
Penyair Revolusioner by Deddy Arsya
… aku membujukmu dengan bibir entah milik siapa: / “di sini, kami sama-sama sedang berbahagia!”… – Doa Para Pasien
Alurnya agak lambat, untung di tengah sampai akhir langsung kebut seru. Bagus banget saat halaman mulai di 50-an. Hufh… lega. Dimula dengan Jembatan Ambruk, meninggi dalam Sapi dari dalam Kitab Suci, lalu meledak bungah dalam Revolusi angsa Putih. Saya memang masih sulit menikmati puisi, tapi setidaknya di Penyair Revolusioner mendapat hikmat dan cumpuan asyik. baca baik-baik ini, “Hidup kadang-kadang saja lembut maka senjatamu teruslah asah, aku berdiam pada gagangnya!”
Seperti sebelumnya saat ulas puisi, saya ambil beberapa yang memikat. Saya kutip sebagian dan kuselingi komentar. Satu kutipan, satu paragraf komentar. Enjoy it!
Musa di Sinai: Kami telah lewati / badai-badai kecil / diaku pendek saja: / Tuhan, kami ini hendak apakan?
Mungkin yang menjadi saran atau kritik adalah, dalam penyampaian kalimat langsung, sering kali ditutup dengan tanda perintah (!) seolah marah atau meminta perhatian, itu sah-sah saja tapi ya agak mengganggu kalau keseringan. Kutemui, banyak sekali. Seperti penulis mula yang sering menggunakan tiga tanda perintah (!!!), awalnya mungkin biasa, tapi jelas itu kurang nyaman.
Kota yang Terkunci dari Dalam: Pintu-pintu dari baja / engsel-engsel besar / dan kunci dengan gembok berkarat / dinding-dinding berwarna cokelat / lumut-lumut yang menjalar / dipisahkan oleh gang-gang / sunyi seketika menyergap / suara Anda lama bersipongang / seakan sedang berada dalam gua – atau gulag? / ketika melihat keluar, betapa hidup terasa terpisah dari keriuhan…
Janji, sumpah, maklumat. Sering kali kita temui dalam puisi. Cerita yang diberikan adalah sebuah kalimat terlontar yang dipegang, memegang angin? Seolah kata-kata bisa diperas, kali ini terlambat.
Nubuat yang Datang Terlambat: … “Aku bersumpah demi awan gelap ini / yang turun setelah petang hari / Aku sama sekali tidak benci padamu / aku berkata begini agar hatimu senang / tapi Aku mesti menyingkir / tapi bukan pertanda mangkir!”…
Paling suka puisi yang bercerita, maka narasi bagiku penting. Setiap bait yang diketik, memberi aura, bukan sekadar pilihan diksi. Maka saya suka puisi ini:
Membangun Kota: Memang ada kota yang didirikan dari gerutu / dari derap omong-kosong tak sudah-sudah! / Lalu mereka berkata: kita mesti atur itu siasat, / masa depan hanya diraih dengan gelegak hasrat / harus kau pilih jembatan antar selat atau kapal pengangkut / segala / pesawat-pesawat semakin sering jatuh dan orang-orang / takut terbang / padahal kelak oto dan sepur akan diberi sayap / “tapi maaf, ya, penyair partikelir seperti anda susah dibawa serta!”…
Karya sastra lama juga disenggol, sudah sangat sering kusaksi dan nikmati. Kali ini dari Marah Rusli yang dikomplain oleh tokohnya.
Sitti Nurbaya di Pasar Gadang: … Aku bayangkan ruh Nurbaya berkata: / pengarang celaka telah mendorongku ke jurang neraka!…
Beberapa terasa pengulangan, seperti sapi betina yang ada di kitab. Awalnya wah, ayat suci dikutip, tapi terulang di belakang, dan lagi.
Sapi dari dalam Kitab Suci: … Sapi betina yang luka pada pantat / menggoyang-goyangkan telinganya / yang kempis-kembang bagai hasrat pada kerampang / dia terpancang pada tambang / hingga larut malam / di padang-padang kuning / dikebat gelap begini lindap / kau tinggikan obormu ingin menangkap / “wujud, wujudmu, kami hendak!”…
Ini yang bagiku ironi, jam 12 tutup saat adzan dhuhur, lantas kegiatan lanjut sampai adzan asar? Bagiku, bait terakhir adalah asar sebab dua adzan disandingkan di tengah hari.
Bank Tutup Jam 12 Siang: Bank tutup jam 12 siang, suara azan bagai bunyi perut lapar, / (banyak kejadian tertuang; puisi ditutup dengan begini) / suara azan terdengar lagi bagai suara kentut yang tertahan
Ini tentang fantasi, tukang bakso yang dikerumun pembeli, merdu sekali gema gentanya.
Gunung Api Fantasi: Ada tukang bakso lewat setiap sore / membunyikan genta sebagai tanda, aku mengira yang lewat / gerombolan sapi, orang-orang memburunya bagai arak- / arakan ke kuburan. Tia ada di antara / riuh karnaval itu, para pembeli berbicara dengan ibu / sambil menutup kedua telinga,…
Nah, narasi itu penting. Tak hanya di puisi, dalam prosa penyampaian yang tepat dan nyaman juga menjadi nilai lebih. Ini juga bagus sekali, bagaimana mudik menjadi petaka. Lantas diakhiri dengan semacam pemakluman kata ‘jihad’, padahal ia melontarkan sendiri dari kereta yang bergerak.
Kereta Lebaran: Dari atas kereta yang lewat malam / seorang pemudik yang penat berdesak-desakan / memutuskan / lompat kea tap rumah, melesat, bagai batu dilontarkan / orang-orang dalam rumah terpekik, ‘sialan!’, ‘anjing hutan!’ / mereka mengira sedang terjadi kerusuhan antarsuporter / sepakbola / mereka mulai menghitung-hitung berapa nilai kerugian / harus mengganti plafond an genteng-genteng yang rusak / sementara ‘si batu’ yang terlontar itu berguling-guling ke tepi / rel / persis batu, beradu dengan batu lain yang lebih besar / nun di kampung, keluarga yang mati berkata: / Dia wafat dalam berjihad!
Kutemui kata baru ‘aur’, belum kubuka kamus, dari web google artinya emas (bahasa Rumania). Namun dari web sinomim artinya: bambu/buluh. Mungkin pulang kerja nanti saya buka KBBI kertas sahaja.
Kau Tebing Aku Aur: … tetap tak bisa ia dilerai / katanya kau tebing aku aur / tiap runtuh padamu / riuh rusuh padaku…
Kenapa saya pilih kutip ini, sebab pagi disiram mentari itu nyaman dan segar sekali. Bahagia itu sederhana walaupun masih ngontrak.
Cinta Musim Panas (1): Kau boleh mencintaiku dengan rasa jijik / yang terus-menerus naik ke kerongkonganmu / tapi aku akan tetap membajak luas sawahmu, menjadi sapi, atau kerbau untukmu… / Kita akan bahagia disiram cahaya matahari jam tujuh pagi, / kita akan bahagia memiliki rumah / yang bukan milik pribadi…
Sederhana tapi pas, cinta yang dimetamor dalam salak aning malam.
Cinta Musim Panas (2): … Cintaku adalah kasmaran sepanjang waktu. / Cintaku semata salak anjing dalam kegelapan!
Pemilihan kata beriak, lalu berdebur, lalu melipur. Enak didengar bukan?
Selesai ke Laut: … yang aku kira lebih ganas dari ombak memukul / Rasanya tak kutinggalkan engkau / yang beriak, yang berdebur, lebih melipur…
Ini lebih ke realistis, ayolah kita hidup di kerasnya keadaan. Omong kosong lebih pas ketimbang angan-angan.
Pulang Malam: … Aku tak percaya pada impian yang menggebu-gebu. / Kita sebaiknya memelihara omong-kosong untuk bisa / berbahagia / aku tidak bisa menangkapmu lebih jauh lagi.
Demikian pengamatan dan komentar penikmat puisi amatir. Semoga berkenan. Seperti biasa pula, setiap buku debut baca kuketik ulang profil penulis/penyairnya.
Deddy Arsya lahir di Bayang, Pantai Barat Sumatera, 15 Desember 1987. Banyak tulisannya di media massa: esai, puisi, cerpen, tinjauan buku dan film. Buku pertamanya kumpulan puisi Odong-odong Fort de Kock (Padang, Kabarita, 2013) merupakan lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2013, dan merupakan Buku Satra Terbaik 2013 versi Majalah Tempo. Bukunya yang lain, Mendisiplinkan Kawula Jajahan (Yogyakarta, Basabasi, 2017), Rajab Syamsuddin si Penabuh Dulang (Yogyakarta, Divapress, 2017). Ini buku pertama bung Deddy yang saya baca, dan rasanya laik dinanti buku-buku berikutnya.
Tahun ini target melahap 12 buku puisi, masih empat bulan lagi, dan percayalah, akan kukejar walau para ‘Penyair Revolusioner.’
Penyair Revolusioner | Kumpulan Puisi | by Deddy Arsya | 57.17.1.0037 | Penyunting Septi Ws | Desainer sampul Studio Broccoli | Penerbit Grasindo, 2017 | ISBN 978-602-375-961-3 | Cetakan pertama, Juni 2017 | Skor: 4/5
Karawang, 310821 – David Sanborn – The Dream
Thx to Dea (GK)