
Malapetaka Indonesia by Max Lane
“… kita bukan sahaja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus juga menentang kapitalisme bangsa sendiri.”
Bukunya tipis, dibaca cepat juga selesai. Kebanyakan mengutip tulisan ‘Dalih Pembunuhan Massal’ nya John Roosa. Sejauh ini memang buku tentang 1965 terbaik. Tebal, padat, detail, dan penjelasannya masuk akal. Malapetaka Indonesia jelas tak bisa disandingkan, seolah ini buku hanya sisipan, atau bahkan hanya pengulangan lalu disisipkan pendapat pribadi.
Ada dua bagian, semuanya tentang 1965. Ia mengoreksi, itu bukan tragedy tapi malapetaka sebab kata tragedy lebih ke faktor yang lebih umum, padahal yang terjadi adalah sebuah rancangan, kesalahan manusia, kekejaman. Betapa dahsyatnya pembersihan sosial yang terjadi pasca 1965. Teror menjadi satu-satunya senjata, sedangkan pembunuhan dan penyiksaan merupakan teknik utamanya.
Sejarah mencatat masa itu adalah masa kelabu untuk mereka yang di sisi kiri. Pembantaian rakyat dilakukan oleh pemerintah secara masif dan terstruktur untuk orang-orang yang dianggap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI), pembubaran partai, penggulingan Soekarno, dan setelahnya adalah berdirinya Orde Baru.
Selama kira-kira dua tahun, ratusan ribu orang dibunuh, dan untuk mempertebal teror, sering kali pembunuhan itu dilakukan dengan bermacam cara seperti pemenggalan kepala, pembedahan tubuh, dan pemberondongan senapan mesin. Miris sekali bukan? Targetnya adalah simpatisan Soekarno atau partai-partai atau perkumpulan politik yang mendukungnya terutama PKI beserta organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kelompok-kelompok kecil sayap kiri, seperti Angkatan Komunis Muda (Akoma) atau Partai Indonesia (Partindo).
Agen operasinya adalah Angkatan Darat (AD), mereka dibantu laskar-laskar antikomunis – yang terkadang nasionalis, namun ada kalanya golongan muslim – dan berasa di bawah komando jenderal Soeharto. Secara riil harfiah, aksi pembantaian massal itu berhasil membalikkan arah sejarah negeri ini.
Ada satu teori yang sebenarnya sudah dikemukakan oleh Roosa, kemungkinan aksi 30s adalah perbuatan AD sendiri. Sejak 1948 momok kup militer, aksi pembantaian, dan pemenjaraan yang dilakukan oleh tentara terus berlanjut untuk menakuti kaum kiri, termasuk Soekarno. Sejak tahun 1956 sampai 1965 terjadi tujuh kali upaya pembunuhan terhadap Soekarno… elemen dari tentaralah yang bertanggung jawab atas aksi-aksi tersebut. Tampaknya hanya represi kekerasan yang sanggup menghentikan pasang naik radikalisme.
Tampak aneh memang sebab saat itu PKI sedang jaya-jayanya, sedang dalam puncak popularitas. Tahun 1950-an sampai 1960-an PKI mendukung kampanye Soekarno untuk merebut kembali Papua dari tangan Belanda, menasionalisasi perusahaan milik kapital Belanda dan Negara-negara asing lain, mengkonsolidasikan reforma agrarian, dan menghalangi proses pembentukan Negara bagian Malaysia tanpa referendum Sabah dan Serawak. Sampai jelang 1963 bersama organisasi massa lainnya, PKI mengklaim memiliki keanggotaan lebih dari 20 juta, sebuah jumlah yang tak kan jauh dari kenyataan.
Soekarno memercayai mobilisasi massa sebagai kunci perubahan masyarakat Indonesia dan sekaligus dapat melapangkan jalan bagi transformasi menurut sosialisme. Massa-aksi sebagai alat pembangkitan kaum tani dan buruh dari jeratan kekuasaan colonial merupakan satu dari dua konsep mendasar bagi ide revolusi Soekarno.
Karakter lokal-sentris borjuis dalam negeri, kurangnya sumber daya, serta minimnya perkembangan kultural telah menimbulkan masalah. Partai-partai akan ‘dikubur’ sehingga bisa muncul organisasi politik tunggal yang didasarkan pada poros lama antara kaum intelektual yang terradikalisasi dan massa yang termobilisasi.
Legitimasi Nasakom terhadap PKI menggiring ke arah retuling (strategi baru memenangi kekuasaan). Retuling, atau retooling dalam bahasa Inggris adalah kebijakan mengganti atau menarik para anggota dari jajaran personil aparatur Negara, termasuk manajer-manajer perusahaan milik Negara yang dianggap reaksioner atau melakukan tindakan merugikan, dengan pengganti-pengganti yang lebih progresif. Dalam pidatonya pada Mei 1965 Soekarno menggambarkan PKI sebagai ‘elemen paling sempurna dalam menjelaskan revolusi.’
Salah satu pemikiran Soekarno yang kini dilakukan banyak Negara, mengadopsi cara Barat adalah sistem demoktasi, beliau pernah melontarkan kritik terhadap sistem demokrasi liberal di mana 50 persen plus 1 bisa meraih kemenangan. Gagasannya adalah agar para buruh, tani, mahasiswa, penulis, dan lain-lain memperoleh perwakilan langsung di parlemen juga menimbulkan masalah bagi sebuah sistem politik yang berbasis pemilihan. “Dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat kabar, membiayai propaganda.” Kritik ini benar ‘kan? Terbukti sampai sekarang. Jangan mimpi buruh pabrik menjadi pejabat, cakupan lurah aja, butuh biaya milyaran rupiah sekadar mencalonkan. Amburadul kan, sistem ini?!
Ada perkataan Trotsky yang benar, “Tidak bisa mendirikan sosialisme di satu negeri sebelum kapitalisme di seluruh dunia gugur. Sosialisme hanya bisa berdiri di semua negeri bersama.”
Tetralogi Buru meruntuhkan mitos bahwa tokoh-tokoh militer merupakan kelompok terpenting dalam perjuangan bangsa, karena sesungguhnya kelompok penting itu ternyata adalah para penulis, wartawan, dan petani, yang semua bergerak karena dipicu pemikiran humanisme dan kebebasan.
Rendra hampir sepanjang tahun 1978 dipenjara sebab pementasan puisinya mengkritik pemerintah. Sajak Rendra berjudul, ‘Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon’
Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan?
Di negeri ini hak asasi dikurangi,
Justru untuk membela yang mapan dan kaya.
Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa.
Di bikin tak berdaya.
O, kepalsuan yang diberhalakan.
Berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.
Di puisi yang lain berjudul, ‘Sajak Pertemuan Mahasiswa’ ia menulis:
Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina.
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Maxwell Rolland Lane adalah pengajar dalam bidang politik dan sejarah di Universitas of Sydney dan Victoria University di Australia. Selain menerjemahkan karya besar Pramoedya Ananta Toer dan Rendra ke dalam Bahasa Inggris, ia menulis ratusan artikel dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Dua bukunya yang akan diterjemahkan, Unfinished Nation (2008) dan kumpulan esai sastra dan politik Indonesia.
Esai ini merupakan sumbangan kecil pada upaya analis kritik guna mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang ada pada kekuatan progresif kerakyatan Soekarnoisme radikal. Kalau kita melakukan penelitian kembali, kita segera tahu bahwa sebagai gerakan kerakytatan, gerakan kiri sebelum tahun 1965 memiliki sifat anti-demokratis dan juga demokratis sekaligus. Maka perlu memperdalam kajian untuk engambil pelajaran ataupun menjadi lebih mampu dalam penjelasan dampak-dampak dari periode itu terhadap sekarang.
Di Era Reformasi buku-buku yang mencoba mengungkap apa di baliknya memang sudah sangat banyak. Saya sempat menemui lima enam darinya, ini yang paling tipis dan sederhana. Mungkin karena bukan hal baru yang coba dingkapkan. Dasarnya bagus, ini tentang kejujuran dan mengungkap kebenaran. Baik di dalam menggeluti ilmu maupun kehidupan politik demoktari kejujuran di dalam mencari kebenaran adalah syarat mutlak untuk berhasil biarpun kadang-kadang penemuan bisa terasa pahit.
Ok, kita sepakat ini bukan tragedy, tapi pembantaian atau di sini disebut malapetaka. Transformasi yang merusak, bagaimana bisa terjadi di sebuah masyarakat di mana 20 juta orang yang dimobilisasi ke dalam politik radikal kemudian berujung ke suatu kondisi di mana ‘otak manusia normal tidak akan bisa menyerap itu?’
Soekarno yang dikalahkan total. Dia abaikan mekanisme demokrasi. Sosialisme Indonesia buntu di tengah jalan.

Malapetaka Indonesia | by Max Lane | bagian I diterjemahkan dari Catastrophe in Indonesia, Seagull Books, 2010 diterjemahkan oleh Chandra Utama dan diperiksa kembali oleh Max Lane | Penyunting Rh. Widada | Tataletak Johan | Pemeriksa Hayyuningtyas M. | Desain sampul Amortotheles D. Signer | 130 x 190 mm; xiv + 144 hlm. | ISBN 978-979-1805-544 | Penerbit Djaman Baroe | Cetakan I, 2012 | Skor: 4/5
Karawang, 300821 – Yellowjackets – Daddy’s Gonna Miss
Thx to Latifah, Yogyakarta