Sekali Yogya tetap Yogya


Yogya Yogya oleh Herry Gendut Jananto


Ma, ketahuilah, di Yogya sebenarnya Papa hanya ingin numpang bahagia. Ya, Papa sudah cukup terhibur dengan merajut aneka kenangan masa lalu di Yogya…”


Kenyang dan girang / waktu cepat terbang / namun, kenangan tak pernah hilang


Cerita hanya berisi nostalgia. Dan saya suka cerita yang menengok masa lalu ketimbang ngawang-awang ke masa depan yang tak jelas. Orang Yogya yang merantau ke ibukota, sesekali mudik Yogya menekuri wilayah-wilayah yang dulu pernah disinggahi, ditelusur untuk dikenang, dengan sudut pandang orang pertama, segala yang disampaikan jelas bergaya orang bercerita satu arah. Tak ada hal-hal yang luar biasa, maksudnya nyaris tak ada ledakan, separuh pertama bahkan hampir tak ada konfliks, mungkin masalah paling berat ialah curiga istri pada suami yang kemungkinan selingkuh, atau curiga suami mengingat dan menemui sang mantan. Barulah separuh kedua cerita mulai menyayat hati, mengingat masa lalu, masa muda penuh gejolak, masa di mana cintanya kandas dua kali, oleh sahabatnya yang hamil sama playboy, rontok sebab beda suku. Duh! dan muridnya yang dipaksa pergi, terlampau muda. Bagian itulah yang menurutku bagus, masa muda masa yang berapi-api, gejolaknya terasa nyata. Shakespeare in Parangtritis!


Dibuka dengan sebuah reuni tak formal para sahabat alumni Reuni SMA Kolese Johanes de Britto dan angkatan sekitar yang berziarah di Malioboro, mereka bersaksi ihwal sekujur alur tubuh Malioboro yang berdinamika dari masa ke masa dan terus berubah. Hanya kelurusannya saja yang bakal terus kekal abadi. Melihat-lihat suasana kota, kuliner, foto-foto, hingga nyanyi di kafe. Adalah Gayuh Agustinus Widodo, jagoan kita yang menyenandungkan nostalgia. Si anak pelindung: Agustinus. Beristri gadis Bali, Ni Luh Putu Astini, dengan dua anaknya Ading dan Evita. Templatenya terlalu manis. Bayangkan dua destinasi liburan paling ideal di Indonesia: Yogya dan Bali bersatu! Menikmati dua tempat itu, dengan nyiur melampai di pantai. Angin sepoi membasuh pantai coba peduli. Pasutri ini mematung diam seakan membacai langit fajar.


Mereka ikut ke Yogya saat Gayuh ketemu teman-temannya. Terlihat ia begitu dominan saat bercerita masa lalu, masa-masa pahit/manis saat dicerita ulang dengan orang-orang yang tepat, terutama yang juga mengalami, jelas akan tampak meriah. “Gayuh, kan, memang suka banget bernostalgia, sedikit-sedikit menukik ke masa silam. Benar-benar Gayuh itu manusia past tense. Mister Past Tense!” dengan Jip berbodi panjang Wrangler Rubicon warna orange menyala mereka bertafakur, menamai diri dalam Komunitas Mumpung Tuwo.
Ia dulunya adalah seorang Manajer personalia PT. Gemah Ripah, perusahan ekspor impor buah-buahan dan hasil bumi. Kini ia mengambil pensiun dini, menikmati masa tua, jadi pengusaha buah-buahan. Istrinya dulu adalah sekretarisnya, beda usia lumayan jauh. Gayuh memang terlambat menikah untuk ukuran umum, di usia sungguh matang 38 baru berlabuh, maka di usia tuanya kedua anaknya masih berkutat di bangku sekolah.


Gayuh memang harus hadir tiga unsur tadi: gitar, bulan, dan kenangan. Kita lantas mengetahuinya saat kisah ditarik mundur. Ia pernah mengajar bahasa Inggris di sekolah SMA Stella Duce. Guru gaul untuk sekolah puteri ini lantas naik pangkat atau tambah tanggungjawab, mengajar ekstra kulikuler Seni Teater, tentang drama dan sandiwara. Charles Jehlinger bilang, seluruh masalah pemeranan tidak lain adalah upaya untuk mendengarkan. Kelas teater ini pernah berkunjung ke pantai Parangtritis untuk adu puisi, di tengah debur ombak mereka membuat syair secara spontan. Ah kenangan… membayangkannya saja sudah sejuk dan dingin, apalagi ditenggarai sayup-sayup puisi. Jos!


Ada siswi istimewa yang terjalin kasih, hubungan mereka walau backstreet (tanpa boy), terendus orang sekitar. Hanya sayang, hati kedua insan itu tak bisa dibantah, tengah luluh masygul. Kinara muda, masa masih sangat panjang. Sepincuk memori manis di masa cinta monyet. Maka di Minggu pagi cerah mereka janjian ketemu untuk memutuskan lanjut tidaknya, tentu saja komunikasi kaku sebab mereka guru-murid, lantas lanjut bertamsya ke Gembira Loka, sebab mereka ingin tetap di dalam kota, tak mau kesorean pulang, tapi tetap menawarkan keindahan dan daya tarik alam. Naas, di sana Gayuh mengalami kejadian yang akan terus tergores di ingatan, nestapa itu pula salah satu yang memicunya kabur ke ibu kota. Merantau meninggalkan kenangan, sekaligus mencipta kenangan dan tantangan baru. Selebihnya seperti yang kita tahu, mapan, menikah , punya anak, dan mengenang kenang.


Dengan rutinitas kantor yang padat, kelas sastra dan seni hanya sesekali digeluti. Bukan sebagai tumpuan utama sebab finansialnya dari pekerja kantor, maka wajar dunia menyenangkan itu kini hanya sekadar sampingan, penyalur hobi, sesekali dilakoni, dan waktu memang melindas segalanya. Tua itu pasti, meninggalkan segala rona.
Mudik atau pulang kampung juga bukan jadi alasan harus ada kepentingan. Tidak ada hal khusus yang mewajibkan dirinya kudu melongok kampung halaman, selain semata-mata untuk membereskan rasa rindu yang tiba-tiba saja nyembul bergolak. Jadi kalau tetiba pengen pulang, yo wes cuss berangkat, walaupun cuma sehari juga ga masalah. Sesekali pulang… itu justru cara untuk merawat rasa kangen.


Perjalanan juga lebih asyik naik kereta api, sebab meresapi. Naik pesawat, tiket berlipat mahal, singkat waktu, gagal pula menikmati permai pahatan dan lukisan alam. Semacam sentimental journey, begitu istilah yang pernah ditiupkan oleh budayawan Umar Kayam. Benar juga sih, selain alasan itu, kita jadi terasa tersentuh dan lebih dekat dengan kenyataan.


Salah satu doa untuk anak yang patut kucatat adalah, “Papa ingin kamu lebih bisa mandiri.” Benar sekali, selain sehat dan berkah, kurasa usia remaja itu kata ‘mandiri’ dirasa perlu sebagai bekal untuk masa depan. Pantas pula bila mendaras rasa syukur.


Malam-malam di kafe karaoke dirasa syahdu. Temanya juga beragam dengan campur lokal dan luar negeri. Reggae Night, Jazz Nightm Campursaru Night… Antonio’s Song berkisah tentang Antonio Carlos Jobim, musisi Brazil pujaan Michael Franks. Lagu-lagu Koes Plus masih saja menggema di bilik benak memorinya. Kebetulan saya juga suka dengarkan lagu-lagu Franks, paling suka Hourglass.


Cepat atau lambat, hidup seseorang akan selalu mengalami perubahan, baik itu secara terencana maupun dadakan tak terduga. Menikah memang menjadi bagian dari hidup. Tak peduli di usia berapapun, saat jodoh datang silakan disambut. “Dengan segala cara, menikahlah. Jika mendapat istri yang baik, kamu akan bahagia. Jika mendapat istri yang buruk, kamu akan menjadi filsuf.” Kata Socrates. Sementara Jane Austen bilang, “sebagai kum pria yang dinaungi nasib baik semestinya dia memerlukan kehadiran seorang istri di sisinya.”


Sejujurnya novel ini sempat diambang mengecewakan. Seolah ini diary kakek yang kangen masa muda. Sentuhannya nyata, apa yang dicerita sungguh sederhana dan mudah dicerna seolah tak mengandung jiwa sastrawi. Namun justru terasa nyatanya yang buat bagus, wah ini kisah kok malah sunggguh menyentuh. Apalagi di akhir diungkap bahwa Yogya Yogya fiksi, ada beberapa kejadian yang terinspirasi kejadian sebenarnya, tapi tetap saja ini fiksi.

Akhir cerita juga pas, mengalir tanpa perlu sentuhan sentimental. Bukankah kehidupan juga sejenis itu. Hal-hal yang berhasil dirasa dan menyentuh, adalah jenis bacaan bagus. Dan untuk itu Yogya Yogya pantas maju ke lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa. Goodluck!


Yogya Yogya oleh Herry Gendut Jananto | KPG 59 20 01863 | Cetakan pertama, November 2020 | Editor Candra Gautama | Perancang sampul Wendie Lena Cahyaningtyas | Penata letak Wendie Artswenda | Penebit KPG | vii + 243; 13.5 x 20 cm | ISBN 978-602-481-504-2 | Skor: 4/5


Untuk komunitas Samin JB ’77, Sadhar ED ’78, dan keluarga tercinta di Puri Beta.


Karawang, 061021 – Michael Frankz – Rendezvous in Rio


Tiga sudah, tujuh berikutnya. Kubaca dalam sehari di Masjid Puri Perum Peruri 01.10.21 bersama Damar Kambang.


Buku ini kubeli di Dojo Buku, Jakarta Barat. Thx. Dan dibantu Titus buat transfer. Thx.