15 Minutes of Shame: Kita Takkan Tahu Apa yang Disebut Mengerikan sampai Kita Mengalaminya Sendiri

“Sosial media was a good idea. But people ruin everything.”

Selamat datang di dunia digital yang penuh kemudahan, segala berita/informasi yang disampaikan serba instan. Saringnya tak kuat, bisa dengan mudah diakses. Di manapun, kapanpun. Sosial media (sosmed) membetuk peradaban baru, manusia-manusia yang dulu melewatkan waktu dengan lebih banyak memerhatikan sekitar, kini lebih sering menunduk melihat gadget. Efeknya, tentu saja ada. Semua barang baru yang diluncurkan ke publik selalu menemukan dua sisi yang memang patut diperhitungkan.

Dibuka dengan kutipan bagus dari Andy Warhol: “In the future, everyone will be world-famous for 15 minutes.” Seperti yang kita tahu, kutipan itu pertama muncul tahun 1968 di program tv Moderna Museet. Kata-kata itu lantas menjadi trend yang diplesetkan berbagai bentuk, termasuk film ini.

Ini tentang efek buruk sosmed. Kisah-kisah ini disampaikan dengan metode wawancara, beberapa korban serangan kata-kata, ini film dokumenter dunia digital dari sisi humanisme. Dari seorang petugas yang sedang patroli, tangan menjulur keluar satu saat menyetir, disangka kasih kode rasis. Foto yang diunggah ke sosmed itu menuai banyak sekali kecaman, sang petugas teridentifikasi, kena skorsing, bahkan diberhentikan sementara oleh atasannya. Namun berjalannya waktu, dan penyelidikan intens ternyata ia tak sengaja, dan sosmed yang terlanjur menghakimi tak bisa ditarik lagi, untungnya pekerjaannya bisa. Lihat, dunia digital yang memberi kebebasan tiap individu ini, ngeri kan.

Ada lagi, seorang penjual kebutuhan pokok di Amazon terlihat di sosmed menumpuk hand sanitizer. Indikasi menaikkan harga, dan saat pandemi melanda Amerika, barang itu langka. Ia dihujat dan dimaki-maki seantero dunia, rakus dan tak berperikemanusiaan. Akunnya bahkan kena blokir, dan ia dihakimi massa secara daring. Beberapa saat kemudian, segalanya berubah. Ternyata faktanya tak seperti yang disangkakan, beramai-ramai meminta maaf, dan apakah twit yang sudah di-sher, dikomentari, dan maki-maki itu bisa memulihkankan dengan sendirinya? Oh tak semudah itu.

Ada pula seorang mahasiswi keling berprestasi, mendapat beasiswa. Ia begitu cerdas dan pawai berbicara di depan umum. Potensi keahliaanya, antusiasme di kampus ternama, hingga segala harapan keluarga itu, seketika runtuh pada suatu pagi ia mendapat foto rasis, ftnah kejam, hingga penghinaan akan latar keluarga. Seketika ia drop, dan mencoba menenangkan diri. Butuh waktu untuk menyelidiki pelaku, dan karena memang sosmed liar, berbagai kemungkinan terhubung.

Satu lagi, ini kasus yang menghebohkan Amerika saat terbongkar perselingkuhan presiden aktif Bill Clinton dengan sekretarisnya, Monica Lewinsky. Kasusnya seolah dinaikkan lagi di sini, Monica jadi produser dan ia mengisahkan bagaimana masa itu remuk redam. Memang beda zaman, saat itu tak semasif sekarang di mana informasi masih satu arah: tv, radio, Koran, majalah. Kini informasi sudah benar-benar banjir bah, meluap-luap tak terkendali.

Budaya Batal, atau cancel culture saat ini sedang tinggi-tingginya. Sebuah pos di sosmed dikomentari, dihujat, dimaki, dipanasi, dikompori hingga gosong. Pelaku dihakimi berramai-ramai, lantas saat kenyataan ternyata tak sejahat itu, segalanya batal. Padahal pelaku kini malah jadi korban. Kasus seperti ini sudah sangat banyak terjadi, termasuk Indonesia.

Audrey mungkin salah satu yang heboh kala itu, semua orang (hampir semua orang tepatnya) menghujat pelaku kekerasan seksual, Audrey mengaku kena bully hingga selamut kemaluan rusak. Bahkan sampai bikin petisi keadilan dan galang dana. Dan tanpa dinyana, dari hasil penelusuran lebih lanjut, ternyata sebagain besar mengada-ada. Yang rada baru, adalah hilangnya anak kecil lima tahun, sudah dilaporkan polisi dan tak ketemu. Namun secara ajaib, baru beberapa jam dipos di twitter, ketemu di panti asuhan. Dunia serentak menghujat pihak berwenang yang tak becus bekerja, menguatamakan amplop untuk begerak, dst. Dan booomm… tak seperti itu ferguso. Ada scenario tolol dibaliknya. Yang menghujat polisi, bahkan tak menarik makiannya, malah konsisten mencari celah lainnya. Aneh bin ajaib. Untungnya, aku tak terbawa arus untuk dua kasus ini, aku pasif saja sebab memang sudah tampak janggal di mula. Mending ikut giveaway, atau sher berita Lazio, atau film-film yang baru kuulas, atau tentu saja berbagi info bacaan. Lebih faedah. Yang mengendalikan teknologi harusnya kita sebagai manusia, bukan teknologi yang mengatur kita.

Temanya memang tak baru, sudah terbiasa kita lihat di sosmed. Polanya sama, bikin kontravesi, digeruduk komentar, meminta maaf. Hal-hal yang sudah lazim dalam lima tahun ini, akan riuh saat ada pesta demokrasi, ada even olahraga besar, ada kasus unik yang menyita perhatian, dst. Hal-hal yang umum ini hanya dibalut lebih rapi dalam film. Tak ada penawaran solusi, tak ada makna dunia ideal, tak muncul pula perbaikan signifikan. Ini film rajutan masalah sosial mutahir.

Dengan poster kuning menyala berkarikatur wanita menitikan air mata, ber-tagline: “Who’s next?” sudah sangat pas. Seolah memang siapa saja bis ajadi korban. Dibuat dengan unik, bagaimana ikon ujung pointer komputer/HP dengan simbol jari dimodifikasi ciamik membentuk wajah. Dominan di rambut kepala, segala ikon hitam itu memenuhi rambut, hingga alis dan bulu mata. Keren, kreatif. Salah satu poster terbaik tahun ini.

Di dunia yang serba cepat ini, informasi tuh terasa seperti bola pingpong. Kita bisa membuatnya melintir, kita bisa membuatnya menari. Kita yang mengendalikan bolanya, membatasi diri bisa jadi adalah opsi menarik, tak semua yang gaul dan up to date itu keren. Kata Bli DC, temanku, “Dunia perlu diperlambat.” Banjir informasi membuat kepala kita berdesing bisa dipaksakan masuk. Fakta berita sendiri tersaput ketidakpastian: yang bertahan yang waras.

Aku teringat masa labil kalau bicara mengenai informasi. Sepulang kuliah, aku chat dengan kekasih. Ia membalas tak bisa jalan-jalan sebab sedang tak enak badan, aku biasa saja merespon. Sesampai di kos, iseng kubuka sosmed dan karena aku athu paswordnya aku klik. Ternyata siang itu ia ada janji jalan sama orang lain. See… sakit kan. Kecepatan informasi seperti ini, walau dengan tingkah sedikit memutar, tak akan terjadi tahun 90-an. Bagaimana aku bisa mengatakan ini tanpa terdengar terlalu sentimental? Hiks, aku sedih belasan menit, tapi lantas memutuskan. Jadi benar, aku mengasihi diriku sendiri yang polos ini, sekitar 15 menit itu, lalu segalanya biasa saja. Semua ada jalan. Dunia sosmed keras Lur, maka kita harus menghantam balik pula dengan keras.

Kita takkan tahu apa yang disebut mengerikan sampai kita mengalaminya sendiri. Mirip seperti hutan, hanya saja tempatnya jauh di atas sana dan selalu ada kabut – seperti hujan, tapi ini bukan hujan – semuanya basah, tak jelas, kacau balau, dan kita tak bisa melihat apa-apa…

A Look at public shaming in modern day culture.

15 Minutes of Shame | Year 2021 | USA | Directed by Max Joseph | Documenter | Cast Monica Lewinsky, Max Joseph | Skor: 4/5

Karawang, 011121 – Voice of Baceprot – God, Allow Me (Please) to Play Music