
Korsiah: “Oalah Tien, hidup ini sudah pahit, mengapa kamu masih mau mencari makanan yang pahit-pahit? Kamu ini seperti nyidham saja.”
Sifat orang Cina, senang menikmati kebadanan, tapi tak membenci kehorhanian. Padahal kata leluhurnya, hanya dengan menjadi sederhana kau dapat menemukan dirimu yang sesungguhnya. Epic memang, kata-kata mutiara ditebar di banyak tempat. Pepatah Cina, manusia itu seharusnya seperti burung, yang terbang tanpa meninggalkan bekas dan tapaknya.
Kisahnya panjang nan melelahkan, sepertiga pertama agak boring sebab menarik lurus ke balakang sejarah orang-orang Cina di tanah Jawa, agak berbelit dan seolah menikmati dongeng/sejarah. Sepertiga kedua baru kita memasuki are sesungguhnya, bagaimana arah cerita terbentuk. Dari kesenian keliling, bintang ketoprak seorang putri Cina yang menarik perhatian dua tentara/orang penting. Sepertiga akhir barulah meledak. Waktu mengubah mereka menjadi pejabat, tapi persaingan lama terus menggelayuti. Saat geger geden, eksekusi ending yang pilu disajikan. Klimaks, bagaimana susunan itu membuncah luar biasa. Sedih, tapi kisah yang bagus memang rerata berakhir dengan kesedihan.
Kisah utama sejatinya tentang Giok Tien, sang Putri Cina. Namun untuk ke sana kita diajak bersafari jauh ke masa lalu, riwayat orang-orang Cina mula di tanah Jawa, sejarah kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang terhubung dengan Negeri Tirai Bambu, lantas menyusut ke keturunan paling ujung yang ada di kisah ini. Di Tuban aku datang / ketika perahuku datang di Tanah Jawa. / Dari Tuban aku pergi / ketika selamanya aku harus meninggalkan Tanah Jawa.
Membawa serta kisah-kisah legendaris masa lampau. Tentu saja kisah Perang Bratayudha disebut, satu kerajaan Astina di bawah Kurawa dengan rajanya Duryudana, si sulung dari Kurawa sedang lainnya Kerajaan Amarta, di bawah Pandawa dengan Yudhistira, si sulung dari Pandawa. Buminya sudah ditaburi dengan darah dendam dan pembalasan. Semua hanya lanjutan darah Kurusetra, di ama nenenk moyang mereka, saudara sesama, berperang habis-habisan meninggalkan warisan dendam, sampai sekarang. Sabdopalon-Nayagenggong berkata, “Sesungguhnya sejarah hanya berulang. Apa yang akan terjadi kelak, telah terjadi sekarang. Dan apa yang terjadi sekarabf, telah terjadi dulu. Hamba tak perlu menyebut satu per satu riwayat pertikaian di Tanah Jawa yang tiada hentinya itu…”
Jadi memang sudah turun-temurun rasa itu, mengapa ia dan kaumnya selalu tergoda untuk mencari harta dan kekayaan yang berlebih-lebihan. Padahal leluhur mengajarkan berulang-ulang, untuk menemukan tao, jalan kebahagiaan itu, manusia tak boleh terikat akan benda atau harta apa pun jua.
Mega-mega berarak, membawa lamunannya terbang jauh ke padang bunga. Segala bunga tumbuh di sana. Satu-satunya bunga yang di sana taka da adalah mawar hitam yang kini menjadi wajahnya. Di manakah ua ketika tiada lagi wajahnya? Ia pun bertanya, siapa ia sesungguhnya, dan mengapa ia bernama Putri Cina?
Ngomongi Jawa tentu saja kisah wayang kulit disampaikan. Kyai Dhudha Nanang Nunung, “Semar punika saking basa samar, mapan pranyata Kyai Lurah Semar punika wujudira samar.” Semar itu dari kata samar, memang ternyata Kyai Lurah Semar itu wujudnya adalah samar.
Kemegahan Majapahir berakhir lalu muncullah kerajaan Islam. Raden Patah dipanggil dengan nama Jim Bun, nama Cina itu disandang olehnya saat sebagai Sultan Demak. Nama lengkapnya, Jimbun Ngabudir-Rahman. Para wali berpesan hendaknya raja yang baru bisa menjadi jembatan antara Jawa lama menuju Jawa baru, antara agama lama menuju agama yang baru.
Settingnya di era Kerajaan Medang Kamulan Baru atau nantinya diplesetkan jadi Pedang Kemulan. Awalnya damai dipimpin oleh Prabu Murhardo, tapi berjalannya waktu rakyat muak sama pemerintahan kerajaan sebab banyak huru-hara. Adalah Giok Tien, pemain ketoprak keliling Sekar Kastubo, gadis keturun Cina ini memainkan perannya dengan cantik. Memikat banyak penonton, dan salah satu penontonnya Radi Prawiro bahkan sampai obsesif mencintai membabi buta, ia mengejar sang Putri Cina ke manapun, menuntut untuk dijadikan istri.
Lalu muncul penonton yang juga mengaguminya bernama Setyoko. Ia sukses mempersunting dan membuat Giok Tien rela meninggalkan dunia seni yang ia cintai saat di puncak karier. Hati-hati bila sedang di puncak kehebatanmu. Sebab justru di puncak kehebatanmu itulah berada di titik kejatuhanmu. Di negeri ini kemunafikan adalah kekuatan luar biasa, yang bisa menjatuhkan siapa saja yang terjerat oleh hukum kemunafikan itu.
Sebelum pamit sama teman-teman teater-nya ia memerankan kisah legendaris Cina yang tragis. Eng Tay dan Sam Pek. Dulu memang di rumah orang-orang Jawa, kayu jati yang menjadi soko guru rumahnya selalu di-patek dengan bamboo sehingga keduanya menyatu. Persatuan itulah yang menyangga kokohnya rumah tersebut. Melambangkan agar keluarga yang menghuninya tak terpisah seperti cinta Sam Pek dan Eng Tay.
Lalu kisah ini seolah berakhir bahagia, mereka menikah dan pindah kota. Namun ini jauh dari kata itu, sebab kerajaan yang penuh huru-hara ini lalu membuat kebijakan yang tak bijak, mereka membuat aturan untuk menyingkirkan warga keturunan Cina. Cerita pilu ini sudah turun-temurun, langsung saya teringat tragedy 1998. Hiks, sedih banget. Kata K’ung Tzu, kemanusiaan itu melebihi api dan air. Manusia bis amati karena air dan api. Tapi kemanusiaan terus abadi, tak bakal mati oleh apa pun, juga oleh air dan api.
Kali ini kita di masa yang huru-hara dengan nama lain, yang ternyata Setyoko sudah menjadi Gurdo Paksi dan Radi Prawiro menjadi Joyo Sumengah. Keduanya ada di lingkaran pemerintahan tapi Setyoko masih lebih tinggi pangkatnya. Apes, saat itu ia mundur dan keris utama senapati ia lepas. Dan tragedi cinta segitiga ini-pun terjadi. Sedih, hiks…
Banyak hal ingin disampaikan. Benar-benar kisahnya liar. Kepercayaan di banyak area muncul. Para peziarah Gunung Kawi percaya, siapa kejatuhan buah Shianto di pelataran pesarean Eyang Djoego, ia akan mendapat rezeki, keberhasilan, dan kebahagiaan. Namun seolah memang dipadatkan.
Kata-kata mutiara juga berserakan. Liu Tsung-yuan, penyair kuno Cina bilang, “Aku tahu, usia tua akan tiba. Usia itu akan datang dengan tiba-tiba. Tahun ini mungkin aku belum menjadi lemah, tapi lama-lama ketuaan itu akan tiba juga. Gigi-gigiku akan berguguran, dan rambutku akan rontok…”
Manusia yang bahagia adalah dia yang berani lepas dari dunia, tapi tanpa membenci dunia. Seperti kata penyair Tao Yuan Ming, “teguklah dengan nikmat anggur dunia, tapi sekaligus jangan kauikatkan dirimu oada dunia, kehormatan, dan hartanya, sampai kau dibelenggunya.“
Ojo dumeh, maksudnya kalau sudah sakti dan berkuasa janganlah lupa bahwa wong sekti ana kalane apes, pangkat bisa minggat, wong pinter bisa lali, rejeko bisa mati, donya bisa lunga… Dadi luhur iku ora gampang, sebab wong luhur iku wong sing asor. Menjadi luhur itu tidak mudah, sebab orang yang luhur itu adalah orang yang rendah hati.
Suatu hari buku ini akan jadi cult, sebab kisahnya menarik tapi tak sampai meledak di pasaran. Diskusi literasi yang disaji juga jarang kutemui, justru nama besar Sindhunata yang lebih mentereng ketimbang novel ini. Jelas rekomendari, nikmatilah sebelum terlambat. Dunia dengan segala keterbatasannya.
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, Sj lahir di kota Batu, 12 Mei 1952. Karya klasik terkenalnya, Anak Bajang Menggiring Angin. Tulisannya sudah wara-wiri di media massa, paling sering jelas di Kompas karena memang beliau wartawan Kompas. Telah menulis karya ilmiah, Dilema Usaha Manusia Rasional, Hoffen auf den Ratu Adil-Das eschatologische Motiv de “Gerechten Konigs” Bauernprotest auf Java wahrend des 19 und zu Beginn de 20 Jahrhundrerts (Menanti Ratu Adil-Motif Eskatologis dari Ratu Adil dalam Protes Petani di Jawa Abad ke-19 dan awal Abad ke-20), Sakitnya Melahirkan Demokrasi (1999), dan Kambing Hitam, Teori Rene Girard (2006). Putri Cina adalah buku pertama beliau yang saya baca, dan akan kubaca beberapa karyanya setelah ini. ingat, kepuasan di pengalaman pertama akan mengantar kita ke pengalaman berikutnya oleh penulis yang sama, yang mungkin bukan karya ilmiahnya, setidaknya esai atau buku fiksi lainnya.
Catatan ini saya tutup dengan kutipan dari Chuang Tzu yang pernah berkata, “Jika saat berpulang telah tiba, aku hanya membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja.” Untuk apakah semuanya, bila akhirnya manusia cukup dibaringkan di atas daun ketika ia untuk selamanya tidur? Sesuai endingnya yang pilu nan surealis…
Putri Cina | by Sindhunata | 617173013 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Ilustrasi dan desain sampul Orkha Creative | copyright 2017 | Cetakan ketiga, November 2017 | ISBN 9789792230796 | 304 hlm; 20 cm | Skor: 4/5
“Mengenang Koo Soen Ling, ibuku”
Karawang, 150721 – Netral – Terompet Iblis
#30HariMenulis #ReviewBuku #15 #Juli2021
Ping balik: Juni2021 Baca | Lazione Budy
Ping balik: 130 Buku Rentang Setahun | Lazione Budy