
Klik!
“…Foto-fotonya oh begitu indah dan mengerikan, dan foto-foto itu menyajikan pertanyaan-pertanyaan sulit. Seolah-olah, dari kekecauan, dia menemukan seberkas.. aku tak tahu apa namanya.. keteraturan, kemanusiaan.”
Keren. 10 cerita dibuat 10 penulis dan berkelanjutan. Satu bab/cerita mengambil sudut pandang satu karakter, lalu dilanjutkan oleh penulis lain. Bebas mencerita, asal ada benang merah sama cerita sebelumnya, lalu ketiga aturan juga sama, cerita berkaitan terus sampai total 10. Ditulis oleh orang-orang yang memang memberi jaminan kualitas, semua sudah memiliki buku best seller. Hanya dua yang kukenal dan sudah kubacai bukunya, Nick Hornby dalam About a Boy dan Eoin Colfer dalam Artemis Fowl. Memang alasan keduanya aku membeli buku ini, dan terbukti Ok.
Kisahnya tentang fotografi. Dari seorang fotografer dari era Perang Dunia Kedua hingga millennium baru. Namun fokus utama adalah warisannya, orang-orang sekitar yang terpengaruh dan dipengaruh, keluarga, sahabat, dan segala yang berputar di sekelilingnya. Maka, cover dengan lanskap lensa sudah sangat pas. Ini adalah buku kenangan, dan karena itu sungguh mengasyikkan. Dia bilang dia menyukai perasaan berpindah melintasi dunia, dengan ringan dan bebas, bergerak melewati cerita-cerita orang lain.
Ada 9 karakter yang diambil sudut pandangnya. Pertama Maggie, ini adalah cucu sang fotografer G. Keane yang sudah meninggal. Ia mendapat warisan sebuah kotak berisi kerang sebanyak tujuh dalam tujuh kotak kecil. Dengan kode huruf: “A A E AU A AS A.” Warna kerang beda-beda, sempat terlambat dibuka sebab sayang sekali dan masih dalam dukacita, akhirnya Mag paham, kakeknya mewariskan teka-teki. Apakah itu, akan dibuka satu demi satu dan misi baru berakhir hingga bab terakhir. “Mengapa ada banyak sekali huruf A?“
Kedua adalah Annie, cerita merentang jauh di seberang samudera. Annie adalah anak kecil yang hidup sama ibunya, tinggal di rumah gubuk terbuat dari kayu, bercat putih dan asin, mereka tinggal di pesisir pantai menjadikannya bergkulit keling, ibunya tampak misterius sebab identitas ayahnya tak diberitahukan langsung. Berbagai foto itu lantas bercerita. “Semua hal bisa dibuat menjadi dongeng. Aku menatap mata ibuku. Apa yang kulihat di matanya? Kesenangan akan kenangannya, ataukah kesenangan akan imajinasinya?”
Ketiga adalah Jason, kakak Mag. Ia diwarisi Gee sekumpulan foto dengan tanda tangan. Bukan sembarang foto, sebab mereka adalah orang-orang terkenal. Dari Muhammad Ali, Michael Jordan, Lance Armstrong, hingga Tiger Wood. Jason bekerja separuh waktu di restoran pizza, dan sedikit bermasalah dengan orang-orang. Fakta bahwa Frank bukan ayahnya dan Gina bukan ibunya membuatnya terguncang. “Semua hal yang berjumlah banyak tidaklah berharga.”
Keempat adalah Lev, Berkenalan dengan Gee dalam sel. Awalnya biasa sebab banyak orang bohong saat berkunjung, tapi orang Amerika ini lain. Ia disukai para tahanan, dan Lev meminta membawakan ibunya yang lama tak datang. Sayang kabar buruk yang ia dapat. Satu pelarian lagi. “Aku selalu terkejut dengan apa yang bisa dilakukan orang.”
Bab lima kembali ke Maggie lagi yang mengandaikan kakeknya adalah The Beatles. Sayah ibunya khawatir sebab setelah setahun meninggal dunia, Mag tidka bisa move on. Ia selalu terkenang, walaupun janjinya untuk sering ziarah tak terealisasi. Diskusi itu mencipta Mag dan ibunya ke Eropa, untuk menemui sosok yang misterius hasil jepretan almarhum. “Mimpi bisa dibilang adalah doa. Apakah ini kotak doa?”
Kelima adalah Vincent, Vincent Sheils yang tua memiliki kenangan indah, tantu saja sama Gee. ini mengajak kita merentang ke Eropa. Menjadi saksi sebuah sejarah pertarungan akbar Muhammad Ali di Irlandia. fotografer yang mengambil gambarnya saat ‘meninju’ sang idola. Ia kini sudah tua, dan ia bercerita pada seseorang kenangan itu. Foto yang bercerita. “Semesta pepat merangkulku erat, penuh dengan kerumunan dan kekosongan.”
Keenam adalah Min. Ini masa Jason jadi fotografer dan ia kembali bertemu dengan Min, siapakah dia? Dia adalah salah satu pengunjung restoran Brendan’s Pizza, salah satu sobat Chloe yang ulang tahun. Dari gerak dan tawa yang disaji, jelas Jason jatuh hati sama Jasmine. Ternyata pertemuan itu bukan kebetulan, Jason melacaknya. Dan akhir bahagia di kampus itu, laik didapat Jason. “Aku akan menatap bintang-bintang dan makhluk-makhluk liar lewat matanya, merasakan panas, dingin, hujan, dan semilir angin lewat kulit gadis itu.”
Ketujuh adalah Jiro. Kali ini kita merentang ke Sapporo, Jepang. Kakak Jiro adalah veteran perang, Taro kehilangan kakinya. Hal ini mencipta kebencian Jiro terhadap Amerika. Penderitaan Taro terjadi di Filipina, saat tugas perang melawan Amerika, granat-granat yang dilempar itu membuatnya luka parah. Maka saat ada fotografer Amerika, Gee ke Jepang dan bersahabat dengan kakaknya, ia marah besar. Yah, kita semua korban perang. Sampai akhirnya sebuah adegan dramatis mencipta Gee menjadi hero. Lantas kita tahu asal muasal kerang Mag, kisah dibaliknya. “Lihat apa yang telah kuraih, tetapi lihat juga hal-hal yang tidak kudapatkan.”
Kedelapan adalah Afela, kita diajak ke benua baru lagi, Aussie lebih tepatnya di High Vincentia. Masa kini sudah merentang jauh, taka da Gee, Mag, Jason atau siapapun. Kita ada di masa depan, bukan di 2021 (waktu buku ini kubaca, buku ini ditulis 2007), tapi di masa lebih depan lagi. Ternyata misi lempar kerang itu tak berhasil diselesaikan Mag, tapi dilanjutkan oleh Margaret. Lempar kerang ke arah kutub selatan. “Apakah itu sihir, dan aku bisa melakukannya?”
Karakter yang terakhir adalah Margaret Keane Henschler. Ada teknologi namanya Logometer, transfusi darah di era itu. Kita kembali ke Amerika masa depan, nama kotanya Nutu: NewYorkTwo. Ia sakit parah, dan misi dari orangtuanya belum selesai juga. Kita ada di masa depan, dan foto-foto Gee menembusnya. Presentasi karyanya adalah bukti. Generasi berikutnya adalah Iona kecil yang menerima tongkat estafet itu, jadi pertanyaan imut apa yang harus dilakukan dengan kerang ini sungguh adalah akhir yang bijak. “Janji-janji omong kosong terhadap kebebasan bukanlah seleraku.”
Buku bagus sekali, apalagi trivia tautan ke pemain bola terkenal itu. Bikin senyum. Hanya agak jatuh di bagian masa depan di bab sembilan sepuluh. Sulit memang membayangkan tahun 2030 dengan akurat. Kita semua tak tahu, hanya merabanya. Saat kalian bilang, mengirim SMS yang lazim di tahun 2000-an, jangankan sepuluh tahun lagi, sekarang saja sudah hampir tak ada yang kirim SMS, adanya WA ‘kan. Maka umpamanya, ada penulis yang mereka tahun 2040 dan masih mengandaikan mengirim gambar via WA, jelas itu blunder berat. Akan ada teknologi baru lagi yang tak bisa kita sangka, jadi yah memang sulit menulis masa depan. Mending menengok ke belakang sahaja, lebih aktual.
Bab terakhir sejatinya sama saja. Aku tak mau menyalahkan Margo Lanagan atau Gregory Maguire, tapi pilihan mencerita masa depan sungguh perjudian yang kurang pas. Andai saja masih berkutat di masa itu, Jason atau Mag masih di masa kuliah misalkan, tentu akan jauh lebih relevan.
Secara keseluruhan Klik! Adalah kolaborasi cantik, bagus sekali. Ide mencipta novel keroyokan dengan benang merah terdengar eksotik, ini pertama kalinya jadi pengalaman yang wow. Klik! Kamu tertangkap kamera…
Klik! | by Eoin Colfer, Linda Sue Park, Ruth Ozeki, Nick Hornby, Tim Wynne-Jones, David Almond, Gregory Maguire, Deborah Ellis, Margo Lanagan, Roddy Doyle | Copyright 2007 | GM 402 01 120091 | alih bahasa Jia Effendie | Editor Ariyantri E. Tarman | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | September 2012 | 228 hlm; 20 cm | ISBN 978-979-22-8741-7 | Skor: 4.5/5
Karawang, 201121 – Diana Krall – What Should I Care?
Thx to Der Sar, Jakarta