
“Everything important happens when you’re awake.”
Tak banyak hal baru yang dikembangkan dalam Dune. Walau bukunya mungkin telah dibuat terlebih dulu baru menginspirasi banyak karya berikutnya, Dune terbaru ini justru malah mirip mengekor, seperti Game of Throne, Star Wars, Harry Potter, SpongeBob hingga kisah-kisah klasik pertempuran kerajaan yang memperebutkan mahkota macam era Sriwijaya/Majapahit. Cerita pertarungan antar klan dengan setting luar angkasa, bocah pilihan yang ditakdirkan menyelamatkan dunia, jelas template umum yang diasah ulang. Yang agak membedakan, mungkin karena ini karya Dennis, jadi plot itu dilingkupi renungan. Tak lengkap tanpa lanskap langit merona, menatap lazuardi dengan selang terjuntai ke hidung.
Kisahnya tentang perang antar planet, Paul Atreides (Timothee Chalamet) dari Caladan yang terlahir istimewa. Kisah Dune dinarasikan oleh Chani (Zendaya) yang sering muncul dalam mimpi. Dalam pembuka ia diminta ibunya untuk melakukan semacam telepati, meminta Lady Jesicca (Rebecca Ferguson) untuk mengambilkan segelas air. Belum berhasil. Paul adalah seorang pangeran dengan kekuatan dahsyat, tapi belum terasah. Negerinya damai, tapi kini terancam serangan lawan.
Planet gurun Arrakis dipimpin oleh diktator kejam Harkonnens (Stellan Skarsgard), memanen zat psikogenik (rempah-rempah). Fremen sudah berusaha mengusirnya, tapi tak pernah berhasil. Rempah-rempah jadi komoditi penting untuk perjalanan antar planet, karena bisa untuk perluasan kesadaran para navigator untuk bisa melesat dengan kekuatan cahaya.
Ayah Paul, Duke Leto Atreides (Oscar Isaac), panglima perang Duncan (Jason Momoa) dan pasukannya menerima undangan untuk penyerahan Arrakis, tapi mereka curiga ini hanya jebakan. Apalagi Paul bercerita dalam mimpinya, misi itu berantakan dan sobatnya tewas. Walau intuisi itu tak sepenuhnya tepat, tapi kekhawatiran itu nantinya malah jadi nyata.
Konfliks Atraides dan Harkonnen memang ada, dan saat Leto fokus keluar menyelamatkan diri, di dalam istananya terjadi gejolak. Musuh dalam selimut membuka portal, ledakan terjadi, tapi tak sepenuhnya luluh, musuh utama memang ambyar, menderita tapi berhasil bertahan. Paul yang ditakdirkan jadi pemimpin, berhasil kabur. Bersama Jessica melintas gurun yang sangat berbahaya guna bertemu Fremen, ada cacing besar Alaska mengancam. Dalam visual tampak mengerikan. Dan saat credit title muncul, helaan napas hufffhhh… yang keluar, kisah ini memang tak tuntas, tak lega, bercinta tanpa klimaks; ini baru bagian pertama.
Dengan tagline “Beyond fear, destiny await.” Dune jelas menginspirasi banyak cerita di era modern. Yang pertama terlintas adalah Harry Potter. Dalam sihir, Harry sudah ditakdirkan menjadi The One, yang terpilih. Ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia sihir. Pas banget kan. Adegan adu antar klan jelas menelurkan cerita perang A Game of Thrones. Apalagi tensi dan kekejamannya sangat ngeri sekali. Dune bukunya tebal sekali, karena belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, belum kunikmati.
Semua hal bisa dibuat menjadi dongeng, hanya setting tempat, konfliks, hasrat yang harus dipenuhi dengan perang antar klan. Mimpi bisa dibilang adalah gambaran harap, atau doa. Paul dengan kekuatan istimewanya dengan mudah kita prediksi selamat, sekalipun terpojok atau sudah tampak hopeless sekalipun. Film ini nyaris tak ada kejutan, mungkin karena Dennis sudah dapat template untuk diadaptasi jadi geraknya tak seliar film-film lainnya, kurang bebas. Kalau andalan visual, di era sekarang tampilan bak wallpaper sudah sangat banyak, memanjakan matalah, mewarnai pengelihatan-lah, yah apapun itu sudah umum. Dan karena sudah umum jadinya malah biasa. Semua hal yang berjumlah banyak tidaklah berharga.
Justru ini lucunya, yang terlintas pertama kali setelah usia nonton film ini adalah Cacing Besar Alaska dalam serial SpongeBob. Cacing yang mengejar warha Bikini Bottom itu menghajar apapun yang ada di depannya, segala yang dilintasi remuk, maka kota didorong pindah yang idenya dari Patrick, Cacing itu bisa dikalahkan Sandy dan SpongeBob, tapi kejutannya Bikini Bottom tertimpa sang monster. Dalam Dune, cacingnya sadis. Dalam penambangan rempah, yang disikat bukan hanya orangnya, tapi semua mesin dan segala isinya, dalam gerak cepat dan dramatis yang selamat adalah yang berhasil diterbangkan. Cacing istimewa.
Part One ini ketinggian ekspektasi, malah cenderung kecewa. Renungan yang dinanti tak terlalu bikin kesan. Adegan dramatis, di mana bapaknya mengeluarkan racun dengan begitu mengejutkan juga terlihat biasa saja. Entah salah dieksekusi atau emosi-nya tak tertaut. Ingat CV Dennis ini luar biasa, jadi Dune jelas sebuah penurunan, misal dari film sebelumnya Blade Runner 2049 yang wow itu. Sekali lagi, keunggulan visual bisa jadi nilai jual, tapi kalau jadi komoditi utama sungguhlah tak pas. Cerita yang utama, Part One ini secara cerita malah cenderung boring, mendayu-dayu dua jaman! Mending Dennis bikin film dengan naskah original, agar ekspresinya bebas. Dune bagiku, adalah film Dennis sekadar mengendurkan tali kekang. Bukan tumpuan harap di penghargaan tertinggi.
Dua jam lebih dengan tempo yang sungguh lambat. Kalau alasannya buku sumber yang terlampau tebal, dan ingin banyak yang tak dipangkas, sejatinya ada jalan keluar selain dengan dibagi gini. Pertama jelas, kita harus percaya bahwa durasi bisa diakali. Contoh novel tebal yang berhasil dipadatkan jadi kurang dua jam juga sangat banyak. Kedua, plot arahnya abu-abu, kelamaan melamun juga tak bagus, cerita jadi tersaput ketidakpastian: apakah itu sebuah perang saudara, ataukah sekadar rebutan kekuasaan, atau hanya masalah rebutan rempah-rempah? Atau hal istimewa lainnya? Bagi yang sudah baca bukunya mungkin tahu, tapi adaptasi film yang sukses harusnya tak spesialis buat pembaca, idealnya bisa dinikmati semua kalangan. Ketiga, ya aku mungkin beberapa kali baca ulasan singkat yang muncul di sosmed dan sebagian coba kutelaah argumennya, yang kontra maupun yang pro, dan ini bukan lagi pertanyaan yang bisa diputuskan semata-mata hanya dengan logika. Dune terlalu luas cakupannya, seperti kata Bung Hasan BM: ga gitu suka-suka amat, tapi ya ga benci amat. Ada sekual ok, gak ada juga ga ngarep. Kalau terlalu banyak mikir kayak Dune, skip bioskop. Nonton buat refreshing, bukan malah bikin pening. Rempong ngapalin nama orangnya, klannya, tempat. Kenapa pula gitu namanya pada susah-susah dihapal. Ya, tentu aku sepakat.
Keempat, tingginya harapan yang membebani Dune membuat kita tak lagi tercengang.
Dune Part One | Year 2021 | Directed by Dennis Villeneuve | Screenplay Jon Spaihts, Dennis Villeneuve, Eric Roth | Cast Timothee Chalamet, Rebecca Ferguson, Zendaya, Oscar Issac, Jason Momoa, Stellan Skarsgard, Josh Brolin, Javier Barden | Skor: 3.5/5
Karawang, 251121 – Eagles – Hotel California
Ping balik: 101 Film yang Kutonton 2021 | Lazione Budy
Ping balik: Prediksi Oscars 2022: Nyupir | Lazione Budy