
Isinga: Roman Papua #11
“Mulai sekarang kamu tidak boleh makan pandan merah, Irewa. Karena warna merah dari buah pandan merah adalah darah menstruasi.”
Buku pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa lagi, saya dalam proses menikmati semua pemenangnya. Bagaimana dengan Isinga? Tak istimewa, tak juga buruk. Di tengahnya, buku baik dengan penyampaian kisah lurus tanpa banyak gelombang. Sama seperti Maryam, yang jelas jauh di bawah Raden Mandasia – umpamanya, tapi jelas sekali di atas Pulang yang itu.
Kisahnya tentang sejoli anak asli Papua yang saling mencinta namun kandas hubungan sebab keadaan yang memaksa. Bagaiman hubungan itu dicipta, dirasa, lalu ambyar berkeping-keping. Yang cewek terus menjaga asa hingga akhirnya perang pecah antar kampung lalu ia diculik dan dijadikan alat damai. Yang cowok juga menjaga asa dalam diam, memilih menyepi pergi dari kampung melalangbuana untuk meredakan sedih, dan akhirnya menjadi ‘orang’. Sejatinya hanya itu, tapi karena ini tentang cinta yang tak sampai dengan balutan budaya daerah yang kental, kisahnya diputar jauh bertitian dengan sejarah Indonesia.
Isinga / isigna / nisinga artinya (ibu) atau perempuan di Papua. Ini kisah yang sangat berkaitan dengan perempuan-perempuan tangguh. Menjadikannya sebuah perjalanan hidup dan makna di baliknya. Bagaimana seorang istri seolah hanya memproduksi keturunan, melayani suami, menjaga kebun dan menafkahinya seadanya. Menjadi manusia pasif di tengah himpitan paksa keadaan. Papua Nugini di masa Orde Baru yang keras.
Meage dan Irewa adalah sepasang kekasih, mereka tampak sangat cocok. Setelah upacara adat yang menyatakan mereka sudah remaja, sudah memiliki tangguh jawab moral terhadap lingkungan mereka seolah sudah janji akan menjadi pasangan hidup. Ada pemuda dari kampung sebelah yang suka pada Irewa. Malom adalah duda, ia mengirim makanan dan benda-benda yang sejatinya ditolak Irewa.
Maka dengan jalan kekerasan Aitubu dan Habone-lah harapan Malon coba diperjuangkan. Diculik, sehingga membuat kedua desa berperang. Banyak pemuda dan orangtua meninggal dunia. Setelah beberapa hari berlangsung tetua adat mengadakan perudingan, dan karena jumlah korban sama maka diputuskan perdamaian melalui Bapa Labobar yang dituakan. Irewa dijadikan simbol perdamaian sehingga ia mau tak mau menjadi istri Malon. Sedih dan kecewa, bukankah seorang wanita bisa memilih siapa suaminya? Ya, tapi kamu istimewa. Huhuhuhu…
Sementara Meage malah meninggal desa, ia masuk hutan dan berjalan entah ke mana. keadaan menciptanya marah, dan keputusan menyendiri, menjauh dari konflik mengantarnya menjadi warga Mbireri bersama orang-orang Yebikon. Ia menjadi guru, ia bertemu teman sekolahnya dulu. Mengajari anak-anak baca tulis, dan segala ilmu pengetahuan yang ia ketahui. Membaca, menulis, hal-hal yang berkaitan dengan pertanian, dan juga agama. Dua fakta ini seolah menjadi dua kutub berbeda, menjauh dan tak tersentuh. Meage Aromba, Meage si Pemburu.
Irewa mengalami banyak sekali kekerasan rumah tangga, apes benar nasibnya. Dituntut melahirkan banyak anak, beberapa keguguran, lalu jiwanya memberontak. Masa menciptanya dewasa dengan cepat, dan kenyataan pahit yang harus dialamainya menjelma amarah. Namun bisa apa seorang istri/perempuan yang menikah karena terpaksa? Dunia belum semodern sekarang.
Kejutan, atau sebuah fakta unik dicipta. Sejatinya Irewa memiliki saudara kembar. Ceritanya dulu kalau ada anak kembar salah satunya harus dibunuh sebab keturunan setan, karena orangtua Irewa tak tega, ia lantas menghanyutkan di sungai. Bersepakat dengan seorang suster untuk membesarkannya. Mengadopsinya. Adalah Jingi yang kini menjadi perawat, ia tumbuh kembang dalam balutan kasih sayang. Pendidikan tinggi, dan berpikiran terbuka. Jadi saat Irewa memutuskan pulang karena sakit sebab menanggung penderitaan kekerasan suami. Ia bertemu kembarannya sungguh naas. Beda nasib, beda perlakuan. Lihat, dunia memang tak semulus harap dan terkadang betapa nasib kita ditentukan oleh hal-hal remeh.
Meage lalu melebarkan sayapnya, menjadi pemain musik keliling Farandus, menjadi akrab sama ketuanya Bapa Rumanus. Dengan menjadi seniman ketenangan yang ia dapat awalnya menyelingkupi, lantas politik dan keadaan Papua di era Orde Baru membuatnya harus gerilya. Bapa Rumanus ditangkap karena dianggap memainkan musik yang mengejek pemerintahan, bahkan akhirnya mati dibunuh. Musik keliling Farandus akhirnya dipercayakan kepada Meage. Dan petualangannya melalangbuana melebihi imajinasinya, ke Eropa dan segala hal dipermudah. Dunia tersenyum padanya.
Jelang akhir dengan mudah bisa ditebak kisah ini menuju ke mana, penyatuan dan segala pengampunan. Memasuki era 2000-an Indonesia dengan milenium baru, Papua dengan lebih terbuka di masa Reformasi, dan secara keseluruhan banyak kemudahan. Pasar di Papua, era keterbukaan, komunikasi lebih mudah, transpotasi lebih cepat, informasi menjadi barang yang murah. Menyatukan dua jiwa yang seharusnya memang bersatu. Endingnya mencoba puitis tapi jelas tak dalam. Dengan membawa pohon oak sebagai perlambang. Pohon oak yang merupakan pohon hutan kayu keras. Bisa digunakan untuk membuat perabot. Ini tergolong mahal dan langka. Dan diibaratkan menangis… dan juga tifa yang menggema di gunung-gunung. Kemanapun kau pergi, kembali ke tanah kelahiran adalah tujuan akhir.
Banyak kebudayaan daerah diangkat. Upacara wit atau inisiasi yang merupakan upacara anak masuk ke alam dewasa menjadi landasan bagaimana masa telah menjadikannya memiliki tanggung jawab. Upacara muruwal, upacara untuk khusus lelaki. Sakral. Hanya sekali dalam dua puluh atau tiga puluh tahun, mereka yang sudah di-wit harus mengikutinya.
Beberapa fakta bahwa orang-orang Barat sudah mendarat di sana melakukan misi kemanusiaan patut dihargai. Mereka jauh melalangbuana dari Eropa untuk tinggal dan menyatu dalam hutan. Terutama adalah medis yang selisih paha,. Para dukun akan menyembuhkan dengan mantra dan daun-daun hutan. Sedang dokter menggunakan obat-obatan yang orang-orang merasa tak yakin akan kegunaannya. Dunia kuno melawan modernitas.
Adat dan budaya yang disaji saat damai terdengar menyenangkan. Klasik dalam keterbatasan. Hidup penuh kegembiraan. Bernyanyi, bersenandung, berburu hewan, dan segala hal yang sungguh kalau dicerita seperti petualangan di alam liar dengan keotentikan plot seru.
Betis adalah lambang kakuatan bagi manusia di bawah pegunungan Megafu. Betatas dan sayuran adalah sarana dalam tradisi Aitubu untuk mengetahui isi hati perempuan yang dicintai. Rumah yowi adalah inti, di situlah pusat kegiatan masyarakat Aitubu. Hobone adalah negeri yang orang-orangnya senang menyanyi.
Nah, tema feminist jelas kental sebab judulnya saja sudah ibu/perempuan Papua. Sejatinya perempuan ideal yang disampaikan warga saja dengan kriteria pada umumnya di dunia belahan manapun. Perempuan yang baik itu mesti pendiam. Tak pernah mengeluh. Tak pernah protes. Tak pernah membantah. Tak pernah bersedih. Tak berbicara kasar. Tak menyakiti hati orang lain. Tak suka bertengkar. Tak suka marah. Tak mendendam. Dst…
Paling sesak adalah kewajiban melahirkan anak banyak. Bagi perempuan Megafu, melahirkan adalah peristiwa biasa. Seperti peristiwa alam yang lain. Perempuan sudah tidak dihargai. Oleh karenanya perempuan dihargai harus oleh perempuan itu sendiri. Betapa pentingnya menahan laju populasi, betapa kesehatan dan keselamatan seseorang harus dan wajib menjadi prioritas. Bambu adalah lambang banyak keturunan.
Puas menikmatinya? Ya setidaknya ekspektasi terpenuhi. Rasa penasaran itu tersalurkan. Salah satu pemenang KSK sudah kulahap, dan daftar lainnya segera menyusul. Kemarin sudah beli Mandi Api, dan beberapa kali lihat postingan jualan buku Kitab Omong Kosong. Nyamannya kita hidup di era digital, kemudahan menikmati karya begitu menggelora. Isinga jelas sukses menuntaskan dahaga ini. buku pertama Dorothea Rosa Herliany yang kubaca, dan bukan yang terakhir.
Isinga: Roman Papua | by Dorothea Rosa Herliany | GM 20101150002 | Copyright 2014 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan pertama, Januari 2015 | Desain sampul Teguh Santosa | ISBN 9786020312620 | Skor: 3.5/5
Dari ibu untuk ibu, buku ini dipersembahkan untuk para isinga / isigna / nisinga (ibu) atau perempuan di Papua
Karawang, 110721 – Hanson – Where’s The Love