
“Belukar menjalar hingga luar pagar / seperti mencari bapaknya / Sementara tunas bamboo menetas…” – Suta Manut Marang Bapak
Kubaca dalam sekali rebahan pada malam jelang tidur 22.11.21. Tak tebal jadi memang bisa cepat kelar. Terbagi dalam lima bagian, berisi puisi-puisi dengan satu dua halaman. Banyak kata-kata ‘asing’ bahasa Jawa alus atau bahasa seni Jawa, yang bagiku tak akrab.
Karena secara bersamaan aku lagi baca kumpulan puisi maestro Sapardi Djoko Damono, Melipat Jarak. Rasanya ternyata baca puisi bagus tuh seperti ini, sempat berujar gitu. Maka baca Kembang Sepasang, terasa biasa saja. Kebanting kali ya. Membaca puisi menjadi rutintas 12 buku tiap tahun mulai 2021 ini, dan mulai terpilah dan terasa mana puisi yang berhasil tune in mana yang terlihat biasa, bahkan mana yang buruk juga sudah ada feel-nya. Progress yang bagus ‘kan?!
#1. Beberapa Sajak Perihal Anak
Berisi 16 puisi, rerata membahas dunia anak gaib. Maksudnya dunia antah yang tak umum di dunia peranakan. Contoh dalam Kembar, ada bait-bait berbunyi, “siapa yang menyembuhkan tambapetra / dari kegelapannya / hingga kami menikah / dengan ni soka dan ni padapa”. Jelas ini tak umum. Untuk seniman yang mendalami dunia seni Jawa, bisa jadi langsung klik, tapi tidak untuk pembaca awam.
Puisi-puisi Sapardi tuh kebanyakan bahkan kata-kata umum, dibelit dan dimodifikasi dengan wow tak banyak kata-kata asing dan tak muluk-muluk.
Atau yang berjudul Sarimpi, saya kutip semua, terdiri dua paragraf: “kami menanam bunga di empat penjuru rumah / melati, kantil, kenangan dan mawar merah / menangis kami sambil mengeduk tanah / dan menanam kaki kami sendiri / kami perempuan. Empat-empatnya / sedang marah-marahnya pada dunia / yang membuat kami seperti tak ada.
“orang-orang sudah menyalakan lampunya / mengelilingi kami yang berdebar jadi tontonan / api, udara, air dan tanah bertarung / saling pukul, air dan tanah bertarung / saling pukul, saling tusuk, saling meledakkan / kami bergerak demikian pelan / membuat pertaruhan ini melelahkan / dan membosankan(?)”
#2. Magical Thought: Leila Pazooki
Terdiri tujuh puisi, bagian ini agak panjang (membutuhkan dua halaman), walau tak panjang juga. Ini jelas dari pengalaman sang penyair yang memang kesehariannya di dunia akting. Mencampurkan dunia peran dan sastra, membaur dengan belitan kata-kata.
Aku kutip satu puisi berjudul Percakapan Agar-agar: “akhirnya dua agar-agar yang berlawanan warna itu bertemu. Satu hitam, satunya putih. Dan duduklah mereka bersanding di sebuah meja kayu untuk melepas rindu. Cukup lama keduanya terdiam. Tak ada yang bicara untuk memulai percakapan. Di sudut ruangan seseorang tengah memutar lagu cinta dari masa lalu. Kedua agar-agar itu seperti sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sibuk dengan ketakutannya sendiri-sendiri. Sibuk dengan penantian mereka yang panjang. Sesekali mata mereka saling tatap tanpa sengaja. Tapi buru-buru mereka membuang pendangannya ke tempat yang jauh. Dan keduanya berdebar tak karuan seperti maling yang tertangkap basah hendak mencuri. Entah berapa lagu telah berlalu. Keduanya tak juga beranjak ke mana-mana, masih duduk diam. Bersanding di sebuah meja. Dan bahagia karenanya.“
#3. Yang Berlaku Sepanjang Tahun: Prihatmoko Moku dan Sandi Kalifadani
Berisi 12 puisi. Rerata juga menggunakan kata-kata ‘asing’ dibagi dengan bulan-bulan, dari Juni-Agustus hingga setahun berselang. Aku kutip satu sahaja.
Tirta Sah Saking Sasana: Mei-Juni; Tidak ada lagi yang sungguh tersisa / Air telah pergi tinggalkan gelasnya / Kini kosong dan dingin yang berkuasa / Serta angin yang menggigilkan segala.
Tapi ladang yang sepi mesti kau isi / Sesuatu mesti kau tanam di sini / Agar kelak ada yang bisa kau ingat / Selain angin dingin yang cepat lewat.
#4. Berguru pada Bayang-Bayang
Terdiri atas 19 puisi. Bagian terpanjang di buku ini. aku tulis satu yang bagus. Alap-alapan Surtikanti: Suatu kali aku pernah bersembunyi di gelung rambutmu / berdiamlah di sana, katamu, rumahkan kesepianmu / dan bau lehermu menidurkanmu. Menjaga kesedihan / yang berkeliaran sepanjang tembok tamansari / tinggallah di sana, katamu. Selesaikan pelarianmu / tapi tubuhmu bukan makamku. Tak ada namaku di sana.
Aku hanya pencuri yang mesti terus berlari
#5. Yang Terlepas dan Tak Tuntas
Terdiri atas delapan puisi. Kukutip puisi penutup berjudul Bunga Terong: kurindukan bunga terong / yang pernah tumbuh / di sepasang bahuku / juga malam-malam dingin itu / : kuli yang sepi, / orang-orang meringkus diri / dalam kardus, / dan kamu semakin jauh / tenggelam dalam dirimu.
Puisi yang bagus adalah puisi yang berhasil menautkan emosi pembacanya. Kebanyakan puisi bagus bernarasi, bercerita, bertutur; bukan sekadar memilah dan memilih kata-kata unik dan terlihat aneh. Narasinya juga tak njelujur bebas, dengan kalimat-kalimat pendek, kata-kata yang terpilih tentunya harus selektif dan efektif.
Ini adalah buku pertama almarhum Gunawan Maryanto yang kubaca. Beliau adalah aktor, penulis, dan sutradara. Penghargaannya sudah banyak. Orang hebat. Walaupun buku ini terbaca biasa saja, tapi ada letupan-letupan yang patut dicatat dan direnungkan. Jelas bukan buku terakhir karyanya yang akan kubaca.
Tenang di sana, legend.
Kembang Sepasang | by Gunawan Maryanto | 57.17.1.0042 | Penyunting Septi Ws | Desainer sampul Studio Brocolli | Penerbit Grasindo | ISBN 978-602-452-039-7 | Cetakan pertama, Juli 2017 | Skor: 3.5/5
Karawang, 231121 – Voice of Baceprot – School Revolution (Live session)
Thx to Gramedia di Technomart
Ping balik: November2021 Baca | Lazione Budy