
Homeless Bird by Gloria Whelan
“Cukup sudah cerita sedih kalian. Kalian berkubang dalam kesedihan laksana babi di dalam lumpur. Semua itu sudah berlalu. Sekarang, Koly, kita harus mencarikan pekerjaan untukmu…” – Maa Kamala
Tentang adat yang kuat dan pengorbanan atas nama keluarga dengan landasan tradisi. Gadis belasan tahun dalam lingkup India lama diharuskan menikah. Ia bahkan tak tahu siapa suaminya? Perjodohan ini memberi banyak konsekuensi, kalau dikerucutkan bisa tiga hal: pertama, jargon cinta akan tumbuh setelah pernikahan, sudah umum zaman lalu menikah adalah kewajiban, masalah cinta urusan kedua. Kedua, uang yang diberikan kepada mempelai pria bisa jadi modal penghidupan baru. Ya, aku ulangi, harta dipersembahkan oleh keluarga wanita! Dan uang itu bisa jadi modal petualangan baru, walau di sini berarti lain. Ketiga, kaum wanita sebagai makhluk yang tunduk, madep manteb ikut suami. Mau ke arah mana, takdirnya sudah digariskan, suka tak suka, mau tak mau, sungkep sama pasangan. Kita tak bisa berkelit akan fakta ini, maka berbahagialah kita hidup di era modern, jodoh kita yang menciptakan.
Kisahnya tentang Koly, remaja usia tiga belas tahun di India yang tumbuh kembang dari keluarga miskin. Di usia semuda itu, ia dijodohkan. Sesuai tradisi, ia menerima saja atas pilihan keluarga. Di sana keluarga perempuan yang ‘membayar’ prosesi pernikahan, karena mereka menyerahkan putrinya sepenuhnya ke keluarga pria, yang berarti mulut lain untuk dihidupi ke keluarga pria. Jadi sudah lazim, tabungan terkurang, sampai menjual ternak kesayangan untuk prosesi suci itu.
Padahal Koly masih menikmati masa-masa sekolah, terpaksa terputus pendidikan. Pokoknya kalau sudah haid pertama, maka sudah saatnua nikah! Yang unik, ia tak tahu siapa calon suaminya. Jadi benar-benar blank, nrimo ing pandum. Adalah keluarga Mehta, yang tak terlalu jauh, memiliki calon kakak ipar bernama Chandra yang tampak cantik. Mereka nantinya akrab dan curhat nasib perempuan. Sayang, tak lama sebab sebagai perempuan, ia juga akan keluar dari rumah itu.
Suaminya bernama Hari, bahkan tak bertemu sama sekali. Pertama bertemu ya pas di hari H. terbesit kekhawatiran, bagaimana kalau Koly tak menyukainya? Dengan tegas Maa menjawab, “Maka kau harus belajar menyukainya.”
Yang mengejutkan, Hari juga semuda Koly, tampak kurus kering, batuk-batuk, berwajah pucat, singkatnya ia sakit-sakitan. Maka saat prosesi pernikahan, cepat saja sah jadi pasangan, langsung dilarikan ke kamar. Ya ampun, tak bisa kubayangkan sedihnya. Setelah menyerahkan putrinya, seluruh keluarganya pulang langsung. Dan itu jadi hari terakhir ia menyaksi ibu bapaknya. Dan ternyata ada rahasia penting yang tak diketahui, bahwa Hari sakit parah, sudah sekarat. Hiks, luar biasa seaneh ini dunia. Setelah hari berganti, dan Koly memiliki waktu lebih banyak bertemu suaminya. Akhirnya tahulah ia, Hari tak kan berumur panjang. “Aku mendengar dokter berkata aku akan mati.”
Lebih menyedihkan lagi, uang hasil pernikahan dipakai keluarga suaminya untuk berobat. Jadi motif utamanya adalah uang, dijadikan bekal ke beberapa dokter. Dan semua sepakat, Hari takkan berumur panjang. Dalam situasi genting, ada saran untuk membawanya ke kota Varanasi, dimandikan di Sungai suci Gangga, harapan terakhir memohon padaNya. “Jika aku beruntung, aku akan mati di Varanasi sehingga abu jenazahku akan disebar di sungai Gangga yang suci; kemudian jiwaku akan bebas.”
Sempat mencoba menentang sebab kondisi tubuhnya sudah ringkih, tapi apa daya sebagai anggota baru keluarga ia tak memiliki power. Benar saja, tak lama setelah dimandikan di air suci, Hari meninggal dunia. Resmi sudah Koly jadi janda, ia masih perawan. Semuda itu, sebelia itu. Dalam dukacita, ia melantunkan terus-menerus, “Rama nama satya hai.”
Babak baru kehidupan dimulai, Koly yang buta huruf akhirnya mencoba belajar membaca. Untung ayah mertuanya yang guru mau mengajarinya, walaupun sembunyi-sembunyi sebab Sass, ibu mertuanya tak sepakat. “Mengapa kau mengajari gadis itu? Pantas saja dia melupakan tugas-tugasnya.” Ia tampak judes, saat ke kantor pemerintahan untuk ambil uang kompensasi janda, justru dipakai oleh mertuanya. Hanya Chandra yang benar-benar tulus menemani sebab ia juga kehilangan abangnya, jadi Koly bisa jadi sahabat curhat. Saling melengkapi.
Hari-harinya melayani keluarga, kegiatan cuci piring, cuci baju, memasak, bersih-bersih, dll, di selanya ia menyulam. Membuat motif-motif gambar di sana yang menjadikannya suka menjahit. Gulir nasib bergerak lagi, Chandra yang sudah cukup umur akhirnya dipinang seorang pria. Dengan perginya Chandra, maka Koly kesepian. Cukup? Tidak, nasib kembali menghantar pada dukacita lain, ayah mertuanya Sassur yang benteng terakhir itu suatu hari ditemukan meninggal mendadak di tempat tidur, sedih sekali. Setelah pemakaman, mertuanya berujar, “Kini kita berdua sama-sama janda.”
Lengkap sudah penderitaan Koly. Lantas roda nasib kembali melindasnya, dalam sebuah perjalanan kereta, ia mendapati kesendirian. Nah setelah separuh buku, barulah kita paham judul bukunya, “Homeless Bird.” Ia terombang-ambing keadaan, dan keadaan memaksanya untuk mendiri, ia dipaksa untuk bisa menghantam balik keadaan. Dan seburuk apapun nasibmu, tetaplah percaya selalu ada harapan. Seperti kutipan tagline di sampul, “Terkadang, keberanian dan harapan bisa lebih kuat daripada tradisi.”
Saya tak tahu setting tahun buku ini, tapi melihat suasana dan beberapa kejadian yang melatari kisah jelas ini tak jauh dari tahun 1980-1990an. Masih kental adat, tapi teknologi belum secanggih era gadget. Televisi sudah ada, tapi listrik belum merata. Walau belum pernah ke India, kita bisa simpulkan, di era modern ini, jelas sudah banyak perubahan, terutama tradisi jodoh. Bukan hanya India, di setiap sudut area di dunia ini. Rasanya memang semua manusia dipaksa adaptasi sama teknologi. Rasanya sedih menyaksi nasib para perempuan yang belum matang sudah harus keluar dari lingkungan keluarga untuk mendapat keluarga baru.
Ini juga bisa dibilang novel feminism, memperjuangkan hak-hak perempuan, persamaan hak pendidikan, hak kehendak untuk menentukan nasibnya sendiri. Seseorang untuk dapat menentukan takdirnya sendiri. Dunia memang aneh, dan sungguh beruntungnya kita hidup di era digital. Segalanya serba cepat, dan terbuka. Perjuangan lebih jelas, dan logika jalan. Tak kolot, karena yang kolot bakal kelindes zaman.
Lagi-lagi ini terbitan Atria, memuaskan. Koleksi kesekian yang kulahap dan ulas. Terima kasih penerbit keren, di rakku sudah banyak antrian buku-buku Atria, jadi 2022 jangan bosan membacai ulasan dari penerbit turunan Serambi ini. Apakah ada masanya nanti bangkit? Semoga saja, sebagai pembaca setia hanya bisa berharap.
Buku pertama Gloria Whelan yang kubaca. Bagus, suka sekali. Jelas buku-buku lainnya bakalan kusikat kala ada kesempatan. Pemenang National Book Award ini laik untuk diikuti. Terima kasih.
Homeless Bird | by Gloria Whelan | Copyright 2000 | Diterjemahkan dari Homeless Bird terbitan Harper Trophy, HarperCollins Publisher | Penerbit Atria (Serambi) | Penerjemah Ida Wajdi | Penyunting Jia Effendie | Penyelaras aksara Fenty Nadia | Pewajah isi Aniza Pujiati Ilustasi Asa Laily | Desain sampul Aniza Pujiati | Cetakan pertama: September 2012 | ISBN 978-979-024-504-4 | Skor: 4/5
Untuk Jacqueline dan Patrick
Karawang, 301021 – George Benson – Body Talk (alternate Take)
Thx to Buku Aja, Yogyakarta