
The Silence of The Lambs by Thomas Harris
“Kalau hanya berdasarkan pertimbang-pertimbangan manusia saja aku telah berjuang melawan binatang buas di Efesus, apakah gunanya hal itu bagiku?” – 1 Korintus
“Perlukah aku melihat kepala kematian dalam lingkaran, padahal sudah melekat di wajahku?” – John Donne, “Devotions”
Buku dibuka dengan dua kutipan di atas, maka laik diketik ulang dan dibagikan.
Memecahkan masalah tak ubahnya berburu. Kenikmatan liar dan kita memburunya sejak kita lahir. Ini jenis buku yang butuh kesabaran, menahan tak muntah sebab pembunuh serial ini menyiksa calon korban. Dikurung seminggu, lantas dikuliti hidup-hidup untuk diambil kulitnya, mayatnya dibuang di sungai dengan kepompong disangkutkan di tenggorokan. Blusnya ditemukan dalam keadaan tersayat di punggung. Serangga muda yang belum sempurna, di dalam chrysalis – kepompong yang membungkusnya selama proses metamorphosis dari larva ke serangga dewasa. Jenis bacaan dapat label 18+ untuk kekejaman yang disajikan. Karena saya belum baca buku serial Hanibal, maka terasa sekali plotnya fresh. Filmnya juga belum tonton tuntas, makanya bayangan itu samar, serta mood baca butuh tinggi, beberapa kali ketiduran.
Kisahnya melingkar, tak langsung ke intinya. Saya coba runutkan saja. Jadi terjadi pembunuhan berantai dengan korban cewek-cewek muda. Pembunuh diberi inisial Buffalo Bill. FBI yang dipimpin oleh polisi senior Jack Crowford yang sedang berduka sebab istrinya sakit parah, lantas meminta anak kuliah Clarice Starling untuk meminta bantuan pada sosiopat legendaris Dr. Hanibal Lecter. Sang tahanan tak mau bicara sama siapapun untuk diminta bantuan, jarang sekali membuka diri. “Kami telah berusaha mewawancarai dan memeriksa ketiga puluh dua pembunuh berantai yang ada dalam tahanan, untuk mengembangkan database guna menyusun profil psikologi bagi kasus-kasus yang belum terpecahkan…” Crowford mengembangkan senyum, namun matanya tetap redup.
Maka dipilihnya Starling, mahasiswa bening baik otak dan wajahnya menjadi jalan keluar yang ideal. Dan ide itu berhasil sebab, Lecter mau menerimanya. Menjawab dengan pengamanan ekstra ketat. Tak ada kontak, terpisah jeruri, taka da benda tajam yang ditukar tanya, dst. Dari jawaban-jawaban Lecter jelas sekali ini orang jenius. Sangat encer otaknya, menganalisis kasus dengan jitu dan detail, tapi sayangnya ia tak gamblang, jaul mahal untuk segala informasi penting, padahal kepolisian dikejar waktu sebelum korban berikutnya muncul.
Korban yang kini ditangani adalah Kimberly Jane Emberg, berusia dua puluh dua asal Detroit. Petunjuk itu malah membuka kasus lain, pembunuhan musisi, korban Lecter ternyata ada sangkut pautnya sama sang pembunuh karena menemukan korban lain dengan kepompong di tenggorokan. Dan kita diberi petunjuk penting, sang pelaku adalah pasien Lecter. Sesuatu yang tak relevan bagi Anda mungkin justru petunjuk berharga bagi para seorang ahli. Dr. Lecter bertahun-tahun menjalankan praktik psikiatri yang sukses sebelum kita menangkapnya sebagai pembunuh.
Masalah pelik itu muncul saat calon korban terbaru adalah Catherine Martin, anak tunggal Senator Martin. Karena ini melibatkan orang penting, berita diekspos lebih besar lagi. Starling meminta detail-detail lain dengan imbalan ia berkisah masa lalunya. Bagaimana masa kecilnya dihabiskan di panti asuhan. Ia tak mengenal harta, tapi begitu akrab dengan rasa lapar. Dan mimpi-mimpi buruknya. Mimpi buruk dengan metafora burung gagak tersebut mengambil apapun yang berwarna cerah. Ternyata judul buku diambil dari sini. Para domba yang mengembik menakutkan. Ia sering tergugah rasa takut pada mimpinya. Sementara mereka diskusi, Catherine sedang menanti nasib di tetirah Bill, dan kita punya waktu sekitar seminggu. Itu batas maksimal.
Rencana itu ambyar saat pemimpin rumah sakit jiwa Chilton mengambil alih kasus. Ia menawari Lecter ketenangan. Permintaan Lecter aneh-aneh, akan dipindahkan ke Brushy Mountain, diberi akses telepon, dan salah satunya yang unik adalah diboleh perdengarkan musik. Penyanyi favorinya: Glenn Gould, Goldberg Variations. Nanti kucari ah!
Lantas ia dipindahkan ke rumah sakit jiwa lintas Negara bagian, semua itu langsung merusak rencana FBI. Starling segera dibebastugaskan, Jack tak punya wewenang lebih besar sebab ini langsung instruksi Senator. Menyangkut nyawa anaknya, segalanya dikerahkan. Apalagi kabar duka muncul, istri Jack, Bella akhirnya meninggal dunia setelah melawan rasa sakit berkepanjangan. Ia tidak menangis, air matanya telah kering. Fokus itu buyar. “Ada dua hal yang perlu kau ingat. Kita berpegang pada anggapan bahwa Dr. Lecter memang mengetahui sesuatu yang konkret. Kedua, Lecter selalu mencari kesenangan…”
Novel lantas mencapai kekuatan penuh ketika Lecter melakukan aksi pelarian dengan oenuh gaya, berdarah-darah, cemerlang. Memakan korban para penjaga, kabur dengan ambulan yang akhirnya membunuh semua petugas medis, dan mencari identitas baru. Jelas ini adalah titik penting untuk novel lanjutan. Sebelum kabur ia memberi petunjuk penting untuk menggeledah rumah identitas yang diberi.
Sementara Starling bersiap untuk kembali ke kampus, ia seakan ‘pamit’ ke Jack. Dan melakukan penyelidikan terakhir sebelum kembali menyerahkan senjata dan surat tugas, semua tindak lanjut dengan kembali ke korban pertama itu malah menjadi adegan mendebarkan dan luar biasa seru. Pertanyaan utama kisah ini jelas, berhasilkan anak sang senator selamat? Korban pertama ditemukan di Sungai Blackwater di Missouri, pinggiran Lone Jack.
Di tengah kita juga tak blank, sebab proses penculikan Catherine dijelaskan. Setting tempat penyekapan juga jelas sekali, di sumur bawah tanah, dengan anjing kesayangan, dan betapa pelaku adalah seorang desainer baju, agak melambai karena pernah mengajukan ganti kelamin, dst. Ini bukan spoilert sebab memang dijelaskan ditengah buku selama penyelidikan.
Novel ini dengan jitu menampar para pengambil keputusan yang seenaknya sendiri. Memberi kecoh tempat pembunuh juga dirasa memuaskan pembaca. Untuk sampai ke sana memang butuh kesabaran dan ketelitian, buku empat ratus halaman dengan pola melingkar, meliuk dulu baru ketemu Bill. Aku sebenarnya kurang suka kisah-kisah gore penuh darah, tapi kalau dituturkan dengan brilian seperti ini ya layak lahap. Beberapa karalter juga memberi ciri khas, Jack misal suka minuman kopi dengan campuran Alka-Seltzer. Yang bagiku awam istilah itu, biasanya kita kan mencampur kopi dengan gula atau taburan kreamer.
Salah satu nasehat Lecter yang patut dicatat adalah kalimat: Primum non nocere, pertama-tama jangan perparah keadaan. Patut dicatat juga. Sang pembunuh bernyanyi di kamar mandi lagu Cash for Your Trash ciptaan Fats Waller, dari musikal ‘Ain’t Misbehavin’ ini juga akan kucari filenya.
Ada istilah psikoanalis. Imago adalah gambaran mengenai orangtua yang tertanam di bawah sadar sejak masa kanak-kanak dan sarat dengan kasih sayang kekanak-kanakan. Kata itu berasal dari patung lilin leluhur yang dibawa orang Romawi kuno dalam upacara pemakaman. Para korban selalu dibuang di sungai, Acherontia Styx, namanya diambil dari dua sungai di neraka.
Untuk penerbit major, cetakan kedua ditemukan typo puluhan kata sungguh terlalu. Hanya sedikit mengurangi kenikmatan, secara overall jelas buku istimewa. Tak salah sudah kubeli seri lainnya. Tinggal Hanibal Rises aja yang kurang. Oh setelah baca bukunya, sebaiknya kuga gegas kutonton filmnya. Pemenang Oscar!
Domba-domba Telah Membisu | by Thomas Harris | Diterjemahkan dari The Silence of The Lambs | Copyright 1988 by Yazoo Fabrications, Inc | Alih bahasa Hendarto Setiadi | Desain dan ilustrasi sampul Satya Utama Jadi | GM 40201120141 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Oktober 1996 | Cetakan kedua, November 2012 | 408 hlm; 20 cm | ISBN 978-979-22-9075-2 | Skor: 5/5
Dipersembahkan pada ayahku
Karawang, 280921 – Lee Wiley – Make Believe
Thx to Buku Vide, Yogyakarta