Melipat Jarak by Sapardi Djoko Damono
“Aku mau menulis puisi!” teriakmu. – Panorama
Begini rasanya membacai puisi bagus tuh. Sebelum-sebelumnya sulit masuk atau ngawang-awang, atau tak tentu arah. Dalam Melipat Jarak, yang dominan adalah narasi. Bukan per bait yang rumit. Kata-katanya juga umum, temanya sederhana, tapi pilihan katanya mewah. Singkatnya, enam dibaca. Mau nyaring atau rilih, sama nyamannya. Beginilah puisi sejatinya dicipta. Buku ini berisi 75 sajak yang dipilih oleh Hasif Amini dan Sapardi Djoko Damono dari buku-buku puisi yang terbit antara 1998-2015 yakni Arloji, Ayat-ayat Api, Ada Berita Apa Hari ini, Den Sastro?, Mata Jendela, Kolam, Namaku Sita, Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita, dan Babad Batu. Oh, ternyata ini sejenis album terbaik terbaik, atau kalau CD/ kaset The Best of The Best-nya. Versi kedua setelah sebelumnya sudah pernah dibuat dalam rentang, 1959-1994 yang termaktup dalam buku Hujan Bulan Juni yang pertama terbit 1994.
Seperti biasa, karena sulit mengulas puisi; aku kutip beberapa bait yang menurutku bagus sahaja. Dengan ulasan/komentar singkat alasan memilihnya. Enjoy it.
Garis: sewaktu cahaya tertoreh / ruang hening oleh bisik pisau; Dikau-kah / debu, bianglala itu, / kabut diriku?; ini adalah bait kedua dari tiga yang ada, rumit kata-katanya. Ruang hening oleh bisik pisau? Bikin garis dengan pisau? Sadis kan.
Sunyi yang Lebat: sunyi yang lebat: ujung-ujung jari / sunyi yang lebat: bola mata dan gendang telinga / sunyi yang lebat: lidah dan lubang hidung / sunyi yang dikenal sebagai hutan: pohon-pohon roboh, / margasatwa membusuk di tepi sungai kering, para / pemburu mencari jejak pancaindra…; aku ketik semuanya. Puisi singkat tapi terlihat unik. Sunyi yang lebat, karena apa? Banyak. Dari ujung jari hingga pohon-pohon yang roboh.
Dongeng Marsinah: Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, / ia hanya suka merebus kata / sampai mendidih, / lalu meluap ke mana-mana. / “ia suka berpikir,” kata Siapa, / “itu sangat berbahaya.”; Marsinah, kita tahu adalah legenda, simbol perlawanan, pahlawan buruh. Dihilangkan karena bersuara, diwakili dalam puisi yang rapid an lantang. Seperti Wiji Thukul yang hilang, Marsinah sungguh abadi.
Yang Paling Menakjubkan: Yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini / adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya, / kita bisa membayangkan apa saja tentangnya, / menjadikannya muara bagi / segala yang luar biasa.; yang paling keren tuh ga ada kawan. Kok bisa? Yo kui, kalau bisa diwujudkan bakalan jadi biasa. Seperti cinta kali ya, ketika pacaran dan tak berwujud temu setiap hari, pacar tuh menakjubkan. Cinta hingga luber, setelah menikah dan mewujud ada setiap saat, jadinya biasa. Benarkah?
Tiga Sajak Kecil: “Mau ke mana, Wuk?” / “ke Selatan situ.” / “Mau apa, Wuk?” / “Menangkap kupu-kupu.”; aku kutip yang kalimat langsung yang terdiri empat kalimat. Ini lebih seperti untuk anak kecil, bisa cucu bisa anak. Menghibur diri. Jadi siapa Wuk?
Sonet: Entah Sejak Kapan: menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya / bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin.; sudah sejak lama, ini hanya bayangan. Kata-kata kasar dan mendesak, tapi mengapa? Huruf-huruf kecil tumpang tindih, jadi bagaimana?
Kata, 1: “Jam berapa ini?” Sudah pagi. Masih juga belum / kautemukan kata sambung itu. kau kenal betul setiap / kata yang ada dalam kamus itu, karena ikut menyusunnya / dulu: yang, karena, dari, atas, terhadap -– / tetapi bukan semua itu.; mencari kata sambung, sampai pagi. Berarti sejak semalam tak ditemukan kelanjutan cerita, endingnya juga lucu. “Sudahlah.”
Ayat-Ayat Api: ia akhirnya menerima perannya / sebagai tokoh khayali; digeser ke sana / ke mari: di halaman koran, di layar televisi, / dan sulapan bunyi-bunyian di radio; puisi yang sungguh panjang. Sampai 15 bait, narasinya dari duduk baca Koran di pagi, hingga keluh kesan isi berita. Contoh ada kasus kriminal di berita, menyebut nama, itu sekadar nama sebab asing dan tak tertaut emosi. Beritanya yang menggugah kita. Setiap hari, setiap saat di dunia yang mahaluas ini, kejadian-kejadian silih berganti memenuhi logika.
Ada Berita apa Hari Ini, Den Sastro?: Tiba-tiba suara ribut di benakmu. Sejumlah orang / memestakan hari pensiunmu, mengucapkan selamat / kepadamu. Minuman, makanan, nyanyian – seolah-olah / selesailah sudah tugasmu. Seolah-olah sekarang inilah / saatnya kaupadamkan inderamu.; ini puisi sejenis cerpen. Panjang, naratif, meliuk-liuk dikisahkan penjelasan apa yang terjadi saat itu. Nah, puisi yang luwes. Dan apa yang disajikan adalah umum. Ga muluk-muluk.
Surah Penghujan: Ayat 1-24: kau menggumam ketika bangun hari ini, Aku / mendengarmu bercakap kepada batu itu, yang buta, yang / semakin mengeras ketika berusaha menangkap kata-katamu / Aku mendengarmu bercakap kepada batu itu tanpa / menggunakan kosa-kata-ku; ini juga panjang. Yang paling panjang malah, 24 ayat yang menjelaskan lika-liku hujan. Air yang tumpah dari langit itu tak serta-merta. Musim bergulir, da nada yang menggerakkan.
Hari Ulang Tahun Perkawinan: Pada hari ulang tahun perkawinan kita itu yang mungkin / saja kebetulan jatuh hari ini kau tiba-tiba bangkit dari / bangku dan masuk rumah meninggalkanku sendirian di / beranda memandang pohon mangga yang beberapa buahnya / setiap malam berjatuhan dimakan codot. * Kubikinkan teh apa kopi?; ini puisi yang paling sederhana, anniversary yang dirayakan dengan keluarga, sesederhana mau dibikinin istri kopi atau teh?
SEBILAH PISAU DAPUR YANG KAUBELI DARI PENJAJA YANG SETIDAKNYA SEMINGGU SEKALI MUNCUL DI KOMPLEKS, YANG SELALU BERJALAN MENUNDUK DAN HANYA SESEKALI MENAWARKAN DAGANGANNYA DENGAN SUARA YANG KADANG TERDENGAR KADANG TIDAK, YANG KALAU DITANYA BERAPA HARGANYA DIKATAKANNYA, “TERSERAH SITU SAJA …”: apa gerangan yang dibisikkannya / kepada batu pengasah it; judulnya panjang sekali, caplock pula. Namun memang ada sangkutpautnya. Sah-sah saja. Terbaca unik malah.
Melipat Jarak: jarak antara kota kelahiran / dan tempatnya tinggal sekarang / dilipatnya dalam salah satu sudut / yang senantiasa berubah posisi / dalam benaknya; sebagai judul buku, puisi ini simple,sebuah pengandaian.
Di Meja Makan: Ada empat kursi di sekeliling meja ini; / kita bertiga, berusaha berbicara. / Siapa yang bertamu kemarin malam / bicara tentang perarakan itu?; empat kursi tapi hanya bertiga. Hehe, bayangkan saja percakapannya.
Puisi yang bagus memang harus seperti ini. pesan-pesannya sampai, bisa dinikmati semua kalangan. Mungkin karena ini ditulis seorang senior, bayangkan mulai menulis tahun 1957! Segitu matang akan pengalaman hidup. Begitu pahit manisnya sudah dicecap. Tahun lalu Penyair ini meninggal dunia, dukacita mengalir di mana-mana termasuk di lini massa sosmed. Nama besar Sapardi Djoko Damono sungguh patut dikenang, salah satu penyair besar milik kita. Melipat Jarak adalah buku puisi pertama beliau yang kubaca, dan percayalah aka nada buku-buku beliau yang lainnya akan muncul dalam ulasanku.
Selamat jalan maestro, karyamu abadi.
Melipat Jarak; Sepilihan Sajak 1995 – 2015 | by Sapardi Djoko Damono | GM 615202020 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan pertama, September 2015 | Kurasi naskah Hasif Amini | Penyelia naskah Mirna Yulistianti | Desainer Cover Suprianto | Tipografi judul Iwan Gunawan | Setter Fitri Yuniar | ISBN 978-602-03-1873-8 | Skor: 5/5
Karawang, 021221 – Eagle – Hotel California
Ping balik: 14 Best Books 2021 – Fiksi/Lokal | Lazione Budy
Ping balik: November2021 Baca | Lazione Budy