Kasih Sejati, Cinta Abadi


Buku Harian by Nicholas Sparks


“Senja hanya ilusi semata, karena matahari pasti berada di atas garis cakrawala atau di bawahnya.”


Cinta yang agung. Kisah yang mendayu-dayu. Kasih suci yang menyelimuti hingga di ujung senja. Benar-benar menyentuh, benar-benar indah uraian asmara abadi mereka. Sungguh sulit diterima nalar, betapa cinta sejati tak akan mati, kecuali kena penyakit. Kenanganan-kenangan lain hanya berupa fragmen-fragmen belaka, potongan-potongan masa kecilnya di sana-sini, tapi hanya sedikit yang dapat menggugah perasaannya.


Kisahnya sebenarnya sederhana, cinta yang agung diperjuangkan, sangat layak. Noah kini berusia 31 tahun adalah seorang veteran perang yang mudik ke kota kecil New Bern, tinggal sama Anjing betina bernama Clementine, panggilan Clem. Ia membeli rumah impian masa lalunya dari uang yang ia dapat dari waris usaha bersama rekannya sebelum perang. Rumah itu special.


Ia memiliki masa lalu yang indah di sana. 14 tahun lalu ia bertemu gadis cantik bernama Allie, menghabiskan masa libur musim panas dan berakhir dengan adegan memadu kasih. Dalam perpisahannya ia berjanji akan membeli rumah besar itu. Orang yang bekerja keras tanpa mengenal waktu. Noah yang murung. Orang biasanya melakukan itu karena tiga alasan. Entah karena mereka memang edan, atau bodoh, atau sedang berusaha melupakan sesuatu. Jelas ia ada di alasan ketiga.


Ia kehilangan kontak, selama itu banyak kejadian. Ia lulus kuliah, kerja keras, berangkat perang, dan kini memulai hal baru. Ia tetap mencintai perempuan yang sama walaupun pernah menjalin kasih dengan perempuan lain, tapi hati dan pikirannya hanya tertuju pada Allie.


Sementara sang gadis sudah tunangan dengan seorang pengacara mapan Lon. Ia sebenarnya juga masih mencintai Noah, tapi ternyata ada fakta yang menghalangi mereka. Surat-surat Noah terhenti di tangan ibunya, ia tak setuju putrinya menikah dengan kalangan biasa. Maka saat Allie membaca Koran dengan artikel yang memuat profil Noah dan rumahnya, ia gegas ke New Bern. Mereka biarkan perpisahan selama empat belas tahun itu melebur bersama senja.


Tanpa memberitahukan, tanpa info sama sekali ia tiba di senja. Ah romantisnya, disambut dengan perasaan ragu, tapi keadaan langsung cair. “Sejujurnya aku senang kau datang. Apapun alasannya. Menyenangkan sekali melihatmu lagi.” Bayangkan 14 tahun tak bertemu, mereka menghabiskan malam dengan makan udang, ditangkap langsung dari danau, dan bercerita banyak sekali. Membuncah. Puisi yang hidup. Ia telah melupakan betapa segar dan indahnya segala sesuatunya di sini.


Di akhiri dengan ragu, tapi berjanji esok ia akan ke sana lagi. Allie menghabiskan hari keduanya dengan lebih romantis, jalan-jalan naik kano memandang ribuan angsa, lantas hujan, lantas gegas pulang dan mandi, lalu di depan perapian terjadilah hal-hal yang memang seharusnya terjadi. Perjalanan waktu ternyata cukup ramah bagi mereka.


Besoknya mereka kepergok ibunya, datang membawa setumpuk surat. Dan menegaskan piliah hidup putrinya, mau ke arah mana? Tiga minggu lagi nikah! Sementara Lon yang curiga datang langsung dari jauh untuk menjemput calon istrinya? Status lebih berarti dibanding perasaan. Atau malah mendapat kado buruk? Karena ini buku roman manis, kalian dengan mudah mendapat jawabannya.


Masa lalu merentang jauh di usia 80 tahun, di panti jompo Noah membacakan kisah buku harian yang kita baca di atas, lalu kita tahu bahwa di masa tuanya sang istri mengalami gegar hilang pikir bernama Alzheimer. Mungkin ini karena aku merasa takut untuk tahu Kami berada pada saat-saat paling akhir pada kehidupan ini, dna lonceng terus berdentang. Penyakit radang sendi dalam ujud paling parah, rematik pada tahap lanjut. Aku tak punya waktu khawatir pada kehidupan senjaku. Seperti halnya aku sendiri, kenangan akan dirinya bakal terhapus bak pesan yang ditulis di atas pasir. Ada saat-saat aku duduk dan mempertanyakan ke manakah semua ini menghilang. Dan ia bekerja keras untuk mengingatkan lagi, memupuk pikiran, menjalin ingatan. Berkasihkah?


Banyak kalimat yang membuat mabuk kepayang. Ya, Tuhan dia begitu cantik. Dan dalam hatinya ia mengerang. Allie dipuja bak dewi, tercantik, teristimewa. Karena Noah memang pecinta puisi. Karena puisi memang bukan untuk dihayati secara demikian. Puisi bukan untuk diurai atau dianalisis; tujuannya adalah menimbulkan inspirasi tanpa suatu alasan yang jelas, untuk menyentuh tanpa memahami. Bayangkan saja kalimat ini, “Aku tidak pernah melupakanmu. Membayangkan melupakanmu saja aku tak bisa.” Atau “Ternyata kau malah lebih baik daripada yang kuingat.” Gombal mukia kan?


Kehangatan dan romantika, mungkin. Atau percakapan-percakapan tenang di ruangan berpenerangan cahaya lilin, atau bahkan sekadar perasaan bahwa ia tidak dinomorduakan. Melihat dan mendengar segalanya lagi secara perlahan-lahan. Ia merasa enggan bermain gitar sekarang, enggan membaca. Sulit memang menjabarkan perasaannya. Memang perlu kekuatan untuk dapat berpegang pada suatu prinsip mendasar, dan Noah rupanya berhasil melakukannya.


Dunia ini diperuntukkan bagi para pekerja, bukan buat para penyair sehingga tak banyak yang akan memahami Noah. Lon sang pengacara, menuju jam-jam kerja panjang, dan mengejar keuntungan, meninggalkan hal-hal yang menjadikan kehidupan ini menjadi lebih indah.


Noah adalah lelaki langka. Para pecinta kata. Para pencipta bahasa. Puisi membawa keindahan pada hidup ini, tapi juga banyak kesedihan. Namun juga beruntung karena impiannya terwujud. “Kau adalah jawaban untuk sega;a doa yang kupanjatkan. Kau adalah sebait lagu, sejumput mimpi, sepenggal bisikan, dan aku tidak mengerti bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu selama ini. aku mencintaimu Allie…”


Ia juga memuja-muja kasihnya, liar membuncah. Hubungan yang berakhir. Perasaan ini asing karena aku tak pernah memperhitungkannya… Dan saat aku memperhatikan wajahnya, wajah yang kukenal lebih daripada wajahku sendiri. “Sejak dulu aku menyukai hujan badai. Bahkan ketika aku masih kecil.”


Karena saya sudah nonton filmnya, saya sudah tahu alur dan arahnya mau ke mana. Sudah paham alasan mengapa Noah ngotot bertutur akan kasih abadinya pada orang ‘asing’ yang seusai mendongeng, si pendengar tanya ‘kamu siapa’. Jadi saya hanya mengikuti arus ini. Yah, ada beberapa bagian memang bagus. Puitis nan romantis, tapi meluber saking banyaknya. Beberapa bagian klise, hidup ini keras dan yang menye-menye akan terhempas. Ini kan fiksi, jadi dimaklumi saja.


Ini buku kedua Sparks yang kubaca setelah The Last Song yang dramatis habis. Jelas ini lebih bagus. Dan ini bakalan bukan jadi yang terakhir sebab sudah beli banyak buku Sparks. Seperti nasehat Murakami, baca saja semua buku, bahkan buku-buku yang bukan di genre kita. Dan genre drama yang mendayu seperti ini akan lebih banyak kecewa sebenarnya, tapi laku. Hollywood akan memfilmkan sebab budgetnya jelas tak akan sebanyak film aksi. Dan the Notebook versi film kurasa timing-nya pas, lebih bagus menyaksi langsung cinta murni Ryan Gosling kepada Rachel McAdams.


Aku di sini karena sudah semestinya aku di sini. Tidak ada alasan khusus.


Buku Harian | by Nicholas Sparks | Copyright 2000 by Belfry Holdings, Inc | Diterjemahkan dari The Notebook | Alih bahasa Kathleen S.W. | GM 402 01.376 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Sampul Eduard Iwan Mangopang | September 2001 | Cetakan ketiga, April 2005 | 288 hlm; 18 cm | ISBN 979-686-376-6 | Skor: 3.5/5


Buku ini dipersembahkan dengan sepenuh cinta untuk Cathy, istri dan sahabatku


Karawang, 100921 – Take 6 – Biggest Part of Me


Thx to Lifian, Jakarta