
Eichmann in Jerusalem by Hannah Arendt
“Setelah beberapa saat ini, Tuan-tuan kita akan bertemu kembali. Demikianlah nasib semua orang. Hidup Jerman! Hidup Argentina! Hidup Austria! Aku tidak akan melupakan mereka.”
Ini buku liputan sidang pengadilan atas Adolf Eichmann di Jerusalem pada tahun 1961 untuk New Yorker, dan hasil liputan dimuat berseri pada Februari hingga Maret 1963. Buku yang sangat kueeereeeen. Salah satu buku non-fiksi terbaik yang pernah kubaca. Kisahnya berliku. Walau intinya satu, pengadilan Adolf Eichmann yang berakhir dengan hukum gantung. Pengadilan Jerusalem ini dikupas tuntas, ditelusur dari awal mula proses ini menemukan kik, bahkan ditarik mundur terlampau jauh di mana tersangka lahir dan tumbuh kembang. Eichmann lahir pada 19 Maret 1906 di Solingen.
Kasus ini jelas bukan kasus moral apalagi kasus kegilaan legal. Pengadilan Distrik di Jerusalem pada tanggal 1 April 1961, didakwa atas lima belas perkara, dengan yang utama melakukan kejahatan terhadap orang Yahudi, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang selama periode rezim Nazi. S.S. singkatan dari Schlutzstaggeln, awalnya dibentuk untuk unit khusus perlindungan bagi pemimpin partai. Petinggi S.S tugasnya membuat Polandia judenrein (istilah yang digunakan Nazi merujuk pada kawasan bersih Yahudi), dalam wilayah Jerman pasca-perang.
Bagaimana ia mencapai kedudukan di Nazi penuh perjuangan, walau mungkin masih di luar ring 1 Hitler, ia memiliki wewenang dalam pembunuhan massal. Buku ini mengupas pula sejarah munculnya ‘solusi akhir’, istilah yang dipakai untuk memusnahkan kaum Yahudi. Dari tahun 1939 rumusannya sudah ada, awalnya diusir, dikoordinasi, tapi muncul pertanyaan sebab semua Negara menolak menampung. Eichmann berulang-ulang di pengadilan Jerusalem bilang tidak ada Negara yang siap menerima orang-orang Yahudi, ini menyebabkan bencana besar.
Setelah simpang siur nasib, akhirnya muncullah keputusan pembantaian itu. Eichmann ada di lingkar eksekusi, ia juga mengkoordinasi prosesnya. Itulah yang memberatkan. “Subjek pemerintahan yang baik bisa beruntung, subjek pemerintahan yang buruk selalu sial. Saya kebagian yang sial tersebut.” Katanya.
Pascaperang ia berhasil kabur ke Argentina. Ia kabur ke Argentina dengan nama baru Ricardo Klement. Hidup dalam pelarian, walau sudah seolah reda hiruk pikuk gema Nazi karena lebih dari sepuluh tahun, hatinya tetaplah gundah. Eichmann telah menulis betapa lelah dirinya dalam anonimitas. Semakin banyak membaca tentang dirinya semakin lelah ia jadinya. Dan akhirnya tertangkap.
Lantas ia diadili di Negara baru Israel. Putusan ia mati sudah jelas sekali, seolah pengadilan ini formalitas. Namun tak segambalng itu, untuk itulah buku ini hadir. Dikupas sedetail-detailnya, sedalam-dalamnya. Ia dibela oleh Dr. Servatius yang tidak bisa lagi menahan godaan dan mengajukan beberapa pertanyaan, “Mengapa semua nasib buruk ini jatuh kepada orang-orang Yahudi?” dan “Tidakkah Anda berpikir bahwa motif tak rasional berada di dasar nasib bangsa ini? Di luar pemahaman manusia?”
Filsafat moral Kant sangat berkaitan dengan kemampuan manusia untuk menilai aturan mana yang bisa dijalankan dengan ketaatan membabi-buta. Keadilan, meskipun mungkin sebuah ‘abstraksi’ bagi pikiran orang-orang yang tidak sependapat dengan Ben Gurion, terbukti menjadi majikan yang lebih tegas daripada perdana menteri dengan segala kekuasaannya.
Bahkan dalam pengertian terbaru anti-Semit tentang Elders of Zion (Tetua Zion), yang dituangkan dalam semua keseriusan beberapa minggu sebelumnya di Majelis Mesir oleh Deputi Menteri Luar Negeri Hussain Zulfikar Sabri: Hitler tidak bersalah atas pembantaian orang Yahudi; ia adalah korban kaum Zionis, yang telah “Memaksa ia berbuat kejahatan yang pada akhirnya memungkinkan kaum Zionis mencapai tujuan mereka – yakni pembentukan Negara Israel.”
Dr. Servatius. Berujar, “Eichmann hanya merasa bersalah di hadapan tuhan, bukan di hadapan hukum. Apa yang dituduhkan padanya bukanlah kejahatan tetapi ‘tindakan negara’ di mana tidak ada Negara lain yang memiliki yurisdiksi atasnya (par in parem imperium non habet), bahwa sudah menjadi tugasnya untuk patuh’. Untuk kebenaran yang menyedihkan dan sangat tidak nyaman, mungkin bukan fanatismenya tetapi kesadaran hati nuraninya yang mendorong Eichmann mengambil sikap tak kenal kompromi di tahun-tahun terakhir peperangan. “Saya bukan monster. tapi saya dibuat menjadi monster.”
Sebelum eksekusi gantung, ia menolak rohaniwan yang menawarkan diri membacakan ayat-ayat suci. “Waktu hidupku tinggal dua jam lagi, tak ingin membuang-buang waktu.” Eichmann mulai dengan menyatakan secara tegas bahwa ia adalah Gottglaubiger, untuk mengungkapkan dalam gaya khas Nazi bahwa dia tidak percaya pada kehidupan setelah kematian.
Dostoevski pernah bilang, di Siberia di antara sejumlah pembunuh, pemerkosa, dan perampok, ia tidak pernah bertemu seorang pun yang akan mengakui kekeliruan yang telah mereka lakukan. Propaganda Nazi secara keras, tegas, tanpa kompromi adalah anti-Semit. Dan pada akhirnya tidak diperhitungkan kecuali oleh orang yang masih tanpa pengalaman dalam misteri pemerintahan totaliter ini dan hanya diabaikan sebagai ‘propaganda belaka’.
Di Israel, seperti di sebagian besar Negara lain, seseorang yang muncul di pengadilan dianggap tidak bersalah sampai dia terbukti dia bersalah. Tapi dalam kasus Eichmann hal ini adalah fiksi yang jelas. Pengadilan ini timpang, jaksa memiliki 1500 dokumen sementara Dr. Servatius hanya 110 dokumen. “Saya tahu hukuman mati telah disiapkan untuk saya”, katanya pada awal pemeriksaan polisi. Hukuman mati memang sudah diperkirakan, dan hampir tak ada orang yang menyangkalnya.
Jumat, 15 Desember 1961 keputusan hukuman mati ditetapkan. Tiga bulan kemudian, 22 Maret 1962 proses peninjauan dibuka. 29 Mei 1962, putusan peninjauan kedua dibacakan. Dua hari kemudian peninjauan ditolak, termasuk grasi yang diajukan. Dan di hari itu juga Eichmann digantung. Beberapa saat sebelum tengah malam, lalu jenazahnya dikremasi, abunya disebar di perairan Mediterania di luar wilayah Israel.
Piagam London telah memberikan yurisdiksi atas tiga macam kejahatan, “kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Catatan ini saya tutup dengan kutipan, “Hidup ini mungkin berjalan di bawah hukum apa saja, namun demikian, ada ketidakpedulian terhadap apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan sehingga orang tidak mungkin bisa hidup di sana. Sebagai warga yang dihargai dan berguna, seseorang juga bisa menjadi anggota minoritas di tengah-tengah orang-orang besar.” (Hans Lamn, 1951).
Buku sejarah yang laik dikoleksi dan dibaca, terutama yang berminat untuk memperdalam sejarah Nazi dan Yahudi. Adolf Eichmann pergi ke tiang gantungan dengan penuh martabat. Ia meminta sebotol anggur merah dan meminum setengahnya. Ia berada dalam komando penuh atas dirinya sendiri.
Eichmann in Jerusalem: Reportase tentang Banalitas Kejahatan | by Hannah Arendt | The Viking Press Inc., New York | Cetakan I, 2012 | PP.2021 | Penerbit Pustaka Pelajar | Penerjemah Teguh Wahyu Utomo | Penyunting Didik Puji Yuwono | Desain cover Agha Mumtaz | Pemeriksa aksara Priyati | Penata aksara Pancasari Suyatiman | ISBN 978-602-229-97-1 | Skor: 5/5
Karawang, 300921 – Diane Schuur – Lover Come Back to Me
Thx to Buku Vide, Yogyakarta
Ping balik: 14 Best Books 2021 – Non Fiksi | Lazione Budy
Ping balik: September2021 Baca | Lazione Budy