The Alchemist #7

#30HariMenulis #ReviewBuku #7 #Juni2021

Kalau kau memulai dengan menjanjikan sesuatu yang belum kamu miliki, kau akan kehilangan hasratmu untuk berusaha memperolehnya.”

Buku kedua Paulo Coelho yang kubaca, yang pertama mengecewakan, yang ini hanya sedikit peningkatan, intinya sama: ceramah kehidupan. So boring, padahal kabarnya ini buku terbaiknya? Kesempatan ini berakhir dengan biasa lagi, mungkin memang kurang cocok sama gaya bahasa dan alur yang ditawarkan. Karena di rak buku masih ada satu buku lagi, jadi nantinya di blog ini bakal ada satu review lagi darinya. Setelahnya, saya sepertinya tak akan beli, kalau baca lagi bisa saja dari pinjam atau dapat free, yang jelas dua sudah cukup mewakili. Seperti Tere Liye, beberapa kali sudah cukup mewakili gaya tulisnya.

Ini tentang penggembala memenuhi takdir, ia menjalankan kehidupan penuh filosofis, mendapat mimpi di sebuah gereja tua tentang harta karun di Piramida Mesir. Merentang jauh dari tanah Andalusia Spanyol. Namun setelah mendapat wejangan dari cewek gipsi akan tafsir mimpi, dan seorang raja yang menyamar menemui jelata, dalam wujud orang tua, raja Salem bernama Melkisedek. Ia lalu berupaya mewujudkan mimpinya. Menjual semua kambingnya, melakukan perjalanan, menemui banyak orang asing, salah satunya Sang Alchemist, mengubah banyak hal terutama pemikiran akan hidup. Andai seorang anak yang menunjukkannya padamu, berarti mereka ada. “Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?”

Santiago, anak gembala itu lalu memertaruhkan segalanya. Berpetualang demi gadis pujaan. Demi kehidupan yang lebih baik, ia memulai petualangan dengan naik kapal menyeberangi lautan. Di negeri asing dengan kantung penuh uang, sungguh berbahaya. Dia punya cukup uang di kantongnya, dan dia tahu uang bisa membawa keajaiban, orang yang punya uang tidak pernah kekurangan teman. Ia bertanya kepada orang asing di mana piramida. Dan ada biayanya, singkatnya ia ketipu. Dia merasa iba pada dirinya sendiri dan meratapi nasibnya, karena hidupnya berubah mendadak dan secara drastis pula. “Tadi aku seperti orang-orang pada umumnya – hanya melihat apa yang ingin kulihat, bukan apa yang sebenarnya terjadi.” Uang yang harusnya buat unta, barang-barang bekal perjalanan, dan makanan itu ludes seketika. Aku tahu ini adalah kesia-siaan atas kesia-siaan. “Beginilah dusta terbesar itu; bahwa pada satu titik dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada kita, dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib. Demikianlah dusta terbesar itu.”

Hampir saja menyesal dan menyerah, tapi ia memang ulet. Santiago lalu memulai lagi dari awal. Bekerja kepada pedagang Kristal yang muram. Modal kejujuran dan kebaikan hati melimpah, ia mengubah toko sepi itu menjadi ramai penuh pengunjung. Dalam hidup ini, justru hal-hal sederhanalah yang paling luar biasa; hanya orang-orang bijak yang dapat memahaminya.

Setelah uang terkumpul, pilihannya antara pulang ke Spanyol atau melanjutkan perjalanan. Ia memilih opsi kedua. Ia teringat momen kupu-kupu. Seekor kupu-kupu terbang di antara dirinya dan orang tua itu. Dia teringat ucapan kakeknya: kupu-kupu merupakan pertanda bagus. Seperti jangkrik, dan ekspektasi-ekspektasi; seperti kadal dan daun semangi berhelai empat. Ia masih memegang keyakinan mimpi itu. Setahun menjadi pelayan toko dirasa cukup, pamit dan petualangan dilanjutkan. Ia ikut dengan musafir demi menyeberangi gurun berbahaya.

Orang tua itu telah berbicara tentang tanda-tanda dan pertanda-pertanda. Orang memang suka bicara yang tidak-tidak, kadang lebih enak bersama domba-domba yang tak pernah mengatakan apa-apa. Dan lebih enak lagi sendirian saja bersama buku-buku. Buku-buku memaparkan cerita-cerita luar biasa saat kita ingin mendengarkannya.

Ketika ia menemui jalan buntu, atau ketika memiliki dua opsi ia mengeluarkan jimatnya. Batu dalam dalam alkitab bernama Urim dan Turmim, konon diperbolehkan oleh Tuhan. Ketika pilih kanan atau kiri, dan batu itu kasih pilihan, ia ikuti.

Perjalanan melintasi gurun itu menempatkannya berkenalan dengan orang Inggris yang memiliki keyakinan akan bertemu dengan Sang Alkimia. Alkemis adalah orang yang memahami alam dan dunia. Kalau mau, dia bisa menghancurkan perkemahan ini dengan kekuatan angin. Anehnya saat ditempa badai dan mereka tertawan dalam bahaya begal, Santiago-lah yang berhasil mengenal Sang Alkemis. Dewa-dewa tidak seharusnya mempunyai hasrat, sebab mereka tidak memiliki takdir.

Semua gembala tahu betul pentingnya kesabaran. Aku takut kalau impianku menjadi kenyataan, aku jadi tidak punya alasan untuk hidup. Jadi aku memilih mengangan-angankannya saja. Tak semua orang bahagia kala impiannya menjadi kenyataan. Kadang derasnya aliran sungai tak bisa dihambat.

Intuisi sebenarnya adalah peleburan jiwa dengan begitu saja ke dalam arus kehidupan universal, di mana sejarah semua manusia saling terkait, dan kita bisa mengetahui segalanya, sebab segalanya telah tertulis di sana. Sejarah dunia ditulis oleh tangan yang sama. “Hati-hati dengan ramalanmu, apa yang telah digariskan tak mungkin bisa diubah.”

Santiago sendiri akhirnya benar-benar memenuhi takdirnya. Halang rintang yang dicipta hanyalah segelintir masa, keyakinan dan tekadnya yang kuat menghantarnya di Piramida, lalu di mana harta karunnya tersembunyi. Bangunan tua itu megah dan luas. Ia harus mencari lagi, hanya petunjuk bahwa galilah di sana. Lantas dengan mudahnya ia lagi-lagi bertemu dengan orang asing yang juga bermimpi tentang harta karun. Hufh… kejutan? Biasa saja. Tak memukau, tak sampai membuat jantung berdebar sebab ini buku remaja dengan akhir penuh keceriaan.

Endingnya luar biasa bahagia, di sekeliling pohon kurma Al-Fayoum dan Fatima yang melengkapi. Ah, hidup tak semanis itu kawan. Aku petualang yang hendak mencari harta karun. Dan segalanya berhasil sempurna. Ah, dunia fiksi terlalu indah… seolah buku motivasi yang tayang di prime time,Jangan menyerah pada rasa takutmu. Kalau kau menyerah, kau tidak akan bisa berkomunikasi dengan hatimu.”

Sang Alkemis | by Paulo Coelho | Diterjemahkan dari The Alchemist (judul asli O Alquimista) | Copyright 1988 | Alih bahasa Tanti Lesmana | Desain dan ilustrasi sampul Dina Chandra | GM 402 05.033 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | November 2005 | Cetakan kedelapan, Mei 2009 | 216 hlm.; 20 cm | ISBN-10: 979-22-1664-2 | ISBN-13: 978-979-22-1664-6 | Skor: 3/5

Karawang, 160321 – 130421 – 070521 – Christy Baron – Round Midnight

Thx to Lumbung Buku, Bdg