Desember2021 Baca

Masa lalu, masa depan, semuanya terbungkus dalam sekarang. Begitulah, kita terperangkap dalam sekarang.” Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga, Sherman Alexie

Setelah kurekap ulang, ternyata bukan 131 tapi totalnya ada 130. Satu buku tercatat dobel, Kapten March dan The March’s Captain, jelas adalah buku yang sama. Pencapaian tertinggi sejak kucatat pembukuan baca dan ulas. Rinciannya: 2018: 110, 2019: 110, 2020: 129, dan 2021: 130. Desember tercatat 15 buku, sama dengan bulan sebelumnya. Tetap prinsipnya, dibaca santuy, dibaca nyaman. Saking nyamannya, dari 15 hanya 2 yang sudah ulas, akhir tahun memang tidak dikebut.

Ngalir saja, hidup hanya sekali.

#1. Kau Gerimis dan aku Badai by Wahyu Heriadi

Kumpulan cerpen yang aneh dan liar, bahasanya beberapa kali meliuk-liuk puitik. Namun tetap saja, cerita adalah yang utama. Keputusanku membeli buku ini karena: buku ini masuk kandidat penghargaan sastra, kedua covernya ciamik, ketiga Rusa Merah sedang ngadain diskon. Tanpa tahu tentang apa, tanpa tahu Bung Wahyu ini siapa, kunikmati 13 ceritanya dalam sekali duduk di Satu pagi yang gerimis, 03.12.21.

“Robeklah payudara, ambillah jantung saya, raihlah, rasakan denyutnya, ayolah sayang.”

#2. Rumah Mati di Siberia by Fyodor Dostoevsky

Luar biasa. Sendu. Sedih sekali, menyaksi kejadian mantan narapidana yang menuliskan kisahnya di Siberia. Keras. Sangat menyentuh, orang-orang bersalah ini berkumpul, disatukan nasib, mengarungi hari-hari dengan keraguan, apakah bisa sampai selesai masa hukumannya, atau mati di Siberia. Disampaikan melalui catatan Alexander Petrowitsj oleh sang penulis.

“Kalau karena jatuh cinta saja orang tidak akan dibaung ke Siberia ini.”

#3. The March’s Captain by Geraldine Brooks

Ini semacam sekuel tak resmi dari cerita keluarga March dalam Little Women series karya Louis May Alcott. Karena selama ini yang kita tahu hanya keluarga yang ditinggalka perang, maka Geraldine Brooks berinisiasi mencerita nasib sang ayah/suami di medan perang, menyandang sebagai pendeta tentara, kita diajak mengarungi kerasnya masa itu. Cinta dan segala hal esensi kehidupan diramu dengan sangat bagus. Bertahan hidup tentu saja di posisi tertinggi, demi keluarga yang menanti.

“Sejak dulu aku membayangkan surga mirip perpustakaan. Sekarang aku tahu bagaimana rupa tempat itu.”

#4. Jatisaba by Ramayda Akmal

Bagus. Ini adalah novel kedua Ramayda Akmal yang kubaca setelah Tango dan Sadimin yang luar biasa itu. Cerita masih berkutat dalam realita muram kehidupan kampung dengan segala problematikanya. Kali mengangkat isu pemilihan kepala desa, buruh migran, dan kenangan masa kecil yang menguar mengancam. Dedikasi akan kampung halaman bisa berbagai macam cara, tapi merenggut para pemudi untuk diangkut ke negeri seberang dengan berbagai iming-iming, dan tahu bakalan amburadul, jelas bukan dedikasi yang laik ditiru. Sayangnya, ini bukan isapan fiksi belaka.

“Kenikmatan perpisahan justru ada pada ketidakrelaan kita untuk pergi.”

5. Asal Muasal Pelukan by Candra Malik

Kumpulan puisi dengan tema beragam. Lebih banyak ke riliji, karena ini buku pertama beliau yang kubaca, baru tahu panggilan beliau Gus Can. Judulnya eksotik ya, asal pelukan. Yang kita tahu pelukan melibat minimal dua orang, saling mendekap, saling menghangatkan. Kata-katanya juga sip.

Hingga Aku: “Dan, aku mencintaimu / hingga tak mampu cemburu. // Dan, aku menyayangimu / hingga tak mampu menjauh // Dan, aku mendoakanmu / hingga tak mampu meragu // Dan, aku merindukanmu / hingga tak mampu berlalu.”

#6. Nama Saya Tawwe Kabota by Mezra E. Pellondou

Bukunya tipis sekali, dicetak mungil seperti buku saku, dan jumlah halamannya hanya seratusan. Kubaca sekali duduk pada 11.12.21 saat jadi sopir keluarga ke Mal Resinda Park, Karawang. Kutuntaskan di parkir lantai basemen. Buku pertama Mezra E. Pellondou yang kubaca, ini adalah buku keduanya setelah Loge. Terlihat beliau memiliki semangat menggebu untuk menulis cerita, patut dihargai dan dinanti. Walau buku ini terbaca biasa saja, semangat dan misinya luar biasa. Baik, kita lihat saja apakah blog ini akan mengulas buku karya beliau lainnya suatu hari nanti.

“Kehidupan telah memberiku kesempatan namun kebodohan telah merampok daging dan pikiranku sehingga memberiku impian yang terus saja merontok.”

#7. Adu Jotos Lone Ranger dan Tonton di Surga by Sherman Alexie

Cerita-cerita tak biasa di daerah observasi kaum Indian. Menggugah dan menyentuh hati. Disajikan dengan alur lambat, sering kali mengambil sudut pandang Victort, dan sungguh ini fiksi terasa nyata. Jelas ini dinukil dari kisah hidup penulis. Modifikasi pengalaman hidup seorang Indian Spokane bersinggungan dengan warga mayoritas Amerika.

“Dia tidak bisa main gitar dengan bagus tetapi dia berusaha…”

#8. Cinderella Man by Marc Cerasini

Kisah nyata petinju legendaris James J. Braddock, si Bulldog dari Bergen di tahun 1930-an. Timbul tenggelam kariernya, sebagai kepala keluarga ia wajib menghidupi anak istri, saat kena ban dari asosiasi ia kere sekere-kerenya, sampai harus berebut jadi kuli panggul di pelabuhan. Dalam satu partai sebagai underdog, yang notabene dianggap sebagai partai loncatan unggulan untuk perebutan takhta, ia malah mengejutkan semua orang, luar biasa.

Semoga yang terbaiklah yang menang”. Itu kata-kata bukanlah soal kemenangan. Tapi, tentang menjadi tipe manusia tertentu. Tipe manusia yang menjaga harga dirinya dengan bertarung secara jujur dan menghormati aturan.

#9. The Runaway Jury by John Grisham

Untuk kesekian kalinya menikmati karya Grisham. Selalu memuaskan. Pengalaman membaca Sidney Sheldon yang berturut mengajarkanku untuk tak terlalu dekat malahapnya. Jadi novel-novel Grisham walaupun penuh di rak, akan kubaca dua tiga bulan sekali agar tak terasa membosankan. Kali ini kita diajak di ruang sidang kasus gugatan perokok tewas kepada korporat kuat perusahaan rokok. Untuk menemukan jawaban pemenang sidang, kita diajak melingkar jauh sekali sampai 600 halaman. Para juri yang dipilih dan disaring itu dipimpin oleh Nicholas Easter. Namun yang tampak di permukaan adalah wajah-wajah palsu. Kali ini Grisham kembali berhasil membuat geram pembaca.

“Satu saja anggota juri yang nakal, bisa jadi racun.”

#10. Sang Belas Kasih by Haidar Bagir

Mungkin karena jarang baca buku-buku agama, apalagi terjemahan langsung isi Al Quran, maka yang aku dapat adalah sesuatu yang fresh. Enak sekali pembahasannya. Runut dan nyaman. Jadi tahu seluk beluk kandungan di dalamnya. Selama ini baca Al Quran ya baca saja Arabnya. Sesekali baca terjemahannya, tapi sungguh sangat jarang. Bahasanya yang puitis dan bernada, tak mudah dipahami. Dan ini, per katanya dibedah. Ini adalah buku tafsir surah Al Quran pertama yang tuntas kubaca.

“La bi sya-in min ni’amika, Rabbana nakdzibu, falakal hamdu (Tidak ada sedikit pun nikmat-Mu, wahai Tuhan kami, yang kami dustakan. Hanya milik-Mu segala pujian).”

#11. Manajemen Strategik Koperasi (kolabs)

Bagi saya yang awam koperasi, dan sedang belajar tentang koperasi, buku umum seperti ini sangat bermanfaat. Dasar-dasar manajemen yang bisa dijadikan pijakan untuk mengarungi kegiatan. Kebetulan, saya ditunjuk jadi pengawas koperasi karyawan, jadi sedang mendalami teori perkoperasian. Anggota adalah puncak tertinggi pengambil keputusan, dan itu baik.

Kemampuan melaksanakan strategi lebih penting daripada kualitas strategi itu sendiri.

#12. My Grandmother asked me to tell you She’s Sorry by Frederick Backman

Tentang anak tujuh tahun yang kehilangan neneknya, meninggal karena kanker. Kita diajak menelusur kehidupan masa lalunya, wanita perkasa yang mendedikasikan hidup untuk kemanusiaan. Waktu untuk keluarga hilang, maka ia ‘membalas’ dengan waktu melimpah untuk cucunya. Kehidupan bebas, merdeka menabrak banyak aturan. Lantas dalam wasiatnya, ia meminta maaf kepada orang-orang yang dikecewa, dengan surat-surat itulah Elsa menunaikan tugas.

“Hal-hal tertentu sebaiknya dibairkan seperti itu.”

#13. My Sister’s Keeper by Jodi Picoult

Buku pertama Jodi Picoult yang kubaca. Lumayan bagus, sayang endingnya lemah. Drama sekali, khas Hollywood dengan pahlawan super menyelamatkan menit-menit akhir. Sepertiga pertama luar biasa bikin penasaran, sepertiga kedua melayang, sepertiga akhir terjatuh. Sulit memang membuat karya konsisten keren di sepanjang halaman.

“Aku penasaran bagaimana seorang anak bisa cukup berani untuk mengajukan gugatan hukum, namun juga takut menghadapi ibunya sendiri.”

#14. Penjual Bunga Bersyal Merah by Yetti A. KA

Apa yang bisa saya kupas? Ceritanya abu-abu, beberapa tampak tak wajar. Tak serta merta langsung terpahami sebab disampaikan dengan diksi tak umum. Butuh beberapa detik untuk klik tiap beberapa paragraf, walaupun tak rumit-rumit amat, tapi tetap saja intinya tak linier. Beberapa memang berlanjut, beberapa cerita sudah lepas landas. Tak perlu kerut kening memikirkan inti cerita, mengalir sahaja sebab seperti hidup ini, tak perlu pusing-pusing mau kemana, yang utama dan pertama adalah saat ini, bukan berlebih mengkhawatirkan masa depan apalagi masa lalu yang sudah dilindas kenyataan. Bahagia itu kapan? Sekarang! Sebab orang yang tidak bahagia akan padam perlahan-lahan.

“Hanya saja, karena janji itu terjadi di dalam mimpi, maka aku tidak bisa menolaknya.”

#15. Malam ini Aku Tidur di Matamu by Joko Pinurbo

Buku pertama Bung Joko Pinurbo yang kubaca. Bagus-bagus, suka sama pengandaian-pengandaiannya. Contoh, “telepon genggam mau tidur, capek. Seharian bermain monolog. Banyak peran. Konyol. Enggak nyambung.” Dalam puisi “Selamat Tidur.” Atau dalam “Serdadu”, di pembuka ada bait, “Ketika kau tidur, ada seorang serdadu; duduk-duduk di atas tubuhmu, merokok, main gitar, dan dengan suara sumbang menyanyikan lagu selamat malam.” Dst.. ciamik.

Karawang, 290121 – Ernest Ol’h Trio – Night Dialogue

Scones and Sensibility

Kau tahu, tentang merasa kesepian.” – Polly

Lucu dan menyenangkan. Manis dengan segala konsekuensinya. Sekali lagi terbitan Atria memesonaku. Dengan pijakan novel-novel klasik Jane Austen, kita diajak berkelana dengan sepeda kayuh Polly untuk menghadirkan cinta di setiap dorongannya. Niat yang baik, cara yang salah, hasilnya runyam. Sudah kuduga bakalan berantakan tali temali asmara itu, tapi tetap saja tak menyangka bakal seterpuruk itu. Kita menjadi saksi perjalanan segala cinta dirajut oleh tiga pasangan, dan kita pula yang mengurainnya dalam tawa dan kesedihan. Bagus, novel sederhana keluarga yang menyenangkan. “Aku terkikik membayangkan perjodohan yang akan kulakukan untuk orang-orang yang kusayangi.”

Kisahnya tentang Polly Madassa, mengambil sudut pandang orang pertama dengan cinta membuncah. Berusia dua belas tahun, tapi karena pengaruh bacaan roman jadul, ia jadi terobsesi. Menentukan pasangan ideal buat orang lain, mencoba mambantu menjalinnya. “Dan melihat luasnya pengetahuanku tentang asmara dan percintaan yang kudapat dari membaca Jane Austen, aku sangat bersedia dan siap mengemban tugas itu.”

Dengan kepolosan remaja, misinya besar. Optimism membentuk dunia asmara ideal. “Aku berusaha mambantu orang… jatuh cinta.

Pertama adalah kakaknya. Hanya terpisah empat tahun dengan Clementine, tapi jarak di antaranya tampak makin lebar sejak dia mencapai usia matang enam belas tahun. Memiliki pacar Clint, penampilan Clint enak dipandang, tapi di luar itu daya tariknya berkurang drastis. Walaupun sudah diperingatkan agar jangan campuri urusan orang lain, Polly tetap bersikukuh. “Aku tahu benar cara menenangkan jiwa yang resah dan tertekan, Kakakku sayang…”

Di musim panas tahun itu, Polly tak bisa berlibur sepenuhnya. Ia mendapat tugas keluarga, mengantar pesanan kue Madassa Bakery dari sudut Seventh Street. Di situlah ia menjalani ‘tugas’ barunya, selain mengantar pesanan ia juga menghubungkan para pelanggan dan tebaran kasih. Nah, sore itu ia bersepeda dengan melamun hingga terjatuh, ditolong pemuda tampan bernama Eddie (panggilan Edward), ia sedang berlibur ke rumah saudara membantu menjaga toko selama musim panas. Karena kebaikan dan sopan santunnya, ia memutuskan untuk menghubungkannya dengan Sang Kakak. Edward dan Clementine, sungguh panduan nama mereka bagaikan musik. “Kupikir ada baiknya menambahkan sentuhan misteri romantis pada antaran pertama ini.”

Pasangan kedua adalah ayah sobatnya Fran, kawan kecil. Mr. Fisk adalah duda, ia ditinggalkan istrinya tanpa kejelasan alasan. Hari-hari sepi itu bagi Polly harus diselamatkan. Mr. Fisk adalah maniak komputer, waktunya banyak tersita di depan layar. Acara kencan atau move on untuk mencarikan ibu tiri buat Fran terlihat tidak ada. Maka Polly berinisiasi memerkenalkannya pada Miss Lucy, pegawai kantor yang juga memesan kue di tokonya. Mr. Fisk dengan Miss Lucy Penny, tampak serasi.

Ketiga adalah Mr. Nighquist, seorang pemilik toko kelontong dan mainan, ia hobi memainkan layang-layang di sore hari. Polly melihat ada peluang untuk membantunya mendapat pasangan. Adalah Miss Wiskerton seorang pembaca roman, favorit Jane Austen pula, klop sama Polly. Maka ia pun berinisiasi menyampaikan salam palsu ke keduanya, mencipta janji temu palsu keduanya, bahkan memaparkan latihan menaikkan layangan bersama. Bukan mereka berdua yang meminta, tapi Polly yang menyusun rencana! Pride and Prejudice dengan para tokohnya jadikan pegangan kisah.

Komen pedas kakaknya, Ada benarnya sebab rencana baik, angan indah, tak selalu berujung bagus. “Sejak kau membaca buku tolol tentang prasangka dan harga diri itu, kau benar-benar jadi sinting.”

Segalanya ambyar. Clementine sudah punya pacar, walau sesekali berantem dan membuatnya menangis, tetap saja yang namanya pacaran, itu hal wajar. Polly malah merusaknya, dengan mengirim Edward ke acara makan malam, mengacaukan acara. “Saat-saat ketika kakakku tersayang disakiti oleh air mata.”

Miss Ruthie adalah gadis internet, berkenalan dengan Mr. Fisk secara wajar. Namun bagi Polly itu tak bisa diterima, tak ada sisi romantisnya bertemu dengan orang asing dari dunia maya. Polly mengirim bunga dan salam pada Lucy yang sejatinya sudah punya pacar, nah ditanggapilah pasangannya. Malam berantakan karena pacarnya marah dan ke rumah Fran! “Kekasih yang tersinggung adalah kekuatan yang menakutkan.”

Begitu juga saat malam keakraban setelah kopi darat berjalan mulus, makan malam dengan Fran turut serta. Malam itu intuisi Polly menyala, ia datang mengacaukannya. Melapor polisi, meringkus orang yang salah, salah duga konyol yang mengakibat Fran marah besar. Sobat kecilnya bahkan memutus ikatan kawan.

Pasangan ketiga juga remuk, sebab ternyata mereka berdua dulunya adalah teman sekelas. Reka-reka kalimat yang disampaikan Polly tampak janggal tentu saja, sebab mereka sudah saling kenal walau tak akrab. Anjing Wiskerton Si Jack jadi korban, keduanya saling marah dan tak mau terbuka meminta maaf, walau insiden anjing itu lebih banyak karena kecelakaan.

Kenyataan ini membuat Polly terpuruk. Sedih tak terperi. Meskipun Anne dari Green Gable menyatakan bahwa hari esok selalu baru tanpa ada kesalahan di dalamnya. Polly bangun dengan kesalahan masa lalu melayang-layang di atas kepala bagai selubung hitam kematian. “Kau yang melibatkan kami dalam kekacauan ini dan sekarang kau harus mengeluarkan kami.”

Pedoman Polly adalah orangtuanya. Romansa itu bak dongeng, romantis, saling mencinta, saling menjaga, tak ada pertengkaran, atau dalam satu kata sungguh harmonis. Saat Polly sedih misinya gagal, ditanya ibunya, dicerita ulahnya, ibunya malah memberi nasehat untuk tak mencampuri urusan asmara orang lain. Bapaknya lalu memberi tahunya, bahwa mereka hampir tak menikah sebab orang tua tak setuju untuk mendapat menantu ibunya. Hingga hampir break untuk pisah jalan, tapi jodoh kembali menyatukan dalam momen krusial. “Aku hanya berterima kasih pada kehidupan dalam berbagai bentuknya untuk cinta yang bahkan sekarang pun tengah berjalan.”

Kenyataan itu agak mengejutkan bagi anak dua belas tahun yang polos. Kalau kedua orangtuanya putus, apakah Polly berarti tidak ada di dunia? Yup, kisah kasih tak semulus halaman luks novel Jane Austen, dunia ini keras Polly. Tak sesederhana itu. “Sering kali aku terlena dalam khayalan yang memesona itu”

Tampak Polly adalah remaja kesayangan semua orang, semua menyapa dan gemas sama dia. Padahal dalam hati ia punya ras iri pula sama seseorang, “Aku berharap di atas segala hal lainnya bahwa aku dilahirkan dengan lesung pipit, tapi satangnya, itu tidak terjadi kepadaku. Dan sesering apa pun aku menggigit pipi atau menggambar dekik di wajahku dengan pena tidak pernah cukup untuk mewujudkannya.”

Tetap semangat Polly, waktu akan menempamu. Untuk sementara, nikmatilah masa-masa indah remaja dengan segala kepolosannya. Terutama, dari pilihan bacaan. Betapa beruntungnya di usia sebelia itu sudah mengenal sastra klasik dengan cinta membuncah. “Aku mengambil edisi sampul kulit Pride and Prejudice dan menempelkan ke dada.”

Ini adalah novel di rangkaian baca ulas Atria, setelah Pria Cilik Merdeka yang luar biasa itu, daftarnya panjang sekali. Ini adalah buku pertama Lindsay Eland yang kubaca, temanya menarik, konfliks remaja disajikan dengan pilihan diksi bagus. Tak menye-menye. Penuh kiasan indah, senja, mentari, angin yang berbisik, debur pantai yang menelisik teliga. Kalau diberi kesempatan di masa datang, dengan senang hati kunanti karya-karya lainnya untuk dilahap. Moga makin banyak yang diterjemahkan. Terima kasih Atria.

Scones and Sensibility | by Lindsay Eland | Copyright 2010 publish by special arrangement with Egmont USA | Diterjemahkan dari Scones and Sensibility | Hak terjemah Penerbit Serambi | Penerjemah Barokah Ruziati | Penyunting Ida Wajdi | Penyelaras Aksara Jia Effendie | Pewajah Isi Aniza Pujiati | Penerbit Serambi | Desain sampul lalabohang.wordpress.com | Cetakan I: Maret 2011 | ISBN 978-979-024-469-6 | Skor: 4/5

Karawang, 280122 – Linkin Park – Pts Of Arthry

Thx to Ade Buku, Bandung

Catatan: Karena mengulas karya juga butuh waktu berjam-jam.

Karena blogger buku dan film tak menghasilkan duit. Mulai hari ini, saya buat akun Trakteer. Bagi yang merasa terbantu dengan tulisan di sini, atau merasa tergugah, atau sekadar ingin mengapresiasi blog ini, silakan klik. Biar saya makin semangat mengulas bacaan dan tontonan. Terima kasih. https://trakteer.id/lazione.budy

My Grandmother Asked Me to Tell You She’s Sorry

Kita punya misi penting, jadi kalian tidak boleh mengacaukannya… Ini surat dongeng kita: mengirimkan setiap permintaan maaf Nenek.” – Elsa

Inilah novel fantasi dengan pijakanlogika anak-anak yang kuat. Tentang anak tujuh tahun yang kehilangan Neneknya, meninggal karena kanker. Kita diajak menelusur kehidupan masa lalu almarhumah, wanita perkasa yang mendedikasikan hidup untuk kemanusiaan. Waktu untuk keluarga hilang, maka ia ‘membalas’ dengan waktu melimpah untuk cucunya. Kehidupan bebas, merdeka menabrak banyak aturan. Lantas dalam wasiatnya, ia meminta maaf kepada orang-orang yang dirasa dikecewa, dengan surat-surat itulah Elsa menunaikan tugas.

Elsa adalah anak istimewa, kedekatannya dengan Sang Nenek membuatnya meniru sifat dan gerak-geriknya. Memiliki imajinasi luar biasa, negeri dongeng ciptaan Nenek itu membuatnya melalangbuana dalam petualangan. Kombinasi fantasi anak kecil dan pahitnya hidup. Elsa sering berpikir, dan pikirannya tak biasa. “Pernahkah kau mendengar tentang seorang gadis yang meledak karena terlalu banyak berpikir?”

Ibunya, Ulrika adalah lawan dari sifat dari Neneknya. Sebab, Mum adalah segala yang bukan nenek. Nenek adalah pahlawan super disfungsional maka Mum adalah pahlawan super yang sangat operasional. Mum sedang hamil, calon bayinya sudah dinamai Halfie, jenis kelamin dirahasiakan, dalam USG orangtuanya tak mau tahu, jadi nama Halfie bisa laki ataupun perempuan. Ayah tirinya, Kent mencoba sebisa mungkin menjalin kedekatan. Sementara George ayah aslinya yang sudah punya keluarga lain juga, bercambang dan memiliki topi yang sangat kecil dan terobsesi dengan joging. Menjemput sekolah bergantian, sudah terjadwal. Makanya Elsa heran sama yang namanya perceraian. “Bukankah orang menikah karena mereka penuh dengan cinta dan bercerai saat kehabisan cinta?”

Dia jelas terilhami novel Harry Potter, dengan syal Gryffindor-nya duo ini sering berkelana liar. Masuk kebun binatang, panjat pagar dini hari, melempari tetangga batu, membuat bebunyian yang mengganggu, mengumpat tiap berpapasan orang tolol, benar-benar kebebasan yang hakiki. Merokok di area dilarang merokok! Nenek tidak terlalu cakap berada di dunia nyata. Terlalu banyak peraturan. Sepintas memang Neneknya tak bagus mengajarkan ‘melawan’ sistem, tapi sejatinya justru kemandirian yang ditanamkan. “Jika kau tidak bisa menghilangkan hal-hal buruk, kau harus menutupinya dengan kebaikan.”

Maka untuk itulah, ketika kabar kematian itu sampai ke Elsa, seolah dunia runtuh. Kesal sama Neneknya sebab tak mencerita deritanya, marah sama orangtuanya, waktu Nenek tak banyak. Namun buat apa? Sudah terlambat. Ia masih tujuh tahun dan dianggap belum memahami sepenuhnya kehilangan.

Ada benarnya, sebab Elsa sering berhalusinasi dengan makhluk-makhluk fantasi. Di negeri Tanah-Setengah-Terjaga, ada monster Wolfheart dan cerita kehidupan sehari-hari di Tanah-Setengah-Terjaga hampir tidak pernah diceritakan dalam dongeng. Kau tahu, sebab industri utama ekspor ke Miamas adalah dongeng. Nenek selalu membuat rencana sambil jalan, sekarang karena Nenek sudah tidak ada, Elsa mengalami kesulitan mengetahui apa langkah berikutnya dari sebuah perburuan harta karun. Elsa khawatir, “Aku tidak tahu cara pergi ke Miamas kalau Nenek mati…”

Setiap dongeng memiliki naga. Mereka selalu memiliki mimpi dan pelukan, mimpi adalah semacam kue; pelukan hanyalah pelukan yang normal. Elsa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memahami kalau kisah-kisah itu saling berjalin. Semua cerita bagus seperti itu. Tidak semua monster adalah monster dari awal, beberapa monster terlahir akibat duka. Monster dan Wurse. “Kalau begitu apa arti Miamas?” / “Aku cinta.”

Elsa yang terlahir di era digital, memakai dalih Wikipedia sebagai mayoritas rujukan pengetahuan. Setiap tahu kata atau kalimat yang tak dipahami, ia mengarah ke sana. Begitu juga, saat ada orang dewasa heran, betapa ia pintar dan tahu arti kata sulit di mana? Wikipedia jelas salah satu situs hebat yang dijadikan pegangan saat ini. Pikiran liar Elsa sampai-sampai bilang, “Dia mulai menyadari kalau sang Monster mungkin tidak membaca cukup pustaka berkualitas seperti yang diharapkan.”

Hiburan konteporer menyelingkupi di setiap sudut halaman. Dari X-Men, Gryfindor, Spider-man, hingga petualangan Bilbo. Terlihat Elsa melahap segala jenis fantasi dan komik/film action terkini. Maka sepaket dengan kalimat makian, “No, shit. Sherlock”, salah satu ungkapan dalam bahasa Inggris favoritnya.

Perseteruan dengan tetangga apartemen juga memenuhi buku. Dari Britt-Marie, Alf, hingga Maud. Tampak orang-orang yang dibuat kesal Nenek, begitu juga sebaliknya. Mum sering meminta maaf, dan nantinya kita tahu, dibalik kemarahan dan kekesalan itu ada cinta di dalamnya. Nenek adalah pahlawan kemanusiaan di masa muda. Saat masa lalu Britt-Marie diungkap misalkan, sungguh tak mudah jadi perempuan kecewa. Begitu juga saat membahas sopir taksi Alf, ia memiliki masa lalu kelam akan cinta sejati. Alf si sopir taksi memiliki rasa terpendam yang jadi salah satu kejutan buku ini, kita memang tak pernah tahu isi hati tiap orang, cinta dan pengorbanan sering kali jadi picu gerak kehidupan, masa lalu seseorang abadi, dan kalau tak dicerita, siapa yang bakal paham? Hiks, hal-hal tertentu sebaiknya dibiarkan seperti itu.

Saat surat pertama diantar pada seorang wanita, psikolog di mana ruangan penuh buku, ia heran. “Kau punya semua buku ini dan tidak satupun Harry Potter? Dan mereka membiarkanmu menyembuhkan orang-orang yang kepalanya rusak?” haha, bisa saja kau Nak.

Saat Elsa menemukan surat Nenek ketiga, ada bagian rancu, tertera pada halaman 325 ada bagian yang tampak aneh dengan kata ‘mimpi’, saya kutip sebagian; “Elsa mengambil mimpi dari kaleng yang disodorkan…” atau “Aku punya teman yang sangat menyukai mimpi. Dan seharian ia sendirian, menurutku tidak apa-apa jika aku membawanya naik?” Seolah mimpi adalah benda, entah terjemahannya yang sulit ataukah mimpi ini kiasan, atau sadurnya yang melenceng?

Ulang tahun Elsa sangat penting bagi Nenek. Mungkin karena ulang tahunnya dua hari setelah malam Natal, malam penting buat banyak orang. Cerita normal bisa lucu, sedih, menyenangkan, menakutkan, dramatis, atau sentimentil, tetapi cerita Natal haruslah mengandung semuanya.

Ada adegan lucu, saat Mum dan Elsa terjebak macet, mobil di belakang sering meng-klakson tiap gerak beberapa meter. Elsa membayangkan bila itu terjadi pada Neneknya, ia akan keluar dari mobil menggebrak mobil pengganggu itu, lantas mengacungkan jari tengah atau mengumpat kasar. Itu jelas tak bisa dilakukan ibunya yang sedang hamil besar. Maka Elsa berinisiasi melakukannya, demi Nenek dan sifat kerasnya!

Ada pula bagian saat Elsa bernarasi, bahwa buku Harry Potter and Orde Phoenix dibaca 12 kali, dan itu buku Harry Potter yang paling tidak disukai. Saya sepakat, buku paling tebal tembus seribu halaman ini memang paling biasa, bergitu juga adaptasi filmnya. Ketebalan bukan jaminan keseruan. Walau saya membacanya tak sampai berulang, apalagi sampai belasan kali, hehe… antri baca sudah panjang euy.

Judul tiap bab juga dibuat kurang menarik, dalam artian mengambil benda atau hal yang tak signifikan dalam cerita. Sekelebat lewat, seperti bue bolu, toko pakaian, minyak lilin, tembakau, monyet, bir, kulit, anggur, dst. Entah maksudnya apa, rata-rata benda-benda itu tak memiliki peran penting untuk menggerakkan alur.

Ini buku kedua Frederik Backman yang kubaca setelah A Man Called Ove yang terkenal itu. Bagusan Ove, jauh, sebab Ove diperankan orangtua, sudah sepuh, dan teknologi saat ini begitu rumit. My Grandmother sebaliknya, diperankan anak kecil dengan pikiran liar. Keduanya bagus dengan sisinya masing-masing, keduanya diterbitkan Noura, maka pantas sekali buku-buku Frederick lainnya untuk gegas dialihbahasakan. Ditunggu.

Novel ini dibangun dengan kata-kata maaf dari reruntuhan kata-kata pertengkaran. Maka ingat nasihat Nenek, “Cerita terbaik tidak sepenuhnya realistis dan tidak pernah sepenuhnya karangan.” Kurasa, kalimat itu juga cukup mewakili petualangan Elsa.

My Grandmother Asked Me to Tell You She’s Sorry | by Fredrik Backman | Diterjemahkan dari My Grandmother Sends Her Regard and Apologies | An Imprint of Hodder & Stoughton | an Hachette UK Company | First published in Sweden as Min mormor halsar och sager forlat | Copyright 2013 | English Translation Henning Koch 2015 | Indonesia translation 20016 by Jia Effendie | Penyunting Yuke Ratna P. | Penyelaras aksara Nunung Wiyati | Perancang sampul Muhammad Usman | 496 hlm.; 14.x21 cm | ISBN 978-602-385-164-5 | Cetakan I, November 2016 | Penerbit Noura | Skor: 4/5

Untuk sang kera dan sang katak; Untuk sepuluh ribu kisah yang abadi

Karawang, 270122 – Boyzone – Words

Thx to Della Book, Banten

Catatan: Karena mengulas karya juga butuh waktu berjam-jam.

Karena blogger buku dan film tak menghasilkan duit. Mulai hari ini, saya buat akun Trakeer. Bagi yang merasa terbantu dengan tulisan di sini, atau merasa tergugah, atau sekadar ingin mengapresiasi blog ini, silakan klik. Biar saya makin semangat mengulas bacaan dan tontonan. Terima kasih. https://trakteer.id/lazione.budy

Cinderella Man

Kamu adalah Bulldog dari Bergen, kebanggan New Jersey. Kau adalah harapan semua orang dan pahlawan anak-anakmu. Kau adalah juara di hatiku, James J. Braddock.” – Mae

Kisah nyata petinju legendaris James “Jim” J. Braddock, si Bulldog dari Bergen di tahun 1930-an. Timbul tenggelam kariernya, sebagai kepala keluarga ia wajib menghidupi anak istri, saat kena ban dari asosiasi ia kere, sekere-kerenya, sampai harus berebut jadi kuli panggul di Pelabuhan Newark, di Teluk Newark, salah satu pelabuhan kargo terbesar di Amerika Serikat. Dalam satu partai sebagai underdog, yang notabene dianggap sebagai partai loncatan unggulan untuk perebutan takhta, ia malah mengejutkan semua orang, luar biasa. Ia memiliki pukulan kiri yang dahsyat.

Keluarga Braddock hanyalah satu tetes di lautan keluarga terlantar yang kehilangan rumah, tabungan, dan dalam beberapa kasus kehilangan lebih banyak lagi. Nasib telah berkomplot mengganggu lonjakan meteoriknya sebagai petinju. Melucuti optimisme dan rasa percaya dirinya. Era depresi Amerika ini menelan banyak korban. Gelombang kepanikan menghantam, pialang-pialang melepas saham-saham mereka, bank-bank menarik dana mereka, dan pasar benar-benar kolaps. Segala cara diperbuat untuk bertahan hidup. Jim memiliki istri hebat. Memilih Mae Theresa Fox sebagai istri menjadikannya pria paling beruntung di dunia. Tiga orang anak, Jay, Rosy, dan Howard. Tahun 1930 awal Jim baru saja terjerebab karier, ia tak memiliki banyak materi hingga terpaksa jadi kuli. Ia percaya pada Tuhan, kerja keras, dan berbuat kebajikan pada sesama manusia. Dan ia menekankan ajaran ini pada semua putranya.

Di dok yang dinamai Pelabuhan Newark itu orang-orang antri dan juga berkerumun, berebut pekerjaan. Dari puluhan orang yang mengajukan diri, sudah menanti sejak subuh, hanya dipilih sepuluh. Ngeri kan, sesama kuli saling sikut. Ada adegan, mandor sudah memilih sepuluh, ada satu orang yang mengancam dengan pistol, di bawah tekanan, sang mandor terpaksa menambahkannya, nah setelah masuk kapal, langsung diringkus dan jelas berakhir di penjara. Begitulah kerasnya hidup.

Karena rutinitas kerjanya inilah, Jim malah menemukan kekuatan baru. Tangan kirinya yang lemah dalam adu jotos, kini secara alami kuat. Ia telah ditempa alam. Maka saat bosnya bilan, “Kurasa karena punya keluarga yang hebat, pelatih yang hebat.” Maka disambut, “Dan tangan kiri yang hebat.”

Hubungan baik dengan manajernya Joe Gould menjadilah landasan bangkit. Maka suatu hari saat Joe membutuhkan lawan tanding, promotor tinju untuk petarung muda, ia menghubungi Jim. Sempat ditentang Mae, sebab ia sudah pensiun, tapi karena keuangan tipis, tinju bisa jadi jalan pintas dapat uang. Joe tampak perlente, mobil bagus, jas keren. Maka Mae yang kesal, petinjunya kere, bosnya kaya, ia berinisiatif datang langsung ke tempat tinggal sang manajer. Apa yang didapat? Rumahnya melompong, ternyata Joe juga kere. Itulah falsafah Joe Gould selama ini: menjaga penampilan, dan tak pernah membiarkan lawan mengalahkannya.

Haha, sama saja ternyata. Yang paling penting adalah menjaga agar keluarga ini tetap bersatu. Jim berjuang setengah mati demi hal itu dengan mengambil sebanyak mungkin pekerjaan. Maka ia pun kembali turun gunung. Karena lama tak tanding, ia mengenakan perlengkapan pinjaman, jubah pinjaman, semua ala kadar. Hasilnya malah luar biasa, Jim menang KO. Secara instan namanya kembali diperbincangkan. Dan tentu saja ini menjadi jalan keluar kesulitan keuangan. Istrinya yang wanti-wanti hanya turun sekali lagi saja, jelas gagal. Seolah ia prajurit yang pulang dari medan perang. Seorang petinju, entah menang atau kalah, bakal selalu pulang ke rumah demi meraih kesetiaan tak tergoyahkan.

Kemenangan tak terduga Braddock atas John Henry Lewis ternyata menjadi mematik polemik. Johnston menyimpulkan Braddock lebih dari beruntung, ia menang bagus. Dan situasi membantu upayanya. “Pada siapa kau berterima kasih atas kemenanganmu pada Lasky?”

Pantai selanjutnya, Jim diminta benar-benar berlatih di sasana. Latihan resmi itu dibiayani Joe, dan apa yang ditempa profesional tentu saja kini menjadikannya kembali hebat. Di dok, di langsiran kereta, penampungan batu bara, berlatih dengan Jeannette tampak seperti liburan. Latihan alam telah mengeraskan hantamannya, latihan di sasana telah kembali memulihkan tenaganya. “Kabar baiknya adalah semua kerja keras dan kurang makan itu membuat tubuhmu langsing terbentuk, dan sekuat paku.” Dan kembali jadi nomor satu menemukan takdirnya.

Kebahagiaan tertinggi jelas sama keluarga. Saat ia kembali berpunya, mapan secara ekonomi dan batin ia malah bertanya-tanya bagaimana kebahagiaan semacam itu bisa tumbuh di tengah begitu banyak penderitaan yang merendahkan martabat. Lantas muncul ironis dalam lanskap tanya, “Setiap hari memperbaiki dunia, bagaimana dengan memperbaiki keluarga kamu?”

Semoga yang terbaiklah yang menang”. Itu kata-kata bukanlah soal kemenangan. Tapi, tentang menjadi tipe manusia tertentu. Tipe manusia yang menjaga harga dirinya dengan bertarung secara jujur dan menghormati aturan. Karena protagonisnya Jim, maka tampak ia begitu jujur dan hebat. Saya sendiri pernah membayangkan, bagaimana kalau biografi mengambil sudut pandang yang kalah? Menarik bukan? Sekali lagi keduanya berdansa wals di atas kanvas, kanvas gores memoar. Kalau ada kesempatan, pasti dengan senang hati kubaca.

Saking miskinnya, ada adegan haru saat Jim bertarung, seluruh keluarganya tak tahu hasilnya, sampai dia pulang. Keluarga Braddock tak punya lagi radio – mereka sudah menggadaikannya bersama barang-barang lain, sehingga Mae dan anak-anak tidak bisa mengetahui hasil pertandingan malam itu. Mae biasanya telah terlelap saat sang suami menyelinap masuk, selepas tengah malam. Malam partai besar itupun tak berbeda. Bayangkan dengan era digital, semua orang normal tahu apa yang terjadi di arena tinju Amerika sana, dalam hitungan detik, dan bisa live komen di sosial media, saat itu juga! Gila ya.

Rasa malu itu hampir terlalu berat untuk ditanggung. Di era kapanpun, di manapun, kemiskinan selalu ada. Begitulah masa itu, banyak pengemis di kota. Antrean peminta bantuan yang tak berujung, sampai muncul penyataan, “Cacing-cacing yang berjalan seperti manusia.” Tinggal cara menyikapinya. Keluarga Braddock sendiri dididik keras untuk jujur. Ada adegan anaknya mencuri roti saking laparnya, sama ayahnya dimarahi, rotinya dikembalikan, meminta maaf, dan berjanji takkan mengulangi. Kemiskinan bisa saja menimpa, tapi harga diri dan kejujuran jelas di atas materi, tak bisa ditawar.

Jadi dimana julukan judul buku ini pertama muncul? Adalah seorang reporter yang mengulas laga keesokan harinya, seperti yang telah ditulis Damon Runyon, ia adalah “Cinderella Man”. Pada partai puncak ia jadi nomor satu. Sorak sorai penonton menggelegar langit-langit, menggema cukup keras untuk sampai ke balik dinding arena Garden, ke jalan-jalan sibuk Manhattan.

Dari Damon pula muncul kutipan terkenal dalam dunia tinju, “Siapa juri yang lebih baik: publik atau para pakar? Menurutku publik.” Katanya, ini jadi patokan saat melawan juara bertahan atau unggulan, jalan satu-satunya yang terang untuk jadi pemenang hanyalah merobohkan lawan, meng-KO-nya, jangan andalkan juri! Tak hanya di era lama, sampai saat ini di zaman canggih pun, muncul spekulasi kenetralan juri.

Buku ini berdasar skenario film yang dibuat oleh Cliff Hollingsworth dan Akiva Goldman, saya sudah menyaksikannya di vcd lama sekali. Namun agak lupa, Cuma bagian ronde-ronde genting saat jadi juara itu yang tersisa. Sosok Russel Crowe yang hebat itu, mungkin perlu tonton ulang, sama May biar lebih nikmat.

Lalu sepintas lewat ada kalimat ini, “Seorang pria bernama La Guardia menjadi wali kota.” Tahu nama ini di film Sully, jadi nama bandara. Apakah dari nama yang sama? Entahlah, perlu baca beberapa buku lain buat literasi.

Apa yang didapat dari buku kecil ini? Jelas kerja keras dan kerja cerdas, harapan akan selalu ada bagi hambanya yang berjuang. Jangan pernah sia-siakan kesempatan, tetap menempa diri sekalipun sedang tak ‘bertarung’, dan sebagai penutup saya bagikan kutipan komentator radio yang menyatakan betapa Jim adalah sosok luar biasa, sekalipun kena hantam keras. “Tapi, Braddock tak hanya berdiri… ia bergerak maju… dengan gagah berani melayani lawannya.”

Cinderella Man | by Marc Cerasini | Diterjemahkan dari Cinderella Man | Terbitan HarperEntertainment, New York | Based on the screenplay Cliff Hollingsworth & Akiva Goldman | Copyright 2005, Universal Studio | Penerjemah Utti Setyawati | Penyinting Yus Ariyanto | Penerbit Dastan Books | Desain sampul Expertoha Studio | Cetakan 1, Juni 2006 | 408 hlm.; 12.5 x 19 cm | ISBN 979-3972-06-8 | Skor: 4/5

Buku ini dipersembahkan untuk Antonio A, Alfonsi dan John F. Cerasini

Karawang, 260122 – Linkin Park – Frgt

Thx to Fatika Bookstore, Jakarta

March

“Berharaplah Mrs. March, hanya itu yang bisa dapat kita semua lakukan.”

Ini semacam sekuel tak resmi dari cerita keluarga March dalam Little Women series karya Louis May Alcott, dengan label di muka ‘diilhami’. Karena selama ini yang kita tahu hanya keluarga March yang ditinggalkan perang Marmee dan empat putri kesayangan, maka Geraldine Brooks berinisiasi mencerita nasib sang ayah/suami di medan perang, menyandang sebagai pendeta tentara, kita diajak mengarungi kerasnya masa itu. Cinta dan segala hal esensi kehidupan diramu dengan sangat bagus. Bertahan hidup tentu saja jadi hasrat manusia di posisi tertinggi, demi keluarga yang menanti, demi harga diri.

Cerita Alcott mengisahkan bagaimana setahun kehidupan di tepian perang telah menempa kepribadian para wanita kecil itu, dari Natal ke Natal tahun berikutnya, tetapi bagaimana perang itu telah mengubah March sendiri dibiarkan tak terungkap. Kebenaran tidak terjangkau oleh imajinasiku waktu itu, sampai akhirnya kita diajak berpetualang langsung di medan perang. Ungkapan pahit ini memberi kita gambaran betapa perang itu dibenci umat manusia. “Aku bersyukur aku hanya memiliki anak perempuan, dan tak punya laki-laki.”

Ini buku tentang perasaan yang kuat: cinta dan takut. Membayangkan perang bagi seorang pendeta Union yang memiliki keyakinan abolisionis dan transendentalis Bronson Alcott. Tokoh utama harus hidup di dalam alur cerita Little Women. Idenya tampak eksotik, banyak alur seperti ini dibuat, rerata gagal karena riskan dan rapuh, tapi kali ini Brooks berar-benar sukses.

Awal mulanya bagus, “Rumah tangga yang baik mirip dengan seminari masyarakat, suatu tempat yang tenang, indah, dan tertib.” Namun di ujung muncul pertanyaan, rumah tangga yang baik itu yang bagaimana? Setia tanpa kompromi? Ataukah rela berkorban demi kebahagiaan pasangan dengan maaf membuncah? Atau kepentingan anak-anak di atas segalanya? Arti ‘rumah tangga yang baik’ jadi sangat lebar untuk dikupas.

March menjalani wajib militer di perang saudara Amerika abad ke-19. Ia meninggalkan keluarga, seorang istri Marmee March dan empat anak perempuan. Menjalani kehidupan dalam kecamuk perang, sebagai ayah yang dicerita selama ini, dengan surat-surat romansa dan kerinduan membuncah, ia juga manusia yang memiliki sisi negatif. Sebagai vegetarian, ia ditunjuk sebagai pendeta. Tugasnya memang di belakang garis, tapi tetap saja mengkhawatirkan. “Sebagai pendeta tentara, aku tidak diberi perintah, jadi aku berada ditempat yang kuyakini paling bermanfaat.”

Berada di pihak Union, March berpedoman tak membunuh. Sejatinya mau di pihak Union atau Konfederasi, tak terlalu berbeda sebab sisi kemanusiaan ada di atas keberpihakan. Ia mendoakan bagi para tentara terluka, mengajaknya menyebut Tuhan di setiap helaan napas. Membawakan bekal makanan, menjalin komunkasi dengan warga di sekitar lokasi perang, dan pada akhirnya menjalin asmara dengan seorang wanita kulit hitam di sebuah keluarga ningrat. “Aku dapat memperoleh makanan spiritual di geraja, karena aku hanya menemukan ritual basi dan muluk di Utara.”

Karena ini mengambil sudut pandang March yang galau, kita jadi tahu isi macam-macam kepalanya. Kesepian, jauh dari rumah, remuk secara emosional. “Terlalu banyak di antara kami yang, demi mencari laba, menukar kejujuran dengan kelicikan, kesopanan dengan kekasaran.”

Grace sang budak tampak istimewa, sebagai pelayan ia menjadi satu-satunya yang bertahan di lingkaran keluarga Canning di perkebunan Oak Landing, padahal semua budak sudah kabur melarikan diri. Ia ditahan? Tidak. Ia diberi kekebasan bila mau keluar. Ada rahasia besar, jadi kepikiran, timing hidup berperan besar akan nasib hidup. Orang kulit hitam di masa itu sungguh bernasib sedih.

March yang memang hobi baca, jadi betah tiap berkunjung ke keluarga Tuan Canning. Di sana berderet buku-buku yang jadi impiannya tinggal, seperti surga katanya. Dan juga bisa dekat dengan Grace. “Sejak dulu aku membayangkan surga mirip perpustakaan. Sekarang aku tahu bagaimana rupa tempat itu.”

Tuan Canning sendiri memiliki nasib tragis atas anak-anaknya. Uang bukan jaminan bahagia jadi nyata di sini. Makanya ada satu ‘anak’ lagi yang coba dijaga, tapi tersamar. Tampak kejam di luar, sejatinya mendamba hingga gila. Oh dunia fana yang kejam dan menyakitkan.

Suka sekali sama karakter kutu buku, tak peduli di era manapun. Apalagi membumi seperti ini. artinya sebanyak apapun ilmu yang dilahap, ia tetap haus dan tak sombong. “… Jika kukatakan aku lebih tertarik menabung kekayaan pikiran.”

Kesendirian bukanlah kawan bagi ilmu pengetahuan. Tiap ada kesempatan, ia menulis surat kepada keluarganya. Surat-surat yang kita baca di novel itu. Semangat Jo saat tukang pos datang, keceriaan membacai kata-kata. Kita jadi tahu proses kreatifnya. “Kebenaran menyusut dengan setiap kata yang kutulis.”

Rahasia asmaranya terbongkar, ia kena hukum. Terusir. Sedih, tapi memang sejatinya salah jua. Sampai akhirnya ia sakit keras, dia terkena penyakit kuning dan paru-paru basah. Di level sekarat, yang dalam buku, istrinya terpaksa datang langsung naik kereta api ke rumah sakit.

Nah, bagian ini sungguh emosional. Dengan sudut pandang Marmee, merawat suaminya dan dengan kelapanagn hati, momen membuncah melepas rindu dengan keadaan badan terluka. Apa yang didapat tak seperti yang dibayangkan, sebab wanita lain itu disebut dalam igauan, bukan sekadar ceracau asal, tapi lembut dengan kasih menghantam sanubari. Merusak mood, hingga memertanya arti kesetiaan. Bagaimana akhir perjalanan March, kita tahu di Little Women bagaimana, akhir bahagia, tapi ternyata ada duri yang menelisik di sana. Dunia orang dewasa penuh rona dan labirin rasa melimpah. “Aku tersenyum, tetapi senyum itu mati di bibirku.”

Ada bagian pasrah ikhlas saat March salah investasi sehingga sang istri akan tetap berada di sisinya. “Aku tak pernah menyalahkan suamiku karena menghamburkan seluruh harta kami untuk usaha Brown.” Bukankah di zaman kita yang namanya dana investasi juga tak bisa ditebak? Dunia ini tak bisa diprediksi dengan jitu. Alangkah mudahnya memberikan remah-remah nasehat bijak, namun alangkah sulit menjalaninya. Sesal, itu muncul belakangan.

Sebagai novel pemenang Pulitzer for Fiction 2006. Imaji Brooks luar biasa. Ingat, sulit sekali mencipta dan mengembangkan kerangka ajaib yang sudah terkenal. Little Women itu novel klasik, sakral. Ini dengan pede dibuat sisi lain, mana sukses berat pula. Puitik dengan bilur-bilur kata enak diikuti. Seperti pengakuan sang penulis di sisi catatan akhir, bahwa; “Hal yang menarik bagiku dalam fiksi sejarah adalah pengambilan catatan faktual sejauh yang diketahui, menggunakan itu sebagai perancah, lalu membiarkan imajinasi membangun struktur yang mengisi hal-hal yang tak mungkin diketahui dengan pasti.”

Ini buku pertama Geraldine Brooks yang kubaca. Tentu saja masuk daftar penulis patut kejar karya-karya lainnya. Novel ini banyak membahas iman dan prahara, dan saya suka.

Kapten March | by Geraldine Brooks | Diterjemahkan dari March | Terbitan Penguins Books, Ltd. | Copyright 2005 | Penerjemah Femmy Syahrani & Herman Ardiyanto | Penerbit Hikmah | Pewajah sampul Windu Tampan | Pewajah isi Dinan Hasbudin AR | Penata letak elcreative26@yahoo.com | ISBN (13): 978-979-114-065-2 | ISBN (10): 979-114-065-0 | Cetakan I: Mei 2007 | Skor: 5/5

Untuk Darleen dan Cassie – yang sama sekali bukan wanita kecil

Karawang, 200122 – 250122 – Sabrina – Price Tag (akustik)

Thx to Buku Aja, Yogyakarta

The Rest of Us Just Live Here

“Dunia ini tak menentu, Mikey. Waktunya singkat.” – Mel

Nama Patrick Ness sudah melekat di hatiku setelah menuntaskan novel bergambar “A Monster Calls” yang luar biasa. Ini berrati buku keduanya yang kubaca. Kubaca dalam satu hari 22.01.2022 selepas Subuh, kelar selepas Isya, dengan selingan baca tiga buku lain. Karawang hujan, betah mendekam. Yang Biasa-Biasa Saja bagus, walaupun ada beberapa tak kumengerti. Bagian pembuka tiap bab, ada satu-dua paragraf yang ceritanya antah, dengan narasi semacam acak tentang Finn, Para Abadi, azimat, Satchel, sampai kehebohan anak-anak indie. Di akhir buku dijelaskan tautannya, tapi tetap saja tampak rumit. Ada vampire, dewa, hingga manusia macan.

Buku dibuka dengan kutipan ini: “Kupikir aku bisa mengorganisir kebebasan. Betapa Skandinavia-nya aku.”Bjork

Apa yang terjadi ketika kau menua? Nah, ini tentang masa coming of age yang rentan pencarian jati diri. Kisahnya mengambil sudut pandang orang pertama, Michael Mitchell yang jatuh hati sama teman sekelasnya Henna Silvennoinen. Wanita berkulit keling yang baru putus sama pacarnya Tony. Mereka kini di masa ujung sekolah, sedang ujian kelulusan, dan menyusun rencana mau ke mana setelah lulus? Dengan setting London di era masa kini, kita dapat memahami betul, usia remaja yang galau hari-hari tak menentu di masa depan. Apa masa depan akan cukup baik baginya untuk bahagia dan terlindungi?

Mikey memiliki kakak Melinda (dipanggil Mel) yang juga satu angkatan sekolah, lebih tua tapi sekolah bareng. Pacarnya dokter Panggil Aku Steve, sering nimbrung. Adik mereka yang imut berusia 10 tahun, Meredith seorang fans berat band Bolts of Fire, band kesukaan remaja putri, yah mungkin bagi kita tampak alay, tapi setiap orang pernah mengalami masa alay ‘kan? Hehe, apa kabar Backstreet Boys, Westlife, NSYNC? Lagi demen bahasa Jerman, makanya kursus dan sering mempraktekkan sama teman-teman Mike. Ia kesal kalau dipanggil ‘Merde Breath’, terutama sama Jared. Ayah mereka Ed alkoholik akut, hingga akhirnya menyerah untuk masuk rehabilitasi. Ibu mereka Alice, adalah politikus yang sedang di puncak karier, sampai akhirnya mencalonkan diri untuk menjadi orang nomor satu di kota itu setelah ‘seterunya’ tumbang lebih awal. “Itu kan politik. Kotor dan menjijikkan dan mencemari semua yang disentuhnya.”

Henna tampak luar biasa, ia adalah karakter favorit di sini. Rencana akan ke Afrika Tengah selepas lulus, melakukan kewajiban misionari. Teman-temannya coba mencegah, tapi bisa apa? Keputusan break dengan Tony juga dijelaskan dengan emosional, bukan karena ada penghianat, bukan pula karena tak lagi cinta, sang pacar ingin selepas sekolah langsung menikah, permintaan yang sulit diwujudkan, dan di sinilah Mike masuk. Nama belakangnya keren, Silvennoinen, itu nama Finlandia.

Dalam perjalanan malam, mereka berdua kecelakaan. Seekor rusa melintas dan tertabrak. Ternyata tak hanya satu, tapi gerombolan rusa. Mengakibatkan tangan Hena patah hingga harus pakai gip di sisa semeseter, wajah Mikey memar, meninggalkan luka permenan goresan. “Aku mengaku pada Henna aku mencintainya, persis sebelum kami menabrak rusa.”

Anak baru, pindahan dari Negara bagian lain, Nathan jadi sering dicurigai. Dia muncul dan anak-anak indie mulai terbunuh. Sebab tampak aneh, pindah di kelas tiga SMU, di masa tinggal ujian akhir! Apakah ia dibalik bencana? Ataukah juga korban? “Apa itu akhir dunia?” kata Nathan, dan ditimpali Jared, “Aku ragu akhir dunia akan dimulai dari kota kita, meskipun mungkin bisa saja, sebenarnya.”

Nah, satu lagi tokoh utama yang menyita perhatian. Sahabat kental, terbaik Jared yang gay. Ia tumbuh dengan unik. Di tengah-tengah keajaiban, seolah kontradiksi dengan segala isi buku ini yang katanya biasa-biasa saja. Ia ternyata memiliki kekuatan istimewa, bisa menyembuhkan luka, punya ‘pegangan’. Ia sering ada di samping sobatnya saat dibutuhkan, ia bukan manusia, ia adalah makhluk super! “Tidak semua orang harus menjadi sosok pilihan. Tidak semua orang harus menjadi sosok yang menyelamatkan dunia…”

Lantas, pusaran kisah memenuhi banyak tanya. Seperti di tiap awal bab yang abu-abu, ada vampire yang mengintai. Kematian demi kematian anak-anak indie, pembunuhan atau bunuh diri? Hingga serangan teror di konser musik amal Bolts untuk penderita kanker. Konser yang sangat dinanti Meredith itu gagal total, menodai banyak hal, termasuk nama baik kota kecil mereka. Namun, serangan teror yang beralibi gas pipa itu bukan yang terakhir, di akhir kisah malah lebih besar ledakannya, lebih menyeramkan. Kengerian terbesit bahwa ini akan jadi kesempatan emas untuk meledakkan banyak orang lagi!

Tema remaja sejatinya tetap menarik kalau dituturkan dengan bagus. Saya tak anti sama berbagai genre. Tak melulu cinta dan kegalauannya. Itu bisa jadi sisipan saja, jangan jadi tema utama. Seperti buku ini, cinta wajar di usia belasan, tapi hanya jadi tunggangan. Orang dewasa, bagaimana mereka hidup di dunia? Atau mungkin begitulah cara mereka hidup di dunia. Makanya, saya tetap menikmati buku-buku remaja, termasuk fantasi. Kalau ditulis dengan baik, tak kalah dahsyat sama sastra.

Michael digambarkan murid cerdas, ujian dianggap biasa saja. Dia sudah belajar keras selama ini, jadi ujian kelulusan tinggal jalani. Bisa melewati masa sekolah dengan selamat saja sudah syukur. Jangan lupakan pula, tradisi prom, dansa jelang kelulusan di dunia Barat yang sakral bagi kebanyakn orang. Di sini jadi momen menyenangkan juga, akan dikenang di kemudian hari. “Kuliah merupakan semacam formalitas – aku tahu aku takkan gagal – tapi senang juga melihat formalitas itu terpampang nyata. Kehidupan baru, aku datang, kurasa.”

Di negeri Barat yang maju, kecelakaan mobil bagi remaja bisa tetap tenang. Salut sama bagian, mobil dibiarkan saja tergeletak di pinggir jalan. Yang utama adalah korban diselamatkan. Setelah beberapa hari, Mikey balik lagi ke sana, HPnya yang tertinggal masih ada! Bayangkan, kalau di sini, bisa-bisa kecelakaan, barang-barang korban jadi rebutan warga. Karena pernah kejadian, temannya temanku, kecelakaan kereta api, tas berisi dompet dan HP raib diambil saksi di TKP!

Ada satu bab penuh, isinya dialog Mike dengan seorang psikolog Dr. Luther. Full kalimat langsung. Seolah tak penting, tapi tampak eksotik. Bayangkan, satu bab penuh isinya orang ngrobrol! Sederhana, menarik.

Selain bagian-bagian awal bab yang membingungkan, ada sikap Henna yang yang juga tak langsung klik. “Gara-gara perasaan perut Henna padanya.” Perasaan perut itu apa ya? Hingga ujung buku tak kutemukan jawab, lebih bingung daripada sebelumnya. Atau bagian saat debat akan sebuah kegagalan, bagi kalian dan orang lain beda-beda persepsi. “Pasien kanker tak menyebut kemoterapi adalah kegagalan. Pengidap diabetes tak menyebut insulin adalah kegagalan.”

Di bagian catatan pengarang di akhir buku, kalian akan makin jatuh hati sama Patrick Ness. Dua nama penting di sini dipinjam dari dua orang luar biasa, sungguh motivasi tribute sempurna. Salute!

The Rest of Us Just Live Here | by Patrick Ness | Copyright 2015 | “Hunter” written by Bjork © 1997 | GM 617164001 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Angelic Zaizai | Editor Barokah Ruziati | Desain sampul Robby Garsia | Cetakan pertama, 2017 | ISBN 978-602-03-3546-9 | 288 hlm: 20 cm | Skor: 4/5

Untuk saudariku yang jempolan, Melissa Anne Brwon, yang baik hati sekaligus kocak, kombinasi sifat terbaik

Karawang, 240122 – Linkin Park – P5hng Me Awy

Thx to Ade Buku, Bds

Nama Saya Tawwe Kabota

Nama Saya Tawwe Kabota

“Aku suka kakak Bulu sama seperti aku menyukai laut.”

Apa yang akan kunikmati dari kenangan masa lalu itu? Cerita sungguh sinetron. Hanya setting tempatnya dipindahkan ke Indonesia Timur. Dramanya juga standar, bagaimana cinta yang terluka lantas melampiaskan ke orang lain yang lantas memiliki anak, adat melarang zina, masa berlari di jauh hari kemudian, di hari tua ia bertemu dengan salah satu tokoh yang ia kenal tanpa sengaja. Nah, tipikal sinetron ‘kan? Judulnya bisa jadi, “Rekan Kerjaku dari Amerika Ternyata adalah ****ku Sendiri.” Atau bisa lebih sinetron bisa juga, “Dunia Bulu.

Kisahnya tentang Bulu yang sejatinya sudah dijodohkan dengan Ghole, perempuan satu suku. Mereka berdua dari keluarga yang sangat memelihara teguh adat Merapu turun temurun sejak moyang. “Kadang, cintaku pada Ghole sekuat benciku padanya.” Namun waktu telah menempa keduanya untuk menemui kerasnya kehidupan. Kuliah di Bali, masa muda yang menggairahkan itu kebablasan. Bulu malah menghamili wanita asing bernama Kalli. Wanita merdeka yang tampak cerdas dan membuncah. Merokok, menjunjung feminism, merdeka. Sesuai adat di sana, di daerah Merapu, Nusa Tenggara Timur. Maka dilakukan upacara buang sial. Upacara pelepas aib atau biasa disebut Tawwe Kabota.

Hiruk pikuk kemudaan akan bermuara pada kesendirian dan kekerontangan. Lantas apakah Bulu menyesal? Dalam sebuah kejadian aneh, justru menyaksi Ghole mencium sahabatnya dari luar negeri, mereka lesbi! Ya ampun, tema buku malah absurd. Keputusan-keputusan tak kalah aneh berikutnya terjadi, dan memang, dunia orang dewasa itu keras sekaligus membingungkan.

Lantas di masa kini, Bulu sudah jadi arkeolog, laki-laki kampung sarjana arkeolog tua lebih tepatnya, lajang sebab ada ‘musibah’ yang menimpa Kalli. Ia mendapat tawaran pekerjaan dari sebuah intitusi luar negeri untuk melakukan penelitian di Kupang. Dan pekerja-pekerja lain dikirim untuk jadi admin, staf, dan asistennya. Kejutan disampaikan, tapi sungguh terasa sinetron, sebab hal-hal dramatis sejenis itu hanya ada di TV dengan zoom dan skoring jreng-jreng-jreng membahana. Apakah kejutannya?

Beberapa nasehat juga disampaikan. Yang ini pernah baca: “Tiga hal yang tidak akan kembali, kata-kata yang telah diucapkan, waktu yang sudah pergi, dan kesempatan yang terbuang percuma.” Hanya dimodifikasi sahaja, salah satunya adalah “anak panah yang melesat dari busurnya” untuk kata-kata kesempatan.

Lalu hikayat Sysyphus juga disinggung, “Karena tak ada lagi siksaan yang lebih parah daripada mengerjakan suatu pekerjaan sia-sia.” Kita tahu cerita makhluk pendorong batu ke bukit, yang lantas menggelinding lagi ke bawah. Dilakukan lagi mendorong batu, menggelinding lagi, dst. Capek, tapi ini kewajiban Bro. Sedih ya? Apakah kehidupan juga seperti itu?

Atau nasehat tentang kesempatan. “Kehidupan telah memberiku kesempatan namun kebodohan telah merampok daging dan pikiranku sehingga memberiku impian yang terus saja merontok.” Tentu saja semua orang memiliki waktu selama hidup, hanya beda-beda persepsi, penggunaan, durasinya. Masa muda memang masa yang luar biasa, maka masa itulah kesempatan emas sejatinya.

Atau tentang mengenal sifat manusia? “Jika ingin tahu siapa orang itu, seperti apa budayanya, kunci utamanya adalah lihatlah apa yang dimakannya.” Ya, bisa jadi. Tapi makanan hanya salah satu indikator. Kebiasaan yang lebih luas bisa menjadi patokan. Kalau dalam ilmu sosiologi ada dua hal pembentuk karakter seseorang: kebiasaan dan tingkah laku.

Bukunya tipis sekali, dicetak mungil seperti buku saku, dan jumlah halamannya hanya seratusan. Kubaca sekali duduk pada 11.12.21 saat jadi sopir keluarga ke Mal Resinda Park, Karawang. Kutuntaskan di parkir lantai basemen. Buku pertama Mezra E. Pellondou yang kubaca, ini adalah buku keduanya setelah Loge. Terlihat beliau memiliki semangat menggebu untuk menulis cerita, patut dihargai dan dinanti. Walau buku ini terbaca biasa saja, semangat dan misinya luar biasa. Baik, kita lihat saja apakah blog ini akan mengulas buku karya beliau lainnya suatu hari nanti.

Nama Saya Tawwe Kabota | by Mezra E. Pellondou | Cetakan I, Mei 2008 | ISBN 978-979-168494-4 | Penyunting Raudal Tanjung Banua | Desain isi Adi Samara | Desain sampul Nur Wahid Idris | Gambar cover Katrin Bandel | Penerbit Frame Publishing | Skor: 3/5

Untuk tiga lelakiku: Adi, Mujizat, dan Amsal

Karawang, 200122 – Eagles – Hotel California

Thx to Jual Buku Sastra, Yogyakarta

The Man with the Answers: Tampak Dingin, Tampak Hening

“Sepertinya dunia sudah terlalu kompleks untuk jawaban sederhana.”

Tampak dingin. Tampak hening. Film perjalanan, dengan kecamuk masalah dalam kepala, seorang pria melakukan perjalanan melintasi laut dan Negara untuk menemui ibunya, yang di matanya sungguh bermasalah seakan ingin ia ledakkan. Ia mantan atlit renang hebat yang menekuri kebimbangan. Berkenalan dengan pria asing, agak nakal tapi nyatanya tak senakal itu, saling melengkapi, menghargai, dan dari keisengan jadi membuncah. Sepanjang perjalanan, yang satu melontarkan pertanyaan, yang lainnya menjawab. Ya, dalam perjalanan inilah orang belajar sabar. Inilah film Yunani yang mewakili Oscar tahun ini, tak masuk daftar pendek.

Kisahnya tentang Victor (Vasilis Magouliotis) di Yunani, yang tinggal sama neneknya yang sakit menua. Dengan sepedanya ia menjenguk, mengirim bunga, dan tak lama kemudian neneknya meninggal. Ia kini sah sendirian, maka gegas hubungi ibunya yang kini sudah menikah lagi dan tinggal di Jerman. Ibunya tak bakal sempat datang di pemakaman, dengan seremoni sederhana, ia mengantar neneknya ke peristirahatan terakhir.

Victor lantas melakukan perjalanan, jauh ke Jerman menemui ibunya, menemui adik tirinya yang akan merayakan ulang tahun. Dengan uang pas-pasan, menjual medali renang yang ia punya, mobil tuanya dibuka selubungnya, kembali diaktifkan, mulailah ia berpetualang. Mobilnya tua dan polos. Tak ada stiker bumber. Tak ada apa pun yang menunjukkan afiliasi politik, nurani sosial, atau tim olahraga favoritnya. Tak ada apa pun kecuali kesederhanaan.

Sendiri, bermobil lintas Negara, naik kapal feri. Di atas lautan itulah ia berkenalan dengan pemuda, tukang curi. Mengambil roti di kantin kapal, menawarinya separuh, ditolak. Victor mendengus dan menggelengkan kepala perlahan-lahan. “aku mengambilnya, karena harganya yang kemahalan.”

Pasif, berbohong ia tak berkendara, males kenalan sama pencuri. Namun memang keadaan memaksa mereka kembali bertemu dan pada akhirnya menjadi teman jalan. Mathias (Anton Weil) adalah seorang petualang, ia juga mau ke Jerman. Dengan melihat orang tersenyum, sebenarnya kita tahu betapa sifat orang itu, dan apabila tersenyum tulus seseorang yang baru pertama kali berkenalan dengan kita enak kedengarannya, bolehlah kita percaya, bahwa ia seorang yang baik. Sudah bisa ku tebak, Mathias akan jadi teman perjalanan yang hebat.

Ia bisa bahasa Italia, menyarankan lewat selatan agar bisa menikmati pemandangan menakjubkan, mandi di danau, mampir ke pesta perkawinan. Banyak adegan lucu akan kekakuan tindakan, pesan makan, yang mengenyangkan tapi murah. Ada polisi lalu lintas, oh tidak ada SIM. Dansa-dansa bernuansa keceriaan. Ada saat-saat mereka berbagi rokok, bukan karena ingin berhemat, tapi tersebab metafora kebersamaan. Rokok itu terasa rapuh di antara jemarinya. Hingga pada keputusan penting, apakah mereka akan terus bersama atau berpisah di jalan?

Penumpang menanyakan acak hal-hal yang pernah dilakukan Sopir di masa lalu, dan dijawab sambil lalu. Dalam perjalanan jauh ini dua orang asing saling melengkapi, terjadi tautan kuat, walau perbedaan pandangan beberapa kali muncul. Lantas, saat kita sampai di garis finish, apakah kepuasan yang didapat? Ataukah kemuakan akan kerinduan masa lalu yang takkan terulang?

Karena ini film perjalanan, kita disuguhi pemandangan indah di setiap sudutnya. Victor yang penyendiri mendapati hal-hal baru, pengalaman baru, ia seolah mendapat seseorang dengan titik temu yang klop. Dengan ditanya, ia dipaksa menjawab, dengan menjawab maka terjadilah komunikasi, secara otomatis lempar tangkap pembicaraan ini menjadi alur, Victor mencurahkan kemasygulannya. Dalam perkataannya tersembunyi ketetapan.

Drama perjalanan memang selalu menarik. Kita tak tahu ada apa di ujung perjalanan itu, apalagi walaupun ia seorang tenang, sejati memendam amarah. Ini bisa jadi bahan renungan. Riak-riak yang muncul juga terlihat realitis, dan dalam pendewasaan ia berhasil menyingkirkannya. Entah di tahun berapa setting film, ia masih mengandalkan peta kertas lebar yang dibentangkan, bukan Google map yang lebih praktis. Kejadian di hotel itu ditampilkan refleks, tak niatan menghadirkan seksualitas, tergambar mereka normal, tapi saat akhirnya terjadi kita seolah memakluminya, sebab ini sudah iradat Tuhan.

Tujuan kita semua adalah kemerdekaan. Maka akhirnya pertemuan terjadi lantas muncul rasa untuk memaafkan, sekaligus dimaafkan, di situasi seperti itulah kita semua sejatinya telah merdeka.

The Man with the Answers | Year 2021 | Greece | Directed by Stelios Kammitsis | Screenplay Stelios Kammitsis | Cast Vasilis Magou;iotis, Anton Weil, Pier Andrea Bosna | Skor: 4/5

Karawang, 190122 – Stan Getz – Tenderly

Penjual Bunga Bersyal Merah

“Bunga yang kucari benar-benar bunga yang menggambarkan kesedihan. Bunga yang menggenapkan luka.”

Apa yang bisa saya kupas? Ceritanya abu-abu, beberapa tampak tak wajar. Tak serta merta langsung terpahami sebab disampaikan dengan diksi tak umum. Butuh beberapa detik untuk klik tiap beberapa paragraf, walaupun tak rumit-rumit amat, tapi tetap saja intinya tak linier. Beberapa memang berlanjut, beberapa cerita sudah lepas landas. Tak perlu kerut kening memikirkan inti cerita, mengalir sahaja sebab seperti hidup ini, tak perlu pusing-pusing mau kemana, yang utama dan pertama adalah saat ini, bukan berlebih mengkhawatirkan masa depan apalagi masa lalu yang sudah dilindas kenyataan. Bahagia itu kapan? Sekarang! Sebab orang yang tidak bahagia akan padam perlahan-lahan.

Jangankan sebulan dua bulan, tak sampai seminggu inti buku ini sudah terlupakan. Kalau ditanya kisahnya tentang apa, sederhananya mengacu pada judul, tentu akan teringat adegan jual beli bunga. “Tuhan yang melakukannya agar aku sampai pada takdirku terlahir sebagai penjual bunga kesedihan.”

Cerita sejenis ini akan hanya masuk memori sesaat, renamen. Tancapan pakunya tak kokoh. Entah, mungkin plotnya yang biasa, atau dasar pijaknya tak kuat. Walaupun begitu, ada dua yang lumayan bagus. Pertemuan di mimpi yang tak bisa kita kendalikan dan kita bisa apa saat mimpi tak bagus, kita terpaksa menyapa dan melanjutkannya ‘kan? Kita tak sadar ini adalah mimpi, ini adalah dunia antah surantah, apa saja bisa terjadi, “Hanya saja, karena janji itu terjadi di dalam mimpi, maka aku tidak bisa menolaknya.”

Dan kesempatan kedua di cerita akhir. Bukan sebuah penyesalan saat kita memutuskan sesuatu, hidup pilihan, saat sudah memilih lubang cacing ini, maka kamu hanya bisa maju terus, entah apa yang kamu temui di ujung lubang pilihan itu, memang itulah jalan takdir. Sudah digariskan, kita hanya jalani, merangkak menyusuri cahaya dalam lubang. Lantas saat kesempatan kedua itu ada, bahwa kamu menemukan lubang cacing lain yang memberi semacam perulangan nasib yang tak dipilih, tanpa perlu membengkokkan luka, atau meneriaki dinding lupa penuh amarah, akankah diambil? Hanya dijawab, hatinya megar. “Aku tahu kau perempuan yang hidup dengan mimpi-mimpi besar.”

Banyak metafora, pengandaian dengan kupu-kupu sebagai binatang buruan. Bunga sebagai cinta, dan juga kesedihan, atau patung, sebuah benda seni yang dicipta dengan ketelitian rumit. Menyenangkan sejatinya permainan psikologis, pengandaian sebagai tunggangan. Rona-rona dunia bawah sadar, gilda-gilda puitik, atau lontaran tanya sebenarnya penulis bermaksud apa? Atau mau ke arah mana, sedikit banyak libatkan pembaca, ajaklah emosi bersama dengan tokohnya. Namun balik lagi, yang utama adalah cerita. Lelaki Harimau bisa begitu hebat, sebab twist-nya disimpan di ujung. Menuju ke sana kita harus sabar, perjalanan itu tetap menyenangkan. Cerita, utama.

Di halaman 161, ada dua paragraf penuh dengan pengulangan nama Cesel. Paragraf pendek itu terdapat 11 kata itu. Bacanya sampai kesel. Ada satu lembar cetak dobel. Ga papa sih kalau dobel, yang masalah cetak kurang. Di Toko Kue Yosilia, halaman 195-196 terdapat dua.

Nama-nama tokohnya modern atau sudah kena hok racun abad ini, tak ada Joko, Budi, Agus, atau segala nama berawalan Su- yang berarti baik. Inilah yang membuat cerita ini malah ngawang-awang. Sudah ceritanya dituturkan dengan melingkar, nama-nama karakter juga tak lazim. Simak saja: Maganda, Bibo, Martina, Dora, Lili, Landra, Kae, Odera, Masya, Tanalia, Cesel, Shana, Nomimi, Niceli, Norm, Nenek Ce, Yosilia, Loneli, Marinda, Tara, Jiro, Vivin, Derapu, Lucy, Anan, si kembar Nadhira Nadhiva. Lihat, tak satupun ndeso. Kalau saya diberi kesempatan menulis, hal sederhana seperti ini takkan kulakukan. Tak membumi, tak baik, terlalu ke-Barat-an. Kalau setting cerita misal di Middle Earth, dunia antah rekaan, kita maklum ada nama Bilbo atau Frodo, masalahnya cerita ini di Indonesia, dimana Mas Agus?

Sepintas lalu, saya menemukan pos di media sosial sebuah foto presensi anak-anak sekolah dengan kerumitan nama, bahkan ada yang berisi huruf konsonan dominan, di sini sudah diwakilkan. Masalahnya, pos itu rerata isinya hujatan, atau setidaknya kekesalan. Name, now day…

Ambil contoh beberapa buku lokal akhir-akhir ini yang kubaca. Jatisaba, tokoh utamanya bernama Mae, bukan May atau Mey, tapi Maesaroh. Membumi bukan? Saya suka sekali Jatisaba. Segala yang Diisap Langit tentang Sumatra seabad silam, nama tokohnya Bungo Rabiah. Membumi sekali ‘kan, saya suka. Rekayasa Buah, di zaman masa depan. Tokoh-tokohnya aneh semua, rekayasa murni, ngawang-awang. Rekayasa Buah mencipta banyak sekali varian kata baru yang bikin kzl, seolah turut merasakan buah busuk dilahap, pengen muntah. Saya memberi rate buruk, sangat buruk. Damar Kambang, setting Madura isinya nama-nama daerah sana seperti Kacong, Cebbhing, dan tradisi karavan sebagai tunggangannya. Sudah sungguh pas. Bagus banget. Lihat, setting menentukan kebiasaan, budaya, tradisi, dan tentu saja juga penamaan tokoh. Satu lagi deh, contoh buku Bibir karya Krishna Mihardja, itu penamaan tokohnya membumi banget, dari Dimas hingga Rini, dari Sastro sampai Gimin. Saya suka sekali, cerita kritik sosial membumi sejenis ini.

Karena saya tak bisa gambar dengan bagus (Ciprut pintar sekali bikin ilustrasi di segala tempat), ilustrasinya berhasil melukiskan sekelumit kejadian. Pada dasarnya saya mudah suka pada hal-hal yang tak umum atau tak kubisai. Menilai buku/film misalnya, itu umum dan rutin. Makanya kalau ceritanya sekadar repetitif, alai, atau biasa ditemui, nilainya pasti kecil. Karena sastra tak banyak yang mencantum ilustrasi di dalamnya, makanya mudah jatuh hati. Di sini, setiap cerita/bab ada gambarnya. Suka.

Terakhir, sebelum kututup catatan ini, ternyata bukan dua cerita yang tersisa lekat di ingatan. Satu lagi yang justru paling bagus adalah pertemuan di kafe tentang penantian. Orang asing yang ngopi, disapa, menanti kekasih yang tak kunjung datang, lantas ia malah cinta. Dan ia menggantikan kedudukannya. Bisa-bisa, agak lebai tapi nalar replacement sejenis ini masih sangat bisa diterima, dengan terbuka. “Cinta macam apa yang bisa tumbuh pada gadis yang sedang patah hati?”

Penjual Bunga Bersyal Merah dan Cerita Lainnya | by Yetti A. KA | Penyunting Mahajjah Saratini | Penyelaras akhir RN | Ilustrator Isi Amo | Tata Sampul Joni Ariadinata | Lukisan Karya Arif Bahtiar (drawing.ink on paper) | Tata Isi Violetta | Pracetak Antini, Dwi, Wardi | Penerbit Diva Press | Cetakan pertama, Juni 2016 | 224 hlm; 14 x 20 cm | ISBN 978-602-391-180-6 | Skor: 3.5/5

Karawang, 180122 – Manhattan Jazz Quartet

Thx to Ade Buku, Bdg

Jatisaba: Seperti Palur, Semua Desa Memiliki Romansanya Tersendiri

Aku juga baru mendengar belum lama ini. Dulu kita masih kecil, Mae. Semua tampak indah tanpa masalah. Begitu sudah menjadi ibu seperti aku ini, kulit keindahan dunia terkoyak, dan tampaklah borok-borok tersembunyi itu.” – Musri

Bagus. Ini adalah novel kedua Ramayda Akmal yang kubaca setelah Tango dan Sadimin yang luar biasa itu. Cerita masih berkutat dalam realita muram kehidupan kampung dengan segala problematikanya. Kali mengangkat isu pemilihan kepala desa, buruh migran, dan kenangan masa kecil yang menguar mengancam. Dedikasi akan kampung halaman bisa berbagai macam cara, tapi merenggut para pemudi untuk diangkut ke negeri seberang dengan berbagai iming-iming, dan tahu bakalan amburadul, jelas bukan dedikasi yang laik ditiru. Sayangnya, ini bukan isapan fiksi belaka.

Kisahnya mengambil sudut pandang orang pertama, Mae yang dalam pembuka dinarasikan pulang kampung. Ia adalah juga buruh migran, naik pangkat sebab ekonominya sedikit terangkat. Punya koneksi dengan orang-orang penting. Ia mudik bukan sekadar nostalgia menikmati kenangan, tapi mengemban tugas merekrut para wanita untuk dijadikan Tenaga Kerja Wanita (TKW) asing ke negeri Jiran.

Secara bersamaan sedang ramai kampanye pemilihan kepala desa, dengan tiga kandidat. Dan seperti yang kita semua tahu, pilkades selalu ricuh, anarki, korupsi di mana-mana, segala cara kotor disajikan demi kemenangan. Di sini jelas dibahas banyak, dominan malah sebab sebagai kuda tunggangan Akmal untuk memuluskan plot utama.

Mae tinggal sama saudaranya, Sitas yang hidup susah. Jualan cendol, kamar kumuh, di belakang rumah bau kandang bebek. Gambaran hitam keluarga miskin dengan mengalir saja kehidupan. Mae tentu saja mengeluarkan banyak kocek demi melancarkan aksi, ia seperti berdiri di tengah-tengah dua kandidat Juragan Jompro dan Mardi. Secara umum jelas ia menjadi juru kampanye Jompro sebab calon ini membantu administrasi bagi calon TKW yang direkrut, ada pula pelindung sekaligus pelaksana pelancar misi perekrutan, Malim yang sudah tahu luar dalam Mae. Kadang hitam, kadang putih, kadang bukan keduanya.

Tapi sedikit banyak Mae juga condong ke calon Mardi, karena di sana ada sobat masa kecil yang dulunya adalah cinta monyet Gao, dulunya pemain Ebeg Jayeng Wisesa yang bubar sebab kasus rumit tentang salah lempar tuah. Walaupun tentu saja, ia muak sama pilkada, sama seperti kita semua.

Calon lainnya tak terlalu dieksprore Joko, tapi ternyata sama berbahayanya. Ketiganya mengeluarkan modal yang sungguh banyak. Janji-janji diumbar, sembako dibagikan, uang dilipat dan disalurkan. Bahkan cara buruk dengan mengintai dengan ninja dilakukan. Mae, ada dalam pusaran itu. Kebimbangan adalah wajar, siapa sih yang tak gentar di posisi dilema saat ancaman muncul di banyak penjuru? Hingga akhirnya keputusan-keputusan dibuat dengan konsekuensinya masing-masing. Endingnya bagus, tak tertebak. Bukan bagian tawonnya, tapi bagian mata-mata yang mengembara itu tak jauh dari jangkauan tangan.

Sedikit kita kupas beberapa hal yang menggelitik di sini. Calon pertama Jompro, seorang yang egois sebab tidak peduli kepada apa pun, kecuali perasaannya sendiri. Ia mengabdi untuk dirinya sendiri. Dalam negosiasi bahkan ‘memakai’ Mae. Duitnya banyak, tapi jelas sungguh gilani. Calin kedua, Mardi sama buruknya. Polos mungkin, tapi naïf juga. Banyak mengapa bila dipandang dari sisi awam, ia mengeluarkan duit tapi juntrungnya tak jelas. Ada nada kasihan, tapi ya birokrasi politik memang kejam. Ketiga, Joko. Sejatinya diluar lingkar kisah utama Jatisaba, tapi halaman terakhir buku ini malah memberi pengesahan betapa pilkades di manapun tuh bobrok.

Tahun lalu, saya saksi sendiri. Di desaku di Karawang, pilkades mawut. Money politic dilakukan terang-terangan. Uang digelontorkan bak air bah ke warga. Perbiakan jalan, pembagian sembako, amplop diedarkan dengan lancar, stiker dukungan dipasang di tiap pintu, yang lantas serangan fajar dilakukan. Lempar tulah, ancaman dukun, sihir hitam tak lepas dari lingkaran. Saya sendiri tak ambil amplop manapun, saya malah pilih calon minor, dan tentu saja kalah, tak mengapa. Setidaknya saya berpartisipasi politik, pernah dengar jargon, “Pilihlah yang buruk dari yang terburuk.”

Mempunyai kenangan indah itu memang berisiko besar. Ketika mengingatnya, seluruh kebahagiaan di dunia seolah dihadiahkan kepadaku. Itulah kenangan. Kenangan adalah kehilangan terbesar. Suka sekali bagian nostalgia. Kita semua memiliki masa kecil yang bahagia. Hal-hal kecil di masa lalu seperti itu terasa sangat indah dan berarti bagi kita semua. Di sini tentu saja dimofikasi, “kenangan bisa menggerakkan seseorang menjadi begitu kejam.” Dan dengan bigitu kita mampu memasuki babak imaji, dan konfliks yang disaji bisa dinikmati.

Suka sama kalimat ini, “Setelah gemuk dan kenyang oleh angan-angan, aku akan memasukkan mereka satu per satu ke mesin pemotong, seperti nasib ayam legorn. Berpesta sebentar sebelum kemudian disembelih.” Sebuah pengandaian pas betapa saat kita mengingin sesuatu, kita membuai target. Target bisa apa saja. Di sini, para calon korban TKW. Sedih, dengan fakta, “… kemudian disembelih.” Berita kematian TKW memang sudah sangat sering muncul di berita, tapi kenyataan pahit di daerah bagi keluarga kurang mampu tetap saja memaksa keluar kandang. Perdagangan manusia yang terus terjadi, terus berulang.

Novel ini memang Sayembara Novel DKJ 2010. Biasanya naskah yang menang, naik cetak tak lama berselang dari tahun penyelenggaraan. Entah cetakan mulanya di mana, di sini hanya dicantum dicetak kembali pada Maret 2017. Walau bukan jaminan pemenang DKJ bakal memuaskan pembaca, tapi setidaknya ada saringan handal para panitia. Dan kali ini sepakat, ini buku bagus. Mungkin sedikit dibawah Tango, yang benar-benar matang dan menghentak. Namun jelas, karya-karya Ramayda laik dinanti. Dua buku memuaskan jelas bukti sahih, dia salah satu penulis lokal paling handal.

Catatan kututup dengan nada sentimental. Dulu awal-awal merantau saya merasakan kegetiran perpisahan. Dengan orangtua, dengan saudara, dengan orang-orang terkasih. Dan tentu juga desa kecilku di Palur. Mengingat itu mencipta anak sungai air mata. Masa muda yang takkan kembali. Namun, pemuda memang pantasnya merantau, menemui banyak petualang. Maka pas sekali kalimat ini saya kutip, “Kenikmatan perpisahan justru ada pada ketidakrelaan kita untuk pergi.”

Jatisaba by Ramayda Akmal | Penerbit Grasindo | 2017 | Dicetak kembali pada Maret 2017 | 57.17.1.0017 | Penyunting Septi Ws | Perancang sampul Studio Broccoli | ISBN 978-602-375-871-5 | Skor: 4.5/5

Karawang, 120121 – Richie Hart – Blues for the Half Note