
1 Perempuan 14 Laki-laki by Djenar Maesa Ayu, dkk.
“Kenapa kamu tidak pernah merasa yakin?”
Idenya terdengar gila. Menulis cerpen keroyokan, tapi menulisnya bergantian per kalimat. Kuulangi, “PER KALIMAT!” Bayangkan, kita tak tahu apa yang ada di kepala partner kita. Kita mau ke Barat, tapi dia malah ke Utara. Ga nyambung cuk. Namun nyatanya bisa ada 14 cerpen. Ternyata hasilnya juga biasa saja. Sulit sekali membuat cerita sejenis itu, apalagi hanya dibuat beberapa bulan. Kalau ditulis beberapa tahun, dengan pendalaman, editing, dan diskusi lanjut pasti beda. Akan lebih matang, ini seolah bikin mis instan, hanya semalam dikerjakan sampai subuh untuk satu cerita, janjian ngopi lalu mencipta karya. Sah-sah saja, tapi tetap tak bisa sebagus itu.
Pembukanya lumayan bagus. Begitu juga penutupnya, tapi tengah-tengahnya entahlah. Mawut pokoknya. Heran juga, bisa pede merilis cerita semawut ini.
#1. Kunang-kunang dalam Air – dengan Agus Noor
Di kafe kenangan denganbir bergelas-gelas. Mabuk hingga tutup, sampai diusir. Rutinitas menelusuri kenangan. Lalu cerita flashback, masa ketika mereka masih pacaran. Sering janjian di sini, seriang beradu mesra. Dalam keteleran muncul kunang-kunang.
“Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku…”
#2. Cat Hitam Berjari Enam – dengan Enrico Soekarno
Melukis dengan keraguan sebab di kepalanya bersemanyam setan. Ia kehilangan kendali atas alam pikiran dan jiwanya sendiri, karena bulan sabit putih yang menempel di kanvas mengingatkannya pada kesalahannya. Ah sakaw ternyata.
Dia tak tahu apakah harus merasa bersyukur atau menyesal karena belum mati.
#3. Menyeruput Kopi di Wajah Tampan – dengan Indra Herlambang
Dunia akting dan dibaliknya. Gigolo dan kopi yang dihirup si tampan. Seluk beluk selebriti kita. Cerita sempurna itu apa, scenario bagus yang berhasil diaplikasikan dalam akting film? Tak melulu, dasarnya harus benar.
“Lihat marking-nya dong! Setelah dialog pertama kamu baru pindah!”
#4. Ramaraib – dengan Sardono W. Kusumo
“Tiap kali kita bertemu, aku menabung rindu.” Kalimat pembuka yang bombastis. Kali ini kita diajak ke sentradari. Penampilan gemulai nan indah mementaskan lakon Rama. Gurunya yang bijak itu menjelma jahat di belakang layar. Benarkah?
“Cokli itu singkatan dari cocok pelir…”
#5. Kupunyakupu – dengan Totot Indrarto
Pertemuan tak sengaja di kafe yang menjebak aura alcohol. Dan kini terjebak bersama kelemahan hati saya sendiri. Dan terakhir bertemu malah bertengkar hebat. Ini bisa jadi rahasia, tapi pertentangan keluarga harus dihindari. Secinta dan setulus apapun, menikah adalah menggabungkan dua keluarga, maka hubungan ini harus diputus. Apa sebab?
“Karena kamu tidak nyata.”
#6. Kulkas. Dari. Langit. – dengan JRX
Pintu kulkas. Pintu yang termasuk di dalam daftar suci keluaran Majelis Uhuk uhuk Endonesa. Saya tak tertarik kulkas. Dingin. Saya mencintai kehangatan. Ah penikahan, ah penyatuan dua individu yang saling mencinta. Di tengah sawan. Dingin bos.
“Saya pesan bir dingin, Mas.”
#7. Matahari di Klab Malam – dengan Arya Yudistira Syuman
“Seperti yang kumau, seperti matahari terbit yang ditunggu setelah malam berlalu, kepada hari yang baru.” Pembuka yang jitu, lagi. Namun tak konsisten, jitu hanya lesatan mula. Setelahnya acak nan dinamis. Pesta, gincu, dansa, ahhh… matahari di pelacuran. Ah, gemerlap cinta satu malam.8. Rembulan Ungu Kuru Setra – dengan Sujiwo Tejo
#8. Rembulan Ungu Kuru Setra – dengan Sujiwo Tejo
Adipati Karna gugur di Tegal Kuru Setra saat perang besar Bratayuda. Kita diajak kembali ke pementasan ternyata. Tetang Raditya dan Prita, umum pasangan yang love-hate. Sayang-benci, ciuman panas lantas bertengkar.
“Kamu tanya apa barusan, Prita? Ciumanku tak bisa kamu tanya dengan why, shat for, dengan… aaah!”
#9. Napas dalam Balon Karet – dengan Richard Oh
Antonio dan Roselyn. Pada awalnya sunyi tak pernah menengahi mereka. Hanya da gelak tawa. Tiap gerak dan gerik adalah sebuah semiotika yang menafsirkan diri sendiri sebagai sebuah penanda untuk tawa. Tak butuh tafsiran atau terkaan. Hanya letupan ekspresi yang begitu lepas dan bebas. Sebuah epiphany mutlak.
“Kamu datang untuk menanyakan nama saya, kan?”
#10. Bukumuka – dengan Nugroho Suksmanto
Pagi yang muram bertabuk jauh di ufuk. Lagi-lagi pembuka yang bagus, tapi lagi-lagi tak konsisten. Sulit bro… Kusmanto yang gundah karena dalam kepalanya terjejal kemelut-kemelut masalah. “Keluarkan saja di dalam!” Ayu, cewek kenalan di facebook itu meminta hubungan yang tampak serius karena meminta ‘di dalam’. Dan saat lelaki beristri melakukan ke cewek asing, masalah adalah buntutnya.
“Besok saya telpon kamu, Manto. Selamat siang.”
#11. Ra Kuadrat – dengan Lukman Sardi
Ranu identik dengan Rani. Sejoli yang banyak menghabiskan waktu bersama di antara tumpukan buku perpustakaan. Sepasang kekasih di sekolah, Ra Kuadrat: Pasangan Kutu Buku. Namun pacar, tak selalu berakhir di pelaminan.
“Mah, kamu belum tidur?”
#12. Dijerat Saklar – dengan Robertus Robet
“Aku mencintaimu maka aku membunuhmu, aku membunuhmu maka aku ada.”
Hubungan percintaan yang rumit, karena mematut dengan nyawa. Cahaya jadi metafora kehidupan. Ah, jiwa-jiwa muda yang labil.
#13. Polos – dengan Romo Mudji Sutrisno
Semalam, rembulan nyaris purnama. Pembuka yang romantis, indah. Awalnya, tapi tak konsisten. Pasangan yang sama-sama bugil, diarak dan ditertawakan. Mata-mata mereka rakus menelan kedua tubuh yang dipaksakan telanjang itu seakan mereka sendiri tidak pernah bugil atau jujur berpolos diri di hadapan yang Ilahi. Nayla dan percakapan individu.
Di surga, Romo Mangun sedang menulis cerita pendek.
#14. Balsem Lavender – dengan Butet Kartaradjasa
Ini lucu. Aroma balsam Lavender jadi anekdot masa muda. Lastri yang sudah nenek-nenek merasa gairah harus dibakar. Aroma balsam memang bukan aroma yang sengaja dirancang untuk mengilik-ilik syahwat. Hasrat untuk menziarahi pintu Rahim semakin rontok seperti dedaunan gugur diterjang marah angin. Dan Mas Gun adalah selembar daun yang terkapar.
Mas Gun, atlet idola lokal itu ternyata…
“Sudah ompong yang dicari tetap saja lavender. Kayak ada pengaruhnya buat kamu.”
Terlihat kolab sejenis ini sulit sekali menjadi cerita bagus. Pembuka selalu bombastis, karena jalinan belum ada. Tak perlu beberapa paragraph, baru menginjak kalimat tiga empat saja udah amburadul. Kalau kolab per bab untuk satu novel utuh masih bisalah, sebab satu bab masih karya satu penulis. Contoh novel Klik! Yang juga baru selesai kubaca, itu 10 penulis mengambil 10 bab, tugasnya hanya melanjutkan cerita dari bab sebelumnya, nah, ini masuk akal. Kalau kolab per kalimat, sulit bro.
Kecuali, ditempa bertahun-tahun. Artinya satu cerpen yang sudah jadi, semalam mungkin, didiskusikan bermalam-malam. Bersepakat, apakah sudah final, ataukah bisa direvisi lagi. lantas harus ada benang merah, mau cerita tentang apa. Kalau cerpen kolab, dibikin semalam ya amburadul. Jadi sih jadi, tapi ya gini. Kolab sama aktor, jadi cerita tentang film. Kolab sama penari, jadi cerita tari. Bersama sastrawan, jadi mendayu, dst. Seolah Mbak Ayu nurut saja arahnya ke mana. Maaf sekali, ini percobaan yang gagal. Nama besar Djenar Maesa Ayu, tak menjamin kualitas secara umum bakalan sukses. Percobaan yang perlu diapresiasi, tapi harus lebih matang. 1 Perempuan 14 Laki-laki, malah tampak hanya gaya-gayaan. Bumbunya masih tak pas, ramuannya perlu digodok lagi. Semangat, meracik ulang.
1 Perempuan 14 Laki-laki | by Djenar Maesa Ayu, dkk | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Januari 2011 | Cetakan ketiga, April 2011 | editor Mirna Yulistianti | setting Ryan | desain sampul diolah dari Shutterstock.com | GM 201 01 11 0003 | ISBN 978-979-22-6608-5 | Skor: 2.5/5
Karawang, 211121 – Charlie Parker – Laura
Thx to Anita Damayanti, Jakarta