Memoirs of a Geisha #19

“Kita tak boleh membuang-buang waktu memikirkan hal semacam itu, taka da tabf lebih suram daripada masa depan, kecuali mungkin masa lalu.”

Luar biasa. Seperti naik roller coaster, walau tak banyak liukan dan tanjakan terjal, ceritanya berliku. Awalnya sudah sangat manis, gadis miksin anak nelayan dengan kecantikan natural. Matanya yang cemerlang sering kali disebut, berulang kali. Lalu keadaan mencipta, ia dan kakaknya dikirim ke kota, dijual untuk dididik menjadi orang. Bisa jadi apa saja, tergantung nasib dan kemauan. Bisa jadi pelayan, pelacur, pekerja pabrik, atau geisha.

Memang suku kata ‘gei’ dalam kata ‘geisha’ berarti ‘seni’ jadi kata ‘geisha’ yang sebenarnya adalah seniman. Geisha, di atas segalanya adalah penghibur dan pementas. Menuang sake atau teh memang dilakukan, tapi jelas tak akan pernah mengambil acar tambahan. Geisha sejati tidak akan pernah mengotori reputasinya dengan membuat dirinya bisa disewa laki-laki dengan tarif per malam. Geisha tidak pernah menikah. Atau paling tidak, mereka menikah tidak menjadi lagi geisha.

Di tengah di suguhi kelokan konfliks internal, bagaimana mencipta geisha yang cakap. Perseteruan dengan geisha magang dan kakaknya, perseteruan dengan para tamu, lalu luluh lantak oleh perang. Seolah semuanya di-reset, setelah ambyar Jepang mencoba membangun negeri.

Bagian akhir awalnya kukira bakalan landai, menjurus ke bosan sebab keinginan sang protagonist banyak sekali terwujud. Hanya satu hal, ia tak mau jadi danna seorang yang cacat sekalipun orang tersebut sudah banyak membantu, sudah sering sekali mengangkatnya dari lembah kenistaan, bahkan menyelamatkan nyawanya. Nah bagian akhir inilah kejutan dicipta, sempat bilang wow, lalu eksekusi ending, makin bilang wow. Happy ending sih, tapi kurasa worth it sebab ini memang memoar yang memastikan sedari mula Sayuri selamat dan terdampar di Amerika, seperti kata pengantar yang memang bocoran utama.

Kisahnya tentang Sakamoto Chiyo, atau sekarang bernama Nitta Sayuri, nama geisha-nya. Ia bercerita kepada sang penulis, memberitahukan kisah masa lalunya. Sayuri kini tinggal di New York, membuka kedai minuman khas Jepang dan bisnis lainnya. Dari sini saja sudah merupakan kunci penting novel ini.

Cerita ditarik dari mula sekali. Chiyo-san adalah anak kedua dari dua bersaudara, ayahnya nelayan miskin dengan rumah miring di pesisir pantai Yoroido. Ibunya sakit-sakitan. Suatu hari saat sedang berlari untuk membeli sesuatu, Chiyo kecil terjatuh dan terluka. Tetangganya Tuan Tanaka Ichiro membantunya, membawanya ke rumah dan jelas sekali ia tampak terkesan. Matanya cemerlang, jelita sekali.

Kejadian itulah yang mengubah masa depan Chiyo. Suatu hari ia dijemput Tuan Tanaka diajak naik kereta api bersama kakaknya Satsu juga. Lalu disambung oleh Tuan Bekku, orang asing pula. Ini adalah perjalanan paling jauh yang pernah ia rasakan, sekaligus menakutkan sebab tak tahu akan ke mana. “Ke mana pun dia membawa kami, aku lebih memilih bersamanya daripada terdampar sendirian di tengah jalan-jalan besar dan bangunan-bangunan yang sama asingnya bagiku dengan dasar samudra.” Katanya setelah menyadari mereka sampai di Kyoto.

Mereka ditempatkan di Okiya, tempat geisha tinggal. “Ini Okiya, tempat tinggal geisha. Kalau bekerja keras, nantinya kau bisa menjadi geisha…” Adalah Hatsumomo, geisha yang utama. Ia dilayani banyak orang. Bibi, nenek, pelayan, dan juga Chiyo. Sementara kakaknya dikirim ke tempat lain. Penguasa utama adalah ibu, ia yang mengatur banyak hal. “Si Hatsumomo itu cantik sekali, tapi lihat sendiri, bodoh sekali dia.”

Hari-hari berat dilaluinya, belajar, bekerja, dan memerhatikan situasi baru ini. “Kalau kau mengamati geisha-geisha paling sukses di Gion, semuanya penari.” Suatu hari ia niat kabur, janjian sama kakaknya di tepi sungai, lalu rencananya pulang. Naas, malam itu ia naik ke atap, merangkak dalam senyap, lalu melewati pagar. Yah, malah jatuh. Ia terluka, dan saat siuman hari sudah berganti. Kesempatan satu itupun lenyap, dan ia tak bertemu kakaknya hingga sekarang. Betapa mudanya untuk mengambil langkah sebesar itu

Kabar duka malah tiba, orangtuanya meninggal dunia. Ibunya yang memang sakit-sakitan dan ayahnya yang sudah menanggung banyak beban. Kini ia sebatang kara, dunia yang kejam menghantamnya sedari masa kecil. Mereka punya anjing bernama Taku. Taku adalah makhluk pemarah dengan muka jelek. Kegemarannya dalam hidup ini cuma tiga – menggonggong, mendengkur, dan menggigit orang yang mencoba membelainya.

Chiyo suatu sore di tepi sungai menyaksikan iring-iringan orang kaya menuju teater, ia terpesona dan saat itulah ada salah seorang laki-laki menghampirinya. Memberinya uang untuk membeli makanan, senja itu mencetak kenangan. Laki-laki itu mencipta kenangan, kenangan yang akan banyak menentukan masa depannya.

Perseteruan dengan Hatsumomo kian parah, ia mengangkat temannya Labu untuk dijadikan geisha magang, sementara Chiyo diangkat oleh geisha rumah sebelah Mameha mengganti namanya Nitta Sayuri. Pertaruhan ini dicerita panjang dan berbelit. Promosi geisha magang dari akting terluka untuk menggoda seorang dokter, mendatangi seorang pelukis, hingga jamuan teh dan sake seolah tak henti. Menyaksikan tanding sumo. “Aku tak berniat mengalahkan lawanku, aku berniat mengalahkan kepercayaan dirinya. Pikiran dirasuk keraguan tidak bisa terfokus pada jalan kemenangan…” Mameha adalah geisha besar di zamannya. Pernah menjamu Penulis besar Jerman Thomas Mann, Bintang film terkenanl Charlie Chaplin, Peraih Nobel Sastra Amerika Ernest Hemingway ke Jepang dijamu istimewa dengan para geisha yang tampil. Jelas, ia di tangan yang tepat.

Dari pelatihan ini kita mencatat nama-nama penting. Ketua adalah pemilik Iwamura Elektrik yang membuat Sayuri jatuh hati. Lalu Nobu, veteran perang yang kehilangan salah satu tangannya. Ia orang kepercayaan Ketua, ia sudah jatuh hati sama Sayuri sejak magang. Namun jelas, cinta itu tak beriring. Lalu Dr. Kepiting, orang yang menolong membebat luka, seorang predator perawan. Nantinya ialah yang membeli mizuage-nya. Mizu berarti ‘air’ dan age berarti ‘menaikkan’ atau ‘meletakkan’ sehingga mizuage kedengarannya berkaitan dengan menaikkan air atau menaruh sesuatu dalam air. Sayuri mendapat pelajaran seks dengan pengandaian aneh. “Belut tak berumah” Lelaki punya semacam belut di tububmereka. Belut menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mencari rumah, dna tahukah kau apa yang dipunyai perempuan di dalam tubuhnya? Gua, tempat belut suka tinggal. Gua ini adalah tempat dari mana keluar darah setiap bulan ketika ‘awan melintasi bulan’.

Dan jangan lupakan Uchida Kosaburo, pelukis ini juga masuk radar. Nantinya ia melukis Sayuri dengan eksotis, menjadikannya model geisha. Dan namanya akan terkenal, bukan hanya di Gion tapi seisi Jepang.

Kisah ini bersetting tahun 1930-an. Di Jepang zaman setelah zaman Malaise sampai Perang Dunia II disebut kuraitani – lembah kegelapan. Ketika begitu banyak orang hidup seperti anak-anak yang kepalanya terbenam di bawah ombak. Dan susunan bata yang mengasyikkan itu porak poranda akibat Jepang kalah perang. Malam demi malam kami menyaksikan bulan berubah merah karena kobaran api di Osaka. Kehidupan jadi sangat sulit dan terlunta. “Sungguh aneh, apa yang dibawa masa depan untuk kita. Kau harus berhati-hati, Sayuri, jangan pernah mengharap terlalu banyak.”

Rumah minum teh Ichiriki yang biasa menggelar pesta langsung sunyi. Banyak geisha menjadi pekerja pabrik, membuat parasut, mencetak peluru, dan sebagainya. Sayuri setelah meminta tolong beberapa orang penting, akhirnya justru dibantu Nobu, direkomendasikan tinggal di Keluarga Arashino. Itulah sebabnya khayalan bisa sangat berbahaya. Mereka menjalar seperti api, dan kadang-kadang membakar habis kita.

Tak ada yang bisa lebih baik mengatasi kekecewaan daripada kerja. Saat perang usai dan keadaan membaik, ia akhirnya dijemput bibi untuk kembali ke Okiya. Kembali menjalankan bisnis, tapi jelas sudah tak sama lagi. ia kalut. Kegiatan dalam sarang semut pun kalah sibuk dengan pikiranku. Angsa yang meneruskan hidup di pohon orangtuanya akan mati, itulah sebabnya mereka yang cantik dan berbakat menahan penderitaan untuk menemukan jalan mereka sendiri di dunia. Segera saja pikiranku serasa seperti vas pecah yang tak bisa berdiri. Pikiranku terasa kosong.

Geisha sangat percaya tahayul, seperti pernah kukatakan. Bibi dan ibu, bahkan juga juru masak dan para pelayan, jarang sekali mengambil keputusan sederhana seperti membeli sandal tanpa berkonsultasi pada almanak. Kurasa yang dimaksud dengan ‘anggun’ adalah semacam percaya diri atau kepastian, sedemikian rupa sehingga sepoi angin atau jilatan ombak tidak akan membuat perubahan berarti.

Saat seolah segalanya membaik, Sayuri lalu akan diambil sebagai danna, sejenis wanita simpanan yang menetap pada satu orang laki-laki. Ia memang seolah ditakdirkan menjadi wanita-nya Nobu, yang jelas-jelas ia mengharap Ketua. Nah, suatu hari mereka bertamasya ke Pulau Amami bersama para pembesar, termasuk Menteri yang memiliki pengaruh keberlangsungan Iwamura Elektrik. Di pulau itulah drama yang dimainkan berantakan dan twist. Kehidupan telah bertindak kejam kepadanya, dan dia hanya menerima sedikit sekali kebaikan.

Bagian berikutnya bisa saja menjadi sad ending pilu nan menyakitkan, serta memalukan. Namun tidak. Malam saat ia seharusnya resmi menyandang sebagai danna, kejutan lain menghantam. Manis, terlalu manis. Segalanya lantas berubah, mereka membeli rumah mewah di timur laut Kyoto dan menamainya Eisha-an – Tetirah Kebenaran Makmur. Dan segalanya baik-baik saja, akhirnya. Duduk di sini mengenang malam bersamanya sebagai saat ketika suara-suara dukacita dalam diriku menjadi diam.

Buku tebal, lebar, dengan tulisan kecil-kecil. Tipe buku yang akan sulit diselesaikan jika tak dipaksa kelar. Hampir 500 halaman, kisah yang panjang nan berliku. Kebetulan sekali kumulai baca saat Isoman, dan butuh sebulan tuntas, kuselesaikan baca dengan kekuatan santai saja. Kubaca bersama Kronik Burung Pegang yang lebih dahsyat tebalnya. Kita tidak menjadi geisha agar hidup kita memuaskan. Kita menjadi geisha karena kit arak punya pilihan lain.

Kurasa kenangan akan tahun-tahun mengerikan itulah yang membuatku merasa sangat sendirian. Harapan itu seperti hiasan rambut. Gadis-gadis ingin memakai terlalu banyak hiasan rambut. Ketika sudah tua, mereka tampak boidoh bahkan kalaupun hanya memakai satu. “Kadang-kadang, kurasa hal-hal yang kuingat lebih realistis daripada hal-hal yang kulihat.”

Memoar Seorang Geisha | by Arthur Golden | Diterjemahkan dari Memoirs of a Geisha | Copyright 1997 | 6 17 1 86 002 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Listiana Srisanti | Desain sampul Martin Dina | Pertama terbit 2008 | Cetakan ketigabelas: Februari 2018 | ISBN 978-602-03-3769-2 | 496 hlm; 23 cm | Skor: 5/5

Untuk istriku, Trudy, dan anak-anakku, Hyas dan Tess

Karawang, 190721 – Very best of Jazz (Louis Armstrong)

#30HariMenulis #ReviewBuku #19 #Juli2021

4 komentar di “Memoirs of a Geisha #19

  1. Ping balik: Misa Ateis: Te Deum | Lazione Budy

  2. Ping balik: #Juli2021 Baca | Lazione Budy

  3. Ping balik: 130 Buku Rentang Setahun | Lazione Budy

  4. Ping balik: 14 Best Books 2021 – Fiksi/Terjemahan | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s