
“Semua hal-hal menakutkan itu berasal dari pikiran. Jadi, buat semuanya lebih mudah atau berhenti memikirkannya.”
Finally sampai di angka 30. Hufh… melelahkan sekali. Event Juni terhenti tanggal 9, tanggal 10 terpapar corona dan harus rawat isoman, baru di tanggal 10 Juli kulanjutkan. Walaupun
Juli ada 31 hari, saya tetap lakukan #30HariMenulis sahaja, dan berhasil mengulas 15 buku lokal dan 15 buku terjemahan. Lega…
Sherina. Nama yang eksotis kala disebut atau diketik. Menggema dalam telinga, gaungnya membuat hatiku bergetar. Ini Sherina yang lain. Sherina Salsabila, saya mengenalnya di dunia maya, berteman, berkomentar, saling sapa dan diskusi sejak masa ia sekolah. Sampai akhirnya lulus dan menentukan nasibnya melanjutkan pendidikan di mana, Turki menjadi opsi ideal. Dan setelahnya mulai menyepi dalam bertegur sapa.
Ini semacam catatan sekolah kelas 12, atau kalau zaman kita kelas 3 SMA sederajat. Jelas sekali berdasarkan kisah nyata, pengalaman pribadi Sherina yang dituangkan dalam jurnal lalu dituangkan lagi dalam novel. Aku kesulitan mengingat hal-hal sederhana maupun detail dalam jangka waktu panjang, maka aku harus buru-buru memindahkannya ke dalam jurnal sebelum terlupa. Tak masalah, justru terasa nyata. Masalahnya hanya, konflik yang disodorkan sangat lemah, atau malah bisa dibilang nyaris tak ada yang krusial.
Kisahnya tentang Qeenan dan Azaleya. Jelas merujuk pada judul yang plesetan Question and Answer. Azaleya atau akrab dipanggil Ale adalah penulis remaja, bukunya menyebar dan best seller, ia adalah kebanggaan sekolah maka beberapa kali mendapat dispensasi masuk sekolah, malah nyaman sebab ia mengingin home schooling yang tak direstui. Maka sekolah kelas 12 ini bak terpaksa. Tahu, apa yang akhirnya nanti membuatnya tak menyesal sekolah? Tentu saja cinta, tema yang umum dan manusiawi, dan sangat wajar untuk remaja.
Karakter Ale sendiri tampak unik, ideal, atau bahkan malah terlihat sempurna. Keanehan yang ditampilkan masih wajar kok. “Aku terlalu banyak berpikir dan mengoceh sendiri di dalam kepalaku seharian ini. Ditambah lagi waktu tidur siangku yang tersita karena hal-hal tidak penting dan menyebalkan.” Banyak remaja melakukannya. Sebal akan hal-hal yang bagi kebanyakan orangtua, terdengar sepele.
Teman-teman sekolahnya juga update, generasi milenial dengan nama-nama bagus, bukan Indonesia banget. Referensi nama sudah jauh terlempar ke Barat. Arin, Qeenan, Frista, Reezi, Tiaz, Angie, Enrico, Dave, Way, Rangga, Firyal, dst. Tak ada nama budi, anto, tuti, agus, asep. Nama-nama guru mungkin masih nama-nama Indonesia zaman dulu semisal Bu Nunuk, tapi tetap saja pemilihan nama yang mungkin sepele, akan tampak bombastis.
Nah, Ale jatuh hati sama Qeenan. Aku menangis untuk kebodohanku, untuk ketidakberdayaanku, untuk hari-hari sekolah yang tak pernah membuatku betah. Namun sejak jatuh hati, ia jadi bersemangat. Beberapa masalah terjadi, dan masih sangat wajar. Pening mengerjakan tugas, berbagi makanan, dan mungkin yang paling parah adalah pencurian HP, bukan android abal-abal merek China, tapi Iphone gaes. Jumat pagi itu kebetulan Ale datang terlambat, dan pelajaran jalan sehat. Ia santuy saja masuk kelas, dan ia berada di TKP. Sempat muntah dan dibawa ke UKS, lalu dituduh, nyatanya malah jadi saksi penting.
Ale terbiasa menulis banyak hal sederhana yang terjadi di sekeliling dalam jurnal. Curhat yang terstruktur. Maka saat ia menyobek dan hilang, ia was-was. Sobekan kertas yang dibaca Qeenan adalah sobekan kertas jurnalku yang kucari kemana-mana. oke, itu hiperbola. Tapi aku sungguh panik kala itu. Semuanya begitu gamblang aku tuliskan di sana. Ya, siapa yang tak panik orang yang dicinta membaca curhatan? Jantungku benar-benar berdebar, tapi debar kali ini berbeda. Tidak menyakitkan dan membuat perasaanku gelisah sedikit pun.
Walaupun itu hanya latihan, aku menyelesaikannya dengan baik. Qeenan adalah anak orang kaya, ia berniat lanjut ke Angkatan Udara. Lari jadi kebutuhan, futsal jadi hobi, tampak istimewa, mungkin juga tinggi, tampan, dan cool (bayangkan aktor Korea). Semacam itulah. Dari Qeenan, Ale memutuskan, kalau lari bisa membuat tubuh dan pikiran menjadi lebih sehat, aku jadi semangat membuat jadwal latihan fisik di dalam jurnalku.
Karakter cool ini tentu saja banyak yang naksir. “… Definisi bahagia kita kan berbeda.” Pada akhirnya Ale patah hati dalam adegan batagor. Ah dunia remaja yang absurd, walaupun kalau kita ditempatkan di usia yang sama akan melakukan hal yang sama. Menangis karena cinta, menangis karena patah hati. Sedih di semua usia itu wajar kok.
Banyak hal terasa umum. “Karena dia memanggil ‘kamu’ kepadaku, maka aku harus ber’aku-kamu’juga. Iya’kan?” pengalaman saya pas awal merantau, lu-gue dan kamu-aku ternyata bisa membuat persepsi lain dalam hubungan.
Nostalgia cara mengerjakan soal: Diketahui, Ditanya, Dijawab. Ya ampun sudah lama sekali saya tak membaca tulisan macam ini. kirain zaman berubah, cara mengerjakan soal juga makin canggih, ternyata pola menjawab soal jenis ini masih berlaku.
Yang tak mungkin kita temui saat dulu sekolah jelas adalah gadget. HP mengubah banyak hal, teknologi tak dipungkiri membuat kemudahan yang luar biasa. Grup line, ‘Istri Pejabat’. Contohnya hal macam itu tak akan terjadi tahun 1990-an. Mencari keterangan teman, dulu bak detektif langsung ketemu, mengintip, buka catatan, ah kuno sekali. Membuka-buka sosmed seseorang mencari data dan keterangan, seolah agen FBI. Pokonya HP-lah benda paling mujarab untuk banyak sekali hubungan, sosial, politik, budaya, agama, dan tentu saja pendidikan.
Tema yang lumayan bagus sebenarnya ada di perisak, atau lebih dikenal dengan bullying. Ada teman Ale yang kena bully dengan kata-kata kasar. “Sejak SD kayaknya. Awalnya sedih banget, rasanya aku orang paling menyedihkan. Tapi lama-lama ya terbiasa, lagian mereka juga pasti bakal capek sendiri. Dan ya gitu deh. Aku udah gak masukin hati lagi ejek-ejekan itu.”
Menikmati proses atau perjalanan pulang pergi sekolah itu bagus. Apalagi pagi yang cerah menghirup udara sejuk. “Karena di sepanjang jalan kau bisa terus menerus menatap langit yang berubah menjadi terang perlahan. Menghasilkan gradasi warna yang penuh estetika.” Bukan hanya untuk anak sekolah, kita juga harus menikmati proses itu.
Novel ini kubeli saat ulang tahunnya ke 20, Desember lalu. Saat mengajak Hermione jalan-jalan ke Gramedia Karawang menonton buku. Tak butuh waktu lama membacanya, hanya saja ketumpuk sama antrian lain, pending hingga bulan ketiga. Karena memang ini kan kisah remaja, cara mencernanya menempatkan diri sebagai anak sekolah yang hingar bingar putih abu-abu, tak perlu berkeluh kesah dan berkerut kening, semuanya mengalir lancar bak aliran sungai yang jernih.
Untuk aku yang pernah begitu bahagia. Untuk jatuh hatiku yang menyenangkan, dan patah hatiku yang amat membingungkan. “Lihat instagram kamu, terus kadang ada yang berkomentar bilang, ‘Wah, keren Ale’, gitu.” Bukankah bisa kita ubah menjadi, buka IG @sheracroft lalu bilang, “Wah, keren Sher!”
Q & A | by Sherina Salsabila | Editor Dono Salim (@domo_salimz) | Penata letak Dwi Watini | Penyelaras Tata Letak Tri Indah Marty & Zulfa Hanifah | Pendesain sampul Wilma Prima | Penyelaras Sampul Fahmi Fauzi | Ilustrasi tokoh Wilma Prima | Ilustrasi gambar Freepik.com | Penerbit Moka | Cetakan pertama, 2018 | ISBN 978-602-51993-5-6 | VI + 238 hlm; 13 x 19 cm | Skor: 3.5/5
Karawang, 300721 – Owl City – Mobile Orchestra