadang dibuat macet oleh rincian, hingga kamu lupa hidup di dalamnya. Sebab tidak semua orang saat mendapat ujian, bisa setegar batu karang.
The Exam | Year 2021 | Iraq | Directed by Shawkat Amin | Screenplay Mohamedreza Gohari, Shawkat Amin Korki | Cast Adil Abdolrahman, Hussaen Hassan Ali, Shwan Attoof, Avan Jamal, Vania Salar | Skor: 4/5
Karawang, 050122 – Alexander ‘Sandi’ Kuhn – Long Time, No See