Misa Ateis: Te Deum

“Aku seorang Katolik dan aku takut neraka, tapi aku sangat mencintaimu – ah, kesayangan –aku akan mengorbankan keabadian hanya untukmu!”

Kumpulan cerpen yang menggugah, tipis dilahap dalam sehari hanya sebagai selingan ‘Sumur’-nya Eka Kurniawan yang juga selingan dari Memoar Geisha. Keduanya hanya selingan, saat isoman karena Covid-19. Untuk menjadi hebat memang tak selalu harus tebal, tipis semacam ini dengan penyampaian inti kisah, langsung tak banyak cingcong juga sungguh aduhai. Semua konfliks diramu dengan pas, beberapa tanda tanya sempat diapungkan, arti judul juga jadi kontradiktif, misa dilakukan untuk orang-orang relijius, ateis berarti tidak teis, tak percaya tuhan, lantas Misa Ateis? Tenang, jawaban itu tak menggantung, ada penjelasan runut dan sajian kuat mengapa itu bisa dan harus dilakukan. lezat, memikat.

Buku kecil bermutu besar. Jos tenan! Luapan kegembiraan yang sublim.

#1. Misa Ateis

Ini kisah balas budi, seorang dokter sukses secara akademik, finansial, hingga reputasi terkenal sebagai seorang ateis yang taat. Namun publik lantas tahu ia melakukan misa, sesuatu yang tak lazim dan kontradiktif. Lalu kita diajak melalangbuana ke masa lalu, masa muda yang berapi-api dalam perjuangan menegakkan ambisi dan kebanggaan.

Dokter jenius, ahli bedah Desplein disanjung dan dikanl luas akan dedikasinya akan pengetahuan kedokteran. Kejeniusan Desplein bertanggungjawab atas keyakinan-keyakinan, dank arena alasan itu pula, kefanaannya. Baginya atmosfet terstrial adalah amplop generatif; melihat bumi sebagai telur dalam cangkangnya, karena itu tak bisa menegaskan mana yang ada terlebih dulu antara ayam dan telur, maka ia tidak mengenali baik telur maupun ayam. Dia tak percaya baik roh hewan yang hidup sebelumnya maupun roh manusia yang hidup setelah kematian fisik. Maka ia dengan tegas dan berani, tak berkualifikasi sama seperti yang diyakini banyak ilmuwan lainnya, manusia-manusia terbaik di dunia, ateis-ateis tak tertandingi.

Kesimpulan masa tuanya, bahwa indera pendengar tidak mutlak diperlukan untuk mendengar, indera pengelihatan untuk melihat, dan bahwa pleksus matahari dapat memasok ke tempat yang seharusnya tanpa keraguan sedikitpun, yang dengan demikian menemukan dua jiwa di dalam manusia, menegaskan keistimewaannya dengan fakta itu, meskipun hal tersebut bukan merupakan bukti untuk melawan Tuhan.

Kualitas seorang manusia hebat biasanya bersifat federatif. Jika di antara roh-roh kolosal ini seseorang memiliki lebih banyak bakat daripada kecerdasan, kecerdasannya masih lebih unggul daripada orang-orang yang hanya disebut ‘ia cerdas’. Seorang jenius selalu mengandaikan wawasan moral.

Salah satu muridnya Horace Bianchon yang akrab dengannya, mahasiwa kere yang kembang kempis mengais rejeki dan bayar kos dengan budget seminim mungkin. Ia baik, jujur, dan bukan seorang puritan dan pengkotbah. Seorang periang, tak lebih munafik dari seorang polisi. Ia berjalan tegak dan pikiran penuh isi. Singkatnya, untuk menempatkan fakta di antara kata-kata, Horace adalah seorang Pylades untuk lebih dari satu Orestes.

Keduanya berteman sangat akrab, guru kepada murid dan seorang pembelajar yang baik menyerap dengan bagus apa yang dituturkan. Nah, suatu pagi jam Sembilan Bianchon melihat gurunya pergi ke gereja Saint-Sulpice di Rue du Petit-Lion. Karena rasa penasaran, ia mengikuti dan menyelinap masuk dan betapa terkejutnya ketika melihat Desplein yang agung, seorang ateis, yang tak memiliki kasihan kepada para malaikat – berlutut dengan rendah hati di dalam Lady Chapel, mengikuti misa, memberikan sedekah pada kaum papa. Tercengang akan fakta itu, ia lalu bertanya pada gurunya suatu hari, dan ternyata kegiatan itu rutin dilakukan setiap tahun dengan sembunyi-sembunyi. Jawabannya akan membuat kalian tertepuk tangan, luar biasa Prof.

 “Segala kemarahan akibat kesengsaraan ini aku lampiaskan ke dalam pekerjaan…”

#2. Facino Cane

Impian dan kenyataan memang seringkali tak segaris lurus. Kedigdayaan masa lalu, kejayaan masa muda, memori indah yang laik dikenang, belum tentu layak dikejar kembali mengingat zaman sudah beda dan era berubah. Apalagi ia ada di tanah rantau dalam keringkihan dan kebutaan.

Kehidupan biasa dari warga biasa di perkampungan sederhana. Menyaksikan desa yang berubah digilas waktu, di tengah orang-orang baik dan bersahaja, hidup di daerah Lesdiguieres yang damai. Suatu hari di pesta penikahan sahabat istrinya, ia menemui percakapan ganjil, keanehan latarnyam bayangan gudang bercat merah yang seadanya, aroma anggur yang menyengat, tarian kegembiraan di antara para pekerja, orangtua, wanita-wanita malam yang melempar ke penghiburan.

Seorang peniup klarinet tua memainkan nada dengan syahdu nan aduhai, ia sudah beruban lalu bersapa dan menjalin pershabatan, ada sesutau yang agung dan lalim dalam diri Homer tua ini,, yang menyembunyikan dala, dirinya suatu Odyssey untuk dilupakan. Pria berwaja Italia itu buta, dan dua lagi juga, mereka melakukan percakapan.

Papa Canard berasal dari Venezia, buta karena kecelakaan, ia lalu menuturkan masa lalunya, berkali pula ia mengajak sang narrator untuk mengantarnya pulang, menjanjikan harta jarun melimpah dan kau takkan menyesal karena ia adalah Facino Cane yang terkenal itu. Berkisah masa jayanya, masa lalu yang trenyuh.

“Haruskah kita berangkat besok?”

#3. Ramuan Kehidupan

“Kecantikanku memiliki kekuatan untuk menghidupkan kembali hati yang membeku karena usia.” Ketujuh wanita dari Ferrara, Don Juan, dan sang pangeran merancau dengan hiperbola akan kehidupan, cinta, dan banyak hal yang terjadi baru-baru ini. dalam sebuah jeda yang mengikuti terbukanya sebuah pintu, seperti pada hari raya Balthazar, Tuhan memanifestasikan dirinya dalam diri seorang pelayan tua berambut putih yang cara jalannya tak stabil dengan alis terangkat. Ini tentang ayah yang kikir dan anak yang boros.

Bartholomeo Belvidero, ayah Don Juan adalah pembisnis ulung, mengabdi pada bisnis dengan kakayaan melimpah. Don adalah anak satu-satunya, saat istrinya Juana meninggal ia menjadi murung dan tak boleh diganggu. Untuk masuk ke ruangannya bahkan Don harus meminta izin. Saat itu Bartholomeo tidur, usia rentanya tak banyak tanda kehidupan tersisa, matanya saja yang masih jernih. Menasehati dengan gusar anaknya, “Kau bersenang-senang untuk dirimu sendiri!” lalu memberi wejangan penting, “Segera setelah aku menghembuskan napas terakhirku, segera urapi aku dengan air ini dan aku akan hidup kembali.”

Saat akhirnya menjadi kenyataan Don Juan ragu, Kristal berisi air itu tak langsung diurapkan, ia malah menyimpannya di laci meja bergaya Gotik hingga pagi menjelang. Saat ketujuh wanita masuk dan turut berbelasungkawa, Don Juan terombang-ambing oleh ribuan pikiran, ragu mengambil berbagai resolusi. Maka setelah hari itu selesai menghitung kekayaan, malam harinya ia berniat melakukan kalimat wasiat sang ayah. Apakah bisa bangkit drai kematiannya? Ada sihir yang menari di antara mereka.

“Orang-orang dungu! Sekarang katakan bahwa Tuhan itu ada!”

Misa Ateis | by Honore de Balzac | Penerbit Odyssee, 2020 | Cetakan pertama, Juli 2020 | Alih bahasa Pramesti Wijaya | Penyunting Agata DS | Tata letak The Naked! Lab | Perancang sampul The Naked! Lab | Skor: 5/5

Karawang, 120821 – Netral – Hujan di Hatiku

Thx to Kedai Boekoe, Bekasi

Iklan

5 komentar di “Misa Ateis: Te Deum

  1. Ping balik: Juni2021 Baca | Lazione Budy

  2. Ping balik: 130 Buku Rentang Setahun | Lazione Budy

  3. Ping balik: 14 Best Books 2021 – Fiksi/Terjemahan | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s