
Damar Kambang oleh Muna Masyari
“Orangtua memang harus selalu dibenarkan ya.”
Pembukanya fantastic. Seorang istri yang ngalah, legowo atas apapun keputusan suami. Dengan setting Madura, yang terkenal dengan adu karavan sapi dengan festival Gubeng sebagai puncaknya. Seorang suami gemar berjudi, memertaruhkan segalanya. Kemenangan/kekalahan timbul tenggelam bersama waktu. Apa yang dipertaruh berbagai hal, berbagai jenis; motor, sapi, rumah, emas, tegalan, dan pada puncaknya adalah rumah dengan segala isinya. Narasi pembuka membuat kuduk berdiri sebab sang suami kalah, dan si buntung berhasil membalas, ia beserta ‘dukun;’-nya datang mengambil piala kemenangan. Dahsyat bukan?
Pembuka yang memesona sejenis ini biasanya langsung menegakkan punggung dan memancing konsentrasi berlebih guna terus berkutat mengikuti cerita, banyak yang tumbang gagal memertahankan tempo, sedikit yang berhasil hingga garis finish. Damar Kambang termasuk yang sedikit itu, walaupun sesekali temponya memang harus sedikit teredam. Aku baca sekali duduk di Jumat pagi yang cerah. Untungnya, suami-istri di pembuka ini identitasnya tak dikuak, fakta ini akan jadi semacam tautan yang ditaruh di tengah kecamuk adu sihir. Perhatikan sahaja, buku yang berhasil salah satu faktornya para tokoh memiliki motif yang kuat untuk mengambil tindakan, tindakan dijalankan dengan logika dasar. Tak perlu muluk-muluk, tak perlu ndakik-ndakik.
Cebbhing akan menikah dengan Kacong, usianya masih 14 tahun dan baru bertemu calon suaminya tiga kali. Damar kambang adalah adalah pelita yang menyala dengan sumbu mengambang di atas minyak yang dinayalakan jelang hari pernikahan. “Damar kambang adalah lambang harapan pernikahan, jangan biarkan mati.” Pelita mati pertanda tak bagus, dan benar saja saat persiapan acara pernikahan, pelita itu perlu beberapa kali dinyala ulang, pesta itu batal sebab menurut tradisi calon suami harusnya membawa tengka untuk seserahan. Persoalan tengka memang selalu rumit, kerena yang bicara adalah hukum sosial tak tertulis tapi sengit. Harkat dan martabat dijunjung agung. Semakin mewah semakin dahsyat sambutan dan antusiasme keluarga dan tetangga. “Orangtua tidak akan melepas anak gadisnya untuk lelaki yang tidak membawa rumah, karena sama artinya memberikan burung pada tuan yang tak memiliki sangkar…”
Falsafah dengan empat sudut pelapah pohon pisang berarti: agama, kehormatan, harta, dan rupa. Harus dijaga. Dalam pernikahan, jika salah satu terabaikan, akan terjadi ketimpangan, roda kehidupan rumah tangga tidak seimbang, dari sanalah kerap timbul persoalan. Seperti itukah pernikahan? Memahaminya saja sulit, apalagi menjalani.
Sayang, tradisi tengka tak diketahui dengan pasti sama keluarga calon suami, maka proses dihentikan di tengah acara dan rombongan pengantin pria balik perahu, menanggung malu. Dendam itu harus dibalaskan.
Bab berikutnya malah mengerikan, memainkan dukun dan jampi-jampi. “Lelaki yang sejak tadi malam menyesaki pikiranku, kerinduan padanya telah membuatku setengah gila.” Dunia mistik yang dimanfaatkan dengan salah, Cebbhing mengalami sejenis halusinasi suara, ia diguna-guna untuk datang ke rumah Kacong. Siang itu ia mendapat panggilan lembut, siasat itu dilancarkan ‘paman’ Kacong, dan benar saja ia terpedaya. Semua tak lebih berharga dari kehidupanmu dalam hidupku. Takluk dalam pelukan pria yang seharusnya jadi suaminya. Bapaknya datang, marah, menyeretnya pulang, membelenggu, yang lantas menjelma liar.
Cebbhing dinikah siri sama Kiai Ke Bulla yang sudah berumur dan sudah memiliki dua istri. Ini dilakukan demi penyembuhan dari guna-guna, setelah berbagai dukun memberi tips dan trik yang gagal. Remaja sebelia itu, pantas marah, tak bisa berbuat apa-apa sebab keputusan ayahnya adalah mutlak. “Kau lupa apa yang diajarkan Ayahmu? Mematuhi buppa’-bhabbu’, ghuru, rato.” Bagi Ayah, suara kiai junjungannya seperi sabda nabi yang harus dipatuhi. Kehamilannya lantas menyeret banyak hal, Mariten, istri lama kedua dipanggil nyai juga marah, yang lantas mengetahui fakta bayi yang terkandung. Fakta lain yang tak kalah seru, identitas Kacong yang saling silang dalam silsilah, ternyata mereka punya masalahnya tersendiri, hahaha… harga diri apaan Cuk! Dan yang paling menyenangkan tentu saja menyimak kisah bagus dalam penempatan prolog itu, ada di sisi motif yang kuat, istri yang diserahkan dalam kalah judi itu memiliki andil luar biasa di pusaran Damar Kambang, hebat. “Kau tidak percaya atau justru takut memecayainya?”
Plotnya tak rumit, walaupun dipecah dan dibagi dengan pola acak. Tak ada tanda tanya nasib tiap karakter, semua jelas dan gamblang, tak ada gantungan. Dan mungkin ini salah satu kelemahannya, pembaca tak jadi penasaran sebab segalanya terjawab. Menyerah pada kematian demi memperjuangkan kehidupan baru, atau terseret dalam kesibukan mengurus bayi hingga tak sempat mengurus diri.
Buku kedua Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2021 yang selesai kubaca. Prediksiku jelas, novel ini masuk lima besar atau bahkan memenangkannya.
Semua syarat ada: cerita bagus, diksi yahud, disampaikan dengan nyaman dan sungguh aduhai. Dengan budaya lokal yang kental, dipaparkan dengan mistik dunia hitam, ilmu magis saling bertautan saling serang, kuat-kuatan, mengingatkanku pada buku-buku Abdullah Harahap, rerata adu sihirnya mencekam, di sini mungkin hanya jadi tempelan drama dalam pergulatan budaya, tapi tetap saja memiliki pengaruh hebat. Memang bukan tema baru, struktur bercerita juga sudah lazim ditemui dalam drama yang mencoba mengelabui pembaca. Namun jelas, secara keseluruhan keseruan dan tembakan kengerian itu mengenai sasaran, sukses bertahan sampai lembar-lembar akhir. Aku bahkan membayangkan pernikahan di halaman terakhir itu, dengan buah hati berceloteh imut di pesta janji suci yang tertunda.
Kali ini saya sepakat sama endosm almarhum Budi Darma yang bilang, “Dalam perkembangan sastra mutakhir, Muna Masyari adalah sebuah meteor yang datang tanpa diduga, sekonyong-konyong muncul dengan sinar memukau…”
Selamat!
Damar Kambang | oleh Muna Masyari | KPG 59 20 01834 | Cetakan pertama, Desember 2020 | Penyunting Udji Kayang | Penataletak Teguh Tri Erdyan | Perancang sampul Teguh Tri Erdyan | vii + 200 hlm., 13.5 x 20 cm | ISBN 978-602-481-456-4 | Skor: 4/5
Karawang, 061021 – Manhattan Jazz Quartet – Jazz Vocal Classics
Dua sudah, delapan tersisa. Kubaca dalam sehari di Masjid Puri Perum Peruri 01.10.21 bersama Yogya Yogya.
Buku ini kubeli di Dojo Buku, Jakarta Barat. Thx.
Dibantu transfer di Tokopedia oleh sobatku, Titus P, Thx.