Yuni: Menggambar Menggunakan Angka-Angka

“Perempuan harus mahir di dapur, di kasur, dan pakai pupur…”

===Mungkin catatan ini mengandung spoiler===

Catatan akhir tahunku adalah ulasan Yuni. Ketika teman-teman pulang kerja lebih awal, saya menulisnya di meja kerja. Salah satu film lokal terbaik tahun ini. Menyenangkan menyimak puisi dalam bentuk visual audio. Puisi itu menjelma filosofi yang samar-samar dalam benak semua orang jadi beberapa baris kalimat ringkas yang bermakna, bermanfaat, dan siap dipraktikkan. Film ini, dalam pengandaianku seolah menggambar menggunakan angka-angka, rumit sekaligus seru. Pridom abis!

Kisahnya tentang Yuni (Arawinda Kirana ), siswi SMU cerdas penyuka ungu. Semua serba ungu. Motor, deterjen, pita, sepatu, segala aksesoris ungu ia kenakan. Bahkan minum pun, jasjus rasa ungu anggur. Di sekolah kalau ada siswa kehilangan barang warna ungu, dialah tersangka utama. Well, inilah cerita Yuni Ungu di masa remaja yang galau.

Guru bahasa Indonesia, Pak Damar (Dimas Aditya) tampak berwibawa. Setelah dipanggil Bu Guru tentang kebiasaan buruknya mengambil barang orang karena unggu dan rencana beasiswa kuliah bagi siswa berprestasi, ia dipanggil Pak Damar. Diberi tugas mengulas puisi, dipinjamkannya kumpulan puisi karya Sapardi Joko Damono: Hujan Bulan Juni. Pas adegan ini, saya langsung wow. Almarhum paestro penyair kita diberi ruang.

Masa-masa sekolah yang hingar bingar juga ditampilkan. Pulang sekolah main ke pantai, ke tanah lapang, bergosip ria. Salah satu sahabatnya tak lanjut sekolah, punya anak. Update instagram dengan berfoto ria. Hal-hal umum terjadi.

Yuni memiliki pengagum. Dengan malu-malu, ia membantu mengerjakan soal sastra. Puisi yang mau diulas sudah ia libas. Ada link di sini, dan jiwa remaja ini penuh kegugupan saat bertemu perempuan. Wajar sekali, aku (atau juga kalian?) pernah mengalami masa itu. Jadi jangan ketawa betapa gemetarnya. Ia hanya seorang remaja yang berada dalam dilema dan sedang jatuh cinta.

Suatu hari Yoga (Kevin Ardilova) yang menjaga konter pulsa, meminta Yuni menuliskan nomor HP yang mau diisi dengan iming-iming sedang ada promo. Lantas, berkali-kali berbenturan perlu membuat mereka dekat, walau tak dekat. Ujungnya saat sedang galau Yuni menikmati semilir angin pantai, Yoga turut serta dan terjadilah apa yang menjadi puncak kemerdekaan, perlawanan. Manusiawi sekali adegan di ruang kosong itu. Ia hanya perlu mengambil cadangan keberanian rahasia yang telah terkumpul dalam dirinya selama berbulan-bulan, setelah memandang pantai dan memikirkan konsekuensi, ia melaksanakan momentum.

Suatu hari saat motornya mogok, minum es ungun dalam plastis di warung pinggir jalan. Ia berkenalan dengan Suci (Asmara Abigail) yang mengenalkannya pada kebebasan. Perempuan harus bersuara, harus bisa mandiri. Memiliki salon, janda tanpa anak, berdandan, merdeka. Bisa memenuhi kehendak bebas. Suci, memberi ruang padanya untuk menatap masa depan dengan lebih berani. Melawan ketidakmapanan, penindasan.

Serumah sama neneknya, perokok, penyuka karaoke, suka masak bagi ke tetangga. Kedua orangtuanya kerja di Jakarta. Konfliks sesungguhnya dimulai dari sini, Yuni mengantar makanan ke saudaranya yang tinggal di seberang. Pamannya ga ada, yang ada sepupunya. Seorang buruh proyek gondrong dari Semarang, jatuh hati pada pandangan pertama, dan lantas mengajukan lamaran.

Remaja, masih sekolah. Dilamar orang asing, tentu saja ditolak. Namun budaya lokal menggunjing, menolak lamaran itu pamali. Tak hanya sekali, Yuni yang saat main sama temannya di sebuah kolam renang, bertemu juragan haji. Yang beberapa hari kemudian datang membawa istri pertama yang mengizinkannya poligami. Bgst! Uang jadi media goda, bah siapa yang madu dimadu? Dengan tawaran mahar awal 25 juta. Dan nanti setelah menikah, akan dilipatgandakan, asal masih perawan. Gila, aki-aki ini. Lamaran ketiga muncul lagi, dan kali ini akankah ia punya kuasa untuk melawan?

Menggunakan bahasa asli daerah. Bersetting di Banten, dengan paduan Jawa-Banten-Sunda, saya tak bisa menangkap kata-katanya dengan jelas. Subtitle benar-benar membantu. Yuni disampaikan dalam bahasa-ibunya sendiri. Lebih mengena, toh nonton sambil baca subtitle sudah biasa kita lakukan ‘kan? Malah tampak eksotik nonton film lokal dengan deret kata di bawahnya.

Pendidikan seks dari orangtua memang masih jarang sekalipun kini sudah era banjir informasi. Banyak hal-hal tabu untuk diperbintangkan di ruang keluarga. Seks bebas contohnya, kita tak bisa mengelak, banyak terjadi di kalangan remaja. Anak sekolah hamil, juga sudah sering kita baca beritanya. Pernikahan dini, lebih melimpah lagi. Pernikahan dini (apalagi terpaksa), kita wajib sepakati, anak muda tak menginginkannya, orang tua tak membutuhkannya. Kalau boleh saya menyebut, pernikahan dini (apalagi terpaksa) sudah tergolong dalam kebun kejahatan.

Mengangkat tema berat seperti ini sejatinya layak dan perlu, kita tak boleh tutup mata, dengan bilang ini jauh dari jangkauan lingkungan. Tidak, lihat tetangga, amati kanan –kiri, pelecehan seksual terjadi setiap hari. Kengerian berita itu, sering trending. Dan betapa munafiknya, kalau masih bilang film Yuni itu sekadar ungkapan kosong. Tidak, banyak Yuni di sekitar kita. Kita semua harus mengambil tindakan agar tidak menyesal kelak di kemudian hari Memberi kesempatan pendidikan tinggi untuk perempuan (terutama yang tidak mampu secara ekonomi) jelas jadi usungan penting.

Ini jelas film feminisme. Banyak hal-hal pamali (di Jawa disebutnya ora elok) ditampilkan di sini, dan ditabrak. Perempuan menolak lamaran, akan jauh dari jodoh. Duduk di depan pintu, tidak sopan. Perempuan-perempuan merokok. Suara perempuan adalah aurat, mohon dijaga. Gunting kuku di malam hari, mengundang setan. Banyak sekali, pantangannya. Banyak yang menyudutkan perempuan. Hebat Yuni, sebuah upaya untuk menumbangkan paradigma patriarki.

Kusaksikan pada Senin, 27 Desember 2021 siang saat cuti tahunan. Yuni sudah tak tayang malam, dan memang sudah sepi menonton. Feelingku bahwa tak kan tahan lama terbukti, dua hari berselang sudah tidak ada di layar Karawang. Beruntungnya saya bisa menyaksinya di layar lebar. Kasusnya mirip Seperti Dendam. Dan kedua film ini bagus banget, sayang sekali tak lama, kalah sama hype film jagoan luar.

Senang sekali puisi-puisi Sapardi tak sekadar lewat. Banyak sekali disampai dan divisualkan. Pas muncul pertama kukira bakal tempelan gaya, tapi tidak. Malah ini sejenis pengamalan Hujan Bulan Juni. Puisi Sapardi malah semacam maklumat inti cerita Yuni. Alih-alih berusaha menggubah puisi hebat beliau dari sesuatu yang syahdu dan artifial, di sini Yuni membiarkan puisinya mengalir sendiri dari dalam, menjadi pijakan ungkapan hati untuk bertindak. Dan itu perlu. Gaya puisinya menjulang seturut temanya, dan mengembang laiknya air pasang dan alurnya yang tenang menggugah penonton, mengalirkan keraguan dan kekhawatiran. Alangkah hebatnya mereka yang berani bermimpi, yang berani berbuat. Oh betapa dahsyatnya puisi-puisi itu.

Karakter Damar yang semula begitu dipuja, malah terperosok ke lubang. Menyedihkan. Belas kasih terhadap diri sendiri, hanya akan menjadi egoisme pengecut. Dengar kata-katanya, ke-aku-an lebih kuat ketimbang, kebersamaan, harapan dari keputusan maju tak seharusnya untuk aku, tapi kita. Tindakan Yuni sudah tepat, kita perlu tepuk tangan meriah untuk itu. Dunia ini sepanjang masa persis seperti apa yang kita keluhkan; kita boleh mengejeknya, kalau perlu, ketika kepentingan seseorang menjadi terlalu dominan.

Terakhir, endingnya sendiri terbuka. Bisa ditafsir bebas. Ada yang bilang kabur, ada yang bilang bunuh diri, ada yang bilang ini mimpi, ada yang bilang ia mabuk karena kalah. Open ending seperti ini bisa berarti banyak. Menurutku, di satu titik ia ingat amarah yang berkecamuk dalam kepala, yang kemudian mereda menjadi rasa kasihan pada diri sendiri, lantas memuncak, dan lalu mati rasa. Ada yang bilang bakal ada sekuel, kalau saya sih No. Sebab sudah sempurna, biarkan saja mengalir apa adanya. Tak semua nasib orang lain perlu kita tahu, kalau sampai dijelaskan oleh penulisnya langsung itu mengarah ke mana, atau bagaimana sebenarnya yang terjadi, esensi kenikmatan malah akan larut. Pesta pantai itu sejenis kesepakatan teriak, “Kita benar-benar bisa melakukannya. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian besar.”

Yang jelas ending dengan ‘pesta’ dan lantunan lagu ini mengingatkanku pada ending Captain Fantastic dengan Sweet Child O’ Mine. Cara mengakhiri film seperti ini selalu menyenangkan. Iringan lagunya masih terdengar nyaring saat tulisan credit berjalan. Cara cool meninggalkan kursi bioskop. Jadi pengen dengar lagu-lagu Anggun C. Sasmi lagi.

Akhir yang menghentak, sebuah fakta sederhana: hidup adalah pertaruhan.

Jangan bertanya apa yang telah diberikan Sapardi Djoko Damono pada manusia, tetapi apa yang dapat diberikan manusia pada Sapardi Djoko Damono. Terima kasih untuk dedikasi semacam ini. Saya bersyukur bisa menikmati film berkelas di layar lebar. Indonesia harus lebih banyak membuat film yang didedikasikan untuk para satrawan kita.

Next, Prof. Kuntowijoyo?

Yuni | Tahun 2021 | Indonesia | Sutradara Kamila Andini | Skenario Kamila Andini, Prima Rusdi | Pemain Arawinda Kirana, Kevin Ardivilo, Dimas Aditya, Marissa Anita Asmara Abigail | Skor: 4.5/5

Karawang, 311221 – Trio Larose – Swingo
Happy new year 2022

Garfield the Movie: Koceng Orange yang Malas

“Love me, feed me, never leave me.”

Karena Hermione lagi senang-senangnya sama kucing, maka semalam aku ajak nonton film lama Garfield. Setiap hari nyapa Si Belang, kucing entah punya siapa yang main ke rumah, sering tidur di teras, dibeliin Wiskas, dibuatkan rumah, diajak ngobrol, sampai kalau marah/ngambek bilang, mending aku main sama Si Belang, dia lebih ngertiin aku. Wkwkwk… kegilaan yang keterlaluan.
Ini film plotnya sederhana, kekanak-kanakan, tampak aneh dan diluar logika, tapi aku suka sampai koleksi VCD-nya. Sudah kutonton puluhan kali, tapi pas kutonton ulang sama Anak feel-nya beda. Lebih menyenangkan, benar-benar film keluarga yang berhasil membawa suasana meriah.

Garfield adalah kucing juara dunia, peliharaan kesayanagn Jon. Berwarga orange, gendut, cerewet, hobinya makan. Karakter egois dank arena saking nyamannya hidup, ia tak mau atau males keluar rumah. Film dibuka dengan riang, lagu ceria pagi hari Garfield (disuarakan oleh Bill Muray) bangun terlebih dulu, waktunya sarapan, Jon (Breckin Meyer) masih tidur, maka ia melompat mengagetkan. Cara jitu memaksa bangun tidur.

Keseharian bersama kucing tetangga Nermal, yang sering dimanfaatkan. Truk susu datang, menjadikannya astronot hanya sebagai pengungkit agar susunya tumpah mengalir lembut dengan mulut mengangga Garfield. Lalu kue hangat tetangga, yang dicuri Garfield, walau dijaga Luca Si Anjing galak, ia bisa akali. Rutinitas jamak, keseruan Si Orange, hakikat menikmati hidup sejati.

Suatu hari muncul masalah. Saat kunjungan ke Dokter Hewan untuk perawatan, Jon malah mengadopsi anjing kurus Odie. Sebagai pelancar kencan sama dokter cantik Liz (Jennifer Love Hewitt). Kedatangan Oddie mengesalkan, mengubah kebiasaan. Cinta kasih Jon terbagi, bahkan di malam yang dingin, Garfield berhasil menyingkirkan Odie ke jalanan, yang berbuntut panjang.

Sementara dalam lomba anjing berbakat, Odie menang mutlak. Agak dibantu Garfield sebab kandidat lain, para anjing itu ditarik lomba kejar sama dia. Odie penampil tunggal, joget dua kaki dengan lagu yang pernah dipelajari bareng di rumah. Apalagi yang perlu dikejar? Ini sekadar keseruan. Nah, tersebutlah bintang film Happy Chapman (Stephen Tobolowsky) yang mengingin Odie tampil di tv, ditawari jadi binatang bintang ke New York. Jon menolak, maka pas Odie ternyata ditemukan di jalan, dan Chapmen mengetahuinya, diklaimlah sama dia.

Sementara Jon menjadi murung, pacarnya mencoba membantu cari. Garfield lantas meraa bersalah dan petualangan penyelamatan dimulai. Ia yang tak mau keluar rumah, males menghadapi ketidakpastian, terpaksa keluar rumah, menyelamatkan sobat barunya.

Lagu Baha Men, “Holla” terdengar merdu dan berulang kali memancing dendang. Begitu juga “I Got You (I Feel Good)-nya James Brown, menyenangkan sekali. Mungkin karena lagu lama, jadi membekas lama ritme dan liriknya. Lupakan plot menawan, enjoy aja, nikmati keceriaannya, nikmati lagu-lagunya, nikmati goyangannya. Anjing!

Lima belas tahun lalu, tak sengaja menemukan vcd harga miring di sebuah ruko yang menjual ATK dan layanan foto copy. Beberapa koleksi vcd dijual, salah satunya Garfield ini. Masa itu, mungkin karena akses film tak sebebas dan semelimpah saat ini, ini salah satu film yang sukses kutonton berulang kali. Kebetulan aku suka sekali kucing, dan turun ke Hermione. Betapa Garfield adalah perlambang kita, gendut, malas, inginnya enak aja, tapi saat keadaan tak baik, ia tampil terdepan untuk menolong. Mantab ‘kan. Apalagi endingnya, seteru/sahabatnya akhirnya berdamai, tak ada salahnya berbagi.

Binatang peliharan sudah sangat lazim sekarang, kucing dan anjing mendominasi sebab memang imut dan begitu enak dijadikan teman. Walau tak semua orang suka, May istriku contohnya, ia begitu geli dan kesal setiap Hermione berinteraksi dengan Si Belang, padahal sah-sah saja anak kecil mencintai binatang. Bahkan sempat kepikir mengadopsi seekor kucing, seprti komentar anakkua tiap lihat Garfield yang gemuk dan berjalan malas muncul di layar, ia selalu histeris. Kecintaan berlebihan terasa sekali, entah sampai kapan masa ini. Mencintai kucing hingga dibuatkan rumah.

Film ini ada lanjutannya Si Orange jadi raja, dulu sempat niat nonton ke bioskop tapi gagal sebab ada perlu terus, dan teman nonton nunda mulu, akhirnya turun layar. Sampai sekarang belum sempat kutonton, walau berkali-kali tayang di TV, mungkin ini saatnya menyaksi sekuelnya bareng Hermione. Akan lebih fun dan ceria tentunya.

Garfield | Year 2004 | USA | Directed by Peter Hewitt | Screenplay Joel Cohen, Alec Sokolow | Comic strip “Garfield” by Jim Davis | Cast Breckin Meyer, Jennifer Love Hewitt, Stephen Tobolowsky, Bill Murray | Skor: 3.5/5

Karawang, 171221 – The Corrs – What Can I Do?

The Green Knight: Jangan Lakukan apa pun untuk Mencari Keheningan, Keheningan itu akan Datang dengan Sendirinya

“Aku hanya pengelana tersesat. Mencari tempat istirahat malam ini.”

Ini tak seperti yang kita kira, pace-nya lambat dengan iringan musik sendu. Tentang pangerang yang melalangbuana memenuhi takdirnya. Dengan banyak simbolisasi, bait-bait puisi, fantasi dengan mantra di setiap benang rajutan kain pelindung, danau tak berbatas, hantu jelmaan, raksasa melintas, hingga metafora masa. Waktu bisa dilipat hingga ribuan tahun dalam sekejap. Pemenggalan kepala jadi sejenis ritual penting, keampuhan sihir dipertaruhkan. Drama fantasi sejati. Rapalan sihirnya sangat akurat, puitik, dan eksak, hanya mengizinkan pemegang kekuatan yang layak menerima, tidak lebih sedikitpun.

Kisahnya tentang Gawain (Dev Patel), sang pangeran penerus tahta. Ia terbangun di pagi Natal dengan kekasihnya Essel (Alicia Vikander), tampak mereka bahagia dan merdeka. Masa muda yang bebas, saat kembali ke istana, ibunya Morgan le Fay (Sarita Choushury), pamannya Raja Arthur (Sean Harris) dan para kesatria sedang berdiskusi di Meja Bundar. Muncullah Kesatria Hijau (Ralph Ineson), dengan jubah dan kepala berbentuk kayu menunggang kuda. Ia meramalkan serta menantang, siapa yang berani melawannya. Beberapa penasehat mengajukan diri, tapi akhirnya Gawain yang maju. Kesatria Hijau berhasil dipenggal kepalanya, ajaib ia tak mati. Justru dengan tawa dan kesenangan, ia melempar tantangan di Natal tahun depan, lalu berderap pergi ke Kapel Hijau.

Wah, pembuka yang absurd. Inikah yang disebut hantu tanpa kepala? Tahan tanyamu. Setahun berselang, sang Raja mengingatkan akan janji tugas ke Kapel Hijau, dan Gawain melaju memenuhi panggilan. Inilah plot utama film ini, petualangan Gawain di dunia antah surantah. Petualang ke Kapel Hijau. Ia ingin memutuskan nasibnya sendiri. Itu keinginan manusia yang paling sederhana, namun hal itulah sumber ketakutan dan keraguan sepanjang perjalanan. Ia sudah berani mengambil tantangan, dan dalam pemenuhan tantangan segala hal bisa terjadi. “Aku punya tugas,” katanya kepada udara dan rerumputan.

Apesnya dimula dengan kacau, segerombolan anak-anak membegalnya, ia diikat dan ditinggalkan di kesunyian hutan. Dalam lanskap surealis, kamera bergerak perlahan ke kanan memutar, tampak Gawain sudah menjadi mayat tulang belulang, lantas kamera memutar balik ke kiri, kita kembali ke masa kini, ia kembali meronta kebas mencari bebas. Waktu adalah fana, ia berjarak tapi tak serta merta linier. Semesta pepat merangkul erat, penuh dengan kerumunan dan kekosongan.

Dengan pedang yang ada di sampingnya, ia berhasil mengupas tali pengikat, melukai tangannya, tapi tetap saja ia selamat. Malam telah larut, ia bergerak mencari perlindungan, mendapati sebuah rumah kosong di pinggir danau, mendapati kasur nyaman, dengan cepat ia terlelap. Ia terbangun oleh hantu Winifred (Erin Kellyman) yang meminta tolong untuk mengambil kepalanya di dasar danau. Dengan penuh ketakutan dan kebingungan, ia menyelam mencari kepala. Mendapatinya, menenuhi permintaan Si Hantu, yang lantas kepala itu menjadi tengkorak. Esok harinya, kapak Kesatria Hijau ada di sana.

Selanjutnya ia bersahabat dengan rubah cemerlang, membantunya banyak hal. Bertemu para raksasa mengaum (adegan keren saat mereka bersapa Gawain dan rubah, mereka berhenti sejenak dan menatap arak-arakan raksasa), tersesat diruang-ruang istana, pertaruhan takhta, hingga saling adu mantra.

Karena waktu tak linier, segalanya mungkin ditampilkan. Sulit untuk membedakan antara hal yang benar terjadi dan hal yang sepertinya akan terjadi. Termasuk pengelihatan masa depan yang suram, lantas kalau kamu sudah tahu masa depan kamu suram dan nyata sepahit kopi hitam tanpa gula, apakah kamu tetap mau menjalaninya atau saat kamu punya opsi untuk menukar takdir, dengan konsekuensi yang sama rumitnya? Pemikiran keras dan ambisius, tapi tak sampai meledak. Memang pilihan disampaikan dengan tenang, lembut, mematikan.

Ini film Natal, bisa jadi salah satu film drama fantasi terbaik tahun ini. Sihir kelam, mantra dihaturkan di tiap helainya. Tak ada cerianya sama sekali, muram, suram, film benar-benar berjalan lambat, tapi merambati kelambanan dengan antuisiasme sihir sungguh aduhai. Kalimat-kalimatnya terpilih, seolah syair kehidupan.

Ternyata film ini berdasar puisi abad ke-14 tentang Sir Gawain dan Kesatria Hijau. Untuk bisa menikmati film ini, kita harus bersekapat bahwa dunia ini cocok untuk segala macam imajinasi. Satu kalimat yang mematik tanyaku, seberapa ampuh mantra yang diikatkan pada benang itu? Sentuhan mereka terasa hangat dan menggugah, walau kalimat yang diucap kontradiksi. Ternyata bukan sembarang kain, itu memberi efek luar biasa, menjadikan digdaya bahkan saat melawan manusia atau roh atau makhluk antah surantah atau segala jenis senjata apapun. Dan ini dibuktikan, tapi menjadi digdaya tak serta merta berhasil mengelabuhi takdir buruk ‘kan?

Memberi pilihan tentu saja sesuatu yang absah normal. Namun kamu harus menilik dan menimbang konsekuensinya. Ibaratnya kamu mengangkat setumpuk gelas kaca rapuh yang mudah pecah, memindahkannya ke suatu tempat dan kamu takut menjatuhkannya, kamu bukan takut pada gelasnya, tapi pada akibatnya. Maka rasa takutlah yang dominan, bukan pada tujuan. Ini tetaplah sebuah kesalahan dan kesia-siaan yang mengerikan.

Saat Gawain di persimbang jalan, ia merasai hawa dingin kegelapan. Setelah selamat melewati beberapa rintangan, ia menantikan suasana hening di pinggir danau. Jangan lakukan apa pun untuk mencari keheningan. Keheningan itu akan datang dengan sendirinya. Tujuan mulia, cara mulia, hasilnya mulia. Bahagia? Oh tidak, kisahnya tak berakhir di situ.

Apa yang terjadi pada kita setelah kita mati, bukan lagi sekadar pertanyaan filosofis. Lantas apa yang harus kita lakukan? Berpikir! Manfaatkan masa kini dengan baik, dan kamu akan ditempanya. Dengarkan saja kesunyian, itulah hikmahnya. Kehidupan ini bergantung pada banyak hal, termasuk unsur teologi, puisi, bahkan fantasi. Untuk itulah film Kesatria Hijau ini hadir, kalian harus menyaksikannya.

The Green Knight | Year 2021 | Directed by David Lowery | Screenplay David Lowery | Cast Dev Patel, Anais Rizzo, Joe Anderson, Alicia Vikander, Sean Harris | Skor: 4/5

Karawang, 281221 – Nat King Cole – Night Lights

Sang Belas Kasih: Maka Nikmat Tuhan kamu yang Manakah yang kamu Dustakan?

Suatu hari Rosulullah membacakan surah Ar-Rahman dari awal hingga akhir. Lalu Nabi SAW bersabda, “Aku telah membacakannya (Surah Ar-Rahman) kepada bangsa jin di malam pertemuanku dengan mereka. Ternyata mereka lebih baik responnya daripada kalian. Ketika aku membaca ayat ‘Fa bi ayyi ala’I rabbikuma tukadzdziban (Maka nikmat atau karunia Tuhan kalian yang manakah yang kaudustakan?)’, mereka (bangsa jin) selalu menjawab dengan mengatakan, “La bi sya-in min ni’amika, Rabbana nakdzibu, falakal hamdu (Tidak ada sedikit pun nikmat-Mu, wahai Tuhan kami, yang kami dustakan. Hanya milik-Mu segala pujian).”

Keren. Itulah kata pertama yang kuucap seusai menuntaskan 200 halaman. Mungkin karena jarang baca buku-buku agama, apalagi terjemahan langsung isi Al Quran, maka yang aku dapat adalah sesuatu yang fresh. Enak sekali pembahasannya. Runut dan nyaman. Jadi tahu seluk beluk kandungan di dalamnya. Selama ini baca Al Quran ya baca saja Arabnya. Sesekali baca terjemahannya, tapi sungguh sangat jarang. Bahasanya yang puitis dan bernada, tak mudah dipahami. Dan ini, per katanya dibedah. Ini adalah buku tafsir surah Al Quran pertama yang tuntas kubaca.

Surah Ar-Rahman sepenuhnya berisi berita gembira, bahkan ketika menunjuk pada siksa neraka. Bahasannya bervariasi, dari kenikmatan surga hingga detailnya, gambaran surga dalam Al-Quran bersifat simbolik. Dari belas kasihnya, hingga semesta yang tak berbatas. Apa saja yang diciptakan oleh Allah sesungguhnya adalah kebaikan yang datang dari Dia yang memiliki sifat belas kasih.

Penciptaan matahari dan bulan serta pergerakan keduanya itu direncanakan dan dirancang secara matematis, sangat teliti, dan menutup kemungkinan bagi adanya kesalahan. Dari tanda-tanda kebesaran Allah hingga perintah untuk dua makhluk: jin dan manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Segala sesuatu memiliki pengantin, dan pengantinnya Al-Quran adalah surah Al-Rahman.” Di dalam surah ini disebutkan berbagai ciptaan Allah yang berpasang-pasangan.

Manusia dan jin dijelaskan bagaimana dicipta. Dan kita wajib sujud pada-Nya. Kata ‘bersujud’ secara umum dipahami sebagai simbol ketaatan, dan tumbuh-tumbuhan serta pepohonan memang adalah di antara ciptaan Allah Swt. Yang tidak memiliki free will atau karsa bebas, sehingga tidak ada alternatif bagi keduanya, kecuali bersujud atau taat kepada Allah. Khilafah bermakna perpanjangan tangan atau deputi, wakil – dalam hal ini wakil Allah di muka bumi.

Dulu waktu kecil pas ngaji di mushola kampung, aku ingat ada satu surah yang dimula baca tanpa kalimat Bismillah. Sempat lupa, di sini aku temukan lagi, “Di dalam ayat pertama pembuka seluruh surah Al-Quran – kecuali surah Al-Naml, yang di dalamnya ayat ‘Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahim’ berada di tengah-tengh surah – selalu saja nama ‘Allah’ oleh Allah sendiri disifatinya dengan Al-Rahman dan Al-Rahim.”

Dan makna dua kata yang sering bersisian itu ternyata sungguh beda.

Al-Rahman adalah belas kasih Allah bersifat universal, yang mencakup semua makhluk-Nya, tak peduli Muslim ataukah non-Muslim, beriman atau kafir, baik ataupun jahat. Sedang Al-Rahim adalah sifat kasih sayang Allah yang juga kepada semuruh makhluk, namun lebih spesifik. Artinya allah Swt. Berikan akses kepada sifat kasih sayang yang spesifik ini jika makhluk memilih berjalan di jalan Allah.

Memakan buah dan sayur mungkin harus ditingkatkan. Ada pembahasan khusus tentang buah, yang merupakan karunia Allah yang diselundupkan dari surga. Allah mengatakan bahwa para penghuni surga dijamu dengan buah-buahan. Dan ketika para penghuni surga itu memakan buah-buahan, mereka berkata bahwa sungguh kami telah mencicipi ini ketika kami berada di dunia (QS Al-Baqarah: 25).

Alam semesta ini sesungguhnya merupakan perpajangan atau bayangan, sehingga sering dikatakan bahwa keberadaan alam semesta ini sesungguhnya bersifat i’tibari, bersifat tidak riil. Jadi alam semesta ini masih ada seperti sekarang, sesungguhnya dia tidak benar-benar ada. Jadi ingat The Matrix, pil biru atau pil hijau?

Alam dunia ini bersifat fisik-empiris begitu luas dan terus berkembang sehingga yang bisa ditembus oleh manusia hanyalah wilayah luar angkasa yang paling dekat dengan bumi. Melihat tanda-tanda kebesaran Allah di semua alam, demi terus meningkatkan keimanan kita. Ada penjaga-penjaga yang akan menghalangi kita dari menembus alam yang kita tidak miliki kekuatan atau persiapan untuk menembusnya.

Peristiwa di Sidratulmuntaha ketika Rosullullah mi’raj ditemai Malaikat Jibril, lalu Rosul bertemu Allah, dalam salah satu riwayat di Baitul Ma’mur. Jibril mengatakan, “Jika aku memaksa diri pergi denganmu ke suatu tempat di mana engkau akan bertemu Allah, maka sayapku akan terbakar.”

Fakta penting bahwa manusia berdosa disiksa-pun, itu bentuk kasih sayang Allah pula. Kalaupun manusia dimasukkan ke dalam neraka oleh Allah – semoga Allah menghindarkan kita dari keadaan ini – maka itupun juga merupakan satu bentuk karunia Allah karena tujuannya untuk membersihkan dosa-dosa para pendosa, agar mereka dapat bergabung dengan orang baik, pada saatnya.

Amal baik maupun amal buruk sudah terekam dan tercatat di dalam buku catatan yang merekam semua alam manusia, yang ditulis oleh pesuruh Allah Swt. Yakni Malaikat Raqib dan Atid. Ganjaran perbuatan baik dilipatgandakan menjadi tujuh puluh bahkan sampai tujuh ratus kali lipat, sedang ganjaran amal buruk adalah setara dengan amal butuk itu, dan tetap dengan kemungkinan mendapat pengampunan oleh sifat Al Ghafur, Maha Pengampun.

Berbagai kenikmatan yang disampaikan di surga merentang banyak. Salah satunya adalah kenikmatan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan semata-mata bersifat fisik. Sesungguhnya kenikmatan surgawi itu melampaui apa yang terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, bahkan lebih luhur lagi berupa kenikmatan-kenikmatan, ketentraman-ketentraman, kedamaian-kedamaian yang bersifat ruhani.

Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi berkata bahwa berbuat ihsan hanya mungkin dilakukan jika kita berhasil meniadakan egosime kita, meniadakan diri kita. Yakni jika kita berhasil menanamkan di dalam diri kita kualitas pengorbanan: Mendahulukan Allah Swt. Menjadikan ridha Allah Swt. sebagai tujuan, dan juga semangat untuk berbuat baik kepada makhluk Allah.

Ihsan sesungguhnya puncak keislaman kita. Bahkan diluar Rukun Islam dan Rukun Iman yang kita kenal, ada Rukun Ihsan yakni hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya (Yakni benar-benar me’lihat’-Nya tapi bukan dengan pengelihatan lahir, melainkan batin). Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, (yakinlah bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu. Ihsan, adalah puncak kebaikan, sekaligus puncak keberagaman. Bahkan keislaman dan keimanan seseorang sesungguhnya adalah sarana dan wahana untuk mencapai ihsan ini.

Ada bagian buku ini yang membuatku merinding, hanya sekalimat tapi membuatku tertunduk lama. Di usia kelas dua SD aku pernah mengalami halusinasi, atau mimpi, atau semacam di dimensi antara. Kata ibuku, aku koma, dikira sudah tak tertolong karena sakit tifus berminggu-minggu. Aku sendiri tak terlalu ingat detail masa itu, sebab masih kecil. Namun ada satu memori yang membekas sampai sekarang, aku mimpi dunia kiamat. Langit gelap gulita seminggu penuh, ada suara dari langit liris sejenis senandung. Semua manusia ketakutan, bersembunyi di dalam rumah, berdzikir dan memohon ampun. Lalu langit terbelah, muncul warna merah dan suara besar dan berat. Aku lupa kata-katanya, mungkin kalimat tegas bahwa hari akhir sudah tiba, intinya saat itu semua orang menyebut asma Allah dan bertobat di sisa waktu yang ada. Kata ibunya, aku demam tinggi dan mengigau.

Nah di buku ini aku baca satu kalimat yang mengingatkanku masa kritis itu. “Pada hari Akhir akan ada tanda-tanda, antara lain ketika langit terbelah, kemudian menjadi merah menyala seperti minyak yang panas.” Ya Allah, apakah mimpi/igauanku itu pertanda?

Pada akhirnya, kita belajar tentang agama ini untuk mendekatkan diri pada-Nya untuk menemukan kebahagiaan. Bukan saja paradigma ini akan menempatkan kebaikan hati dan pemaafan di pusat praktik keislaman kita, melainkan juga menjadi jendela yang melaluinya kita membaca, memahami, dan mengontekstualisasi pesan-pesan Al-Quran. Dengan mempelajari Al-Quran ayat demi ayat dan memahami maknanya secara bertahap, kita berharap bisa memulihkan makna Al-Quran dalam bentuk global, yang masih dalam bentuk gagasan menyatu, di dalam hati kita, dan dengan cara itu insya Allah kita bisa mendapatkan cahaya di dalam perjalanan meraih kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun kebahagiaan yang abadi setelah kematian. Jika orang berpegang kepada Al-Quran, mendalaminya, memahaminya, kemudian menerapkannya dalam kehidupan, maka kebahagiaan sudah terjamin baginya.

Kubaca dalam sehari semalam dari Kamis, 23.12.21 jam 17:30 sepulang kerja, lanjut sesampai di rumah jelang tidur. Lanjut lagi Jumat 24.12.21 bangun dini hari sebelum Subuh, pas sampai kantor ada 20 menit kulanjut, pas istirahat selepas Jumatan ada 15 menit, dan tuntas juga sore ini jam 17:10. Lihat, kalau diniatkan, kalau diluangkan, kalau dilakukan sungguh-sungguh, baca buku di sela kesibukan tuh tak mustahil. Bisa, dan berhasil.

Ini adalah buku pertama Haidar Bagir yang aku baca. Namanya sudah tak asing bila kita menelusur rak buku agama di toko buku, muncul di banyak beranda sosial media. Setara M. Quraish Shihab yang juga banyak sekali menulis tentang agama. Dan sebuah kebetulan, tahun ini aku juga pecah telur membaca pertama buku beliau. Keduanya bagus, aku suka, jelas ini hanyalah awal. Apalagi aku juga sedang gandrung sama bacaan tasawuf, persis akhir tahun lalu, buku penutup tahun membahas agama.

Di usia 30-an, menghapal surah Al Quran tak semudah usia sekolah dulu. Sejujurnya tak banyak surah di luar juz ama yang berhasil kuhapal. Tahun ini, untuk menghapal surah Al-Mulk 30 ayat saja, aku butuh sebulan penuh saat Ramadan, dan kesulitan. Lanjut kuhapalkan saat isoman, kuulang terus dan konsisten, baru bisa. Nah, surah berikutnya yang menjadi target hapal jelas surah Ar-Rahman ini, kandungan isinya bagus banget. Kuulangi: BAGUS BANGET. Jumlah ayat dua kali lipat dari Al-Mulk, tapi beberapa berulang di ayat, “nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?” Rasanya sangat mungkin dikejar, doakan ya.

Surah Ar-Rahman disebut sebagai surah yang paling dekat dengan Allah Swt. Kalau Haidar Bagir bilang, “Surah Ar-Rahman sebagai surah yang paling dahulu saya garap, ketika diminta untuk melakukan upaya penggalian makna kitab suci Al-Quran. Seayat demi seayat.” Maka aku bisa bilang, “Setelah mengurai pesan-pesan Surah Ar-Rahman, dengan mantab aku menjadikan surah panjang pertama yang akan kuhapal tahun 2022.”

Bisa. Amin.

Sang Belas Kasih | Oleh Haidar Bagir | Copyright teks 2020 Haidar Bagir | Penerbit Mizan | Penyunting Azam Bahtiar & Ahmad Najib | Penyelaras aksara LS & Dhiwangkara | Perancang sampul & ilustrasi sampul Zuhri | Penata aksara Aniza Pujiati, Hedotz & @platypo | Cetakan ke-1, September 2021 | ISBN 978-602-441-198-5 | Skor: 4/5

Karawang, 241221 – Charles Mingus – Self-Portrait in Three Colors

The Power of the Dog: Manusia di Rumah Peternakan seperti Dewa bagi Binatang-Binatang

“Selamatkan jiwaku dari pedang, dari cengkeraman anjing-anjing.”

Luar biasa. Jangan remehkan orang yang terlihat lemah. Kita tak tahu apa potensi yang bisa dikembangkan, air yang tenang lebih berbahaya ketimbang riak alir berisik. Ini film keluarga, bagaimana bertahan hidup di tengah teriknya mentari di rumah peternakan. Isu-isu berkembang lewat hembusan angin. Pohon-pohon jadi saksi perbuatanmu. Beberapa hal mungkin perlu disangkal, tapi buat apa.

Kisahnya di Montana tahun 1925 tentang Phil Burbank (Benedict Cumberbatch), koboi cerdas lulusan Universitas Yale yang masih lajang di usia matang. Tampak jagoan dan dominan di rumah peternakan. Saudaranya George (Jesse Plemons) lebih kalem, jatuh hati lantas menikah dengan janda beranak satu, Rose Gordon (Kirsten Dunst). Anaknya Peter (Kodi Smit McPhee) lemah gemulai, hobi gambar, bikin bunga kertas, tinggi semampai, tingkahnya lebih mirip cewek. Bahkan disebut banci, ya permukaannya tenang, rapuh, dan terang seperti kaca. Sebelum menikah lagi, Rose memiliki hotel restoran yang dikelola mandiri, setelah menikah mereka turut pundah ke rumah suaminya. Sementara Peter lanjut kuliah kedokteran, tentu dengan uang ayah barunya, sekolah dokter mahal bos.

Sebagai bos George lebih banyak bernegosiasi dengan pejabat, sementara Phil lebih banyak di lapangan. Saat ada kunjungan pejabat, George membelikan piano untuk memeriahkan jamuan, sayangnya Rose sudah lupa banyak hal, atau tak bisa main dengan benar. Saat latihan justru Phil dengan gitar mininya mengiringi dengan nada yang pas. Seolah mengejek, kualitas musikmu jelek. Phil memang terkesan nyebelin, tampak angkuh, saat diminta nanti pas jamuan hadir dengan lebih rapi, mandi biar wangi, ia tak mau. Pas hari H justru datang, bersiul cuek. Intelek kebablasan.

Sehebatnya seseorang punya sisi negatif yang disembunyi. Suatu siang kita tahu, Phil menyelinap ke hutan, melakukan kegiatan rutin nganu di sungai dengan sapu tangan dikalungkan di leher. Terobsesi dengan sobat sekaligus gurunya “Bronco” Henry yang sudah almarhum. Nah, apesnya kegiatan pribadi itu suatu hari kepergok Peter, yang mengubah banyak hal. Buntutnya malah mendekatkan mereka. Perkenalan awal yang salah, jadi mari kita perbaiki.

Peter dilatih berkuda, berburu, membantu dan dilayih memintal lasso, hingga petualang ke belantara hutan. Makin intens saat tahu Bronco berlatih kuda dan memulai petuangan di usia yang sama Peter. Di rumah itu, masih ada orang-orang yang punya kebiasaan mengagumi dan menyimpan barang-barang indah yang tidak berguna. Pelana sang idola, bahkan Peter diberi kehormatan memakainya. Kesamaan, kecintaan, hingga obsesi ini mencipta kehangatan. Rose yang alkoholik dan benci Phil, menjadi rada kesal juga anak kesayangannya akrab. Muak, dan nada takut diapungkan. Rumah itu tampak tak nyaman selama mereka berdua bersinggungan. Berbagai kepentingan tumpang tindih. Dan puncaknya seorang Indian yang meminta kulit, ditukar dengan sarung tangan hand made yang lembut. Konfliks memuncak.

Rahasia masa lalunya saat Bronco menyelamatkan hidupnya di dingin malam, diungkap. Peter sebagai calon dokter bedah, membedah hewan-hewan di sana. Dan masa itu virus anthrax lagi mengganas. Mereka memiliki janji, tak hanya dengan sesama, tapi juga malaikat maut.

Ada Thomasin McKenzie di sini, perannya sekadar pembantu. Tak krusial sama sekali, hanya satu momen imut saat membawa wortel untuk kelinci yang ditangkap, ke kamar Peter lalu mendapati fakta memualkan. Tak seperti di Last Night in Soho sebagai pemeran utama, memenuhi layar, kecantikannya bahkan disembunyi dengan topi pelayan. Sedikit sekali dialognya, dan itupun tak penting. Tak masalah, muncul bentar-pun sudah cukup memberi kehangatan hati.

Jesse Plemons layak diacungi jempol. Karakter kikuk, perannya mungkin kurang signifikan tapi krusial. Ia yang membawa Rose ke lingkaran keluarga, ia yang membiayai kuliah anak tirinya, ia jadi penghubung bisnis, ia pula yang akhirnya menutup layar dengan ciuman perpisahan. Tahun ini jadi tahunnya, selain di Judas and the Black Messiah, aku terkesan di I’m Thinking of Ending Thing. Suka akting muka oon-nya, dia dia tak bicara, tapi dengan tampang tak berdosa aja sudah menyiratkan banyak hal seolah bilang, ‘ya mau gmana lagi bro, keadaannya gini’. Dia kena komplain adiknya, istri lu pemabuk. Lu cemen banget, jadi suami ga tegas! Atau pas diajari dansa sama Rose, janda anak satu. Dengan kikuk satu dua tiga samping satu dua tiga maju, memandang layar lantas bertitik-titik air mata, bilang, ‘betapa menyenangkan ya hidup tak sendiri’. Dalam kacamata kita, itu ungkapan tolol. Menyakitkan sekali bilang gitu ke seorang wanita kesepian, tapi kalau ditelaah lebih jauh justru sangat pintar. Menggaet perempuan dengan pembalik kalimat. Haha, kalau ditelaah lebih lanjut hingga ending, justru dia unggul dari semua karakter. Pasif tak selalu buruk, hanya orang bijak yang bisa menempatkan diri dalam situasi yang dihadapi. Asem tenan. Masuk jadi salah satu aktor favorit, next bakalan kuikuti dan antisipasi. Percayalah memilih ukuran sepatu adalah cara terbaik memilih istri.

Kodi Smit McPhee seperti memiliki jalan terang ke depan. Ia mencuri layar, mengingatkan pada kecermelangan awal karier Timothee Chalamet. Cowok cantik yang akan menggaet para gadis Hollywood. Benedict Cumberbatch tak perlu ditanya, salah satu penampilan terbaiknya. Akankah menjadikannya menang Oscar? Dan satu lagi, Kirsten Dunst tampak sangat tua. MJ memang sudah dua dekade lalu, wajar di sini kerutan wajahnya makin tempak. Apalagi perannya sebagai bu ibu alkoholik, pemabuk menyebalkan, buat jalan lurus aja susah. Dulu ngefan sekali, sekarang masih suka sih, tapi tak terlalu mengikuti.

Sebuah lasso jadi simbol penting, pengungkapan kasih sayang. Sarung tangan hadiah juga sebuah simbol persahabatan. Disatukan di tepian ruang. Pesannya tersamar tapi bisa diartikan, masalah selesai. Yang terhebat bukan yang terkuat, yang lemah dan terindas atau terpuruk pun bisa bangkit, meski uluran tangannya tak secara langsung. Menumbangkan paradigma prasangka. Tidak ada yang lebih lucu daripada melihat panorama gunung di pandangan pertama, berbentuk anjing, sisipan antisipasi yang tak disadari.

Phil terlihat di permukaan memang egois. Orang cerdas biasanya gitu. Namun saat sisi negatifnya dibuka, seketika seolah bijaksana dan mengayomi. Egois sejatinya menginginkan hal-hal pribadi secara eksklusif. Ya, ia lantas menemukan semacam duplikasi sang idola, yang secara langsung mengubah perpektifnya. Serasa tak adil, tapi mengapa? Memang banyak sekali ketidakadilan yang dilakukan atas nama ketulusan. Pengorbanan, tapi benarkah sia-sia?

Keputusan Rose menikah lagi dan menjadi nyonya rumah memiliki dua sisi yang wajar. Senang, secara finansial aman serta menjadi nyonya orang penting, sekaligus sisi khawatir sebab ada gap lebar dengan saudara tirinya, yang saat disapa Mas, tidak mau. Rasanya membayangkan masa depan sama saja seperti nostalgia, perjudian untuk masa yang tak pasti.

Manusia di rumah peternakan seperti dewa bagi binatang-binatang di sana, manusia yang menentukan kapan mereka lahir dan kapan mereka mati. Dari waktu ke waktu, para dewa punya tugas mengembangbiakan, membedah mayatnya, memberinya wortel, menjinakkan, dan juga menanamkan virus dan bakteri. Manusia, dewa di sebuah lahan tandus. Namun kali ini, sang dewa juga bisa menentukan kematian makhluk selain binatang, ia yang terdekat tak melulu sahabat baik. Dus!

The Power of the Dog | Year 2021 | USA | Directed by Jane Campion | Screenplay Jane Campion | Story based on book by Thomas Savage | Cast Benedict Cumberbatch, Genevieve Lemon, Jesse Plemons, Kodi Smit McPhee, Kirsten Dunst, Thomasin McKenzie | Skor: 4.5/5

Karawang, 231221 – Charlie Parker – Laura

Spider-man: No Way Home: Bersedih Atas Keadaan Artinya Menerima Takdir

Peter: “The Avengers?” / Peter: “Yeah.” / Peter: “That’s great.” / Peter: “Thank you.” / Peter: “What is that?” / Peter: “Wait, you don’t have the Avengers?” / Peter: “Is that a band? Are you in a band?”

===catatan ini mungkin mengandung spoiler===

Film aksi dengan banyak ngobrol di tengah aksi. Remaja, baru lulus sekolah berulah, membuat New York porak poranda, mengakibatkan orang terdekat mati, lantas coba memperbaiki. Peter tampak begitu menyesal sampai-sampai kita merasa kasihan. Namun sudah terlambat, tidak ada gunanya air mata, tidak ada waktu untuk berkata-kata, ada banyak hal yang perlu dilakukan. Kenakalan remaja yang mencipta tragedi, sungguh sulit dimaafkan. Mencoba memperbaiki sesuatu yang besar untuk anak seusia itu. Hiks,… seharusnya bersedih atas keadaan artinya menerima takdir. Bukan mengolahnya.

Ini, sekali lagi sekadar hura-hura, walaupun tempo sedikit dinaikkan, tantangan ditambah, beban ditimpakan, musuh dilipatkan, tapi tetap saja ini sekadar study tour ke puncak Liberty. Sejujurnya tak terlalu deg-degan, adegan kematian itu bahkan tak menyentuh hatiku sama sekali, kemunculan jagoan lain juga tak dramatis, cipta senyum aja enggak, walaupun aku belum kena bocoran tapi mengingat musuh lama muncul, jagoan lama jelas juga pasti muncul. Seisi bioskop yang penuh sesak juga adem, adem bukan karena cuaca Karawang yang hujan lebat, tak ada tepuk tangan seperti saat Infinity War, tak ada teriak histeris seperti adu Kapten dan Iron-Man, tak ada pula pertanyaan cerdas muncul dari kerumunan, mau ke lipatan mana lagi semesta itu? Tidak, ini Spider-Man yang sama dari dua seri sebelumnya, Laba-laba Hura-hura versi ketiga.

Peter Parker (Tom Holland) akhirnya lulus sekolah, tapi jelang hari kelulusan identitas alternya sebagai Spider-man terbuka. Melalui pengumuman live video Mysterio melanjutkan ending hura-hura di Eropa. Ketenaran mendadak itu mencipta kegemparan di mana-mana. Hampir seluruh kota memusuhi, teman-teman sekolah juga. Mana kompornya kepala warta yang terkenal ngeselin Jonah Jameson (JK Simmons). Terpecah dua kubu: Mysterio vs Spider-man. Kondisi terkini ini memaksa Peter, kekasihnya MJ (Zendana), sobatnya, Ned Leeds (Jacob Batalon), serta bibinya May (Marisa Tomei) yang baru putus sama Happy Hogan (Jon Favreau), pindah tinggal sementara ke apartemen Happy.

Pengumuman hasil seleksi kuliah ke MIT melukai mereka, semua tak lolos sebab terlibat kejahatan sebagai Spider-man dan CS-nya. Wah, ini tidak fair, kirain penerimaan mahasiswa baru di luar negeri tak sebobrok PTN kita. Impian ke Boston kuliah bareng kandas, digarami oleh temannya yang punya koneksi kampus, Flash Thompson (Tony Revolori). Haha, the power of orang dalam juga merambah Amerika.

Muncul inisitif Peter meminta pertolongan Dr. Strange (Benedict Cumberbatch) ke Sanctum Sanctorum untuk menghapus memori bahwa Peter Parker adalah Spider-man. Apes, perapalan mantra rusak gara-gara terganggu Peter si ceriwis, menambahkan syarat dan permintaan. Koneksi ke semesta lain pun turut rusak, dan mengakibat makhluk semesta lain masuk ke semesta kita.

Awalnya penjahat yang masuk, lantas masalah bertumpuk dan Peter bikin ulah lagi mencoba memperbaiki hal-hal yang salah, memberi kesempatan kedua. Pilihan itu memberi konsekuensi fatal. Mengakibat kematian seseorang yang emosional, lantas ia mendapat bantuan jagoan dari dimensi lain. Dengan dendam membara Peter dan Peter dan Peter mencoba melakukan hal-hal yang perlu dilakukan, di puncak Liberty segalanya dituntaskan.

Mungkin perlu menyaksi ulang semua film Spider-man baik versi Garfield dan Tobey. Suka sekali versi pertama, sekadar bagus versi kedua, biasa aja versi ketiga. Dan masalahnya ini adalah rangkaian ketiga. Kesimpulanku di bawah ini hanya ungkapan hati, mengapa? Pertama melihat antusiasme penonton awal, kedua hype yang luar biasa besar, ketiga sosmed menggila, keempat box office meledak, kelima: satu kalimat penting yang perlu kita antisipasi dan renungkan adalah: ekspektasi ketinggian. Persis kata MJ, kalau kita mengharap kecewa, bukan kekecewaan yang kita dapat.

Pertama, agak kesal seorang Sir Stephen Strange dikalahkan bocah. Dia itu Yang Maha Keren, hebat, dan luar biasa kocak. Di sini, berkali-kali kena tipu, benda sihirnya direbut, di dimensinya sendiri mantranya dipatahkan matematika, hingga terjengkang ke air terjun jauh di sana selama setengah hari. Bagaimana bisa, Bocah Spidey yang berniat baik tapi berbuat salah ini membelokkan seorang penyihir hebat?

Kedua, sejatinya misi yang diemban Peter sederhana. Bocah kecewa yang gagal ke kampus impian, merusak semesta. Apa itu kalau bukan egois? Untuk jadi hebat tak melulu harus kuliah di kampus bergengsi, banyak kok pengusaha sukses kuliah di BSI. Pekerja teladan kuliah di Gunadarma. UGM tak menjamin kamu keren, begitu juga UI. Tak melulu tentang keinginan kamu dan temanmu harus dituruti. Well, ini anggota Avenger (bukan band) yang sudah ke planet seberang, udah memenggal kepala Thanos, udah berhasil mengembalikan separuh warga bumi yang hilang, bisa-bisanya disodori konflik bocah kzl tak diterima kuliah.

Ketiga, ending dengan menghapus memori tentang seseorang pernah kita saksikan beberapa kali. Salah satunya yang paling membekas tentu saja dalam Fantastic Beast and Where to Find Them. Mirip sekali ‘kan. Jadi saat Peter masuk ke kafe dan memesan kopi, lantas melupakan skenario itu, ah sudah pernah kusaksikan dan jauh lebih emosional. Lagipula, rapal mantra kan ingatan semua orang tanpa kecuali, kenapa Peter masih ingat dia Spider-man?

Keempat, saat final battle Si Hijau menghilang terlalu lama. Dia kan jadi pemicu utama ledakan amarah. Saat si Listrik dan Kadal mencoba menahan serangan, kenapa tak muncul. Si Gurita bahkan lebih mantab saat masuk dalam pertempuran, Si Hijau malah di ujung sekali. Dan sungguh aneh, adegan dramatis tusuk-tusukan sejenis itu masih ada di tahun 2021.

Kelima, terlepas dari beberapa kegagalan memenuhi harap ada yang masih bagus dipandang. Daftar ini hanya sebagian kecil yang laik dipajang sebagai wallpaper atau layar HP, bahkan sebagai poster kamar:

Pertama, adegan saat Spider-man menjelajah mencari Listrik dan Pasir, ia berayun-ayun di antara tower listrik dan hutan. Cahaya mentari pagi yang berwarna orange sebagai lanskap sungguh ciamik. Kedua, bagian saat ngobrol ketiga Laba-laba di puncak Liberty, ngobrol santai seolah sahabat lama bertemu kembali. Ketiga, MJ berayun sama Spidey bagian awal. Keempat, Si Tentakel vs Spidey di jembatan Alexander Hamilton.

Kelima, adegan Dr. Stange vs Spider-man di area lain dengan kereta api menerjang angkasa. Ini bagus banget, best action lah bagian ini. Sayang sekali tuan rumah kalah. Alasan mengapa bagian ini tampak eksotik:
Pertama, bagaimana sihir dilipat, kedua gedung ditumpuk, ketiga kereta api melintas di udara, tanpa rel! Keempat pecahan-pecahan gambar bisa ditarik oleh jaring lantas disatukan, padahal itu bukan gambar, itu udara di sekeliling kita yang ditangkap.

Kelima, bagiku Dr. Strange tetaplah yang terhebat. Itulah mengapa setiap ia muncul, aku penasaran sihir apalagi yang bakal dirapalkan. Rangkaian MCU ini, film paling komplit dan terkesan adalah Dr. Strange. Komedi, aksi, drama, sihir, bahkan musuhnya tak dibunuh tapi dibikin kesal. Dan scene paling ujung saat bilang: Dr. Strange will be return adalah inti dari No Way Home. Tahun depan sihir ini bakalan menggila. Kenapa? Pertama, ada Wanda, bukankah dia tiada? Ketiga, judulnya ada kata Madness, keempat semakin masuk ke dunia sihir komik semakin seru dan membingungkan bagaimana sihir bekerja. Kelima, kalian balik lagi membaca awal paragaf bahwa nomor dua tidak ada.

Kusaksikan di malam hujan Senin (20/12/21), penonton penuh. Indikasi film berhasil menautkan emosi penonton, bisa jadi salah satunya adalah penonton turut histeris, memaki kejadian di layar, antusiasme tinggi akan nasibnya, ketawa ngakak, hingga shock akan adegan-adegan aksi. Blas, tak kurasakan malam itu. Sepi celetukan selama dua jam, jelas untuk film action, keheningan itu adalah kekecewaan.

Ini dunia buatan, yang sering kali menyelami pikiran kita.

Spider-man: No Way Home | Year 2021 | USA | Directed by Jon Watts | Screenplay Chris McKenna, Erik Sommers | Story based on Marvel Comic by Stan Lee, Steve Ditko | Cast Tom Holland, Zendaya, Benedict Cumberbatch, Jacob Batalon, Jon Favreau, Jamie Foxx, Willem Dafoe, Alfred Molina, Benedict Wong, Marisa Tomei, JK Simmons, Rhys Ifans, Andrew Garfield, Tobey Maguire Tom Hardy | Skor: 4/5

Karawang, 211221 – Helen Merrill

Thx to Bung Handa BM

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas: Berwisata ke Area Syahwat, lalu Merekam Siksaan-siksaan Nafsu tak Tersalurkan

Santai saja tak usah teriak-teriak” – Quote of the year

Semua hal bisa dibuat menjadi dongeng. Ini salah satunya. Mencerita masa lalu, selalu nyaman. Kita bisa menelusuri masa itu di kepala dan mempelajarinya seperti di galeri seni yang penuh dengan instalasi video. Memutar memori, menuangkan dalam tulisan dengan berbagai modifikasi diaduk fantasi, lantas menjelma film. Ini adalah kisah tentang cinta, kerinduan, dan dendam serta burung yang tertidur terlalu lama. Cerita keren adalah cerita yang mampu bolak-balik menyeberangi batas antara keremehtemehan dan kekacauan, antara hal gila dengan hal biasa.

Dengan setting tahun 1980-an hingga dekade berikutnya, penyampaian cerita khas Orde Baru yang sok jagoan mendominasi, bahasa kaku, mengambilan gambar retro dengan permainan kombinasi pergerakan kamera menawan, hingga lagu-lagu jadul sejenis dangdut karya Haji Rhoma Irama. Salam-salam dari radio, suara penyiarnya terdengar bersemangat, berkirim lagu, curhat dengan penyiar, hingga gaya rambut sederhana tanpa sentuhan rebonding. Ahh… masa lalu, indah nian diingat. Mungkin agak absurd menyaksi ibu-ibu merokok, lelaki mengantongi obat kuat, atau ngoceh berfalsafah sambil memancing, tapi jelas ini film dengan gegap gempita dahsyat. Salah satu yang terbaik tahun ini. Menyatu dalam nostalgia, mengembara ingatan, bagaimana bisa ‘hantu’ itu menikam musuh sementara sekerumunan penonton di kursi belakang, refleks nyeletuk shock, “eh eh itu siapa ya?”, “kok bisa?!”, “Lho.. lho…” Wajar, ia memang tampak begitu membingungkan, tak mungkin interpretasi kita langsung bisa memahami semua itu. Jelita jelas pencuri layar.

Di tanah Pasundan tahun 1989 (jangan browsing plat AK ya) tersebutlah seorang pria bernama Ajo Kawir (Marthino Lio) yang impoten. Ia tak takut mati, semua tantangan yang bersinggungan nyawa diambil, hobinya ngumpat, kegemarannya berkelahi. Karena, apa lagi yang mau diraih dalam hidup? Hari-harinya tak bisa dinikmati dalam peluh nafsu, yang merupa surga dunia. Dalam pembuka tampak Ajo berbalap motor lawan arah berebut botol yang diletakkan di jalan, didampingi sobat kentalnya Tokek (Sal Priadi). Sebenarnya penggunaan kata hati yang tepat dapat menjaga tindakan. Balap liar yang berbahaya, tapi apa pedulimu? Karena Ajo sendiri adalah penguasa ketakutan, jadi lupa bagaimana merasa takut.

Dalam warung biliar remang-remang Ajo mendapati seorang bedebah, yang esoknya langsung ia cari. Dengan jaket tak dikaitkan, celana jin, gelang gaul pendaki, ke sebuah perkampungan penuh truk berseliweran, yang ia dapati malah penjaga bosnya. Wanita bernama Iteung (Ladya Cheryl) ini menghadangnya. Wanita cantik dan keras kepala, dua ciri yang biasanya selalu bertautan. Bonus, Iteung begitu jago kelahi. Mereka tarung tangan kosong, bergumulan tunggang langgang. Sama-sama babak belur, sama-sama kesakitan hingga pincang, dan yang terpenting kedua hati terisi cinta pada jotosan pertama. Dari sini jelas, Iteung belum pernah mendapati pria jago kelahi sehebat dia, Ajo Kawir sama-saja, makhluk istimewa inilah berhasil mencipta banyak memar di tubuhnya. Sayangnya meraka lupa, bahwa yang memuaskan pada saat ini sering kali menyakitkan hati di masa depan.

Pertemuan berikutnya tampak romantis di tengah pasar malam, di sela wahana yang sudah tutup. Suka sekali sama adegan sederhana panjat wahana itu. Sebagaimana hal-hal remeh temeh lainnya, bagiku romantis adalah sederhana nan membekas. Teriak mereka bertiga (satunya lagi adalah monster pulang) seolah mantra. “Santai saja tak usah teriak-teriak.” Suaranya bergema di lapangan seperti guntur yang terendam. Bercumbu beratap langit, hingga meraba area sensitif, tapi ternyata tak berbalas. Seorang pria yang melarikan diri dari potensi penyalur syahwat? Pastilah orang suci, atau sedang sangat kebingungan. Dan wajarnya perpisahan itu akan merentet pertemuan lain. Namun janggal! Berikutnya hanya salam di udara, saling sapa di radio FM.

Masalahnya, kita sudah tahu burung Ajo tak bisa bangun. Yaitu, apa faedahnya dapat pacar? Maka dengan amarah membabi buta, di malam gelap ditemani tangisan awan begitu lebatnya, Iteung nekad datang ke rumahnya memaki dengan tegas, kenapa kalau kamu cinta padaku, kamu tak membalasnya? Hujan langsung tercurah dengan begitu deras, seolah-olah Tuhan marah dan ingin menenggelamkan mereka. Fakta pahit itu diutarkan, dan ternyata cinta mengalahkan segalanya. Ia tetap bersikukuh akan mengawininya. Curahan air itu terasa dingin dan seakan ikut bersedih, bukankah ini kabar baik, tapi beneran berhasil mencipta sedih penonton.

Oh langka, manusia langka, luar biasa. Iteung adalah wanita yang dicipta untuk dicintai. Ajo merasa semesta pepat merangkul erat, menerima permintaan penuh dengan kerumunan sekaligus kekosongan. Ketakutan adalah bahan bakar pengembaraan.

Sahabat Iteung, Budi Baik (Reza Rahardian) tampak cemburu (atau kesal), tetap berusaha bersikap wajar, membantu menyiapkan pernikahan. Pestanya sendiri tampak absurd, joget di tengah kerumunan, ucapan selamat ‘saatnya meninggalkannya’ bukan selamat ‘menempuh hidup baru’, hingga kehidupan bahagia sesaat pasangan baru dengan gitar mini dan melankolia kartu ucapan. Namun sampai kapan, hubungan suami istri dengan ‘alat bantu’ itu bisa bertahan? Mereka pikir hal esensial berkeluarga ini bisa diakali? Heleh kukumu dah panjang, Mas. Masa lalu, bagaimana awal mula burungnya tertidur lantas disampaikan, ketika kanak-kanak, ia kepergok mengintip, dan trauma mencipta petaka panjang.

Sementara, Ajo Kawir memiliki misi lama, memburu Si Macan dengan iming-iming uang besar dari bos Paman Gembul (Piet Pagau). Tanpa menciptakan ketakutan kau takkan memperoleh kehormatan. Tanpa kehormatan, kau takkan bisa berdamai dengan musuh-musuh potensialmu. Awalnya menolak, tapi lantas dicari, hingga sebuah kabar buruk/mengejutkan disampaikan Iteung, dan dalam amarah melanjutkan misi. Kemarahan dan rasa putus asa menggelegak bersamaan dalam dirinya. Konsekuensinya panjang dan berat, menyangkut nyawa, harga diri, sampai maklumat kesetiaan. Dunia ini sudah lelah, jangan kau tambahkan beban di atasnya lagi, sobat.

Satu tokoh penting yang kudu dikupas bernama Jelita (dimainkan dengan cantik sekali oleh Ratu Felisha), tapi tak jelita sama sekali. Ia menjadi picu banyak hal. Kertas ucapan cinta yang jadi bungkus makanan kirim malah ditelan, sajen disikat, jadi penumpang antah surantah, hingga pembaca buku jadul yang menyenangkan. Ia bahkan jadi ‘pembunuh’ berdarah dingin yang memunculkan banyak spekulasi. Salah satu karakter yang layak diingat, dan terbaik tahun ini.

Kusaksikan sendiri, di hari Jumat berkah 10.12.21 dengan mengambil cuti tahunan. Jam tayang film tak bersahabat, dan ternyata benar dugaanku, tak bertahan lama di Bioskop Karawang. Pas dua minggu, turun layar per hari ini. Untung sekali kuambil libur. Bayangkan kalau tidak ambil cuti! Fufufu… sebagai pembaca bukunya (ulasan bisa dibaca di sini), aku sudah menanti lamaaa sekali film ini. Dan Alhamdulillah berhasil menyelamatkan momen di hari-hari akhir. Antisipasi penting, walau tak sedramatis film Bumi Manusia yang kusaksi di hari terakhir, malam terakhir tayang.

Film ini sukses menautkan emosi penonton, adegan-adegan retro itu menyatu dalam kabut kebingungan, menjelma selimut pekat berisi berbagai ketakutan, harapan, kenangan, fantasi hingga kerinduan. Sample sederhana keberhasilan sinema sejatinya sederhana saja. Penonton turut merasa sedih dan gembira atas nasib para karakter, itu penting. Kalau kalian merasa turut merasa dalam pusaran hampa pernikahan Ajo-Iteung, kalian adalah penonton beruntung. Tindakan-tindakan mereka sukses membuat kita gemetar, seakan kita berdiri di pegunungan dan tebing yang pijakannya melandai longsor. Kita turut terjerebab dalam nuansanya. Terguling takdir, tersayat garis nasib. Ide untuk berwisata ke area syahwat, lalu merekam siksaan-siksaan nafsu tak tersalurkan, ini jelas pemikiran liar. Kalau aku merangkum dalam satu kalimat tanya: “Lelaki dan wanita dalam cerita ini mengapa harus disiksa, padahal mereka ‘kan saling mencintai.”

Eka Kurniawan ternyata turut serta menulis naskah skenario, dan penulis buku diajak mengolah adaptasi karyanya sendiri rerata sukses. Apakah ini debut? Entahlah, aku tidak mengikuti rutin film lokal. Yang jelas, nama Eka adalah jaminan mutu, sudah jadi merek dagang sastra, apapun yang ia tulis selalu dinanti, laris manis. Eka jelas seorang loyalis sejati pada sastra dan cerita klasik. Dua novel lainnya yang sudah kubaca, Lelaki Harimau dan O menggambarkan bagaimana kisah-kisah masa lalu tuh aktual, sehingga dituturkan jadi begitu nyata, bahkan untuk seekor monyet yang berpikir. Selamat, buku dan film sama bagusnya.

Seperti Dendam, seolah menjadi obat rinduku akan film lokal berkualitas. Sudah lama sekali aku tak melihatnya, saat sirene polisi terdengar dan pertemuan haru itu disajikan, kita pantas merayakan, seolah mengocok botol-botol anggur paling langka dan keras. Selamat, kalian semua yang terlibat dalam proses adaptasi ini, kalian layak dapat tepuk tangan palDawuking meriah.

Next, Dawuk?

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas | Tahun 2021 | Indonesia | Sutradara Edwin | Naskah Edwin, Eka Kurniawan | Cerita dari Novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” karya Eka Kurniawan | Pemain Marthilino Lio, Ladya Cheryl, Sal Priadi, Reza Rahardian, Ratu Felisha | Skor: 4.5/5

Karawang, 151221 – Sherina Munaf – Ada

Benedetta xxx

Tubuhmu adalah musuh yang paling buruk.” – Benedetta

Mengejutkan. Ternyata film Benedetta abad ke 17 ini berlabel XXX. Tentang kepercayaan, politik, delusi, agama, hingga cinta. Banyak adegan bugil disaji, berlimpah ruah dua wanita berciuman, bercinta, berdebat dengan telanjang. Berdasarkan buku non fiksi tentang biarawati lesbian, Benedetta ditampilkan terbuka. Kalian akan mendapati keintiman membuncah, sebuah pelanggaran keras di mana tempat ibadah dijadikan tempat mesum, orang-orang beragama yang seharusnya relijius malah memberi kevulgaran. Sopan santun disingkirkan, bakti tuhan dilecehkan.

Kisahnya tentang Benedetta Carlini (dimainkan dengan panas oleh Virginie Efira) yang ditakdirkan menjadi kepala gereja. Sedari kecil sudah memperlihatkan berbagai mukjizat. Burung-burung yang mengusir pasukan pengganggu, berhasil melihat penampakan Yesus. Ia disekolahkan ke sekolah agama yang mahal, sekolah gereja putri yang ketat dan begitu displin ilmu agama.
Setelah dewasa Benedetta menjadi biarawati. Suatu hari mendapat sahabat baru, Bartolomea (diperankan tak kalah panas oleh Daphne Patakia) yang miskin yang dianiaya ayahnya. Menjadi perwakilan murid dari kaum papa. Ia jadi anak asuh Benedetta, jadi teman curhat dan teman mencurahkan kasih. Hubungan ini lantas memanas, melebihi bayangan. Liar, dan hanya sesekali dicurigai sebab kamar mereka terbuka, hanya ditutup kain.

Benedetta mengabdi pada agama sepenuhnya, dalam sebuah ibadat di gereja, dalam reka adegan kudus ia ‘diterbangkan’, kakinya bergerak lincah menyepak udara, saat ditanya mengapa? Ia bertemu Yesus (atau setan penjelmaan mirip Yesus?), dan berlari di padang menyambutnya. Malam ini berbeda, ia telah menjadi suami Yesus, ia telah diberkati. Sempat muncul perdebatan, apakah ia sekadar mengkhayal ataukah itu bentuk makhrom, setan tak bisa menjelma Yesus. Bahkan ia berhasil memberi bukti, dnegan kedua telapak tangan yang terluka penuh darah sebab ia disalib! Pengelihatan Yesus ini terus berulang, dan Benedetta lantas mengklaim ia adalah kekasihnya. Karena muncul banyak bukti, semua lantas tunduk hormat hikmat bahwa ia adalah orang pilihan, yang secara otomatis menjadi ketua tertinggi perkumpulan menyingkirkan ketua lama Soeur Felicita (Charlotte Rampling), yang sinis dan muak akan kelakuannya. Sister Christina (Olivier Rabourdin) sebagai pengikut setia Felicita turut geram, dan menjadi pihak yang akan terus melawan, yang sayangnya berakhir tragis.

Jabatan baru itu memberinya kelapangan banyak hal. Manusia memiliki kekuatan, memang berbahaya bila disalahgunakan. Ruang baru yang tertutup tembok mencipta cinta pasangan lesbi dengan Bartolomea lebih leluasa. Bercinta dengan alat bantu kayu yang dibentuk penis, ciuman panas yang ekpresif, percintaan sesama jenis liar. Dalam satu kalimat, mereka kini memiliki kebebasan bercinta.

Satu hal yang tak diketahuinya, ada lubang intip yang dibuat oleh penghuni lama. Dan saat mereka melepas nafsu, sepasang mata itu memberi kesaksian. Felicita gegas ke Florence untuk melaporkan pelanggaran berat. Tak hanya hubungan sesama jenis, sepasang pemuka agama berkelakuan bejat di tempat suci bisa berkahir di tiang gantungan. Fakta itu menakutkan Bartolomea, dan ketakutannya sungguh beralasan.

Walaupun dengan kuasanya dan bisikan tuhan, Benedetta memerintahkan gerbang kota dibuka, dengan alasan wabah sedang melanda, orang tak boleh keluar masuk. Wabah mematikan ini hanya bisa diusir dengan melepas kontak dan kemungkinan tertular melalui orang luar. Benar juga sih, tapi saat kepala agama dari pusat Alfonso (Lambert Wilson) tiba ia dihadang. Kekuasaanya berhasil membuatnya tetap masuk. Dan di sinilah bencana benar-benar brutal tersaji.

Dalam sidang, Benedetta menolak tuduhan mesum. Walau kesaksian Felicita sangat kuat. Pasangan mesum Bartolomea menyanggah tuduhan, dan berakibat fatal, ia disiksa dengan brutal. Aman? Tak sesederhana itu, persidangan itu tak sembarangan, melibat keyakinan, kejujuran, pengungkapan fakta yang pada akhirnya, takdir-lah juaranya.

Agama telah mengajarkan untuk menderita secara emosional, menurutku salah. Agama bukanlah cambuk, melainkan sebagai selimut. Melukai diri sendiri, berkorban untuk tuhan dengan menyiksa diri, ah tak seperti itu. Lihat, ada adegan segerombolan orang yang mengaku beragama berkeliling kota, menyebarkan pamflet kiamat sudah dekat, dekatkan diri pada sang pencipta, dengan membawa cambuk yang dihajarkan ke punggugnnya sendiri. Menikmati momen dengan menyiksa diri. Ya ampun… Jadi seseorang yang merasa bersalah, dipenuhi rasa takut, kurangberiman, atau apalah, idak relevan di zaman manapun. Menyiksa diri, tidak hanya dianggap bermasalah dari sisi kejiwaan, tapi juga justru menurutku tidak beriman kepada agama. Tugas para setan adalah meningkatkan derita pikiran.

Benedetta kutonton cicil lebih dari 20 kali, agak absurd temanya. Sempat akan menyerah, tapi keterpaksaan ini membuahkan kepuasan. Manis, setengah jam akhir sungguh bagus. Eksekusi hukuman yang berkahir mengerikan itu seolah memberi ‘keadilan’. Banyak orang di zaman manapun, termasuk era digital saat ini, mengaku beriman, padahal hanya kedok. Tuhan akan menghukum orang-orang jahat.

Saat penghakiman, muncul momen pertobatan, meminta menyebut asma Tuhan, hingga bisa khusnul khotimah. Kata-kata terakhir jadi begitu penting untuk menutup hidup, dan segalanya perlu diluruskan. Aku jadi ingat kata-kata terakhir beberapa tokoh dunia, salah duanya aku kutip. Pertama Thomas Alva Edison yang sebelum ajal bilang, “Indah sekali di sana.” Tampak keren ya. Kedua, Rabelais yang bilang, “Aku pergi untuk mencari Kemungkinan Besar.” Yang tampak lucu dan begitu aneh. Alfonso memiliki kesempatan itu, yang justru tak dimaksimalkan menuju kehidupan berikutnya.

Penampilan Virginie Efira dan Daphne Patakia yang sungguh berani patut diapresiasi. Tampil bugil dilayar, mengimplementasikan naskah untuk film festival dengan latar cerita cinta terlarang memang harus all-out. Film ini bisa jadi kontraversial, biarawati mesum dan layar mengumbarnya penuh. Orang-orang beragama jelas memandang film ini memuakan, orang-orang seni melihatnya sebagai keindahan berkisah. Yang jelas, bagiku yang mencuri layar adalah Charlotte Rampling, bisa jadi aktingnya sebagai orang yang tersingkir akan menarik juri Oscar, ia mengundang simpati, ia berhasil mencipta penonton untuk kasihan. Dan keputusan mengejutkan diakhir menjadi begitu menyentuh, api meniadakan segalanya.

Tak perlu berdebat, keputusan Paul Verhoeven mengadaptasi biarawati mesum jelas hanya hasil imaji. Berdasarkan buku non fiksi tapi ini menjelma fiksi. Benedetta mungkin salah satu film absurd terbaik tahun ini, tema sensitif yang menarik. Ini tentang pendewsaan, ini sekadar jahitan kain perca agama. Duduk dan nikmatilah.

Benedetta | Year 2021 | Directed by | Paul Verhoeven | Screenplay David Birke, Paul Verhoeven | Story Book Judith C. Brown (“Immodest Acts: The Life of a Lesbian Nun in Renaissance Italy” | Cast Virginie Efira, Charlotte Rampling, Daphne Patakia, Lambert Wilson | Skor: 4/5

Karawang, 141221 – Roxette – Looking for Jane

Blonde. Purple: Perampokan dan Dialog-Dialog di Atas Meja

“Astaga, kau bajingan yang banyak bicara.”

Keren. Film action tapi tak banyak aksi. Perampokan dan bagaimana menyusunnya. Perampokannya sendiri gagal, dan tidak ditampilkan sama sekali. Hari H perampokan yang ditampilkan di layar hanya mobil tertempa hujan diam dengan lagu jazz yang lirih, backsound sirene polisi, suara tembak-tembakan silih berganti, teriakan tak jelas, kaca pecah, dst. Tetesan hujan, yang airnya lantas meleleh di kaca depan terasa mewakili film. Tenang, bertempo lambat. Isinya orang-orang berbicara. Cerita intinya memang penuh diskusi sebelum dan setelah perampokan. Ngobrol dari satu meja ke meja lain. Dari kafe satu ke diskotik lain. Ngegoliam banyak tema: filsafat, sastra, Julius Caesar, falsafah kehidupan, Malcolm X, pistol yang dilakban, Joe Lewis, Obsesi terpendam, khotbah Minggu, pancake hangat saat sarapan, Mike Tyson, hingga kelinci putih yang muncul dari lubang tanah. Luar biasa, impian dan tata krama ditabrakkan sepintas lalu, yang lantas mencipta nasib para tokohnya. Seperti kata Shakespeare, perasaan bersalah bisa membuat kita semua menjadi pengecut.

Kisahnya tentang Wyatt (Moore-Cook) perampok yang kesal dan kebingungan, terduduk di lantai Bank Negara Woodrow bersama Maddison Jones (Ellie Bindman), gadis 16 tahun yang jadi sandera. Sembari bernegosiasi, Wyatt meminta mobil BMW CSL ’70 -’75 disediakan di depan pintu bank untuk kabur. Maddison sebagai sandera justru tampil tampak sangat tenang. Perampokan berantakan, rekannya tertembak kritis, dan ia terkurung di ruang kantor, lantas penonton diajak bersafari ke susunan acara, dikupas ke awal mula. Ditarik jauh, sebulan sebelum hari H. Karakternya banyak dan tumpang tindih, penonton ditantang untuk berusaha memahami mengapa dan untuk apa mereka berbuat demikian.

Wyatt mendapat ajakan merampok dari teman tidurnya, Saida (Jennifer Lee Moon) yang membutuhkan laki-laki keempat dalam tim. Disampaikan dengan gaya, bahwa kegiatan seperti ini sudah beberapa kali dilakukan, tanpa jejak, seolah profesional. Miskin, pengangguran, memiliki impian besar. Inilah jalan pintas mendapat uang, jalan cepat mewujudkan mimpi Wyatt memiliki mobil BMW seolah Batmobil. Sebagai pria keling yang baik, ia sempat ragu, merampok? Wow lompatan besar. Tapi keinginannya yang kuat akhirnya mencipta deal.

Saida lantas menghubungkan dengan gerombolan perampok, Nath (Adam J. Bernard) adalah yang pertama ditemui, dan nantinya jadi partner utama. Sempat datang terlambat dan hampir gagal, tapi nyatanya rencana jalan terus. Lantas kita diajak berputar lagi berkenalan dengan tim lain, mereka sedang mencari senjata, terhubung dengan karakter pemarah, ngomongin perbudakan sama orang berkulit warna. Lalu sampailah pada pucuk gerombolan di Berat, Lisa dengan S (Jessica Murrain). Adegan di bar itu keren sekali, tembak saja yang tampak merecoki! Hahaha… Semua terhubung, bahkan asal muasal pistol dilakban itu disajikan dengan flash back absurd, dini hari mengubur korban, dan sang pembunuh membutuhkan kenangan, betapa tindakan satu memicu nasib orang lain.

Sementara itu, Maddison adalah penyanyi bertalenta. Beberapa lagunya sudah nge-hit. Sayang ibunya mengingin ia jadi bintang film, maka didaftarkan audisi akting. Dengan malas dan setengah hati menuruti keinginan orangtua. Ayahnya mengatur keuangan, ia ke bank untuk mengurus uangnya yang dipegang ayah. Keluarga ini tak kalah aneh, Maddison digambarkan jengah dengan segala aturan ibunya, ia mencintai ayahnya yang nyata-nyata malah mengecewakan. Dalam adegan aneh di restoran, betapa hidup memang berjalan mengesalkan. Adegan ini bersinggungan dengan makan siang Saida di tempat yang sama, teriakan ‘mana pelayannya’ menggema memberi benang tautan. Dan jadi klu penting, eksekusi akhir yang menyedihkan.

Wyatt yang panik dan ketakutan meminta mobil untuk diantar, menanti. Negosiasi dilakukan dengan telpon, panjang nan berbelit. Maddison sendiri memiliki kesempatan menghubungi orang lain, bukannya ngobrol sama ibunya yang menghubungi berulang kali, ia malah nelpon ayahnya. Bahkan saat ke toilet, secara tak sengaja menemukan seorang ibu pejabat yang ngumpet, ketakutan, bilang bahwa di meja pedestalnya ada pistol, manfaatkan momen! Semakian khawatir bahwa sesuatu akan terjadi, semakin besar kemungkinan hal itu akan terjadi.

Dengan keterbatasan waktu, Wyatt mulai kehilangan kesabaran. Dengan ketergesaan yang dicipta, sang negosiator mencoba menyelamatkan sandera, dan segera mengirim mobil yang diminta. Dengan keinginan aneh Maddison, dikecewakan fakta-fakta, ia malah mengajukan harapan lain kepada sang penyandera. Dan ketiga keinginan itu meledak di akhir. Siapa selamat? Ah, semua hal akan berakhir, dan ini juga akan berlalu.

Posternya menipu, penuh gaya para karakter mengarahkan pistol dengan warna cerah mencolok orange efek ledakan besar, seolah film action-nonstop. Padahal filmnya tak begitu, mayoritas adalah negosiasi-negosiasi agar jalan keluar berjalin, kegiatan komunikasi diapungkan. Taglinenya pas, ini bukan tentang pekerjaan, ini tentang pencarian jalan keluar. Plotnya aja yang diacak. Jelas film ini terinspirasi dari Pulp Fiction dan Reservoir Dogs. Pengambilan gambar di restoran contohnya, saling silang antar karakter. Cara penyampaian cerita juga mirip, di mana dibagi dalam beberapa bagian seolah sebuah bab novel. Lucu, sekaligus tragis.

Dan karena ini film penuh dengan obrolan, maka dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa orang suka ditanyai pendapat dan gagasan-gagasannya. Seolah-olah itu penting. Selalu ada alasan-alasan, mengapa orang berpikir dan berbuat begini atau begitu. Si A ingin ke Timur maka ia akan berusaha sekuat tenaga langkahnya ke Timur, sementara Si B berharap tetap tenang ke Utara, padahal Utara penuh risiko, lagipula Si C tetap tak mau beranjak. Semua mengemukakan pendapat dan harap. Dan pemicu kegegeran di bank itu adalah mobil impian masa kecil yang ditanamkan ke otaknya oleh Sang Ayah. Lihat, betapa kata-kata begitu bermakna. Mobil BMW, posternya ditempel di kamar, ia mengulang-ulangnya terus seakan-akan itu bukan kata kerja, tapi mantra Buddha. Pikiranya kebas, dan ia berjuang hingga titik akhir memilikinya.

Adegan paling ujung membuat geram sekaligus lega, ujung pistol selepas ditembakkan mengepulkan asap, ditiup bak koboi pemenang. Sebuah ejekan ke penonton dengan tebakan plot yang salah, “Aku tidak mati, aku masih bernapas dan menangis.”

Blonde. Purple | Year 2021 | England | Directed by Marcus Flemings | Screenplay Marcus Flemings | Cast Roger Ajogbe, Adam J. Bernard, Ellie Bindman, Andy Chaplin, Moore Cook | Skor: 4/5

Karawang, 131221 – Roxette –Little Girl

Rumah Mati di Siberia

Rumah Mati di Siberia

“Dimanakah engaku diam selama ini?” / “Di dalam rimba, Paduka Tuan.” / “Selamanya di dalam rimba?” / “Selamanya di dalam rimba, Paduka Tuan?” / “Dan musim dingin di manakah?” / “Hamba belum pernah melihat musim dingin, Paduka Tuan.”

Luar biasa. Sendu. Sedih sekali, menyaksi kejadian mantan narapidana yang menuliskan kisahnya di Siberia. Keras. Sungguh, inilah yang dinamakan neraka dunia, gelap dan penuh kesengsaraan. Sangat menyentuh, orang-orang bersalah ini berkumpul, disatukan nasib, mengarungi hari-hari dengan keraguan, apakah bisa sampai selesai masa hukumannya, atau mati di Siberia. Disampaikan melalui catatan Alexander Petrowitsj oleh sang penulis.

Total Alexander Petrowitsj dipenjara selama 4 tahun, bukan karena kesalahannya. Ia mencatatkan pengalamannya, lantas ia menjadi guru di Siberia hingga akhir hayatnya. Sang Aku lantas menuturkannya kepada pembaca. Di kota-kota Siberia ini banyak dijumpai orang hukuman yang menjadi guru. Mereka tidaklah dipandang hina.

Sang penulis menanyakan perilaku Alexander Petrowitsj kepada Gorjantsjikow, dan ia memang guru yang baik. Lalu melalui catatan yang ditemukan kita diajak menelusur masa lalunya. Alexander Petrowitsj, terlalu sederhana. Ia tampak tak neko-neko, menerima hukuman dengan lapang. Kesehariannya menjadi pekerja penjara, mendapati berbagai perilaku teman-teman senasib. Macam-macam siftanya. Yang seorang merana oleh kerja paksa itu seperti pelita kehabisan minyak, yang seorang lagi masuk penjara, dengan tidak tahu, bahwa di dunia luar ada kehidupan yang penuh kesenangan. Yang lainnya mudah marah. Ya, alangkah pandainya mereka itu memaki orang! Memaki itu suatu kepandaian istimewa dalam penjara ini.

Karena dipaksa dan selalu dikerahkan dengan mengamankan pentung. Petani-petani yang merdeka jauh lebih berat pekerjaannya daripada orang hukuman, tetapi mereka bekerja untuk diri sendiri dan maksud tertentu. Ada masa muncul penghiburan. Akhirnya datanglah dua orang “pelipur lara”, demikian orang-orang hukuman menamakan perempuan itu. Mereka bisa melepas penat dengan bersama perempuan yang datang, menghamburkan uang yang tak seberapa. Masa yang ‘bebas’ itu tak lama karena saat tambur sudah berbunyi, dan sekarang waktunya masuk ke tangsi.

Ada kisah Sang Penyamun yang meratap. Ia ditangkap dan dibawa ke hadapan pengadilan dihukum buang dan kerja paksa di Siberia. Ia memang jahat di luar, tapi tetap saja saat sisi sensitif disentuh ia berkaca-kaca. Dadanya penuh kemasygulan, pikirannya penuh kenangan yang memilukan.

Ada lagi Orang Yahudi, memang yang terganjil di antarnya, dan jadi pelawak yang tidak dapat pula menahan tawa jika teringat padanya. Ia seorang jauhari, dan karena di kota itu tidak ada sudagar pertama, banyaklah pesanan yang diterimanya, dan sebab itu tidak perlu ia bekerja berat.

Seberat apapun hukuman, manusia memang dasarnya mampu beradaptasi. Manusia mudah ditundukkan oleh kebiasaan. Maka kerja paksa yang berat itupun jadi terasa biasa setelah beberapa hari dilakukan.

Ada lagi kisah sahabatnya yang merasa ia tak pantas di sana. Ia dihukum karena jatuh hati pada orang yang salah. “Aku percaya Tuan Alexander Petrowitsj jika saya katakan bahwa saya dibuang ke sini karena jatuh cinta?” Lalu dikisahkan panjang lebar, intinya ia membunuh karena cemburu. Pantas saja. “Kalau karena jatuh cinta saja orang tidak akan dibaung ke Siberia ini.”

Baklusjin dengan pede menjawab, “Benar begitu, tetapi karena jatuh cinta ini saya telah menembak seorang Jerman dengan pistol…” Bisa saja orang masih tak merasa bersalah karena membunuh. Sekalipun Jerman sedang panas dengan Uni Soviet, tetap saja warganya yang di sana tak serta merta bisa dilenyapkan seketika.

Uang juga berperan penting di penjara. Semakin tebal semakin makmur, semakin banyak teman. Makanan diselundupkan, membayar petugas, hingga kenikmatan merokok. Tentu semua dengan uang. Uang itu seperti debu, jika sudah terbang, membumbung terus. Sebanyak apapun yang dibawa, tak akan cukup. Sejatinya sama saja sih di dunia bebas, hanya penggunaan aja harus bijak ‘kan? Hidup di dalam rimba, biarpun miskin dan melarat, tetapi merdeka dan penuh pengalaman, inilah yang sangat menarik hati dan menimbulkan rindu mengembara dalam sanubari tiap-tiap orang yang sudah mengenalnya.

Sifat berkuasa juga dibahas. Orang-orang yang teraniaya, dengan kuasa sedikit saja tetap bisa memiliki akses tinggi. Sayangnya, banyak disalahguna. Dalam diri tiap-tiap menusia ada tersimpan bibit nafsu hendak berbuat sewenang-wenang.

Bila manusia kehilangan tujuan dan harapan tidak jarang ia menjadi bajingan yang sebuas-buasnya. Tujuan kita semua adalah kemerdekaan. Semakin lama hukuman semakin tampak frustasi penghuninya. Karena terlalu lama dikurungan maka ‘kemerdekaan’ dalam fantasi kita jauh lebih merdeka daripada kemerdekaan yang sejati.

Tuan Alexander Petrowitsj yang malang, jadi penasaran apakah yang dituturkan ini berdasarkan kisah nyata? Sebab terasa sekali rona-rona kenyataannya. Seperti pengakuannya, “Selama dalam penjara ini, walaupun saya dilindungi oleh berates-ratus teman, saya selalu merasa sunyi, satu kesunyian yang lama-kelamaan saya cintai.”

Ini adalah buku kedua Fyodor yang saya baca setalah The Gambler yang megah itu. Satu buku kumpulan cerpen terbaik terhenti tinggal beberapa kisah, tahun ini akan kunikmati lagi, satu lagi Catatan dari Bawah Tanah juga tak selesai baca. 2022 sepertinya akan kutuntaskan semua sebelum memasuki buku-buku babak baru berikutnya. Salah satu penulis besar yang pernah ada. Beruntungnya saya berkesempatan menikmati karya-karyanya. Rumah Mari di Siberia jelas, salah satu novel terbaik yang pernah kubaca.

Rumah Mati di Siberia | by F.M. Destojewski | Penerjemah M. Radjab | Desain kover Tim Desain Balai Pustaka | Editor Tim editor Balai Pustaka | Layout isi Gatot Santoso | Penerbit Balai Pustaka | Dicetak oleh PT. Intan Parowara | Cetakan pertama – 1949 | Cetakan keempat – 2011 | vi, 360 hlm, 14.8 x 21 cm (seri BP no. 1670) | ISBN 979-666-658-8 | Skor: 5/5

Karawang, 061221 – Alternative Rock Hits

Thx to Boekoe Kita, Smg