Yuni: Menggambar Menggunakan Angka-Angka

“Perempuan harus mahir di dapur, di kasur, dan pakai pupur…”

===Mungkin catatan ini mengandung spoiler===

Catatan akhir tahunku adalah ulasan Yuni. Ketika teman-teman pulang kerja lebih awal, saya menulisnya di meja kerja. Salah satu film lokal terbaik tahun ini. Menyenangkan menyimak puisi dalam bentuk visual audio. Puisi itu menjelma filosofi yang samar-samar dalam benak semua orang jadi beberapa baris kalimat ringkas yang bermakna, bermanfaat, dan siap dipraktikkan. Film ini, dalam pengandaianku seolah menggambar menggunakan angka-angka, rumit sekaligus seru. Pridom abis!

Kisahnya tentang Yuni (Arawinda Kirana ), siswi SMU cerdas penyuka ungu. Semua serba ungu. Motor, deterjen, pita, sepatu, segala aksesoris ungu ia kenakan. Bahkan minum pun, jasjus rasa ungu anggur. Di sekolah kalau ada siswa kehilangan barang warna ungu, dialah tersangka utama. Well, inilah cerita Yuni Ungu di masa remaja yang galau.

Guru bahasa Indonesia, Pak Damar (Dimas Aditya) tampak berwibawa. Setelah dipanggil Bu Guru tentang kebiasaan buruknya mengambil barang orang karena unggu dan rencana beasiswa kuliah bagi siswa berprestasi, ia dipanggil Pak Damar. Diberi tugas mengulas puisi, dipinjamkannya kumpulan puisi karya Sapardi Joko Damono: Hujan Bulan Juni. Pas adegan ini, saya langsung wow. Almarhum paestro penyair kita diberi ruang.

Masa-masa sekolah yang hingar bingar juga ditampilkan. Pulang sekolah main ke pantai, ke tanah lapang, bergosip ria. Salah satu sahabatnya tak lanjut sekolah, punya anak. Update instagram dengan berfoto ria. Hal-hal umum terjadi.

Yuni memiliki pengagum. Dengan malu-malu, ia membantu mengerjakan soal sastra. Puisi yang mau diulas sudah ia libas. Ada link di sini, dan jiwa remaja ini penuh kegugupan saat bertemu perempuan. Wajar sekali, aku (atau juga kalian?) pernah mengalami masa itu. Jadi jangan ketawa betapa gemetarnya. Ia hanya seorang remaja yang berada dalam dilema dan sedang jatuh cinta.

Suatu hari Yoga (Kevin Ardilova) yang menjaga konter pulsa, meminta Yuni menuliskan nomor HP yang mau diisi dengan iming-iming sedang ada promo. Lantas, berkali-kali berbenturan perlu membuat mereka dekat, walau tak dekat. Ujungnya saat sedang galau Yuni menikmati semilir angin pantai, Yoga turut serta dan terjadilah apa yang menjadi puncak kemerdekaan, perlawanan. Manusiawi sekali adegan di ruang kosong itu. Ia hanya perlu mengambil cadangan keberanian rahasia yang telah terkumpul dalam dirinya selama berbulan-bulan, setelah memandang pantai dan memikirkan konsekuensi, ia melaksanakan momentum.

Suatu hari saat motornya mogok, minum es ungun dalam plastis di warung pinggir jalan. Ia berkenalan dengan Suci (Asmara Abigail) yang mengenalkannya pada kebebasan. Perempuan harus bersuara, harus bisa mandiri. Memiliki salon, janda tanpa anak, berdandan, merdeka. Bisa memenuhi kehendak bebas. Suci, memberi ruang padanya untuk menatap masa depan dengan lebih berani. Melawan ketidakmapanan, penindasan.

Serumah sama neneknya, perokok, penyuka karaoke, suka masak bagi ke tetangga. Kedua orangtuanya kerja di Jakarta. Konfliks sesungguhnya dimulai dari sini, Yuni mengantar makanan ke saudaranya yang tinggal di seberang. Pamannya ga ada, yang ada sepupunya. Seorang buruh proyek gondrong dari Semarang, jatuh hati pada pandangan pertama, dan lantas mengajukan lamaran.

Remaja, masih sekolah. Dilamar orang asing, tentu saja ditolak. Namun budaya lokal menggunjing, menolak lamaran itu pamali. Tak hanya sekali, Yuni yang saat main sama temannya di sebuah kolam renang, bertemu juragan haji. Yang beberapa hari kemudian datang membawa istri pertama yang mengizinkannya poligami. Bgst! Uang jadi media goda, bah siapa yang madu dimadu? Dengan tawaran mahar awal 25 juta. Dan nanti setelah menikah, akan dilipatgandakan, asal masih perawan. Gila, aki-aki ini. Lamaran ketiga muncul lagi, dan kali ini akankah ia punya kuasa untuk melawan?

Menggunakan bahasa asli daerah. Bersetting di Banten, dengan paduan Jawa-Banten-Sunda, saya tak bisa menangkap kata-katanya dengan jelas. Subtitle benar-benar membantu. Yuni disampaikan dalam bahasa-ibunya sendiri. Lebih mengena, toh nonton sambil baca subtitle sudah biasa kita lakukan ‘kan? Malah tampak eksotik nonton film lokal dengan deret kata di bawahnya.

Pendidikan seks dari orangtua memang masih jarang sekalipun kini sudah era banjir informasi. Banyak hal-hal tabu untuk diperbintangkan di ruang keluarga. Seks bebas contohnya, kita tak bisa mengelak, banyak terjadi di kalangan remaja. Anak sekolah hamil, juga sudah sering kita baca beritanya. Pernikahan dini, lebih melimpah lagi. Pernikahan dini (apalagi terpaksa), kita wajib sepakati, anak muda tak menginginkannya, orang tua tak membutuhkannya. Kalau boleh saya menyebut, pernikahan dini (apalagi terpaksa) sudah tergolong dalam kebun kejahatan.

Mengangkat tema berat seperti ini sejatinya layak dan perlu, kita tak boleh tutup mata, dengan bilang ini jauh dari jangkauan lingkungan. Tidak, lihat tetangga, amati kanan –kiri, pelecehan seksual terjadi setiap hari. Kengerian berita itu, sering trending. Dan betapa munafiknya, kalau masih bilang film Yuni itu sekadar ungkapan kosong. Tidak, banyak Yuni di sekitar kita. Kita semua harus mengambil tindakan agar tidak menyesal kelak di kemudian hari Memberi kesempatan pendidikan tinggi untuk perempuan (terutama yang tidak mampu secara ekonomi) jelas jadi usungan penting.

Ini jelas film feminisme. Banyak hal-hal pamali (di Jawa disebutnya ora elok) ditampilkan di sini, dan ditabrak. Perempuan menolak lamaran, akan jauh dari jodoh. Duduk di depan pintu, tidak sopan. Perempuan-perempuan merokok. Suara perempuan adalah aurat, mohon dijaga. Gunting kuku di malam hari, mengundang setan. Banyak sekali, pantangannya. Banyak yang menyudutkan perempuan. Hebat Yuni, sebuah upaya untuk menumbangkan paradigma patriarki.

Kusaksikan pada Senin, 27 Desember 2021 siang saat cuti tahunan. Yuni sudah tak tayang malam, dan memang sudah sepi menonton. Feelingku bahwa tak kan tahan lama terbukti, dua hari berselang sudah tidak ada di layar Karawang. Beruntungnya saya bisa menyaksinya di layar lebar. Kasusnya mirip Seperti Dendam. Dan kedua film ini bagus banget, sayang sekali tak lama, kalah sama hype film jagoan luar.

Senang sekali puisi-puisi Sapardi tak sekadar lewat. Banyak sekali disampai dan divisualkan. Pas muncul pertama kukira bakal tempelan gaya, tapi tidak. Malah ini sejenis pengamalan Hujan Bulan Juni. Puisi Sapardi malah semacam maklumat inti cerita Yuni. Alih-alih berusaha menggubah puisi hebat beliau dari sesuatu yang syahdu dan artifial, di sini Yuni membiarkan puisinya mengalir sendiri dari dalam, menjadi pijakan ungkapan hati untuk bertindak. Dan itu perlu. Gaya puisinya menjulang seturut temanya, dan mengembang laiknya air pasang dan alurnya yang tenang menggugah penonton, mengalirkan keraguan dan kekhawatiran. Alangkah hebatnya mereka yang berani bermimpi, yang berani berbuat. Oh betapa dahsyatnya puisi-puisi itu.

Karakter Damar yang semula begitu dipuja, malah terperosok ke lubang. Menyedihkan. Belas kasih terhadap diri sendiri, hanya akan menjadi egoisme pengecut. Dengar kata-katanya, ke-aku-an lebih kuat ketimbang, kebersamaan, harapan dari keputusan maju tak seharusnya untuk aku, tapi kita. Tindakan Yuni sudah tepat, kita perlu tepuk tangan meriah untuk itu. Dunia ini sepanjang masa persis seperti apa yang kita keluhkan; kita boleh mengejeknya, kalau perlu, ketika kepentingan seseorang menjadi terlalu dominan.

Terakhir, endingnya sendiri terbuka. Bisa ditafsir bebas. Ada yang bilang kabur, ada yang bilang bunuh diri, ada yang bilang ini mimpi, ada yang bilang ia mabuk karena kalah. Open ending seperti ini bisa berarti banyak. Menurutku, di satu titik ia ingat amarah yang berkecamuk dalam kepala, yang kemudian mereda menjadi rasa kasihan pada diri sendiri, lantas memuncak, dan lalu mati rasa. Ada yang bilang bakal ada sekuel, kalau saya sih No. Sebab sudah sempurna, biarkan saja mengalir apa adanya. Tak semua nasib orang lain perlu kita tahu, kalau sampai dijelaskan oleh penulisnya langsung itu mengarah ke mana, atau bagaimana sebenarnya yang terjadi, esensi kenikmatan malah akan larut. Pesta pantai itu sejenis kesepakatan teriak, “Kita benar-benar bisa melakukannya. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian besar.”

Yang jelas ending dengan ‘pesta’ dan lantunan lagu ini mengingatkanku pada ending Captain Fantastic dengan Sweet Child O’ Mine. Cara mengakhiri film seperti ini selalu menyenangkan. Iringan lagunya masih terdengar nyaring saat tulisan credit berjalan. Cara cool meninggalkan kursi bioskop. Jadi pengen dengar lagu-lagu Anggun C. Sasmi lagi.

Akhir yang menghentak, sebuah fakta sederhana: hidup adalah pertaruhan.

Jangan bertanya apa yang telah diberikan Sapardi Djoko Damono pada manusia, tetapi apa yang dapat diberikan manusia pada Sapardi Djoko Damono. Terima kasih untuk dedikasi semacam ini. Saya bersyukur bisa menikmati film berkelas di layar lebar. Indonesia harus lebih banyak membuat film yang didedikasikan untuk para satrawan kita.

Next, Prof. Kuntowijoyo?

Yuni | Tahun 2021 | Indonesia | Sutradara Kamila Andini | Skenario Kamila Andini, Prima Rusdi | Pemain Arawinda Kirana, Kevin Ardivilo, Dimas Aditya, Marissa Anita Asmara Abigail | Skor: 4.5/5

Karawang, 311221 – Trio Larose – Swingo
Happy new year 2022

Iklan

3 komentar di “Yuni: Menggambar Menggunakan Angka-Angka

  1. Ping balik: 101 Film yang Kutonton 2021 | Lazione Budy

  2. Ping balik: Best Films 2021 | Lazione Budy

  3. Ping balik: Ben & Jody Film: Musuh-Musuh Berjatuhan seperti Lalat | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s