“Ia merasa lumpuh, ia ingin tidur dalam paru-paru Martha, bernapas dalam darah Martha, dan menyatu dalam diri Martha. Ia mengharapkan Martha seorang perawan sekaligus bukan perawan.”
Agustus kembali tancap gas. John Grisham tetap rutin satu buku dalam sebulan, sebab memang sudah beli banyak bukunya dan bagus-bagus. Buku-buku Cak Mahfud saya kejari, ini buku terbaru dan langsung tuntas baca, kali ini duet sama sobatnya. Buku tentang 1965 mungkin sudah agak membosankan, tak banyak hal baru yang diungkap dalam buku tipis ini. Kali ini ada dua buku puisi, wuiiih peningkatan. Haruki Murakami tetap yang terbaik… total 12 buku tuntas, separuh lebih sudah kuulas.
1. The Summons by John Grisham
Hakim Atlee adalah orang besar di sebuah kota kecil. Buku ini ada tautan dengan The King of Torts, di mana seorang raja ganti rugi menjadi sisipan kisah. Sebuah panggilan dari orang tua, kedua anaknya diminta datang ke kampung halaman sebab sang ayah kini sudah tua dan sekarat. Panggilan yang dikira sederhana, untuk menjadikan pertemuan terakhir dan mungkin pembacaan warisan itu menjadi cerita liar dan panjang. Sebab saat sang sulung sudah sampai, ayahnya keburu meninggal. Terlambat, waktu tak bisa ditarik mundur. Lebih runyam lagi, ada berkantong-kantong uang di dalam lemari. Tiga juta dollar lebih, menarik sekali idenya. Sang hakim yang lurus dan penuh dedikasi, terkenal loyal dan baik hati, dambaan semua warga, tampak sederhana, ternyata memiliki kekayaan melimpah. Korupsi? Uang jatuh dari langit? Nah itulah inti kisah Panggilan, penyelidikan uang apa gerangan.
“Sebut saya apa saja sekehendak Anda sekalian, tapi saya bukan pengecut.”
2. Malapetaka Indonesia by Max Lane
Bukunya tipis, dibaca cepat juga selesai. Kebanyakan mengutip tulisan ‘Dalih Pembunuhan Massal’ nya John Roosa. Sejauh ini memang buku tentang 1965 terbaik. Tebal, padat, detail, dan penjelasannya masuk akal. Malapetaka Indonesia jelas tak bisa disandingkan, seolah ini buku hanya sisipan, atau bahkan hanya pengulangan lalu disisipkan pendapat pribadi.*
Ada dua bagian, semuanya tentang 1965. Ia mengoreksi, itu bukan tragedy tapi malapeta sebab kata tragedy lebih ke faktor yang lebih umum, padahal yang terjadi adalah sebuah rancangan, kesalahan manusia, kekejaman. Betapa dahsyatnya pembersihan sosial yang terjadi pasca 1965. Teror menjadi satu-satunya senjata, sedangkan pembunuhan dan penyiksaan merupakan teknik utamanya.*
“Dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat kabar, membiayai propaganda.”
3. Dari Belakang Gawang by Mahfud Ikhwan & Darmanto Simaepa
Menulis tentang sepakbola dengan baik tuh sulit, apalagi disajikan untuk fans dimana informasi yang diberikan sebisa mungkin baru atau minimal memberi pengetahuan yang bermanfaat. Sajian tetap yang utama, cara menyampaikan memberi nilai akhir beda. Dan memang di era digital ini, tulisan apik harus tampil menawan dan beda. Sayangnya, ini hanya sedikit di dapat di Dari Belakang Gawang. Kumpulan esai sepakbola yang umum. Memang sulit memuaskan fans yang rewel. *
4. Sosiologi by Drs. Soedjono D. SH
Efek sebuah buku bisa sangat panjang. Saya menikmati sekali buku Prof Priono yang mengulas sejak terjang Anthony Giddens, mengupas kulitnya saja tentang sosiologi. Nah, dari situlah saya menelusuri banyak buku terkait. Ini salah satu gema sosiologi tersebut. Buku ini memperkenalkan sosiologi pengantar dengan peringatan bahwa pandangan falsafah terentu mempunyai pengaruh terhadap pengertian dan persespsi terhadap gejala sosial yang terjadi. *
Filsafat Pancasila, “Ora sanak ora kadang jen mati melu kelangan” artinya bukan sanak bukan saudara kalau mati ikut kehilangan. *
5. Upacara Bakar Rambut by Dian Hartati
30 puisi pilihan. Seperti biasa, walau sulit menikmati puisi, juga menulis ulasannya; saya selalu berusaha membacanya tiap bulan, juga tak gentar untuk terus mengasahnya. Ini adalah buku puisi ketiga yang kubaca tahun ini, jadi kalau target per bulan satu maka saya masih ketinggalan kereta, lima buku gegas kukejar. Dan kumpulan puisi ini tampak mirip dengan buku-buku lainnya, sulit tune in. sebagian besar adalah duka, kematian suami setelah menikah. Walau saya tak mengenal sang penyair, jelas ini adalah curhat. Pengalaman yang dibalut dalam syair. *
Aku Mencintaimu Bersama Kematian yang Datang: sayang, segalanya telah padam / lampu-lampu itu putus kabelnya / tak ada yang membenahi / tak ada lagi tanganmu / tak ada sentuhan *
6. Jalan Udara by Boris Pasternak
Jalan Udara adalah memoar, kumpulan kecil karyanya yang diterbitkan jauh sebelum namanya terkemuka. Gaya dan strukturnya kompleks, rumit, sangat mendayu, sastra banget. Untuk menjelaskan perjalanan lintas benua dengan kereta saja kita diajak jalan memutar, momen melihat plang Asia terasa menakjubkan. Itulah hebatnya, narasi dari kejadian biasa bila dituturkan dengan bagus jadi memikat.*
Gaya puitis modern disebut-sebut, contoh kalimat yang mendayu: Udara setelah makan siang dicegat oleh embun beku abu-abu, langit semakin berongga dan menghilang; awan-awan yang bernapas yang terdengar dengan suara bersiul, dan mengalir menuju kegelapan musim dingin utara, jam-jam berlalu cepat merobek daun-daun terakhir dari pepohonan, memangkas rumput, menerobos celah-celah, membelah dada.*
“Apakah Anda datang dari sana?” / “Tidak, kami mau pergi ke sana.”
7. The Dante Club by Matthew Pearl
Dante, seorang loyalis sejati pada sastra dan bahasa klasik. Dante dikambinghitamkan sebagai sumber inspirasi. Novel menggebu tentang pembunuh serial yang mengambil buku klasik sebagai acuan, sebagai pijakan melakukan pengadilan. Jelas bukan barang baru, tema membunuh untuk menegakkan penghakiman sudah sangat banyak sekali dibuat. Lebih spesifik lagi, pembunuhan berantai yang didasarkan buku atau kitab. Sedikit diantaranya yang terbesit adalah ‘The Messiah’ karya Boris Starling, lalu ‘Inferno’ karya Dan Brown. Yang terakhir ini bahkan berdasarkan buku yang sama dengan Dante Club! Namun karena rilisnya duluan ini, bisa jadi kali ini Brown yang kalah langkah. *
“Satu hal yang menyenangkan dari demokrasi adalah bawa kita bebas menerbitkan buku apa saja sejauh kita bisa melakukannya dan sama sekali tidak merugi…”
8. Kota Kucing by Haruki Murakami
Memang jaminan mutu, penulis idola, pengarang terbaik modern yang masih hidup hingga saat ini. Setiap tahun kujago menang Nobel Sastra, maka semua buku terjemahannya coba saya nikmati. Kota Kucing dan Kisah-kisah Lainnya diterjemahkan entah dari mana, sebab di identitas tidak dicantumkan. Diambil dari berbagai sumber? Ya sepertinya, satu cerita adalah nukilan novel 1Q84, awalnya sudah familier. Kisah Tengo terbaca alurnya bahkan di halaman pertama. Saya baru baca books one, belum finish di seri tiga, tapi pijakannya sama. Apakah ini sejenis cerpen yang dikembangkan menjadi novel? Atau kumpulan cerpen ini adalah versi padat sebuah buku besar? Kreatif sekali kalian, kalau segitunya. Hanya kalian yang sudah baca riwayat Tengo, atau orang dibalik Penerbit Odyssee yang tahu.
“Gregor Samsa, kamu adalah orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Kosa katamu kaya, dan selalu sampai ke intinya…”
9. Penyair Revolusioner by Deddy Arsya
Alurnya agak lambat, untung di tengah sampai akhir langsung kebut seru. Bagus banget saat halaman mulai di 50-an. Hufh… lega. Dimula dengan Jembatan Ambruk, meninggi dalam Sapi dari dalam Kitab Suci, lalu meledak bungah dalam Revolusi angsa Putih. Saya memang masih sulit menikmati puisi, tapi setidaknya di Penyair Revolusioner mendapat hikmat dan cumpuan asyik. baca baik-baik ini.
“Hidup kadang-kadang saja lembut maka senjatamu teruslah asah, aku berdiam pada gagangnya!”
10. Firebelly by J.C. Michaels
Kadang-kadang kehidupan kita dibelokkan oleh sesuatu yang begitu sederhana dan begitu tidak penting seperti seekor katak. Buku ini lebih bagus penjelasan di kata pengantar dan lampiran tentang eksistensialime-nya ketimbang isi utamanya. Mencoba filsafat, sang katak malah mengantar pembaca menguap bosan dengan berbagai pilihan hidup. Bagaimana sebuah pertanyaan sederhana dapat menyebabkan timbulnya masalah besar. Adalah pemicunya, dari sang katak tua, si katak muda lantas mengalami petualangan hebat. Mereka memandang kehidupan dengan tergopoh-gopoh dan merasa telah menemukan sesuatu. Ludwig Wittgenstein menulis sebuah buku yang sangat kecil di mana dia menyatakan bahwa batasan bahasa adalah batasan dari apa yang dapat kita ketahui dan kita sampaikan pada orang lain. Jika kita punya kata-kata untuk menggambarkan sebuah pengalaman, pengalaman itu akan lenyap dan tidak dapat dimiliki orang lain. *
“Berpikir dapat menimbulkan banyak kesulitan.” *
11. Zahiya by Najib Mahfuz
Yes, Najib Mahfoudz memang sudah jadi idola sejak pertama baca dalam Karnak Kafe, setelahnya tetap memukau. Sempat ragu buku ini jangan-jangan adalah novella Karnak Kafe, sebab ada seb judul: Kafe yang kosong. Makanya meminta foto identitas buku diterjemahkan dari mana. Ternyata beda. Sebelum Zahiya, saya baca Bisik Bintang, kumpulan cerpen tipis yang hebat. Sungguh-sungguh nyaman dan enak sekali menjelajah kata. Nah, dari Bisik Bintang ada satu cerpen yang sama dengan dalam Zahiya, seorang kepala keluarga yang menikah lagi dengan perempuan muda, lantas kabur membawa uang besar, padahal uang yang lebih besar disimpan di langit-langit.
“Zahiya adalah segalanya bagiku, ia adalah pikiran dan tanganku.”
12. The Things They Carried by Tim O’Brien
Keren sekali. Ini seperti memoar, tapi fiksi. Sang penulis memang pernah terjun ke medan laga di Vietnam. Bubuk mesiu tampak sangat nyata, aroma perang yang ditampilkan tercium sangat kuat. Pengalaman-pengalamannya jelas terpampang jelas. Detailnya mengagumkan. Tim O’Brien jelas berhasil memberi kita gambaran kejam perang, ditampilkan dengan sangat bagus. Danau Tak Berbatas-ku baru baca bab pertama lalu dicuri di Masjid Al-Jihad tahun 2011, dan buku inilah yang akhirnya menjadi buku Tim pertama yang kuselesaikan baca.
“Aku merasakan ada kebenaran di balik kisah itu karena semuanya adalah relatif”
Karawang, 020921 – 100921 – Michael Franks – Hourglass