#30HariMenulis #ReviewBuku #1 #Juni2021
“Tak ada seorangpun yang bisa melepaskanku dari kenikmatan membaca dan mendengarkan musik.”
Juni datang lagi, maka acara #30HariMenulis #ReviewBuku dimulai. Untuk tahun ini saya tak membatasi satu penulis dalam satu bulan, bisa saja tiga atau bahkan empat penulis sama kusajikan. Tak masalah, saya sendiri yang membuat acara, saya pula dong yang menetapkan. Aturan upaya mengulas 15 penulis lokal, 15 terjemahan tetap. Mari kita lihat, yang pertama jelas penulis favorit sepanjang masa, kali ini dari Circa yang tipis.
Seni menulis berisi tujuh tulisan plus satu lampiran wawancara rilis buku ‘Membunuh Commendatore’, dari berbagai sumber jadi kalian tak akan menemukan buku aslinya kecuali dari berbagai sumber yang disarikan. Menarik dan sangat menggairahkan melahap kata-kata dari idola. Setiap tulisan diawali dengan kutipan keren, saya ketik ulang kutipan tersebut biar nyaman dibaca online berulang kali.
#1. Pelajaran Menulis dari Musik Jazz
Saat menulis aku tak tahu apa yang akan terjadi dalam tulisanku. Aku dan pembaca berada di pijakan yang sama, saat memulai sebuah cerita aku tak memiliki kesimpulan akhir dan tahu adegan apa yang kelak akan terjadi. Misalkan cerita itu diawali dengan kasus pembunuhan, aku bahkan tak taju siapa pelakunya. Aku menulis cerita untuk menyingkap si pelaku tersebut, kalau ku sudah tahu pelakunya, taka da gunanya aku menulis. – Dari wawancara dengan John Wraym The Paris Review, edisi musim panas 2004
Ya, saya juga suka sekali musik jazz. Makanya sangat cocok sama Murakami, saya juga suka kucing, saya pun suka lari sore. Di sini, beliau berkisah bagaimana musik banyak memengaruhi karyanya. Salah satu pianis jazz favorit Thelonious Monk saat wawancara bagaimana bisa menghasilkan nada yang khas, ia menjawab, “Tak ada not baru, bot-bot itu sudah ada di sana, di kibor piano itu. Tapi kalau kau memainkannya dengan terarah, nada-nada itu akan terdengar berbeda. Maka kau harus benar-benar memainkan nada-nada itu secara lebih terarah!.”
Maka sama Murakami dimodif menjadi, “Tentu tak ada kata-kata yang baru. Tugas kita sebagai penulis adalah menyuntikkan makna dan nuansa baru atas kata-kata yang terlanjur dianggap terlalu biasa itu.” Artinya nun jauh di sana masih terbentang sehamparan wilayah subur yang luas dan belum terambah, wilayah yang menunggu untuk kita olah.
#2. Novelis di Masa Perang
Bagiku menulis itu seperti bermimpi. Saat menulis aku bisa bermimpi sekehendakku. Aku bisa memulai dan mengakhirinya kapan pun, dan bisa meneruskan mimpi itu keesokan harinya. – Dari wawancara bersama Deborah Treisman, The New Yorker, 10.02.19
Ini adalah adalah pidato yang disampaikan di tahun 2009 saat menerima Jerusalem Prize, di tengah konflik ia dengan tetap profesional. Sejenak mari kita pikirkan, masing-masing dari kita memiliki jiwa yang nyata dan hidup, sedang sistem tak berjiwa.
#3. Realitas A dan Realitas B
Kalau sedang tidak menulis, aku menerjemahkan, itu hal yang bagus untuk kukerjakan sambil menunggu datangnya ide: dengan menerjemahkan aku tetap menulis, tapi bukan karyaku sendiri. Bagiku menerjemahkan itu seperti latihan atau kerja fisik. Aku juga joging dan mendengarkan music dan melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti menyetrikan. Aku suka menyetrika. – Dari wawancara bersama Sarah Lyall, Independent, 12.10.18
Ini adalah ide dasar menciptakan 1Q84 di mana tercipta realitas lain dari tahun 1984. Jadi banyak menyampaikan pengandaian, cerita-cerita itu berubah menjadi bebas tiap kali menghirup udara di zaman baru. Kita tak akan bisa kembali ke tempat kita memulainya.
Tujuan novel ditulis bukan untuk menghakimi mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang jahat. Yang terpenting memastikan keselarasan antara elemen yang sifatnya berubah-ubah dan elemen yang bersifat tradisional dalam diri kami, memastikan apakah kisah-kisah individual dan komunal dalam diri kami memiliki akar yang sama.
#4. Penghayal yang Bebal
Hal yang harus dilakukan oleh seorang yang ingin menjadi novelis adalah membaca berton-ton novel. Maaf, kalau apa yang kusampaikan ini klise, tapi memang inilah latihan terpenting yang harus dijalani. Kalau kau ingin menulis novel, kau harus mengerti susunan sebuah novel. Kalau kau masih muda dan kau ingin menjadi novelis, membaca sebanyak mungkin novel adalah hal yang tak terelakan. Kau harus membaca segala jenis novel yang ada dalam jangkauanmu. Novel bagus, novel pas-pasan, bahkan novel sampai sekalipun, yang penting kau selalu membaca novel. Kau harus menyerap sebanyak mungkin cerita. Mulai bacalah tulisan-tulisan bagus, juga tulisan-tulisan semenjana. Itulah hal penting yang harus kau lakukan. – Dikutip dari esai berjudul “So What Shall I Write About?”
Dalam bahasa Jepang ada kata berbunyi ‘mujo’ berarti segalanya bersifat sementara. Segala yang hadir di dunia berubah dan akhirnya akan lenyap tak tersisa. Kami hidup di dunia yang rapuh dan tak menentu, namun pada saat yang sama kami juga dikaruniai hasrat senyap untuk menjalin hidup, juga pikiran yang jernih.
Bermimpi adalah pekerjaan harian seorang novelis. Namun tugas utama kami adalah bagaimana membagikan mimpi-mimpi itu pada orang-orang.
#5. Kebudayaan sebagai Kekuatan yang Meluruskan Batas Wilayah dan Batas Sejarah
Kau harus percaya diri. Itu hal yang sangat penting. Kau harus yakin bahwa kau mampu berkisah, mampu mengendalikan arusnya, merangkai kepingan-kepingan pazel dengan benar. Tanpa kepercayaan diri kau takkan beranjak ke mana-mana. menulis itu seperti bertinju. Sekali kau masuk ring, kau tak bisa mundur. Kau harus bertarung hingga pertandingan berakhir. – Dari ceramah disampaikan di Berkeley tahun 1992, ditranskripsikan oleh Jay Rubin dan termuat di buku Haruki Murakami and the Music of Words.
Ini adalah ceramah saat menerima Japan Foundation 2012, ia tak bisa hadir sebab tinggal di luar negeri jadi dibacakan. Tentang proses menterjemahkan karya luar ke bahasa Jepang, dan karya Murakami ke bahasa manapun, melintas garis batas kebudayaan.
#6. Momen Ketika Aku Menjadi Seorang Novelis
Saat sedang mengerjakan novel aku bangun jam empat pagi dan menulis selama liam sampai enam jam. Sorenya, aku berlari sejauh sepuluh kilo atau berenang sejauh 1,5 kilo (atau melakukan keduanya), setelah itu membaca sebentar dan mendengarkan musik. Aku tidur jam 9 malam. Aku jalani rutinitas ini setiap hari tanpa variasi. Bagiku pengulangan adalah hal penting; itu sebentuk laku hipnotis diri. Aku menghipnotis diriku agar bisa mencapai dasar pikiranku. Namun untuk melakukan hal-hal yang berulang-ulang dalam waktu jangka yang lama – lamanya bisa enam bulan sampai setahun – dibutuhkan kekuatan mental dan fisik. Dengan demikian menulis novel bagaikan latihan bertahan hidup: kekuatan fisik sama pentingnya dengan kepekaan artistik. – Dari wawancara dengan John Wray, The Paris Review, Edisi musim panas 2004
Ini cerita terbaik, sudah baca di internet bagaimana detail ia memutuskan menulis, memutuskan menjadi penulis karena saat menonton bisbol antara Yakult Swallows vs. Hirosima Carp. Detailnya bisa kalian baca sendiri, sangat bagus dan inspiratif.
Aku tak butuh kata-kata yang rumit. Tak perlu mengesankan orang dengan kalimat-kalimat yang indah. Jadi penasaran sama penulis bernama Agosta Kristof.
#7. Membuang Kucing: Mengenang Ayahku
Dalam hidup ini aku tak bisa menjelma jadi orang lain, tapi dalam fiksi aku bisa menjadi apa saja. Aku bisa membayangkan diriku menjadi orang lain. Bisa dibilang ini semacam terapi. – Dari wawancara dengan Deborah Treisman, The New Yorker, 12 Februari 2019
Ini juga bagus banget, kenangan bersama ayah. Semacam memoar kecil, bagaimana mereka membuang kucing jauh dengan mengayuh sepeda, lalu tak butuh lama kucing itu bisa ada di rumah lagi. Dan kisah ayahnya bertempur yang penuh keajaiban, sampai akhirnya menjadi guru dan memiliki anak tunggal. Layak dibaca dengan lengkap dan komplit. Diterjemahkan dari esai pengantar novel Wind/Pinball.
#+++Lampiran
Kalau kau menulis setiap hari selama tiga tahun penuh, kau harus memiliki fisik yang kuat. Tentu saja kau juga harus memiliki mental yang kuat. Tapi yang utama adalah kekuatan fisik. Mental dan fisikmu harus kuat. Itu perkara yang amat penting. – Dari wawancara dengan Emma Brocker, The Guardian, Oktober 2011
Ini adalah wawancara jelang rilis buku Membunuh Commendatore, beberapa adalah bocoran kisah. Hiks, padahal baru saja diterjemahkan KPG dicetak dalam dua seri. Hati-hati…
Kita tak dapat bersandar pada logika atau berkaca pada pengalaman masa silam, sebab hal tersebut malah mengantarkan kita pada bahaya. Sejarah adalah ingatan kolektif yang mesti kita pikul.
Dari penulis favorit, rasanya menyenangkan sekali menyaksi di balik karya dicipta. Salah satunya yang membuat gidik adalah sejarah ayahnya dalam pertempuran, kebetulan pula saya lagi baca Kronik Burung Pegas ada bagian panjang saat pertempuran Jepang vs. China, dikisahkan detail sekali. Memang banyak sekali kisah nyata yang disadur fiksi, salah satunya jelas itu. Dibumbui banyak fantasi dan imaji liar sehingga tampak hidup, yah begitulah dunia. Begitulah seni menulis yang sesungguhnya…
Seni Menulis | by Haruki Murakami | Esai-esai Proses Kreatif | Circa 2020 | Penerjemah Rozi Kembara | Penyunting Tia Setiadi | Perancang sampul Abeje Project | vii + 138 hlm.; 12 x 18 cm | Cetakan pertama, Desember 2020 | ISBN 978-623-7624-36-3 | Skor: 5/5
Karawang, 010621 – Nikki Yanofsky – I Got Rhythm