#30HariMenulis #ReviewBuku #2 #Juni2021
“Sepandai-pandainya kamu memelihara kambing, kamu kan bukan dokter hewan. Mana tahu kalau embik-embik itu karena matanya sakit, sementara aku juga lihat mata kambing itu merah saja tidak, ya diikhlaskanlah.”
Kumpulan cerpen dari Penulis yang menghantar kita lewat novel terkenal Dawuk. Sama bagusnya, rerata kisah di cerpen membumi, menjadikan kita bisa dengan mudah membayangkan, mengira-ira bagaimana rasanya menjadi bagian plot. Sebagian cerita tentang kucing, binatang rumah kesukaan banyak orang. Sebagian cerita tentang kera, yang aneh dan misterius. Sebagian lagi tentang kambing, yang akan dikurbankan dan yang dipelihara dengan cinta terpaksa. Lika-liku kehidupan yang umum, normal, menghantui. Karena tipis, kubaca kilat di akhir bulan juga selesai, pasca nonton Oscar. Kukupas sedikit tiap cerpennya.
#1. Moh Anas Abdullah dan Mesin Ketiknya
Pembuka yang mantab, sebab ide cerita bisa datang dari mana saja. Bagaimana kalau suara-suara di dalam kepala yang berisik itu yang menghantui penulis. Ya uang, tulisannya harus menghasilkan uang. Dengan dalih keuangan, seorang penulis idealis berubah haluan menjadi penulis cerita seks, cerita semacam itu laku keras, maka ia memakai nama pena agar tak malu. Dengan komposisi itu harusnya aman, tapi suara-suara dari dalam itu terus saja mengusik, dan akhirnya muncul keputusan ekstrem guna mencipta sunyi.
Apa yang bisa diberikan cerita-cerita tidak laku itu? Kepahlawanan? Rasa sok suci yang menggelembungkan dada? Kebanggaan oleh pujian yang cuma-dua? Idealism itu tidak nyata, Tik.
#2. Jeritan Tengah Malam
Cerita kedua juga tak kalah ganasnya. Membunuh gerombolan kera karena merasa terganggu, panen yang gagal dan sekelompok petani ini memutuskan membumihanguskan kawanan binatang di puncak bukit. Kejam, sadis, hina. Benar-benar tak berperikeraan, tapi segalanya memang tak mudah. Jeritan itu malah mencipta akhir yang lain. Bagaimana kalau, kalau, dan pengandaian lain yang patut disesali. Kera kecil itu menjelma berisik dalam kepala.
#3. Melati
Ini cerita tragis pula, Pak Wi dan kucingnya bernama Melati yang hilang entah kemana. Setelah dicari lama, akhirnya dipastikan Melati mati. Sebab dan akibatnya sebaiknya dibaca langsung, sungguh dunia ini penuh dengan kegilaan dan traumatisme. Kehilangan (orang) terkasih itu berat, termasuk memanusiakan kucing. Kehilangan kucing terkasih itu berat.
#4. Mufsidin Dimakan Kucing
Ini kucing lagi, orang gila yang tersembuhkan setelah makan lima ekor kucing. Mufsidin yang bertobat, tapi kebablasan, setiap menemukan kesalahan di depannya langsung dihardik dan diluruskan, risi dan membuat geram. Ia pernah kena pasung, pernah pula membubarkan panggung pengantin yang mengganggu pengguna jalan, ia dianggap gila. Dan kisah dari Malaysia dianggap menutup yang pas, menyedihkan.
#5. Jin-jin Itu Tak Lagi Sekolah
Semacam protes atau kritik pendidikan kita yang amburadul. Jin-jin yang turut sekolah, lalu berjalannya waktu tak mau sekolah. Iri hati itu musuh jahat, walaupun dari dunia sebelah. Dan pendidikan dua arah yang canggung serta mengkhawatirkan. Dasar antek PS!
#6. Belajar Mencintai Kambing
Lucu, seru, ironis. Saya ketik penuh dua paragraf di back cover: “Saat musim libur sekolah itu, ia berharap dibelikan sepeda. Namun, bapaknya malah membelikannya seekor kambing.
“Kambing bisa membuatmu lebih dewasa, sedangkan sepeda akan membuatmu tetap jadi kanak-kanak.” Demikian bapaknya memberi alasan.
Nah, sebenarnya sinopsis singkat ini cukup jelas, tapi tetap saja sesak di akhir. hiks, kambing memang tak sejahat manusia.
#7. Wadi
Kisah paling aneh. Thriller, horor, pembunuhan. Dikisahkan dengan absurditas, bagaimana kelahiran anak yang saling silang. Wadi yang menyetubuhi ibunya? Istri yang memiliki benih bukan dari Wadi? Dan segala narasi berkelindan. Malam yang aneh dan pagi yang bahagia itu diakhiri dengan saat hari menjelang siang. Dunia koma.
#8. Iwan
Lucu, ada benarnya juga. Iwan yang lahir dan tumbuh di Malaysia dipulangkan dan percobaan menjadikannya 100%. Dengan logat aneh melanjutkan sekolah di Jawa Timur dengan bahasakeseharian Jawa. Bulik Marwiyah setelah beberapa hari mengantar Iwan, anaknya pulang ia harus balik ke tanah rantau. Haru biru ditinggal lama orangtua.
Ini jelas kisah nyata, ada nama abang Mahfud disebut.
#9. Kambing yang Sempurna untuk Idul Adha
Dalam pemahamannya yang sederhana, ia sudah merasa melakukannya.
Pengorbanan dan harga diri. Berkurban bisa dengan apa saja, dengan keikhlasan penuh mengharap ridho Allah. Hari Raya Kurban bisa pula jadi ajang pamer, siapa yang bisa kasih kambing gemuk jantan nan cemerlang. Sebuah kebanggaan tersendiri bisa menunaikan hajat memberi daging buat orang lain.
Naryo yang menginginkan berkurban, jauh hari sudah memiliki kampung bagus nan sempurna. Sampai jelang hari H, kambingnya buta. Ya, ia tak bisa melihat cuma mengembik berulang kali. Karena cedera kambing itu jelas tak bisa dijadikan hewan kurban, Naryo lalu melakukan hal-hal yang tak semestinya dilakukan. Menipu demi ambisinya.
#10. Mata, Bola
Ini kisah bisa terbaca bagus sekali, sayangnya saya sudah membaca kisah yang mirip milik Bung Yusi Avianto Pareanom. Bagaimana seorang kiper yang cedera dalam perjalanan kereta sebab kena lemparan batu supporter, yang lalu membunuh kariernya secara mendadak. Bayangkan, seorang calon bintang, calon kiper Timnas menjadi luka permanen karena keganasan pendukung yang membabi buta.
Nah, kisah itu sangat mirip dengan Mata, Bola. Slamet Sudarmanto apes kena pecahan kaca di matanya saat bertandang di stadion yang rusuh, ia yang awalnya adalah harapan bangsa malah menjelma beban sebab kariernya berantakan.
Kisah jadi begitu melankolis romantis saat pacarnya Nurhasanah tetap setia, bahkan saat akhirnya dipaksa main tarkam lalu pensiun dini, lalu menjadi manusia biasa yang sangat membenci sepakbola. Dunia berjalan dengan anehnya. Sang legenda berubah menjadi Suhu Mata Satu.
Secara keseluruhan sangat bagus, memainkan banyak ironi. Beberapa jelas adalah pengalaman pribadi, penyebutan Malaysia contohnya, di tradisi penulis merantau adalah kewajaran. Bahkan saya pernah baca di kumpulan esainya, orangtua Cak Mahfud-pun merantau ke Negeri Jiran. Dari pembuka sampai jelang akhir sangat memuaskan. Ditulis dengan apa adanya, menjadikan fiksi yang layak dipajang di rak buku berjejer dengan karya lainnya.
Sayang di cerpen terakhir terasa familiar, Mata, Bola bagus tapi citarasa original terenggut. Walau hanya ingatan samar, cerpen ini rasanya akan aneh bila dibilang hanya kebetulan.
Belajar Mencintai Kambing | by Mahfud Ikhwan | 2019 | Cet. 1, Januari 2016 oleh Buku Mojok | Cet. 2, April 2019 | vi + 132 hlm.; 12 x 18 cm | ISBN – | Editor Nody Arizona | Pemeriksa aksara Prima S. Wardhani | Penata letak isi M.S. Lubis | Perancang sampul Al Farisi | Penerbit Pojok Cerpen | Skor: 4/5
Karawang, 020621 – Al Jarreau – Midnight Sun