
“Kita harus menikah dan melarikan diri dari tempat ini secepat yang mungkin dilakukan oleh manusia. Apa kautahu betapa kita akan bahagia di Frankfurt?” Ini adalah kata-kata Ka kepada Ipek. Selama sesaat, dia mencoba membayangkan mereka berdua di Frankfurt, menyusuri Kaisertrasse, berjalan pulang setelah menikmati malam di gedung bisokop. Namun manusia hanya bisa merencana. Ka meyakini bahwa kebahagiaan terdiri atas kebaikan dan keburukan dalam jumlah yang seimbang, sehingga dia siap memandang pemukulan itu sebagai penderitaan yang harus dijalani supaya dirinya layak memboyong Ipek ke Jerman.
Buku dimula dengan empat kutipan di bawah ini, rasanya sangat laik diketik ulang dan dibagikan. Mewakili isi cerita, dan saya suka kutipan bagus gini. Seumur hidup Ka, seluruh pengalaman cintanya selalu disaput rasa malu dan derita, dehingga kemungkinan jatuh cinta lagi membuatnya begitu tenang. Pemandangan-pemandangan itu mengisahkan rasa kesepian yang aneh dan kuat.
“Kita tertarik pada sisi berbahaya setiap hal. Pencuri yang jujur, pembunuh yang lembut, ateis yang beriman.” – Robert Brwoning,“ Bishop Blougram’s Apology
“Politik dalam karya sastra adalah sebuah pistol yang ditembakkan di tengah-tengah sebuah konser, sebuah tindakan kejam yang mustahil diabaikan. Kita hendak membicarakan sebuah urusan gelap.” – Stendhal, The Charterhouse of Parma
“Baiklah jika begitu, singkirkan saja manusia, batasi tindakan mereka, paksa mereka untuk diam. Karena pencerahan Eropa jauh lebih penting daripada manusia.” – Fyodor Dostoevsky, The Brother ‘s Karamozov
“Orang Barat di dalam diriku telah membusuk.” – Joseph Conrad, Under Western Eyes
Ini kisah tentang cinta sejati yang membuncah, dibelit sesak keadaan.
Ka dan kehidupan yang dijalaninya di usia jelang tua. Penyair terkenal yang menjadi pelarian ke Eropa. Terkenal di Turki, tapi juga jadi bulan-bulanan sebab ideologinya dianggap membahayakan Negara, bahkan dianggap ateis, maka ia pergi ke Eropa, ke Jerman yang menampung. Nama aslinya Kerim Alakusoglu, nama kerennya Ka. Judul buku bisa saja Ka dan Cintanya, tapi akan tampak klise. Kepala mereka terasa pusing akibat impian-impian liar itu sehingga mereka tidak lagi merasa malu.
Kisah ini dimulai dengan tenang, kedatangannya kembali ke Turki setelah lama pergi, ke desa kecil Kars, di mana ia diundang dan dijadwalkan membacakan puisi. Ka melihat sisa-sisa masa lalu di kereta-kereta kuda yang masih terlihat di sana-sini, tersimpan di garasi-garasi, tapi kota itu sendiri tampak lebih kumuh dan menyedihkan daripada yang melekat dalam kenangannya.
Dia tak mengharap sambutan sehangat ini, dan dia takut ketenangannya akan goyah. Inilah yang ia takutkan selain menulis puisi yang buruk. Dia membaca apapun yang ingin dibacanya, dan dia membaca semuanya dengan kebahagiaan layaknya bocah yang menganggap kematian adalah hal yang terlalu jauh untuk dibayangkan.
Di sanalah ia kembali bertemu dengan teman kuliahnya, juga cinta sejatinya Ipek. Ipek seorang janda, mantan suaminya juga teman Ka. “Tidak”, jawab Ka. “Saat di Instanbul, aku mendengar bahwa kau dan Muhtar telah berpisah, aku datang kemari untuk menikahimu.”
Dan drama panjang bergesekan dalam gelegar politik, budaya, serta kemampuan bertahan dalam tekanan penguasa melawan pemberontak. Ka diombang-ambing kebimbangan, yang mana keputusan-keputusan yang ia ambil nantinya menjadi martir kematiannya di negeri jauh.
Ka, penyair muram yang memandang hidup dengan opmitisme penuh cinta, kembali ke Kars demi cinta. Kedatangannya dinanti penggemarnya, tapi juga dipandang sinis oleh kalangan agamamis, bahkan ia dituduh sebagai mata-mata Barat. “… mereka mengira Bapak sedang menjalankan sebuah misi rahasia dari pemerintah atau dikirim oleh pihak Barat…”
Ada satu pemuda tulus nan lugu. Nasibnya terakhir tragis, mati muda dalam keadaan tersenyum bahagia dalam hingar bingar tepuk tangan. “Mereka minum karena merasa tidak bahagia,” kata Necip. “Tapi, Bapak memabukkan diri supaya bisa menahan kebahagiaan tersembunyi yang sedang membuncah dalam diri Bapak.” Dia dapat mengingat setiap deskripsinya kata demi kata, seolah-olah cerita Necip adalah sebuah puisi.
Konfrotasi Lazuardi tampak memuakkan. “Hati Anda begitu rapuh dan mungkin tidak akan cukup kuat untuk menerima apa yang akan saya ceritakan, tapi izinkanlah saya menyingkirkan semua keraguan yang mungkin Anda miliki.”
Setiap kehidupan menyerupai sebuah kepingan salju: setiap individu mungkin terlihat sama saja dari jauh, tapi untuk memahami keunikan misterius seseorang, kita harus memecahkan misteri dari kepingan salju pribadi orang itu.
Kebetulan sedang ada kasus bunuh diri beruntun, para gadis yang mengakhiri hidup dengan berbagai alasan. Dari yang dipaksa kawin, diminta lepas jilbab, sampai kasus tak terang yang seolah tahu-tahu memutuskan bebas. Enam insiden bunuh diri dalam waktu singkat. Kesederhanaan motif tindakannya sungguh mengecewakan. “Tapi, jika ketidakbahagiaan menjadi alasan utama tindakan bunuh diri, maka setengah dari seluruh wanita Turki akan bunuh diri.” Dibelai dengan bacaan-bacaan Barat, dan dalam khayalannya, ruang dan waktu adalah faktor amat penting untuk bunuh diri.
Di sana ada ektrimis bernama Lazuardi, mengkoordinasi para pemberontak, melakukan teror, gerakan Islam radikal. Melakukan banyak serangan ke Pemerintahan yang terlalu liberal. Menuntut Turki kembali ke Negara Islam.
Bersamaan pula sedang ada gerakan Turki moderat yang dipimpin oleh kelompok teater Sunay, dengan kebebasan dan nuansa dunia baru, mendorong Turki untuk lebih terbuka terhadap Barat dan bahkan memainkan sandiwara kontroversial, di mana tokoh utamanya wanita yang membuka jilbab di atas panggung, lalu melakukan pembunuhan. Saat mendengar bahwa sandiwara itu berjudul Tanah Airku dan Jilbabku, mereka mengira ceritanya akan menyinggung masalah politik kontemporer. Hegel adalah orang pertama yang melihat bahwa sejarah dan teater terbuat dari bahan yang sama. Aku membaca semua yang pernah ditulis oleh Sartre dan Zola, dan aku yakin bahwa masa depan kita terbentang bersama Eropa.
Sunay sebenarnya aktor berbakat dan menjanjikan. Ia banyak melakukan improvisasi, pintar menyesuaikan diri, lalu menjadi terkenal sebab pemilihan peran. Dirinya besar dengan situasi Turki yang juga menjadi Republik. Namun, seseorang tak tahu batasan apa yang laik dan tidak disampaikan. “Mungkin suatu hari nanti jika public menghendaki, saya akan memainkan peran sebagai Nabi Muhammad.” Bersama kalimat inilah masalah mulai menderanya.
Nah, Ka ada di tengah itu. Cinta, politik, agama, teater, dan segala pusaran membingungkan. Kasihan sekali ia terjebak, padahal hatinya tulus dan baik sekali. Pria pendiam dan suka merenung yang sejatinnya hanya mengingin cinta dan bahagia. Kasihnya yang meluap terhadap Ipek menjadi tonggak penggerak mau ke arah mana ia berpijak. Ipek adalah anak sulung pemilik hotel, di mana Ka tinggal. Bersama pula si bungsu yang tak kalah cantik, Kadife. Apesnya, belitan kisah ini menekan nasib buruk pada Ka sebab Kadife adalah kekasih Lazuardi. Nantinya bahkan ada kejutan besar, kisah cinta ini. Rumit rek! “Ketidakbahagiaanku melindungiku dari kehidupan.” Kata Ka. “Jangan cemaskan aku.”
Beberapa kali Ka diminta ketemu dengan sang ekstrimis dengan naik kereta, ia naik dengan sembunyi di jok belakang tertutup, di tempat tersembunyi. Pertemuan berkali-kali ini dilihat sebagai persetujuan Ka mendukung Lazuardi, padahal ia hanya melakukan tugas. Begitu juga nantinya ia diminta sebagai penghubung Sunay yang melakukan pemberontakan di panggung, lalu menyusun strategi naskah yang menyatakan ia ditembak mati live di atas penggung dengan pemeran utama Kadife.
Sensasi yang selalu dirasakan Ka saat masih kanak-kanak dan remaja ketika mendapatkan kebahagiaan luar biasa membuncah di dalam dirinya: prospek masa depan yang diliputi keputusasaan dan penderitaan. “Apa aku harus mengunjungi semua orang gila di Kars?”
Ka yang sudah menemukan cintanya, Ipek yang sepakat ikut ke Jerman, dan segala ombang-ambing nasib itu, bagaimana akhirnya sungguh mengerikan. Betapa hidup memang kejam, Ka yang malang. “Satu-satunya hal yang menyatukan kita adalah fakta bahwa kita berdua merendahkan harapan kita akan kehidupan.”
Ka baru seminggu kembali di negeri ini, dan ia belum memiliki cukup keahlian sekuler untuk mendeteksi motif politik setiap melihat seorang wanita berjilbab. Pergolakan pemakaian jilbab menjadi tema penting di sini. Dari pelaku bunuh diri, promo akan pentingnya wanita melindungi diri, sampai puncaknya dalam pentas dengan tokoh melepas jilbab secara live. “Copotlah jilbabmu, karena Negara mengingin-kamu melakukannya.” Adalah kalinat yang sempat muncul, tapi Pamuk tak condong ke sisi manapun. Ia hanya berkisah, ia melakukan dengan jitu di tengah-tengahnya.
Penggambaran setting tempat juga ciamik sekali. Salju yang dingin menghampar luas di setiap mata memandang. Pepohonan dari masa kecilnya telah layu atau ditebang; gedung bioskop yang sudah ditutup selama sepuluh tahun, masih berdiri dikelilingi oleh deretan toko-toko pakaian kecil yang tampak suram.
Ka yang ateis memandang hidup ngalir aja, asal bahagia. Kebahagiaan terbesar akan datang jika dia tidak bertindak demi kebahagiaan pribadi. Ada pembunuhan dengan Ka sebagai saksi. Pembunuhan direktur Institut Pendidikan dengan tebakan jarak dekat, ia membawa sebuah alat perekam, yang ditempel di dadanya oleh seorang agen dari badan intelejen MIT cabang Kars. Harapan akan keselamatan mendatangkan kebahagiaan di dalam hatiku.
Sebagai penyair, setiap momen begitu berharga sebab inspirasi bisa datang kapan dan di mana saja, maka ia membawa buku catatan. Sebagian pikirannya masih bekerja dengan cara berbeda, dengan cara Barat, dan dia membenci dirinya sendiri karenanya. Hujan salju tak kunjung usai, begitu pula daftar topik yang harus kita diskusikan Hal ini terjadi karena benaknya terlalu sibuk memimpikan Ipek, perutnya masih kosong, dan kebahagiaannya meledak-ledak. “Aku tidak tahu bagaimana caraku menulis puisi, puisi yang bagus selalu hadir dari luarm dari jauh…”
Seolah memang tak peduli keadaan, ia hanya ingin cinta pada Ipek terbalaskan. Maka saat itu terwujud, ia melampung tinggi. “Aku sedang sangat bahagia sekarang ini. aku tidak butuh agama,” kata Ka. “Dan lagi pula, bukan karena itulah aku kembali ke Turki. Hanya satu hal yang mampu mendorongku kembali ke sini: cintamu… apakah kita akan menikah?”
Saya sempat terlintas pikiran, apakah mungkin Ka dengan Kadife saja yang lebih moderat sekaligus terkekang cinta itu? Lebih cantik dan wawasan lebih luas. Ka sedang sangat masuk, mereka semua menyangka pernyataan ini sebagai ceracau belaka. Kehidupan memiliki geometri rahasia yang tidak dapat diolah oleh akal sehat. “Kakaknya jauh lebih cantik,” kata Ka, “Kalau memang kecantikan yang kita bicarakan.” Saya tahu semua itu tidak mungkin terjadi, tapi saya masih mencita-citakannya. Namun pada akhirnya, cintanya pada Ipek luar biasa indah dikenang.
Hanya orang-orang yang sangat pintar dan sangat tidak bahagia bisa menulis puisi bagus. Dan Ka dengan tepat menggambarkan itu. Saya belum bisa menikmati puisi, sulit dan dalam. Ternyata resep utama memang tak bahagia. Hahahaha… Tak seorang pun mengerti, menyangka mereka adalah bagian dari sandiwara yang sedang dipentaskan. Jelas terlihat dari ekspresi wajah mereka bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Salah satu dari topic penting dalam sebuah puisi adalah kemampuan si penyair untuk menutup sebagian pikirannya meskipun dunia sedang kalau balau. Tapi ini berarti bahwa penyair tidak memiliki hubungan dengan masa kini, sama seprti hantu. Itulah harga yang harus dibayar oleh seorang penyair demi menghasilkan karya.
Satu lagi, dalam novel seorang penulis harus bisa mengandaikan adegan bukunya. “Ya. Akan ada adegan yang tepat seperti ini dalam novel fiksi-ilmiah yang akan saya tulis suatu hari nanti…”
Dia memenangkan diri dengan berpura-pura bahwa dirinya hanyalah seorang tamu hotel biasa di sebuah kota asing. Dan baru ketika itulah dia mulai menyatukan segala hal yang sebelumnya diabaikan oleh pikirannya. Kedamaian jalan yang kosong mengingatkan Ka pada jam malam yang diberlakukan saat masa kanak-kanaknya. Secara samar-samar hidungnya juga menangkap aroma iodin dan rumah sakit, teror dan kematian. Tepat ketika itulah sebuah puisi baru menempa benaknya; begitu kuat, begitu membahagiakan dengan cara yang ganjil. “Tapi, aku tak bisa mengejar diriku sendiri. Yang bisa kulakukan hanyalah bertahan. Semua yang dilakukan dengan baik akan berakhir baik.”
Aku menyambar kesempatan besar yang hanya mendatangi orang-orang yang dikaruniai kejeniusan dan pada hari ketika aku akan menggunakan karyaku untuk melibatkan diri dalam arus sejarah, tiba-tiba ada yang menarik karpet yang kupijak, dan aku mendapati diriku terjerebab dalam kubangan lumpur terjorok.
Jika kita tidak membiarkan tentara dan Negara mengurus para fanatik berbahaya ini, kita akan berakhir dengan kembali lagi ke Abad Pertengahan, terjerumus dalam anarki, menyusuri jalan terkutuk yang telah dilewati oleh begitu banyak bangsa terbelakang di Asia dan Timur Tengah. Kau harus meyakini Tuhan dengan cara seperti orang miskin, kau harus menjadi salah seorang dari mereka.
Misi melelahkan dan membosankan ini tidak hanya mematahkan sol sepatu si detektif tetapi juga semangatnya. Seperti seorang pria tua murung yang tersesat di lautan impian dan hantu, dia membicarakan tentang kenangan-kenangan politik yang menghampirinya saat menonton Marianna, dan tentang ketakutannya kembali ke penjara, dan tentang tanggungjawabnya sebagai seorang pria.
Dia sedang merayakan fakta bahwa pada akhirnya dia dapat mewujudkan berbagai fantasi yang selama ini bermain-main di dalam pikirannya. Diagram kepingan salju antara logika dan imajinasi dengan Ka di titik pusat.
Kecemburuan semacam ini wajar terjadi dalam tahap awal hubungan asmara yang belum teruji, mtapi sebuah suara batin yang lebih kuat menyuruhnya untuk memeluk Ipek dengan sekuat daya dimilikinya… “Mengapa dia menangis?” / “Dia sedang jatuh cinta.”
Ka tidak berpendapat bahwa Surga adalah masa depan yang kami impikan: bagi Ka, Surga adalah tempat mimpi-mimpi dalam kenangan dilestarikan. “Kami miskin dan sepele. Kehidupan merana kami tidak mendapatkan tempat dalam sejarah manusia. Suatu hari nanti, semua yang ada di Kars akan mati dan pergi. Tak seorang pun akan mengingat kami, tak ada yang memedulikan kami…
Dia terlempar dari waktu, dilumpuhkan oleh gairah; satu-satunya penyesalannya hanyalah karena dia telah menghabiskan kehidupannya selama ini tanpa menemukan surge itu. Ini kedamaian yang dirasakan jauh melampaui apa pun yang pernah dialaminya. Dengarkan kau, kehidupan bukan melulu soal prinsip, kehidupan adalah soal mencari kebahagiaan.
Orang-orang yang membuat keputusan buruk dalam kehidupan mereka gara-gara gejolak kekeraskepalaan sesaat, dan kemudian seumur hidup menyesalinya. “Dan, bagaimana Anda mendefinisikan kebahagiaan.” / “Kebahagiaan adalah menemukan sebuah dunia lain untuk ditinggali, sebuah dunia tempat kita bisa melupakan kemiskinnan dan tirani. Kebahagiaan adalah memeluk seseorang dan mengetahui bahwa dunialah yang sedang kita peluk.”
Anda tidak mengikuti perkataan hati kecil Anda sendiri; Anda hanya menerka-nerka apa yang akan dilakukan oleh seorang Eropa dalam situasi yang sama, lalu Anda bertindak seperti itu juga. Keputusan akhir buku juga sudah sangat pas tampak realistis. Sang kolonel bilang, mereka telah mencampurkan seni dan realitas.
Penganut agama radikal di manapun sama saja, menuntut kebebasan beragam, tapi hanya untuk kaumnya. “Mengapa ada begitu banyak orang yang tiba-tiba berpaling ke agama?” adalah pertanyaan umum. Ayatollah Khomeini bilang, “Yang terpenting untuk dilakukan sekarang ini bukanlah menunaikan salat atau berpuasa melainkan melindungi Islam.”
Ada penjelasan asyik, walau sekadar astronomi iseng bahwa pasangan yang paling cocok untuk pria Gemini adalah wanita Virgo. Sherina dan aku nih, walau jenis kelamin dibalik. Pada akhirnya buku ini seolah biografi teman Pamuk. Ditulis dengan gaya sastra yang sangat bagu. “Karena nantinya Ka akan menggambarkan secara mendetail kebahagiaan tak berbatasnya ini dalam buku catatannya, aku tahu pasti perasaan apa yang sedang menderanya malam ini…” Yap, Pamuk melakukan penelusuran hidup Ka.
Hasil cetaknya bagus, walau tebal sekali, terlihat sangat kuat tak mudah rontok. Hanya saja saya menemukan dua lembar di halaman 633-636 diilid terbalik. Lucu juga sih jadinya. Mulai dibaca 23.03.21 selesai 18.04.21, hampir sebulan. Melelahkan sekali seperti bercinta dengan durasi lama, 600 halaman dalam hingar bingar Turki yang dingin.
Ini adalah buku kedua Orhan Pamuk yang kubaca setelah Wanita Berambut Merah. Suka banget penggambaran adegan final di kamar hotel. Ka melihat Ipek bagaikan sesosok patung, di jendela Kamar 203 di Hotel Istana Salju, masih mengenakan gaun beledu hitamnya… seolah Ka ingin menangkap momen itu dan tak mau beranjak.
Hal terpenting dalam kehidupan adalah kebahagiaan, tapi sebagian dari diri kita mengetahui bahwa kita harus merajut kebohongan, jauh lebih siap berkorban. Sediah sekali ya nasib Ka. Seperti di dalam mimpi buruk, semua orang merasa sendirian. Aku menolak untuk tunduk pada keputusasaan. Mimpi-mimpi heroik adalah tempat berpaling bagi mereka yang tidak bahagia.
Betapa Ipek jauh lebih cantik dalam kenyataan daripada dalam ingatannya. Ka tahu betul bahwa kehidupan adalah rangkaian tanpa arti dari berbagai kejadian acak.
Salju | by Orhan Pamuk | Diterjemahkan dari Snow | terjemahan bahasa Turki dari Maureen Freely, terbitan Faber and Faber, London, 2005 | Penerbit Serambi Ilmu Semesta | Penerjemah Berliani M. Nugrahani | Penyerasi Qamaruddin SF dan Anton Kurnia | Pewajah isi Sitqom | Cetakan I: Agustus 2015 | ISBN 978-602-290-043-6 | Skor: 5/5
Untuk Ruya
Karawang, 230721 – 030821 – 090821 – Bill Withers – Grandma’s Hand
Ping balik: #April2021 Baca | Lazione Budy
Ping balik: Je Suis Karl: Dunia Duka Memiliki Lorongnya Tersendiri | Lazione Budy
Ping balik: 130 Buku Rentang Setahun | Lazione Budy
Ping balik: 14 Best Books 2021 – Fiksi/Terjemahan | Lazione Budy