
“Jimat kau tubuhku, kau jiwaku, kau hidupku. Takkan pernah kubiarkan apapun terjadi padamu. Aku ibumu akan tetap berada di sini.”
Kumpulan cerpen yang bagus. Kisahnya berkutat di Bali, tempat sang penulis tinggal dan dibesarkan. Kebanyakan dari kita memang paling nyaman menulis tentang hidup kita dan sekeliling kita, jadi seolah dituturkan langsung dari pengalaman hidup. Relevan dan masuk akal, sebab akan tampak aneh dan tak berlogika jika kita yang lahir dan besar di Indonesia bercerita tentang dinginnya salju negeri Swiss misalnya.
18 cerpen yang sebagian besar sudah dipublikasikan di media massa.
1. Sebuah Pohon dan Mereka yang Mau Bercerita
Unik, saksi pembunuhan/pengeroyokan preman yang berakhir kematian itu adalah pohon dan benda-benda di sekitar. Pertama menjadi pohon, lalu bensin yang digunakan untuk membakar orang, lalu aku adalah rumah, lalu aku adalah perempuan, istri korban, dan terakhir aku adalah Sindy. Ia adalah korban, dibakar hidup-hidup sebab melakukan perlawanan terhadap preman lokal. Dan terakhir kembali menjadi pohon, saksi bisu tragedi yang terjadi.
“Kuatkan dirimu. Semoga mereka mendapat hukuman yang sesuai.”
2. Tato di Tubuh Ibu
Membongkar kubur demi mendapatkan bukti. Ibuku dianggap membawa petaka (leteh) sebab di mata mereka ibu membawa aib, bukan perempuan baik-baik. Dan tato itu dijadikan bukti, ditolak dikuburkan di Sentra Gede. Lalu kisah ditarik mundur, semasa muda betapa ibu adalah primadona kampung. Ayahku lah penakluk hatinya. Sampai akhirnya tato itu tak ada, bagaimana bisa?
“Ibumu sudah membawa petaka ke desa ini. kita harus membuat cau gede. Kita harus membersihkan desa ini. selama bertahun-tahun tidak pernah ada kejadian seperti ini.”
3. Wasiat Bu Kompyang
Surat wasiat yang misterius, anaknya Gorda adalah pemimpin kelompok media ternama. Maka ia melakukan upacara kematian besar-besaran. Ya perayaan, konon sejatinya makna kematian. Du pekan yang sibuk, pelayat, magebagan, berita tentang Bu Kompyang, dst. Dan permintaan almarhum dalam surat wasiat yang dibacakan saat puncak perayaan pengabenan-pun dilakukan. Semua terdiam, apa gerangan permintaan mendiang?
“Ia layak mendapatkannya. Ia istri pendiri pers terbesar di pulau ini. ia juga mantan veteran pejuang. Bukankah ia sungguh layak mendapatkannya?”
4. Perempuan Penembang Ginada
Agak mistis, memang kalau kita bicara tembang banyak hal di luar nalar tersaji. Perempuan pemilik suara itu di Bungkulan, Singaraja. Suara indah bak seruling, mengalun merdu, sekaligus menggetarkan. Dan terjadilah pembunuhan yang seolah kecelakaan. Ketidaksempurnaannya yang juga layak untuk disuarakan mesti tidak lewat keindahan.
“Kelak kalau ada yang tahu aku penyebab kematian perempuan itu, kalau ada yang bertanya kenapa, dengan masih setengah mencari-cari aku akan tetap bisa memberi jawabannya…”
5. Lina dan Angsa Taman Kota
Lina yang ganjil, menjadi ganjil amatlah sedikit, tapi ia suka. Lina 19 tahun, patah hati dan ingin melupakan masa lalu. Apa tidak kasihan dengan semua kenangan? Begitulah hati yang luka, sendu. Jika ada cinta kenapa memilih saling melukai? Apa cinta membuat orang gila? Ah kehidupan fana ini…
“Karena hidup saya tidak di masa lalu.”
6. Perempuan yang Menikamkan Pisau Itu…
Hikayat Rukmini. Ada laki-laki yang gigih mendekatinya, pertama kali bertemu saat pemakaman ayahnya. Saat ia dirawat di rumah sakit, laki-laki itu dengan setia datang walau perawat melarangnya atas permintaan Rukmini. Luluh juga hatinya, ibunya menangis dan memintanya fokus pada kesembuhannya. Namun segala yang tampak tak seperti yang kita kira.
“Bila kau tak segera menghabisinya mungkin kau sendiri yang akan dihabisi lebih dulu. Bergegaslah!”
7. Sajak Tak Selesai dari Penyair Tua
Penyair tua yang membuncah. Menulis sajak dengan muram. Ia menimbang banyak hal. Dia mencoba berhenti, tapi hatinya begitu rindu. Kata jadi kalimat, kalimat jadi baris, baris jadi bait, begitu seterusnya. Pernahkah kau dengar ini, dia kangen dengan kata-kata.
“Kelak ketika waktuku habis.”
8. Penari Api
Muda, berbakat, penampilan menarik, hebat. Tak cukup untuk menggapai masa depan sesuai keinginan. Ada beberapa faktor penghalang, adat, adab, dan relung religi. Sadat adalah penari bagus, eh bukan sekadar bagus, ia adalah penari api luar biasa. Namun kekang dan larangan sampai batas apa yang menghalangi keindahan, lepaskan imajimu kawan!
“Sadat bukan barang dagangan Pak Ngurah. Ia tidak akan menari lagi. Bapa akan marah sekali bila mendengar hal ini.”
9. Keris
Keinginan mencari uang besar, kalau perlu ke luar negeri. Ni Sagri sang ibu menangis haru, anaknya Putu melalangbuana dengan kapal untuk mencari nafkah. Tidakkah lambaian tangan perpisahan itu adalah juga hal terakhir yang nanti hanya hadir jika ia merindu dan hanya bisa dikenang?
Hidup di nafas yang kental akan aroma mistis dan tidak jarang irasional.
“Semangat hidup dan nasib, kemanakah Kau akan membawaku pergi?…”
10. Tapakan
Tema skeptis yang menjadi dasar filsafat dibanggakan oleh Marwan, sarjana muda. Mantab bahwa segala yang matang mesti dipertanyakan bahkan dipatahkan dengan pendekatan-pendekatan teoritis. Ia mempertanya banyak hal, termasuk hal gaib yang tak bisa dinalar. Dunia mistis di Bali, dan segala yang terjadi di dimensi lain.
Hidup dengan orang gila adalah hal paling menyedihkan dan menyakitkan. “Apa benar seorang tapakan di desamu begitu sakti? Mampu mengetahui hal-hal di luar jangkauan manusia?”
11. Lelaki Terakhir
Ini tentang masa pembersihan 1965/66 di mana PKI dan segala anteknya dilenyapkan. Desa ini menjadi desa perempuan, desa para janda. Tak ada lelaki sebab mereka yang berhaluan kiri dimatikan. Sujati dengan kebimbangan dan ideology yang dipegang.
“Kau masih saja di sini Sujati? Kenapa kau tak lari? Sebentar lagi mereka alan tiba di sini.”
12. Mayat di Simpang Jalan
Lagi-lagi tema larangan menguburkan mayat di suatu pekuburan karena faktor ganjil. Penggotong jenazah dan keluarga dicegat warga, dilarang melakukan penguburan Gusti Ayu Sulastri di situ, padahal ia waga asli dan harusnya berhak. Ya, karena dianggap melanggar adat. Lantas apa solusinya?
“Lakukanlah sesuatu. Kau anak laki-laki satu-satunya. Kau saudara tertua…”
13. Sosok yang Bercahaya
Jabatan dunia hanyalah sementara, tapi ada prestis dan kebanggan di sana. Ini tentang sosok pemangku, pendeta pemimpin persembahyangan di pura. Barja dan segala keruwetan pikir kelaikan ke sana. Dalam prosesi nganjan, pemilihan pemangku yang lewat orang pintar di mana orang bisa melihat cahaya sekaligus memunculkan cahaya dalam dirinya. Sejak kematian pemangku sebelumnya, desas-desus pengganti muncul. Apakah Barja laik dan akan menjadi pemangku pengganti itu?
“Aku percaya Tuhan juga senang dengan orang-orang yang mempersiapkan dirinya secara matang…”
14. Tak Kutemukan Surga Terakhir-Mu
Guru baru di sekolah menengah Kecamatan. Warga ternyata tak memedulikan sosok guru yang memandangnya seolah sosok asing walau coba beradaptasi dan seramah mungkin. Ini tentang Agus Kertasana, sosok pendatang bukan warga asli sebaik apapun kurang disapa ramah. Meniadakan riak kecil yang bisa saja menjadi gelombang. Bersuara sama artinya mencari kesusahan. Seperti langit dan bumi yang menyempit sementara kita berada di dalamnya dalam ukuran kecil. Kecil sekali.
“Seperti cita-cita semua orang negeri seberang, ia benar-benar bisa mengakhiri hidup di sini. Di tanah ini!”
15. Suara Kulkul untuk Ratna
Kulkul adalah kentongan tua berbahan kayu jati yang ditempatkan di gardu perempat jalan, akan berbunyi saat salah seorang warga desa melakukan upacara pernikahan. Yang memukulnya hanya tetua desa yang saat itu menjabat. Mengalami masa pernikahan dengan suara kulkul adalah kebanggaan. Ini tentang harga diri, tentang keinginan terpendam lama, tapi terhalang keadaan, hingga akhirnya dengan nekad dilakukan demi orang terkasih. Ratna yang dilematis, dan Sardu yang begitu berani.
“Aku bahkan tidak pernah memikirkannya. Bukankah kita menikah karena suka sama suka?”
16. Bila Kapat Lewat
Pekak Rimpig menanti kedua anaknya di atas kursi roda. Wayan Kerug anak pertama dan Nengah Konten diminta melakukan suatu upacara yang dengan kecewa ditolak kedua anaknya karena sedang kesulitan ekonomi. Jawaban yang membuatnya marah, kecewa, dan sungguh memuakkan. Kapat adalag bulan keempat dalam sistem kalender saka. Kapat yang membuat cemas. Pangkal masalahnya hanya satu, karena keluarganya belum menggelar Karya Agung, upacara penyucian yang menelan biaya besar di pura keluarga, Pura Paibon. Upacara yang lama diidam-idamkannya.
“…kalian semua tahu sumbernya, kenapa tidak mencoba menghentikan? Kita bisa menggelarnya di Kedasa nanti. Kita persiapkan dari sekarang.”
17. Lingga dan Yoni
Ini tentang Rahyoni, gadis 55 tahun dan belum menikah dan takkan menikah sebagaimana katanya. Lelaki, baginya tak lebih dari manusia lembek yang mencoba mengambil keuntungan dari perempuan. Dan tak ada lelaki yang pantas bersanding dengannya. Sah-sah saja punya prinsip itu, yang buruk adalah melarang perempuan lain menikah, memberi nasehat panjang lebar betapa menikah itu merugikan kaum perempuan. Ah dunia yang misterius, termasuk para penghuninya.
“Sudah kubilang, hidupmu tidak akan bahagia bila menikah dengannya. Kau tetap saja bandel.”
18. Bade untuk Betara
Pembuat bade paling keren di daerah itu adalah Wayan Sogra, pengalaman dan pengabdiannya tak terbantahkan. Satu-satunya murid langsung Dewa Agung Jambe yang masih hidup. Maka sungguh aneh saat orang penting Ratu Betara meninggal dunia, Wayan Kayun abdi setia puri tak menggunakan jasanya, justru memanggil Ketut Raka, pembuat peralatan upacara ngaben yang asing di telinga, dan masih muda. Walau persiapannya agak rumit dan menimbulkan gonjang-ganjing, ternyata upacara itu berjalan meriah. Sogra yang tak dilibatkan merasa terganggu. Oh, sudah berakhirkamasanyah masanya?
“Aku pembuat bade, bukan dagang! Aku pembuat bade! Dengan cinta, dengan pengabdian, dengan ketulusan!”
Buku ini kubaca tuntas di RS Mitra Family Karawang pada 1-2 Mei 2021 saat menemani Hermione dirawat inap. Buku pertama dari Komang Adnyana yang kubaca. Kelahiran Gunaksa, Klungkung, 15 Februari 1985. Lulusan sastra Inggris, fakultas Sastra Universitas Udayana. Buku kumpulan cerpen pertamanya dalam Bahasa Bali berjudul Metek Bintang memenangkan hadiah Sastera Rancage 2012. Bagus sekali kumpulan cerita pendek yang mengisah segala hal Bali.
Ku mau terbang dna tenggelam…
Luka Batu | by Komang Adnyana | ISBN 978-623-7220-59-6 | Pewajahan sampul Herry Sucahya | Pewajahan isi Manik Sukadana | Penerbit Mahima Institute Indonesia (Bali) | email: mahima_institute@yahoo.com | Cetakan pertama, Agustus 2020 | Skor: 4.5/5
Jika batu saja bisa terluka, apalagi hidup…
Karawang, 040621 – 230721 – 280721 – Peter Cincotti, David Finck, Kenny Washington – Sway