
“Selamatkan jiwaku dari pedang, dari cengkeraman anjing-anjing.”
Luar biasa. Jangan remehkan orang yang terlihat lemah. Kita tak tahu apa potensi yang bisa dikembangkan, air yang tenang lebih berbahaya ketimbang riak alir berisik. Ini film keluarga, bagaimana bertahan hidup di tengah teriknya mentari di rumah peternakan. Isu-isu berkembang lewat hembusan angin. Pohon-pohon jadi saksi perbuatanmu. Beberapa hal mungkin perlu disangkal, tapi buat apa.
Kisahnya di Montana tahun 1925 tentang Phil Burbank (Benedict Cumberbatch), koboi cerdas lulusan Universitas Yale yang masih lajang di usia matang. Tampak jagoan dan dominan di rumah peternakan. Saudaranya George (Jesse Plemons) lebih kalem, jatuh hati lantas menikah dengan janda beranak satu, Rose Gordon (Kirsten Dunst). Anaknya Peter (Kodi Smit McPhee) lemah gemulai, hobi gambar, bikin bunga kertas, tinggi semampai, tingkahnya lebih mirip cewek. Bahkan disebut banci, ya permukaannya tenang, rapuh, dan terang seperti kaca. Sebelum menikah lagi, Rose memiliki hotel restoran yang dikelola mandiri, setelah menikah mereka turut pundah ke rumah suaminya. Sementara Peter lanjut kuliah kedokteran, tentu dengan uang ayah barunya, sekolah dokter mahal bos.
Sebagai bos George lebih banyak bernegosiasi dengan pejabat, sementara Phil lebih banyak di lapangan. Saat ada kunjungan pejabat, George membelikan piano untuk memeriahkan jamuan, sayangnya Rose sudah lupa banyak hal, atau tak bisa main dengan benar. Saat latihan justru Phil dengan gitar mininya mengiringi dengan nada yang pas. Seolah mengejek, kualitas musikmu jelek. Phil memang terkesan nyebelin, tampak angkuh, saat diminta nanti pas jamuan hadir dengan lebih rapi, mandi biar wangi, ia tak mau. Pas hari H justru datang, bersiul cuek. Intelek kebablasan.
Sehebatnya seseorang punya sisi negatif yang disembunyi. Suatu siang kita tahu, Phil menyelinap ke hutan, melakukan kegiatan rutin nganu di sungai dengan sapu tangan dikalungkan di leher. Terobsesi dengan sobat sekaligus gurunya “Bronco” Henry yang sudah almarhum. Nah, apesnya kegiatan pribadi itu suatu hari kepergok Peter, yang mengubah banyak hal. Buntutnya malah mendekatkan mereka. Perkenalan awal yang salah, jadi mari kita perbaiki.
Peter dilatih berkuda, berburu, membantu dan dilayih memintal lasso, hingga petualang ke belantara hutan. Makin intens saat tahu Bronco berlatih kuda dan memulai petuangan di usia yang sama Peter. Di rumah itu, masih ada orang-orang yang punya kebiasaan mengagumi dan menyimpan barang-barang indah yang tidak berguna. Pelana sang idola, bahkan Peter diberi kehormatan memakainya. Kesamaan, kecintaan, hingga obsesi ini mencipta kehangatan. Rose yang alkoholik dan benci Phil, menjadi rada kesal juga anak kesayangannya akrab. Muak, dan nada takut diapungkan. Rumah itu tampak tak nyaman selama mereka berdua bersinggungan. Berbagai kepentingan tumpang tindih. Dan puncaknya seorang Indian yang meminta kulit, ditukar dengan sarung tangan hand made yang lembut. Konfliks memuncak.
Rahasia masa lalunya saat Bronco menyelamatkan hidupnya di dingin malam, diungkap. Peter sebagai calon dokter bedah, membedah hewan-hewan di sana. Dan masa itu virus anthrax lagi mengganas. Mereka memiliki janji, tak hanya dengan sesama, tapi juga malaikat maut.
Ada Thomasin McKenzie di sini, perannya sekadar pembantu. Tak krusial sama sekali, hanya satu momen imut saat membawa wortel untuk kelinci yang ditangkap, ke kamar Peter lalu mendapati fakta memualkan. Tak seperti di Last Night in Soho sebagai pemeran utama, memenuhi layar, kecantikannya bahkan disembunyi dengan topi pelayan. Sedikit sekali dialognya, dan itupun tak penting. Tak masalah, muncul bentar-pun sudah cukup memberi kehangatan hati.
Jesse Plemons layak diacungi jempol. Karakter kikuk, perannya mungkin kurang signifikan tapi krusial. Ia yang membawa Rose ke lingkaran keluarga, ia yang membiayai kuliah anak tirinya, ia jadi penghubung bisnis, ia pula yang akhirnya menutup layar dengan ciuman perpisahan. Tahun ini jadi tahunnya, selain di Judas and the Black Messiah, aku terkesan di I’m Thinking of Ending Thing. Suka akting muka oon-nya, dia dia tak bicara, tapi dengan tampang tak berdosa aja sudah menyiratkan banyak hal seolah bilang, ‘ya mau gmana lagi bro, keadaannya gini’. Dia kena komplain adiknya, istri lu pemabuk. Lu cemen banget, jadi suami ga tegas! Atau pas diajari dansa sama Rose, janda anak satu. Dengan kikuk satu dua tiga samping satu dua tiga maju, memandang layar lantas bertitik-titik air mata, bilang, ‘betapa menyenangkan ya hidup tak sendiri’. Dalam kacamata kita, itu ungkapan tolol. Menyakitkan sekali bilang gitu ke seorang wanita kesepian, tapi kalau ditelaah lebih jauh justru sangat pintar. Menggaet perempuan dengan pembalik kalimat. Haha, kalau ditelaah lebih lanjut hingga ending, justru dia unggul dari semua karakter. Pasif tak selalu buruk, hanya orang bijak yang bisa menempatkan diri dalam situasi yang dihadapi. Asem tenan. Masuk jadi salah satu aktor favorit, next bakalan kuikuti dan antisipasi. Percayalah memilih ukuran sepatu adalah cara terbaik memilih istri.
Kodi Smit McPhee seperti memiliki jalan terang ke depan. Ia mencuri layar, mengingatkan pada kecermelangan awal karier Timothee Chalamet. Cowok cantik yang akan menggaet para gadis Hollywood. Benedict Cumberbatch tak perlu ditanya, salah satu penampilan terbaiknya. Akankah menjadikannya menang Oscar? Dan satu lagi, Kirsten Dunst tampak sangat tua. MJ memang sudah dua dekade lalu, wajar di sini kerutan wajahnya makin tempak. Apalagi perannya sebagai bu ibu alkoholik, pemabuk menyebalkan, buat jalan lurus aja susah. Dulu ngefan sekali, sekarang masih suka sih, tapi tak terlalu mengikuti.
Sebuah lasso jadi simbol penting, pengungkapan kasih sayang. Sarung tangan hadiah juga sebuah simbol persahabatan. Disatukan di tepian ruang. Pesannya tersamar tapi bisa diartikan, masalah selesai. Yang terhebat bukan yang terkuat, yang lemah dan terindas atau terpuruk pun bisa bangkit, meski uluran tangannya tak secara langsung. Menumbangkan paradigma prasangka. Tidak ada yang lebih lucu daripada melihat panorama gunung di pandangan pertama, berbentuk anjing, sisipan antisipasi yang tak disadari.
Phil terlihat di permukaan memang egois. Orang cerdas biasanya gitu. Namun saat sisi negatifnya dibuka, seketika seolah bijaksana dan mengayomi. Egois sejatinya menginginkan hal-hal pribadi secara eksklusif. Ya, ia lantas menemukan semacam duplikasi sang idola, yang secara langsung mengubah perpektifnya. Serasa tak adil, tapi mengapa? Memang banyak sekali ketidakadilan yang dilakukan atas nama ketulusan. Pengorbanan, tapi benarkah sia-sia?
Keputusan Rose menikah lagi dan menjadi nyonya rumah memiliki dua sisi yang wajar. Senang, secara finansial aman serta menjadi nyonya orang penting, sekaligus sisi khawatir sebab ada gap lebar dengan saudara tirinya, yang saat disapa Mas, tidak mau. Rasanya membayangkan masa depan sama saja seperti nostalgia, perjudian untuk masa yang tak pasti.
Manusia di rumah peternakan seperti dewa bagi binatang-binatang di sana, manusia yang menentukan kapan mereka lahir dan kapan mereka mati. Dari waktu ke waktu, para dewa punya tugas mengembangbiakan, membedah mayatnya, memberinya wortel, menjinakkan, dan juga menanamkan virus dan bakteri. Manusia, dewa di sebuah lahan tandus. Namun kali ini, sang dewa juga bisa menentukan kematian makhluk selain binatang, ia yang terdekat tak melulu sahabat baik. Dus!
The Power of the Dog | Year 2021 | USA | Directed by Jane Campion | Screenplay Jane Campion | Story based on book by Thomas Savage | Cast Benedict Cumberbatch, Genevieve Lemon, Jesse Plemons, Kodi Smit McPhee, Kirsten Dunst, Thomasin McKenzie | Skor: 4.5/5
Karawang, 231221 – Charlie Parker – Laura