Last Night in Soho: Jatuh Hati sama Thomasin McKenzie; Muda, Pirang, Cantik, Imut, Hidup

A murder in the past. A mystery in the future.” – tagline


Tentang gadis desa Cornwall yang melanjutkan sekolah design ke kota London untuk meraih impian. Memiliki masalah mental sering melihat penampakan, ditinggal ibunya bunuh diri sejak usia tujuh tahun. Dibesarkan dengan kasih sayang nenek. Dengan sering wanti-wanti untuk jaga diri, waspada di kota besar banyak setannya, selalu menghubungi rutin, dst. Terdengar klasik? Ya, tapi film menjelma gila saat hantu-hantu manusia tanpa wajah tahun 1960-an bermunculan, dan penyelidikan membuahkan kejutan.

Eloise ‘Ellie’ Turner (Thomasin McKenzie), mendapat teman sekamar yang annoying Jocasta (Synnove Karlsen) yang menyebutnya sang pencari perhatian pas bilang ibunya bunuh diri, menandai semua makanan/minuman di kulkas, hingga malam seusai pesta membawa cowok ke kamar, yang dengan begitu membuatnya keluar kamar, hingga tertidur di kursi hingga pagi.

Keadaan ini membuatnya cari kos baru, menemukan secarik kertas bertuliskan tangan sebuah kamar sewa dan ini memerkenalkan dengan induk semang Nyonya Collins (Diana Rigg). Aturan jelas, tak boleh bawa cowok di atas jam 8, tak boleh berisik, bayar di muka 2 bulan langsung, sebab pernah ada yang kabur malam-malam (ini bisa jadi joke di akhir, hehehe). Dengan kondisi kamar kos yang tenang, retro penuh pernik tahun 1960-an, playernya masih vynil, dan kerlap-kerlip lampu di depan, sungguh worth it diambil. Ellie memeluk sunyi dengan senyum merekah.

Malam itu saat selimut dibentangkan, ia mengalami adegan surealis, memasuki dimensi lain dalam tidur ke London masa jadul. Menjelma Sandie (Anya Taylor-Joy), akhirnya muncul juga setelah menit memasuki menit 25. Ellie menjadi bayangan Sandie, menjadi refleksi cermin yang otomatis jadi saksi sejarah hidupnya. Sandie masuk bar dan menjual suara, dia siap jadi the next Cilla Black. Dikenalkan dengan Jack (Matt Smith), besoknya kita diperkenan mimpi lanjutan, Sandie diperkenalkan di bar the Rialto, trial nyanyi ‘Downtown’ yang memesona, dan berakhir dengan percumbuan, yang ternyata terjadi di kamar yang sama tempat Ellie menginap!

Esoknya Ellie mengubah gaya, menjadi pirang seperti Sandie, menjadikan bajunya sebagai desain yang ia buat, benar-benar menginspirasi dengan tampil semanis itu. Namun di malam berikutnya, saat ia kembali terlelap untuk menyaksi penampilan perdana Sandie di Rialto, kejutan buruk yang ia dapat. Sandi eke sana bukan untuk bernyanyi, ia terjerumus dalam perdagangan manusia dengan buaya darat Jack sebagai germonya. Tergugah rasa takut pada mimpinya. Malam-malam itu kelabu dimulai. Ellie yang sebelumnya terpesona sosok Sandie, kini malah muak. Ranjang tempat ia tidur jadi penuh kebencian, lebih ganas lagi, sosok-sosok pelanggan jaja cinta menghantuinya, dengan wajah yang diburamkan, mereka meneror di kehidupan sekarang.

Ellie menjadi siswi aneh, kamar kosnya jadi menyeramkan, untung ada sobatnya John (Michael Ajao), si keling yang baik hati. Jadi tempat curhat. Di malam Helloween, John dan Ellie menghabiskan malam, dan berakhir di ranjang. Namun muncul penampakan, pembunuhan terjadi Sandie dan pembunuhan kelam.

Untuk punya penghasilan sendiri, Ellie jadi pelayan bar malamnya, dan salah satu pelanggan adalah sosok aneh, laki-laki tua yang gemar mengintainya, Ellie (dan penonton) otomatis menduga ia adalah germo Jack. Ketakutan Ellie berlipat-lipat, bahkan ia ke kantor polisi mengadukan kasus ini, malah jadi bahan olok-olok. Maka diputuskan diselidiki sendiri. Di perpustakaan kota, lantas dibantu John, melacak kasus Sandie, tahun 1960-an, yang ia temukan kasus-kasus lain, banyaknya orang hilang.

Malam menjadi cekam, ia sudah tak kuat lagi, menelpon neneknya, bahwa malam ini juga ia berniat pulang, ini malam terakhir di Soho. Keputusan pulang sepenuhnya improvisasi, perpicu ketakutan yang tak terkuasai. Lalu ia bertemu khusus dan meminta induk semangnya sebagian uang balik, apa yang ia terima justru sesuatu yang jauh lebih besar. Keping tanya yang samar-samar untuk berkelit dan suatu keruwetan yang membelit terjawab semuanya. Yaitu, fakta-fakta. Malam terakhir di Soho akhirnya ke tempat kebenaran bersemayam.

Awalnya niat kutonton di bioskop di hari pertama tayang, tapi jadwal bioskop CGV Festive Walk Karawang mendadak berubah, tak sesuai jadwal di web. Kutunda, dan diluar duga hanya bertahan seminggu, turun berkat gempuran Eternals. Anya jelas alasan utama, tapi dalam dilm justru nama Thomasin McKenzie yang memesonaku, tentu kalian semua juga. Pertama lihat di film Jojo Rabit, jadi cewek yang sembunyi dari kejaran Nazi. Memang tampak beda ini artis, di sini jadi protagonist utama (melepas peran di Top Gun!), mencuri seluruh layar, logat British-nya nyaman sekali didengar. Sangat pantas bersanding dengan Anya. Pas sekali di poster merefleksi, kata Lee milih sambil merem.

Genre film bergolak cepat, dari drama menjadi horror, menjadi thriller, dan twist itu mengasyikkan. Kelemahan Wright di Baby Driver dalam eksekusi ending, hampir saja terulang. Adegan minum teh itu luar biasa, sayang saja hampir rusak di ujung dengan tampilan adegan bahagia. Coba berakhir dalam malam terakhir di Soho, akhir pilu akan menjadikan sempurna. Untungnya itu benar-benar ujung, keterpesonaan kita masih menempel erat saat credit title muncul, berselang-seling dengan foto-foto London yang kosong. Lagu-lagunya dahsyat, seperti Baby, di sini keren semua. Kombinasi bagus-bagus: cerita, lagu, potongan-potongan trivia, hingga kejutan. Soho jelas salah satu yang terbaik tahun ini.

Apa yang dirasakan Ellie, berhasil merasuk ke jiwa menonton, dan mengaduk-aduknya bak bubur lumer, ya itulah keberhasilan sinema. Emosi kita turut serta, menjadi bahagia dengan senyum cerianya, menjadi ikut ketakutan, menjadi was-was akan nasib gadis ini, menjadi geregetan sama para tokoh di sekelilingnya. Caranya mengucapkan saja seperti bunyi genderang menalu-nalu jantungku yang tua, hati mas meleleh dek. Atau dalam satu kalimat, “Aku jatuh hati sama Ellie.” Muda, pirang, cantik, imut, logat British, dan hidup. Adakah yang lebih hebat dari kombinasi wanita sesempurna ini?

Hari-hari Ellie menjadi penuh warna dan berbalik seketika setelahnya. Pagi setelah bercengkerama dengan nuansa dan musik klasik. Kepada sahabatnya, ia sama sekali tidak berbohong. Apakah kau percaya hantu? Bahkan, yang dikatakannya itu benar, ia dikejar hantu-hantu tak berwajah, walaupun tidak sepenuhnya tepat. Mereka tak mengejar, mereka meminta tolong! Sempat Ellie pura-pura tidak memikirkan hal itu, tapi otaknya tidak bisa diajak kompromi. Otak Ellie tahu kalau ia berbohong. Itulah masalahnya dengan otak. Sering kali ia berpikir lebih dari yang kauinginkan. Teka-teki ini harus dipecahkan. Saat hantu-hantu muncul, mungkin kalian berujar, ‘hei itu ilusi!’ oh tidak bisa gitu bos. Saat kejadian, semuanya tampak begitu samar. Dan kesamaran itu tidak berkurang hanya karena kautahu bagaimana terjadinya…

Apa yang ada di kamar itu juga gambaran betapa manusia suka terjebak dengan masa lalu. Beberapa orang yang punya kebiasaan mengagumi dan menyimpan barang-barang indah yang tidak berguna. Atau beberapa menyebutnya rongsokan, tapi berhasil melempar ingatan ke masa lalu yang teduh. Idealnya memang kita bercerita masa lalu, sebab sungguh aktual. Kalian dengan mudah jatuh hati sama lagu-lagu The Who, John Lennon, Rudy Clark, Rory Gallagher, sampai Burt Bacharach dan Hal David. Apalagi saat diputar dalam vynil, telinga kita seolah turut diurut memutar. Luar biasa renyah. Lagu-lagu jadul selalu lebih asyik, terjebak nostalgia.

Thomasin McKenzie, kini aku punya alasan tersendiri dengan memilihmu. Seperti Sherina, cantik dan tak terjangkau. Bagai matahari terbenam di musim dingin. Jiwa tuaku kini sedang meluap-luap.

Last Night in Soho | Year 2021 | England | Directed by Edgar Wright | Screenplay Edgar Wright, Krysty Wilson-Cairs | Cast Thomasin McKenzie, Michael Ajao, Synnove Karlsen, Anya Taylor Joy, Diana Rigg, Matt Smith | Skor: 4.5/5

Karawang, 221121 – Silje Negaard – Bewitched, Bothered and Bewildered