Civilization and Its Discontents #9

#30HariMenulis #ReviewBuku #9 #Juni2021

Keindahan, kebersihan, dan keteraturan jelas menduduki posisi istimewa di antara syarat-syarat yang dibutuhkan peradaban.”

Keren. Keren adalah kata pertama yang kuucapkan ketika di tengah baca menikmati teori-teori ini. Di akhir merasa ada ganjalan, pemaknaan hidup yang luas dan fakta-fakta yang disodorkan memang mencipta bimbang. Freud memang hebat kala memainkan pikiran, dan Civilization and Its Discontents jelas sukses besar mencipta riak kegelisahan.

Karena speechless, saya ketik ulang saja banyak kutipan. Lebih bijak memang baca sendiri, menyimpannya di rak yang akan bisa diakses ulang di hari berikutnya, tapi setidaknya saya mengetik ulang kutipan yang laik dibagikan di blog ini. Terima kasih telah menerjemahkan dengan apik buku ini. salute!

Dalam Tafsir Mimpi yang terbit November 1899, bahwa semua mimpi pada dasarnya adalah pemenuhan harapan, menguraikan panjang lebar tentang tipu daya batin yang mewujudkan maksud-maksudnya ke dalam bentuk-bentuk drama aneh yang diingat si mimpi ketika terjaga

Jiwa terbagi dalam tiga bagian yang berbeda tetapi saling memengaruhi: Id (menguasai seluruh daerah bawah sadar dari jiwa, memuat rangsangan, dorongan, dan materi-materi masa lalu yang ditekan); Ego (sebagian adalah berupa kesadaran, berisi mekanisme-mekanisme pertahanan diri, serta kemampuan untuk menghitung, berpikir, dan merencanakan); Super-ego (juga hanya sebagian yang berupa kesadaran, memuat hati nurani, di luar itu, perasaan bawah sadar tentang rasa bersalah).

Kita memperoleh kesan dari anak-anak peradaban bahwa konstruksi bendungan-bendungan ini adalah produk edukasi, dan tak diragukan lagi bahwa pendidikan sangat menentukan hal tersebut. Namun dalam realitasnya, pembangunan bendungan ini dideterminasi secara organis dan ditentukan oleh faktor hereditas, dan ia bisa muncul tanpa dorongan sedikit pun dari faktor edukasi.”

Mustahil manusia melarikan diri dari kesan bahwa manusia terbiasa memakai ukuran patokan-patokan palsu, manusia mengejar kekuasaan, kesuksesan, dan kesejahteraan, mengaguminya ketika hal-hal itu ada pada orang lain, dan meremehkan apa yang menjadi nilai sejati dari kehidupan.

Fenomena pelupaan yang kita kenal sekarang adalah pertanda bahwa dari adanya kerusakan dari jejak ingatan kita yaitu proses penghapusan memori kemudian cenderung mengambil sudut pandang kebalikannya. Sesuatu yang pernah terbentuk tidak akan pernah mati.

Betapa masih jauhnya kita untuk menguasai karakteristik alam mental dengan melukiskannya dalam term-term bergambar.

Hanya di alam pikiran dimungkinkan terjadinya pelestarian atau pengawetan segala bentuk dan taraf perkembangan di usia awal, berbanding dengan bentuk-bentuk akhirnya, dan bahwa kita tak akan mampu melukiskan fenomena ini dalam term bergambar.

Sebuah perasaan hanya bisa menjadi sumber energi jika ia sendiri adalah bentuk pengungakapan dari kebutuhan yang kuat.

Kehidupan sebagaimana kita tahu adalah terlalu berat bagi kita, ia terlalu banyak membawa penderitaan, kekecewaan, tugas-tugas yang sulit, yang hampir mustahil. Untuk memikulnya, kita tidak bisa membuangnya melalui ukuran-ukuran yang bersifat meringankan. “Kita tidak dapat melakukan tanpa membangun atau membuat alat-alat bantu.” Kata Theodore Fontane. Setidaknya ada tua jenis ukuran semacam itu: pembelokan sangat kuat, yang menyebabkan kita menganggap enteng penderitaan tersebut; dan substansi-substansi yang memabukkan, yang membuat kita tidak mengindahkan penderitaan.

Pertanyaan tentang tujuan hidup manusia telah teramat sering diangkat; namun belum pernah memperoleh jawaban yang memuaskan, dan mungkin bahkan tidak memiliki jawaban yang memuaskan. Jika memang kehidupan ini tak memiliki tujuan, maka ia telah kehilangan semua nilai di dalamnya. Tak seorang pun bicara tujuan hidup para binatang, kecuali mungkin jika hal itu dianggap bermanfaat bagi manusia. Hanya agama yang bisa menjawab pertanyaan ini, gagasan tentang kehidupan yang memiliki tujuan ini jauh dan bangkit dalam sistem keagamaan.
Apa yang ingin mereka inginkan dari kehidupan dan ingin mereka capai di dalamnya? Jawaban atas hal ini hampir tidak meragukan. mereka berjuang keras mencari kebahagiaan, mereka ingin bahagia dan tetap bahagia. Jadi apa yang menentukan tujuan hidup semata-mata adalah program atau rencana dari prinsip kesenangan.

Apa yang kita sebut bahagia, dalam pengertian paling tegasnya, datang dari pemuasan kebutuhan-kebutuhan (lebih dikuasai yang datang tiba-tiba) yang telah dibendung hingga mencapai kadar tertingginya, dan dari sifat dasarnya, hanya mungkin muncul sebagai fenomena episodik, temporer. Ketika jangka waktu kejadian suatu situasi yang dikehendaki prinsip kesenangan diperpanjang, ia hanya akan menghasilkan suatu perasaan kepuasan hati yang ringan. Dengan demikian, kemungkinan kebahagiaan kita sudah dibatasi oleh konstitusi kita sendiri. Ketidakbahagiaan jauh lebih mudah dialami. Kita terancam penderitaan dari tiga arah: dari tubuh kita sendiri, yang ditakdirkan rusak dan membusuk, dan bahkan tanda-tanda peringatan itu pun selalu berupa rasa sakit dan kegelisahan; dari dunia luar, yang mungkin melanda kita dengan kekuatan merusak yang berlimpah dan tanpa ampun; dan terakhir dari hubungan kita dengan manusia lain. Penderitaan dari sumber terakhir ini yang mungkin paling menyakitkan. Kita cenderung melihat sebagai poin tambahan yang tak teralasan, meskipun ia tak kalah hebatnya dibanding penderitaan yang muncul drai sumber lain.

Untuk melawan dunia luar yang menakutkan, kita hanya bisa mempertahankan diri melalui semacam keberpalingan darinya, jika kita bermaksud menuntaskan tugas ini sendirian. Semua penderitaan tak lain adalah sensasi, ia ada hanya sepanjang kita merasakannya, dan kita hanya merasakannya sebagai konsekuensi dari cara-cara tertentu dalam mengatur organ-organ kita.

Metode kimiawi, substansi yang memabukkan.

Kita dapat berharap terbebas dari sebagian penderitaan kita dengan memengaruhi impuls-impuls nalurinya. Jenis pertahanan ini tidak lagi membidik alat-alat indrawi, ia berusaha menguasai sumber-sumber internal dari kebutuhan kita. Bentuk ekstremnya, seperti orang-orang bijak dari Timur dan dipraktikkannya yoga. Hal ini berhasil dengan mematikan subjek juga menghentikan segala aktivitas. Ia telah mengorbankan kehidupannya, dan memalui jalur yang lain, sekali lagi dia hanya telah mencapai kebahagiaan dari rasa tenang, tenteram.

Daerah di mana ilusi-ilusi itu muncul adalah alam imajinasi, pada saat sensasi realitas sedang bekerja, daerah ini sengaja dibebaskan dari tuntutan-tuntutan pengujian realitas dan diasingkan demi pemenuhan harapan-harapan yang sulit dicapai. Di atas antar-manusia pemuasan-pemuasan memalui fantasi ini, berdiri di antaranya kenikmatan atas karya seni – suatu kenikmatan yang (memalui perantara seniman) dapat dicapai bahkan oleh mereka-mereka yang tidak memiliki daya cipta, tidak kreatif.8
Kita dapat mencoba mencipta ulang dunia, untuk membangun dunia lain di mana sifat-sifat dan ciri-ciri buruknya dihilangkan dan diganti dengan hal lain yang bersesuaian dengan harapan dan keinginan kita sendiri. Namun siapa pun (dalam keputusasaan) yang bermaksud mencapai kebahagiaan melalui jalur ini, biasanya tidak akan memeroleh apapun. Realitas terlalu kuat baginya.

Sumber kesenangan dalam penderitaan adalah sebuah kapatuhan mutlak.

Keteraturan adalah sejenis keharusan untuk terus diulang-ulang, ketika sebuah aturan telah ditetapkan sekali dan untuk selamanya, menentukan kapan, di mana, dan bagaimana sesuatu harus dilakukan, sehingga dalam setiap keadaan kita tidak ragu-ragu dan bimbang. Manfaat keteraturan adalah tidak pernah merasa diragukan lagi.

Kekuatan segala motif aktivitas umat manusia berjalan menuju pertemuan dua tujuan yaitu keperluan dan kesenangan. Pada kenyataannya, manusia-manusia primitif berada dalam keadaan lebih baik ketika mereka tidak mengetahui batasan-batasan naluri.

Schillr, pujangga-filsuf berkata bahwa rasa lapar dan cinta adalah hal-hal yang menggetarkan dunia.

Kata hati (atau lebih tepatnya, kegelisahan yang kemudian menjadi kata hati) adalah benar-benar penyebab penolakan naluri, sehingga kemudian hubungan itu dibalik.

Harga yang mesti dibayar demi kemajuan peradaban kita adalah hilangnya kebahagiaan melalui pemuncakan rasa bersalah. Perasaan bersalah pada dasarnya adalah variasi topografi dari kecemasan, pada fase sebelumnya ia bersesuaian sepenuhnya dari rasa takut dari super-ego.*
Setiap bentuk rasa frustasi, setiap akibat dari kepuasan naluriah yang dihalangi, atau yang mungkin diakibatkan, adalah berada dalam pemuncakan rasa bersalah.

Dari beberapa buku Sigmund Freud yang sudah kubaca ini jelas yang terbaik. Bisa jadi karena kualitas terjemahannya yang keren pemilihan diksi pas dengan tempo yang pas pula, bisa pula memang dasar bukunya bagus. Terlihat buku ini benar-benar penjelasan meluap-luap sempurna. Bahasan psikoanalis yang tertata nyaman dan patut dikaji ulang.

Dikerjakan di tahun 1929, dan memang bisa jadi karya terbaik beliau. Buku ikhtiar brilian dari pandangan-pandangan tentang budaya melalui sudut psikoanalis. Terbit tahun 1930, dekade terakhir Freud hidup di dunia, jelas pemikirannya sudah sangat matang. Buku-buku Freud berikutnya hanya masalah waktu untuk dibaca dan diulas. Semangat!

Dan akhirnya, apa bagusnya panjang umur bagi kita jika tetap saja sulit dan langka kegembiraan, jika begitu penuh penuh penderitaan sehingga kita hanya bisa menerima kematian sebagai pelepasan semua itu?

Peradaban dan Kekecewaan-Kekecewaan by Sigmund Freud | Diterjemahkan dari judul asli Civilization and Its Discontents, New York | Norton & Company, 2000 | Penerjemah April Danarto | Penyunting Subrur R. Soenardi | Penyelaras akhir Dipa Samaran | Rancang isi Werdiantoro | Rancang sampul Sukutangan | Cetakan I, 2020 | ISBN 978-602-5868-32-0 | xxxiv + 118 Hlm; 14 x 20 cm | Penerbit Immortal Publishing dan Octopus | Skor: 5/5

Karawang, 150521 – 090621 – Dinah Washington – Mad about the Boy

Thx to Handa Lesmana

Kanuku Leon #8

#30HariMenulis #ReviewBuku #8 #Juni2021

Kanuku Leon? Dia raja dari sekian raja yang pernah berkuasa di Timor, naungan yang abadi…”

Cerpen-cerpen Dicky Senda mayoritas berkisah di tanah kelahirannya di Indonesia Timur. Banyak sekali mengambil bahasa lokal, melimpah ruah sampai butuh penjelasan di tiap akhir cerpen. Menonjolkan budaya lokal sah-sah saja, seolah memang menjual dan menyampaikan ke dunia bahwa budaya yang erat dilakukan itu ada. Seperti pencerita kebanyakan, kisahnya mencoba membumi dengan kegiatan rutinitas, pengalaman pribadi yang dibumbui fantasi. Semua cerpen di sini tertata dengan apik, tapi tetap inti cerita masihlah liar. Tak nyaman diikuti dengan santuy.

Kukupas sedikit tiap cerpennya.

#1. Soleman

Ini kisah tentang kakek yang berdongeng kepada cucu-cucunya. Masa tua bersama anak kecil yang penuh penasaran perjalanan hidup. Salah satunya saat pendudukan Jepang di Indonesia, kehidupan yang keras karena di tahun 1943 sang kakek bernama Soleman menikah dengan Aminah yang lalu berubah nama menjadi Yohana. Orang Jawa yang dipersunting lalu dibawa ke rumah orangtua.

Tahun 1947 lahirlah ibu kalian, dan kisah terus bergulir hingga masa kini. Perjuangan kemerdekaan, mempertahankannya, dan mengisinya dengan rasa syukur. Dan bagaimana lagu Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang dengan fasih ia syairkan.

Jika kau ingin melakukan sesuatu, lakukanlah dengan segala daya dan upaya hingga batas terakhir kemampuanmu, bahkan yang terpahit sekalipun, untuk mencapai yang terbaik. Itulah Gambaru.”

Gambaru adalah etos orang Jepang. Dalam berbagai literatur, etos ini tampil sebagai gi, bersikap benar dan tanggung jawab; jin, murah hati dan mencintai; yu, berani dan kesatria; rei, bersikap santun dan hormat; melyo, menjaga martabat dan kehormatan; makoto, bersikap tulus dan sungguh-sungguh, serta chugo, mengabdi dan loyal. Jadi gambaru mempunyai pengertian bekerja keras dengan sabar, tekun, fokus, penuh semangat, dan antusiasme sampai tujuan tercapai.

#2. Pohon Kersen dan Batman

Pembunuhan dan bunuh diri dalam pelukan kepahitan hidup berumah tangga. Dengan anehnya menulis di selembar kertas yang ditaruh di pohon kersen berisi, “Beta ini siapa?” HD, 35 tahun. Ia sudah tampak linglung dan menyendiri lama, tinggal di rumah tua dalam renungan. Pilihan ini menjadi gunjingan tetangga, terutama perempuan tua samping rumah yang sering bilang, ‘makanya kawin!’ biar ada yang urus. Padahal suaminya, Pak PH adalah tukang selingkuh yang langganan jajan.

Lalu keinginan bebas terbang seperti batman muncul, dengan segenap hati melakukan hal-hal terlarang. Termasuk kriminal kelas pertama. Ternyata di baliknya ada masa lalu pahit yang sulit ditanggung.

Ini kelelawar. Tapi, memangnya beta ini siapa?”

#3. Gugur Sepe Usapi Sonbai

Cerita sedih tentang cinta yang tak sampai. Bukan karena ada pilihan orang ketiga, atau selingkuh atau sebab cemburu dan sejenisnya. Ini tragedy cinta yang memang sudah digariskan penuh luka sedari mula. Maria pergi ke Malaysia meninggalkan Usapi Sonbai permai, alasan klasik untuk memperbaiki perekonomian.

Joseph menanti setia, kenangan di bawah pohon sepe sebagai kenangan terakhir selalu ternyiang. Secara samar aku merasa Tuhan tak adil padaku.

#4. Kanuku Leon

Dongeng yang tersamar atau kenyataan yang disamar lantas seperti dongeng? Di Barat ada gunung dengan puncak menyala seperti emas. Zaman dulu kala, sang raja berkisah kepada anak-anaknya, pohon yang berkisah ibu di ufuk Timur. Ini mimpi, ini masa lalu yang disusupkan ke dalam mimpi di masa kini? Ma’ Leta yang menuntut penjelasan mimpi yang terulang.

Ini tentang pelestarian lingkungan hidup, bagaimana tambang, penebangan pohon membabi buta untuk industri membuat alam akan marah. Jika alam dirusak maka akan datang bencana dari Uis Neno dan Uis Pah. Untuk itu mereka berjuang.

Kanuku leon adalah syair kuno yang berisikan ratapan masyarakat Tetun di Timor tentang sosok raja nan bijaksana, diibaratkan seperti sebuah pohon beringin pelindung-penganyom-yang telah mangkat.

#5. Menikahi Anjing

Manusia berkepribadian lebih dari satu. Penghuni kompleks kos Memoria nomor 9. Ia menjadi banyak halusinasi, penderita skizofrenia yang menjadikan tetangga adalah bahan bakar bicara/tulisan. Tetangganya yang kasar, sepasang suami-istri yang mengganti kata sayang menjadi anjing. Lalu sudut pandang berganti, saling silang. Menjadi tetangga, menjadi benda patung salip, menjadi Ryan Gosling dan Michelle William dalam Blue Valentine. Dan sungguh ia memang akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa.

Apakah sejatinya kehidupan pernikahan itu? Mencintai sepenuh jiwa dan raga yang telah tertampung cinta dari-Nya.”

#6. Kabut Kota Ini

Sebuah judul puisi yang ditulis pada usia 13 tahun. Tentang rasa takjub pada kota kelahiran yang senantiasa berkabut. Kini bait-baitnya sudah terlupa, maka saat suatu hari terjebak kabut ia menjadi sanksi. “Beta ju sempat lihat dia sepintas, tapi karena tiba-tiba kabut tebal turun, katong sudah sonde baliat lai.” Kata Goris.

Ini tentang masa suram Indonesia kala pembersihan PKI. Ada yang menuduh bahkan saat kau adalah polisi. Ah, masa dan tempat yang berkesinambungan. Kabut kota ini turun lagi dan mencengkeram setiap rumah tempat segala dongeng dipelihara di atas meja makan.

#7. Noorlientje

Jam setengah Sembilan malam. Di dalam hutan, dua belas kilometer dari kota yang mesti berselimut kabut. Sesosok bangun dan muntah tanah bau anyir. Ia terbangun, setelah menunggu untuk menjadi kunang-kunang. Nor, setia mengabdi pada kedua orangtuanya demi Daniel putra semata wayangnya. Ia tegar menghadapi kenyataan sebagai janda muda dari seorang PKI. Suaminya hilang kala bersih-bersih Orde Baru.

Lalu muncul penawaran yang tak enak ditolak, Adam yang bersedia menyuntingnya. Dibawa ke Kupang lalu ke Jakarta. Tentang masa lalu, tak ada masalah lagi… menunggu untuk menjadi kunang-kunang seperti korban-korban politik yang lain. Di hutan Netmetan yang hitam.

#8. Ada Kisah Tentang Lukisan Ikan di Fenonai

Di Fenonai tak ada amis ikan dan asinnya laut yang berseliweran di hidungmu. Tak ada deretan kelapa yang angkuh di bibir pantainya. Di masa misa Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus bersama umat, Romo Amandus ke pantai menikmati indahnya pantai Fetonai.

Ada kisah sedih, tentang anak lelaki satu-satunya melukis dengan indah. Lukisan ikan di dinding, baru buat satu. Ada nada kehilangan dan derai kepedihan.

#9. Namaku Noentuaf

Sang Pemimpin Ibadat, Sang Penenun Mimpi dan segala ritual adat. Memanggil roh yang diajak berkomunikasi, sesekali berbahasa berancau dengan liar. Semacam dukun yang bisa melintas dimensi lalu mengajak jiwa yang terbang. Ah semesta sedang bersemadi membingkai sukaria pesta. Neontuaf, lelaki yang mampu menembus waktu.

#10. Suanggi

Kabar duka muncul lewat pesan yang dikirim, Pak Samuel berpulang ke rumah Bapa. Duka dan rasa kehilangan. Seminggu kemudian di rumah ibadah di Minggu pagi bulan Januari. Topik suanggi dan segala gosip tentang betapa orang jahat matinya malah lama. “Orang begitu lama mati, karena Tuhan masih kasih kesempatan untuk dia supaya bertobat.”

Orang bergosip memang tak kan ada habisnya. Seribu tanya mendesak-desak di sela lamunan, di emper rumah. Suanggi, adakah ia serupa kucing hitam bermata elang?

#11. Klang-Klang

Terbang dan menghilang, di angkasa memandang gunung tinggi ditampari angin, mencipta awan jauh di sana dengan pemandangan elok, bak surga. Ini tentang jiwa-jiwa yang melintasi dimensi, Ahmad yang berwarna hitam dan kuning berkelana, bertemu Klang yang bertubuh hijau.

Ini juga tentang gunung dan penjaganya. Melintasi zaman, dari tahun 2015, ke 2005 lalu melesat jauh ke masa lalu di tahun 1915, jangan ada pertanyaan walau di benak berloncatan ras penasaran. Bertemu dengan Van Schutelen, sejarah mencatatnya sebagai ahli botani yang menyiarkan penemuan danau Kelimutu ke seluruh dunia. Sebuah ritual pa’a loka. Upacara memberi makan kepada arwah leluhur yang dilakukan oleh penduduk di lereng gunung Kelimutu, kepercayaan bahwa orang yang meninggal berkumpul di 3 danau di puncak gunung.

Yang rahasia biarkan tetap menjadi rahasia.

Ini adalah buku kedua Dicky Senda yang kubaca. Lahir dan menetap di Mollo, Timor Tengah Selatan. Seorang yang aktif dalam komunitas sastra, berteman di sosial media, menyaksi banyak aktifitas organisasi yang menyatu dengan alam. Tinggal di Taiftob di lereng gunung Mutis, menjadi petani kopi dan mengelola kewirausahaan sosial bernama Lakoat.Kujawas.

Kanuku Leon | by Dicky Senda | Sekumpulan cerita | Penyunting Mario F. Lawi | Perancang sampul Tim Desain Broccoli | ID 571810031 | ISBN 9786020502519 | Dicetak pada April 2018 | Penerbit Grasindo | Skor: 3.5/5

Karawang, 080621 – Christina Bjordal – Blame The World

The Alchemist #7

#30HariMenulis #ReviewBuku #7 #Juni2021

Kalau kau memulai dengan menjanjikan sesuatu yang belum kamu miliki, kau akan kehilangan hasratmu untuk berusaha memperolehnya.”

Buku kedua Paulo Coelho yang kubaca, yang pertama mengecewakan, yang ini hanya sedikit peningkatan, intinya sama: ceramah kehidupan. So boring, padahal kabarnya ini buku terbaiknya? Kesempatan ini berakhir dengan biasa lagi, mungkin memang kurang cocok sama gaya bahasa dan alur yang ditawarkan. Karena di rak buku masih ada satu buku lagi, jadi nantinya di blog ini bakal ada satu review lagi darinya. Setelahnya, saya sepertinya tak akan beli, kalau baca lagi bisa saja dari pinjam atau dapat free, yang jelas dua sudah cukup mewakili. Seperti Tere Liye, beberapa kali sudah cukup mewakili gaya tulisnya.

Ini tentang penggembala memenuhi takdir, ia menjalankan kehidupan penuh filosofis, mendapat mimpi di sebuah gereja tua tentang harta karun di Piramida Mesir. Merentang jauh dari tanah Andalusia Spanyol. Namun setelah mendapat wejangan dari cewek gipsi akan tafsir mimpi, dan seorang raja yang menyamar menemui jelata, dalam wujud orang tua, raja Salem bernama Melkisedek. Ia lalu berupaya mewujudkan mimpinya. Menjual semua kambingnya, melakukan perjalanan, menemui banyak orang asing, salah satunya Sang Alchemist, mengubah banyak hal terutama pemikiran akan hidup. Andai seorang anak yang menunjukkannya padamu, berarti mereka ada. “Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?”

Santiago, anak gembala itu lalu memertaruhkan segalanya. Berpetualang demi gadis pujaan. Demi kehidupan yang lebih baik, ia memulai petualangan dengan naik kapal menyeberangi lautan. Di negeri asing dengan kantung penuh uang, sungguh berbahaya. Dia punya cukup uang di kantongnya, dan dia tahu uang bisa membawa keajaiban, orang yang punya uang tidak pernah kekurangan teman. Ia bertanya kepada orang asing di mana piramida. Dan ada biayanya, singkatnya ia ketipu. Dia merasa iba pada dirinya sendiri dan meratapi nasibnya, karena hidupnya berubah mendadak dan secara drastis pula. “Tadi aku seperti orang-orang pada umumnya – hanya melihat apa yang ingin kulihat, bukan apa yang sebenarnya terjadi.” Uang yang harusnya buat unta, barang-barang bekal perjalanan, dan makanan itu ludes seketika. Aku tahu ini adalah kesia-siaan atas kesia-siaan. “Beginilah dusta terbesar itu; bahwa pada satu titik dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada kita, dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib. Demikianlah dusta terbesar itu.”

Hampir saja menyesal dan menyerah, tapi ia memang ulet. Santiago lalu memulai lagi dari awal. Bekerja kepada pedagang Kristal yang muram. Modal kejujuran dan kebaikan hati melimpah, ia mengubah toko sepi itu menjadi ramai penuh pengunjung. Dalam hidup ini, justru hal-hal sederhanalah yang paling luar biasa; hanya orang-orang bijak yang dapat memahaminya.

Setelah uang terkumpul, pilihannya antara pulang ke Spanyol atau melanjutkan perjalanan. Ia memilih opsi kedua. Ia teringat momen kupu-kupu. Seekor kupu-kupu terbang di antara dirinya dan orang tua itu. Dia teringat ucapan kakeknya: kupu-kupu merupakan pertanda bagus. Seperti jangkrik, dan ekspektasi-ekspektasi; seperti kadal dan daun semangi berhelai empat. Ia masih memegang keyakinan mimpi itu. Setahun menjadi pelayan toko dirasa cukup, pamit dan petualangan dilanjutkan. Ia ikut dengan musafir demi menyeberangi gurun berbahaya.

Orang tua itu telah berbicara tentang tanda-tanda dan pertanda-pertanda. Orang memang suka bicara yang tidak-tidak, kadang lebih enak bersama domba-domba yang tak pernah mengatakan apa-apa. Dan lebih enak lagi sendirian saja bersama buku-buku. Buku-buku memaparkan cerita-cerita luar biasa saat kita ingin mendengarkannya.

Ketika ia menemui jalan buntu, atau ketika memiliki dua opsi ia mengeluarkan jimatnya. Batu dalam dalam alkitab bernama Urim dan Turmim, konon diperbolehkan oleh Tuhan. Ketika pilih kanan atau kiri, dan batu itu kasih pilihan, ia ikuti.

Perjalanan melintasi gurun itu menempatkannya berkenalan dengan orang Inggris yang memiliki keyakinan akan bertemu dengan Sang Alkimia. Alkemis adalah orang yang memahami alam dan dunia. Kalau mau, dia bisa menghancurkan perkemahan ini dengan kekuatan angin. Anehnya saat ditempa badai dan mereka tertawan dalam bahaya begal, Santiago-lah yang berhasil mengenal Sang Alkemis. Dewa-dewa tidak seharusnya mempunyai hasrat, sebab mereka tidak memiliki takdir.

Semua gembala tahu betul pentingnya kesabaran. Aku takut kalau impianku menjadi kenyataan, aku jadi tidak punya alasan untuk hidup. Jadi aku memilih mengangan-angankannya saja. Tak semua orang bahagia kala impiannya menjadi kenyataan. Kadang derasnya aliran sungai tak bisa dihambat.

Intuisi sebenarnya adalah peleburan jiwa dengan begitu saja ke dalam arus kehidupan universal, di mana sejarah semua manusia saling terkait, dan kita bisa mengetahui segalanya, sebab segalanya telah tertulis di sana. Sejarah dunia ditulis oleh tangan yang sama. “Hati-hati dengan ramalanmu, apa yang telah digariskan tak mungkin bisa diubah.”

Santiago sendiri akhirnya benar-benar memenuhi takdirnya. Halang rintang yang dicipta hanyalah segelintir masa, keyakinan dan tekadnya yang kuat menghantarnya di Piramida, lalu di mana harta karunnya tersembunyi. Bangunan tua itu megah dan luas. Ia harus mencari lagi, hanya petunjuk bahwa galilah di sana. Lantas dengan mudahnya ia lagi-lagi bertemu dengan orang asing yang juga bermimpi tentang harta karun. Hufh… kejutan? Biasa saja. Tak memukau, tak sampai membuat jantung berdebar sebab ini buku remaja dengan akhir penuh keceriaan.

Endingnya luar biasa bahagia, di sekeliling pohon kurma Al-Fayoum dan Fatima yang melengkapi. Ah, hidup tak semanis itu kawan. Aku petualang yang hendak mencari harta karun. Dan segalanya berhasil sempurna. Ah, dunia fiksi terlalu indah… seolah buku motivasi yang tayang di prime time,Jangan menyerah pada rasa takutmu. Kalau kau menyerah, kau tidak akan bisa berkomunikasi dengan hatimu.”

Sang Alkemis | by Paulo Coelho | Diterjemahkan dari The Alchemist (judul asli O Alquimista) | Copyright 1988 | Alih bahasa Tanti Lesmana | Desain dan ilustrasi sampul Dina Chandra | GM 402 05.033 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | November 2005 | Cetakan kedelapan, Mei 2009 | 216 hlm.; 20 cm | ISBN-10: 979-22-1664-2 | ISBN-13: 978-979-22-1664-6 | Skor: 3/5

Karawang, 160321 – 130421 – 070521 – Christy Baron – Round Midnight

Thx to Lumbung Buku, Bdg

Mardi Gras #6

#30HariMenulis #ReviewBuku #6 #Juni2021

Mardi Gras by Adriani Sukmoro

Mengejutkan. Buku ini sangat biasa. Bisa menjerat saya karena dua hal saja. Pertama kovernya yang ciamik, sebuah ilustrasi menawan menampilkan sebuah karnaval yang mewah dengan daya pikat imaji seolah anime Jepang yang memang rumit. Kedua karena judulnya, saya terpikat sama sebuah opening film The Shape Of Water di New Orleans di mana sebuah poster bioskop sedang menayangkan film berjudul Mardi Gras. Hanya dengan dua hal ini saja saya terjerat untuk membelinya. Saya tak tahu latar sang penulis, ini adalah terbitan Pelita Fikir pertama yang kubaca. Dan boom! Ini bukan novel fantasi, ini bukan novel di genre favorit saya, ini buku tentang pamer jalan-jalan. Hiks, sedih.

Mardi Gras | Oleh Adriani Sukmoro | copyright 2011 | ISBN 978-602-98540-0-8 | Penerbit PFI – Pelita Fikir Indonesia | Cover designer Creative Center | Ilustrator Creative Center | Skor: 2/5

Karawang, 090319 – 060621 – Sonny Rollins – Don’t Stop The Carnival (Remastered)

Islamic Names #5

#30HariMenulis #ReviewBuku #5 #Juni2021

Rahasia Nama-nama Islam by Annemarie Schimmel

Ayah mempunyai tiga kewajiban kepada anaknya: 1) mengajari menulis (dan membaca), 2) memberi nama yang baik, 3) menikahkan ketika telah dewasa.

Buku yang umum sekali, karena buku ini sebenarnya diperuntukkan untuk Orang Barat yang mendalami Asia, atau Timur Dekat mereka menyebutnya. Makanya sangat biasa saat kubaca, sangat umum dan akrab. Jenis-jenis penamaan seperti ini bisa berlaku di mana saja, tak hanya Islam, Kristen, atau kepercayaan lain. Bisa berdasarkan apa saja, termasuk suku, golongan, sampai lingkar daerah. Joko misalnya, khas Jawa. Asep khas Sunda, dst. Jadi buku ini terasa hanya menukil, mengartikan nama yang lazim digunakan dari Bangsa Arab, lalu dijelaskan artinya, atau siapa saja yang pernah mempunyai nama itu. Persis kalau kita cerita nama Joko itu artinya apa, dipakai oleh tokoh-tokoh, lalu menjelujur maksud dibaliknya. Benar-benar buku umum.

Memberi nama seorang anak dengan orang suci lokal adalah kebiasaan yang menyebar di semua agama, contoh orang Muslim yang sangat terkenal yang menjadi anak Raja akbar Salim, yang kemudian menjadi raja bergelar Jahangir…

Pada hari menjelang ajal, Anda akan dipanggil dengan nama Anda dan nama ayah Anda maka pilihlah nama yang baik (terhormat), sabda Nabi. Zaman dulu memberi nama anak dengan nama-nama benda yang dilihat pertama saat kelahiran anaknya.

Nama juga mempunyai fungsi penting untuk mengikat anak ke dalam kesatuan keluarga. Maka nama anak laki-laki dalam beberapa kasus dipanggil serupa nama kakeknya yang sudah meninggal, gadis dengan nama neneknya. Jika ia masih hidup, maka barangkali ia memilihkan nama untuk cucunya.

Pemberian nama anak di Turki adalah tiga hari setelah tali pusar dipotong, kemudian nama resmi diberikan saat aqiqah pada hari keenam setelah kelahiran, dalam hadist yang diriwayatkan Nawawi menganjurkan hari ketujuh. Masyarakat sering mencari hari yang baik untuk acara tersebut, dan nama resmi biasanya dipilih dan diberikan oleh orang yang dihormati seperti anggota keluarga yang lebih tua.

Di Turki, khususnya Istambul, ketika seorang anak jadi penakut, nakal, atau sulit diatasi (sehingga orang berpikir) disebabkan ‘namanya terlalu berat disandang’. Di Indonesia, mas atau almas ad-diin (mutiara agama), dhahab ad-diin (emas agama) dan ‘aqiq ad-diin (batu akik pada agama) banyak dijumpai.

Tampaknya nama-nama geografis digunakan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki – barangkali karena kata Arab, ard’ ‘bumi, tanah’ adalah kata yang berjenis kelamin perempuan (muannats), seperti Dunya, ‘dunia ini’, Kayhan (P), ‘dunia’, dan Kishwar (P), ‘tanah’ adalah digunakan untuk perempuan.

Memilih nama Islam, rasanya mengagetkan dan mengherankan bagis Muslim yang saleh, ketika membaca di buku telepon modern sebab begitu banyak nama-nama Tuhan muncul sebagai nama-nama keluarga seperti Haq (Haque, Huq, dan lainnya), Wahid, Ghaffar, dan sebagainya.

Dalam hadist menganjurkan kepada orang beriman, ‘Nabil. Di zaman Khalifah Umar (634-644) menentang penggunaan nama-nama Nabi, barangkali karena khawatir menjadi jelek oleh penggunaan yang ajek.

Nabi suci yang misterius al-Khidir (Khidr, Khizir, Hizir), pembimbing perjalanan dan jenius dalam tetumbuhan hijau dan sungai-sungai, juga cenderung namanya jadi nama anak laki-laki. Nabi bersabda, “Jika seseorang mempunyai empat anak dan tak memberi salah satu di antara mereka dengan namaku, dia telah menyakiti aku.”

Lebih lanjut dalam konteks ruang dan waktu, umat Islam bergerak dari asal-usul yang lebih mereka perlukan untuk mengidentifikasi diri sebagai anggota keluarga atau bahkan keturunan awal dari masyarakat orang-orang beriman.

Banyak dari nama-nama laki-laki yang dibentuk dengan menambahkan akhiran feminin Arab-a (-e) – yang karenanya dijumpai seperti, Salima (Selime), Naziha (NEzihe), Jamila (Cemile) – dari nama-nama yang berdasarkan bentuk fa’il – atau Sabira, Shakira…

Wanita diibaratkan seperti mimpi, karena itu nama-nama seperti Ru’ya (pengelihatan), Hulya ‘mimpi’, dan Sarab ‘khayalan belaka’. Dan kecantikan tiada tara dinyatakan dengan Farida (A) dan Yegane (P) ‘unik.

Salah satu fungsi dasar dari laqab (nama julukan, bentuk jamak dari alqab) adalah untuk membedakan orang-orang yang memiliki nama yang sama. Cara ini dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan pada yang lebih tua dan yang lebih muda seperti Hasan alkabir dan Hasan as-saghir ‘Hasan besar dan Hasan kecil’. Jadi ingat di kampung halaman, ada dua nama jawa dengan akhiran No dalam keluarga tetangga, nama dipanggil ‘No besar dan No kecil.’ Untuk tak memanggil alqab yang tak disukai.

Banyak yang dibicarakan dalam bahasa-bahasa Islam yang lainnya dan biasanya menghilangkan artikel Al-, ini seharusnya tidak terjadi, bagaimanapun mengasumsikan bahwa mereka semua mengindikasikan sebuah profesi seseorang mendatang.

Kita tidak membutuhkan penyebutan hajji, orang yang melaksanakan ibadah haji, ziarah ke Mekkah; juga tidak dengan penyebutan qadi (hakim agama) dan mufti (orang yang memberikan pendapat yang legal).

Ibn Rashiiq pernah bilang, “Julukan mulia yang tidak pada tempatnya yang pantas – ibarat seekor kucing yang membusungkan badannya ingin menyerupai singa.”

Ketika Ibn Maymuun mencapai Mesir dari tanah leluhurnya Maroko, dia mengeluh bahwa orang-orang menukar nama Shams ad-diin atau Zyan ad-diin secara berturut-turut, dengan demikian mengenalkan sebuah bid’a, suatu pembaruan yang menyimpang, dan telah mengubah sunah Nabi dan menggantinya dengan sebuah pembaruan dari setan.

Suatu cara untuk mengungkapkan rasa kasih sayang adalah dengan menggunakan nama panggilan. Akan tetapi, bentuk-bentuk nama panggilan dapat juga digunakan untuk celaan, dan Nabi dengan cepat mengingatkan kepada para pengikutnya untuk menggunakan dalam kerangka tujuan yang bersifat memprotes, tahqir.

Ketika sebuah nama mengandung suatu barokah yang besar, maka nama itu mungkin musti diubah jika beberapa kemalangan menimpa anak karena namanya ‘begitu besar’ untuknya, atau tidak cocok dengan penempatannya atau dengan syarat astrologis pada jam kelahirannya. Nabi sendiri telah mengubah nama-nama dari beberapa pengikutnya, karena beliau tak ingin nama-nama yang buruk digunakan dalam komunitas Muslim.

Jelas sekali buku ini ditulis di Barat untuk konsumsi orang Barat, bagi kita yang di Timur jauh banyak hal sudah sangat lumrah dan umum dijumpai. Nama-nama kita kalau di-silsilah, contohnya Orang Sunda/Jawa bagaimana nama Asep atau Joko itu muncul juga bakalan terasa syahdu di dunia Barat sana. Sejatinya segala sesuatu memang memiliki keunikan sendiri. Nama-nama Islam juga sering kita jumpai, sebab Indonesia adalah Negara dengan agama Islam terbesar di dunia. Perpaduan kata dari berbagai bahasa juga lazim, maka Islamic Names karya Annemarie Schimmel ini terasa biasa kita baca. Tak banyak telaah mendalam sebab mengartikan bahasa Arab juga dengan mudah kita dapatkan.

Ini buku kedua beliau yang kubaca, dari ‘Dunia Mistik dalam Islam’ yang wow itu, jelas ini penurunan. Namun jelas, buku-bukunya tetap kuburu. Perempuan Jerman menulis tentang Islam, khususnya sufi, jelas manusia langka, atau seharunya Annemarie Schimmel seharusnya juga di-Islam-kan namanya biar afdol?

Rahasia Nama-nama Islam | by Annemarie Schimmel | Diterjemahkan dari Islamic Names | Edinburg University Press, 1989, 1995 | KP. 008.01 | Cetakan pertama, Maret 2008 | Penerjemah Didik Komaedi & Maya Fevy Octavia | Penyunting Esti Sukapsih | Desain sampul Abu Nayla ZS | Tata Letak Agus Winarso | Penerbit Kibar Pustaka | Skor: 3.5/5

Karawang, 050621 – Gina Sicilia – Nobody’s Darling But Mine

Thx to: Bagus, Jkt

Renungan Kloset #4

#30HariMenulis #ReviewBuku #4 #Juni2021

Renungan Kloset by Rieke Dyah Pitaloka

Maaf, Tak bisa kutulis banyak
Tinta habis
Tadi malam kugoresi langit
Dengan namamu – Puisi Maaf (h.42)

Seperti syair-syair yang lain, rasanya memang paling enak dibaca dengan nyaring. Namun tetap esensi yang utama, di sini tetap membumi dengan bahasan umum. Terbagi dalam lima bagian utama yang direntang tahun: 1998, 2000, 2001, 2002, 2003. Sejalan dengan perjalanan hidup Rieke yang tumbuh makin matang. Ditulis di banyak tempat, daro kota-kota lokal hingga manca Negara, yang secara alami bilang sudah berpesiar di belahan dunia jauh. Zaman itu adalah masa-masa kita menikmati wajah Oneng dalam Bajaj Bajuri. Kala itu saya tak tahu bahwa itu juga penulis.

Tema umum di sini tentu saja merentang hal-hal lumrah keseharian yang kita temui. Kebosanan menjadi yang paling banyak disinggung, rutinitas keseharian. Berangkat, kerja, pulang, tidur dengan monoton yang mengancam jiwa manusia, kalau kata Bung Seno di pembuka sambutan: “Anda telah mengalami kematian budaya.” Bahkan dengan selingan di masa libur nonton film, ke puncak, sampai rekreasi lainnya, tetap saja kematian budaya sudah merasuk.

Terlihat Rieke vocal terhadap kemanusiaan, memerjuangakn hak-hak perempuan. Menyuarakan rakyat jelata, memenuhi halaman-halaman dengan kritis dan daya mendobrak kezaliman. Ini ditulis sebelum ia menjadi politikus, suaranya jelas masih jernih dan tak berpihak. Sungguh politik memang diperlukan, tapi saat sudah jadi politik praktis maka objektif hanya omong kosong. Saat menjadi bagian tampuk kekuasaan, ia tak akan bisa sebebas menjadi oposisi. Saat menjadi oposisi, rasanya nada sumbang yang berdasar juga sangat umum dan banyak. Paling enak memang berpegang pada humanisme, berbagai sisi nyaman dan terkendali.

Kebudayaan yang dimaksud adalah perbincangan antara hati dan kepala ketika merenungkan dunia – dalam perbincangan itu berlangsung tarik menarik, antara menyerah, melawan, atau menawar, kepada proses kematian budaya. – halaman xiii. Dunia dengan segala kesibukan dan jeda yang menyela sesaat. Renungan yang pantas dilakukan, dalam kloset yang bau menguar.

Berikutnya saya kutip beberapa puisi yang bagus per tahun sebagai gambaran betapa tema syair memang bebas, merdeka. Tak terikat dengan plot, sehingga bisa melalangbuana ke puncak angkasa.

#1998

Tegar

Apakah tegar itu, nyiur yang bergeming dalam badai, tak beranjak terhempas ombak?

Atau setetes air yang tak henti, jatuh tetes demi tetes sepanjang waktu melubangi bebatuan?

Atau nyanyian para pekerja di antara deru mesin yang selalu terjaga? – Depok, 20051998 (h. 7)

#2000

Mempelai Wanita

… Suatu hari,

Perempuan itu meninggalkan dalam beku yang dingin seperti biasa, senyumnya tetap menempel di sudut jendela dan pintu

Lelaki itu memeluknya dalam derai air mata, entah tangis kehilangan entah tangi bebas dari belenggu… – Tebet, 15062000 (h.17)

#2001

Setangkai Cinta

Tak perlu bangun

Begini saja, berapa pun jarak kita kan kukirim untukmu setangkai cinta setiap hari

Setuju? – Sukabumi, 12062001 (h.29)

Note

Ini penting:

Kalau nanti malam kau bertemu tuhan
Tolong tanyakan padanya apakah Adam diciptakan untuk memperkosa Hawa?
Ini penting! – Tebet, 24062001 (h. 34)

#2002

Sepenggal Adegan

Kurajam tubuhnya

Dalam desah dan senyum yang teriring dari

Mulutnya

Kurajam tubuhnya

Dalam keyakinan cinta yang semu

Kurajam tak kubiarkan

satu tetes keringat pun

lolos dari usapanku

kuhempaskan dalam pasir

sorga sesaat

Adam dan Eva

Ia menatap penuh cinta

Siapa tahu

Hatiku pun

Disandra benci

Tak berujung – (h.83-84)

#2003

Mengapa Aku Sayang Padamu?

… kau singkap kelambu hatiku,
Kau tuang anggur ke dalam cawanku,
Dua centi meter dari dasarnya,
‘aku tak ingin kau mabuk’ katamu.
Karena sayangmu tak lebih dari seberkas cahaya yang menemani malam…

Cengkeh, 24012003 (h. 87)

Secara garis besar saya memang sulit menikmati puisi, sampai sekarang saya masih ragu dan rancu bagaimana idealnya menikmati puisi. Kalau cerpen masih enak sebab setiap bab memang bisa berdiri sendiri dan punya plot penggerak. Novel, apalagi. Nyaman banget. Satu buku adalah satu cerita yang mana semua adalah kesatuan. Puisi, bukan hanya satu bab. Satu judul aja bisa bebas bergerak dan tak nyambung. Seenaknya penyair, senyamannya pembaca, sebebasnya penafsiran. Berjalan mengalir mengikuti, sudah tiga empat tahun lalu memang saya usahakan ada buku puisi masuk dalam daftar baca, kata orang pokoknya nikmati, jalani, nanti juga ketemu klik. Sampai sekarang klik itu belum benar-benar menyatu. Masih butuh waktu, dan pencarian. Renungan Kloset jelas masuk pusaran percobaan, dan kalau penilaianku tak tepat atau penafsiranku tak pas ya mohon dimaklumi. Hidup puisi Indonesia!

Saya mengenal sang penyair sebagai politisi PDIP Perjuangan saat ini. Sebelumnya mengenal sebagai artis di serial Bajaj Bajuri. Ini bukan buku pertama beliau yang kutuntaskan, sebelumnya juga pernah baca kumpulan puisinya. Dan ternyata hebat, basicnya juga hebat, salut. Akrab dipanggil Keke, lahir di Garut, 9 Januari 1974. Lulusan Fakultas Sastra Belanda di Universitas Indonesia, lalu mengikuti program pasca sarjana Ilmu Filsafat di Universitas yang sama. Renungan Kloset adalah buku kumpulan puisi pertama beliau.

Suatu saat mungkin saya juga akan menulis puisi, salah satunya bisa jadi ada kata kloset sebab di toilet segala imaji menjadi lebih nyata ketimbang kenyataan itu sendiri.

Renungan Kloset, dari Cengkeh sampai Utrecht | by Rieke Dyah Pitaloka | GM 201 03.006 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Mei 2003 | Cetakan kedua, September 2003 | Foto kloset oleh Doddy | Desain cover Edward IWan | Ilustrasi isi Mirna Yulistianti | 120 hlm.; 14 x 12 cm | ISBN 979-22-0267-6 | Skor: 3.5/5

Karawang, 040621 – Sara Lazarus – Morning

Angel of the Dark #3

#30HariMenulis #ReviewBuku #3 #Juni2021

Malaikat Cantik Pembunuh Serial aka Malaikat Kegelapan by Tilly Bagshawe

Kedua sayapnya kelabu dan terseret-seret, Azrael, Malaikat Maut, Namun jiwa-jiwa yang dibawa Azrael Melintasi gelap dan dingin, Menengadah dari bawah sayap-sayap terlipat itu, Dan mendapatinya berhiaskan emas.”Robert Gilbert Welsh, ‘Azrael’ (1917)

Novel pertama serial yang mengekor Sidney Sheldon yang kubaca, bagus. Menegangkan, gaya dan alurnya mencoba sama dengan sang maestro. Kejutan ada, pace-nya cepat, karakter ganteng dan cantik, kekayaan yang melimpah, misteri pembunuhan yang dibuka sampai bab-bab akhir. Dan saya terpikat gaya keliling dunia, dengan salah satunya nuansa lokal. Jangan lupa, karakter perempuan yang kuat bak batu karang. Malaikat perempuan yang rapuh ini memiliki kekuatan mematikan, langsung mengingatkanku pada mayoritas karakter ciptaan Sheldon…

Adakah kegilaan di dunia ini yang lebih hebat dari kegilaan cinta? Tema yang diusung tentu saja masih tentang cinta. Kata mujarap membawa dua sisi baik/buruk secara bersamaan. Ini kasus berat, kasus kriminal nomor satu. Pembunuhan dan pemerkosaan dimana dua korbannya diikat rumit dengan simpul setengah belit ganda. Pembunuhan berantai yang mencipta penuh penyidik.

Awalnya kita diajak menjadi Danny McGuire, detektif yang menyelidiki pembunuhan konglomerat tua kaya raya Andrew Jakes. Istrinya Angela Jakes diperkosa dan diikat dengan mayat korban. Danny terpesona sama korban. Sudah kukira dia bukan pengincar harta. Aku bisa merasakannya. Aku harus belajar untuk lebih memercayai instingku. Kasus di Los Angeles, Amerika ini tak terpecahkan, setelah pemakaman korban, sang janda menghilang tanpa mengambil harta warisan yang sepenuhnya disumbangkan ke badan sosial. Suami. Betapa senangnya ia mengucapkan kata itu, menggulirkannya di pikiran dan di lidah seperti permen yang lezat.

Kasus berikutnya di London. Berselang beberapa tahun, proses dan plotnya mirip sekali dengan di LA. Milyuder tua menikah dengan gadis cantik memesona, korban dibunuh dengan sadis, istri diperkosa dan diikat dengan korban. Lalu hari berikutnya, puff semua lenyap. Sang janda tak mengambil uang, lalu menghilang.

Beberapa tahun kemudian terulang lagi di Saint-Tropez, Prancis. Meningkatkan hasratnya pada risiko. Risiko yang terkalkulasi. Selalu sama, sang lelaki kaya sudah kehilangan hasrat hidup, lalu muncullah gadis cantik. Dia seperi manusia korek api, dikirim untuk menghidupkanku. Dan alurnya sama. Mengerikan, sungguh mengerikan. Ini dunia yang ganas, seganas anjing Doberman bergigi tajam.

Dari tiga kasus ini, muncullah Matt Daley. Anak Jakes, korban pertama yang mencoba menyelidiki lebih lanjut. Ia adalah penulis yang berencana mengadaptasi kasus ke Hollywood. “Saya penulis, saya tertarik pada pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.” Anda tahu betapa misteri yang tak terpecahkan bisa membuat kecanduan. Interpol saja gagal mengungkap pembunuhan ini, apa yang membuatmu berpikir kau mampu melakukannya?

Pernikahan beda usia, pemerkosaan, pembunuhan sadis, korban yang diikat jadi satu. Itu saja sudah menunjukkan pola. L.A, London, Saint-Tropez. Angela Jakes, Tracey Henley, Irina Anjou. Dan ternyata belum berhenti. Kasus keempat muncul di Asia, tepatnya di hiruk pikuk Hongkong. Pernikahan sempurna antara kemewahan dan kesederhanaan dengan kolam renang besar, dinding berlabur putih, dan lantai kayu gelap bergaya kolonial.

Kali ini mengambil nama Lisa Baring. Polanya seperti sebelumnya, Matt yang penasaran langsung terbang ke sana. Ia berusaha tahu lebih jauh, Lisa sempat tertahan visanya tapi akhirnya tetap dapat izin meninggalkan Negara. Mengambil Bali sebagai destinasi memulihkan jiwa. Efeknya dia terlihat lugu sekaligus berpengalaman, murni sekaligus menggoda.

Matt turut ke sana. Dan berefek dahsyat. Ia jatuh hati sama Lisa, menyelinap di penginapan Bali dan setelah cek-cek dikira maling justru mengakrabkan keduanya, sampai saling cinta dan berakhir di kamar tidur. Aku belajar dari pengalaman pahit. Untuk apa membuat rencana-rencana indah hanya untuk melihatnya hancur menjadi penderitaan, kematian, debu. Lisa tertawa, bagiku kematian sebagai jalan keluar. Kematian tidak membuatku takut. Pihak berwenang Indonesia sama sekali tidak membantu.

Seolah menolak membicarakannya, dapat membuat kenangan itu menghilang. Ketika mengamati Lisa menyerap tehnya, ia memaksa diri untuk mengingat. Hal-hal yang lebih aneh sudah pernah terjadi.

Tapi tak bertahan lama. Dua sejoli ini lalu malah kena sergap pasukan Interpol Hongkong. Inspektur Liu belum pernah jatuh cinta dan berharap tak akan pernah mengalaminya, cinta membuat orang bertindak bodoh. Menyeret balik Lisa dan Matt yang linglung mabuk asmara merasa kehilangan. Matt berkata, “Aku sangat mencintaimu. Aku tak peduli apa yang terjadi sebelum aku dan kau bertemu.”

Aku tidak memikirkan apa pun. Tugasku bukan berpikir.

Kembalinya Lisa ke sana, dikejar pula sama Matt. Sebagian besar hidupnya dilewatkan di bawah awan gelap ketakutan, menunggu kecemburuan seorang lelaki meledak menjadi kemarahan dan kekerasan, menunggu untuk terluka. Maka bak pahlawan, Matt mencoba menyelamatkan Lisa. “Tapi bagaimana kalau masa lalu seseorang bagaikan mimpi buruk? Bagaimana kalau lebih buruk daripada yang dapat kau bayangkan? Bagaimana kalau tak termaafkan?” Dengan lugas dijawab, “Tak ada yang tak termaafkan. Aku tidak mencintai masa lalumu, Lisa. Aku mencintaimu.” Ide melarikan diri ke Maroko digagas. Mungkin bersama pria itu ia bisa melarikan diri, mengalahkan takdirnya. Berbahagia. Namun rencana tinggal rencana, Lisa esoknya menghilang.

Kasus kelima muncul, atau hampir muncul. Kali ini di India. Pola itu sudah terbentuk dan alibi bisa dikemukakan. Claude merasakan gelenyar kegembiraan familier yang selalu ia rasakan saat sebuah kasus hendak terungkap. Perilaku manusia dikacaukan dengan kesalahan dan ketidakkonsistenan. Namun bukti forensik bila ditangani dengan benar, tak pernah berdusta. “Pekerjaan saya adalah bertahan pada fakta-fakta. Mengakhiri spekulasi liar dan rumor yang melingkupi klien saya, serta menunjukkan kebenaran kepada Anda.”

Di India, sang konglomerat salon korban jatuh hati sama pengajar yang berwajah polos dan terlihat baik hati. Mereka menikah dan tampak sangat bahagia. Sampai akhirnya tim penyidik mengetahui jejak Lisa. Nama aslinya Sofia Smith. Setelah menikah menjadi Sofia Miriam Basta Mancini. Setelah dilakukan banyak telaah Matt menemukan masa lalu gadis pujaan. Betapa mengerikan mengetahui masa lalu buruk orang terkasih. Mengganti nama barangkali manifestasi eksternal paling jelas mengenai kondisinya.

Setelah tahu betapa busuknya Lisa-nya, apakah ia muak? Oh tidak, aneh bukan? Satu hal tentang lelaki itu: dia takkan pernah ‘melupakan’ Sofia. Sofia tidak terlupakan. Mengambil nama Sarah Jane, kali ini pembunuhan bisa dicegah. Danny bekerja sama dengan calon korban, dan penyidik lokal mencoba menjerat Sofia dan lelaki yang teridentifikasi bernama Frankie ‘Lyle Renalto’ Mancini. Jebakan itu nyaris gagal, Matt tiba-tiba muncul dan hampir saja terbunuh. Gegap gempita malam pengungkapan kasus yang dahsyat. Yang jelas perjalanan Sofia dan Frankie berakhir di India.

Kasus pembunuhan berantai ini lalu mengambil alih berita dunia. Tayang di Fox dengan judul ‘Azrael: Rahasia dan Dusta.’ Kisah selanjutnya adalah persidangan yang berbelit-belit, kasus dibawa ke Amerika, tempat segalanya dimula, padahal beberapa Negara tempat kejadian siap menggelar perkara dengan ancaman hukuman mati. Dan segalanya kembali membumi. Cinta sedahsyat angin puyuh. “Aku hanya sangat bahagia melihatmu bahagia.”

Keputusan pengadilan sendiri tampak ideal. Hukuman diberlakukan dengan timbang tindakan kriminal berat. Buku yang lama sudah ditutup. Selesai? Oh ternyata belum, ada satu hati yang masih gundah gulana. Matt yang malang, ia membutuhkan seseorang untuk dibenci agar bisa terus mencintai Lisa. Sering kali mencoba menjenguk ke penjara hanya untuk bertemu Lisa alias Sofia, tapi tak pernah disambut. Namun suatu hari hati sang cewek luluh juga, ia pun menyusun strategi, yang disambut dengan suka cita Matt yang kini sudah menikah dan punya anak. Lepas? Ikhlas? Ending yang luar biasa keren! Ia tak merasa bersalah tentang bersamanya dengan Matt hari ini. Apa yang barusan terjadi, ia yakin memang ditakdirkan untuk terjadi.

Hantu Angela Jakes akhirnya beristirahat dengan damai. Merengkuh kenangan yang tersisa.

Malaikat Kegelapan | by Tilly Bagshawe | Diterjemahkan dari Sidney Sheldon’s Angel of the Dark | Copyright 2012 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | 6 15 1 85 010 | Alih bahasa Barokah Ruziati | Editor Bayu Anangga | Desain sampul Iwan Mangopang | Maret 2015 | Cetakan keempat, Februari 2017 | ISBN 978-602-03-2048-9 | 464 hlm: 18 cm | Skor: 4/5

Untuk saudara perempuanku, Alice

Karawang, 030621 – Worrisome Heart – Melody Gardot

Belajar Mencintai Kambing #2

#30HariMenulis #ReviewBuku #2 #Juni2021

Sepandai-pandainya kamu memelihara kambing, kamu kan bukan dokter hewan. Mana tahu kalau embik-embik itu karena matanya sakit, sementara aku juga lihat mata kambing itu merah saja tidak, ya diikhlaskanlah.”

Kumpulan cerpen dari Penulis yang menghantar kita lewat novel terkenal Dawuk. Sama bagusnya, rerata kisah di cerpen membumi, menjadikan kita bisa dengan mudah membayangkan, mengira-ira bagaimana rasanya menjadi bagian plot. Sebagian cerita tentang kucing, binatang rumah kesukaan banyak orang. Sebagian cerita tentang kera, yang aneh dan misterius. Sebagian lagi tentang kambing, yang akan dikurbankan dan yang dipelihara dengan cinta terpaksa. Lika-liku kehidupan yang umum, normal, menghantui. Karena tipis, kubaca kilat di akhir bulan juga selesai, pasca nonton Oscar. Kukupas sedikit tiap cerpennya.

#1. Moh Anas Abdullah dan Mesin Ketiknya

Pembuka yang mantab, sebab ide cerita bisa datang dari mana saja. Bagaimana kalau suara-suara di dalam kepala yang berisik itu yang menghantui penulis. Ya uang, tulisannya harus menghasilkan uang. Dengan dalih keuangan, seorang penulis idealis berubah haluan menjadi penulis cerita seks, cerita semacam itu laku keras, maka ia memakai nama pena agar tak malu. Dengan komposisi itu harusnya aman, tapi suara-suara dari dalam itu terus saja mengusik, dan akhirnya muncul keputusan ekstrem guna mencipta sunyi.

Apa yang bisa diberikan cerita-cerita tidak laku itu? Kepahlawanan? Rasa sok suci yang menggelembungkan dada? Kebanggaan oleh pujian yang cuma-dua? Idealism itu tidak nyata, Tik.

#2. Jeritan Tengah Malam

Cerita kedua juga tak kalah ganasnya. Membunuh gerombolan kera karena merasa terganggu, panen yang gagal dan sekelompok petani ini memutuskan membumihanguskan kawanan binatang di puncak bukit. Kejam, sadis, hina. Benar-benar tak berperikeraan, tapi segalanya memang tak mudah. Jeritan itu malah mencipta akhir yang lain. Bagaimana kalau, kalau, dan pengandaian lain yang patut disesali. Kera kecil itu menjelma berisik dalam kepala.

#3. Melati

Ini cerita tragis pula, Pak Wi dan kucingnya bernama Melati yang hilang entah kemana. Setelah dicari lama, akhirnya dipastikan Melati mati. Sebab dan akibatnya sebaiknya dibaca langsung, sungguh dunia ini penuh dengan kegilaan dan traumatisme. Kehilangan (orang) terkasih itu berat, termasuk memanusiakan kucing. Kehilangan kucing terkasih itu berat.

#4. Mufsidin Dimakan Kucing

Ini kucing lagi, orang gila yang tersembuhkan setelah makan lima ekor kucing. Mufsidin yang bertobat, tapi kebablasan, setiap menemukan kesalahan di depannya langsung dihardik dan diluruskan, risi dan membuat geram. Ia pernah kena pasung, pernah pula membubarkan panggung pengantin yang mengganggu pengguna jalan, ia dianggap gila. Dan kisah dari Malaysia dianggap menutup yang pas, menyedihkan.

#5. Jin-jin Itu Tak Lagi Sekolah

Semacam protes atau kritik pendidikan kita yang amburadul. Jin-jin yang turut sekolah, lalu berjalannya waktu tak mau sekolah. Iri hati itu musuh jahat, walaupun dari dunia sebelah. Dan pendidikan dua arah yang canggung serta mengkhawatirkan. Dasar antek PS!

#6. Belajar Mencintai Kambing

Lucu, seru, ironis. Saya ketik penuh dua paragraf di back cover: “Saat musim libur sekolah itu, ia berharap dibelikan sepeda. Namun, bapaknya malah membelikannya seekor kambing.

Kambing bisa membuatmu lebih dewasa, sedangkan sepeda akan membuatmu tetap jadi kanak-kanak.” Demikian bapaknya memberi alasan.

Nah, sebenarnya sinopsis singkat ini cukup jelas, tapi tetap saja sesak di akhir. hiks, kambing memang tak sejahat manusia.

#7. Wadi

Kisah paling aneh. Thriller, horor, pembunuhan. Dikisahkan dengan absurditas, bagaimana kelahiran anak yang saling silang. Wadi yang menyetubuhi ibunya? Istri yang memiliki benih bukan dari Wadi? Dan segala narasi berkelindan. Malam yang aneh dan pagi yang bahagia itu diakhiri dengan saat hari menjelang siang. Dunia koma.

#8. Iwan

Lucu, ada benarnya juga. Iwan yang lahir dan tumbuh di Malaysia dipulangkan dan percobaan menjadikannya 100%. Dengan logat aneh melanjutkan sekolah di Jawa Timur dengan bahasakeseharian Jawa. Bulik Marwiyah setelah beberapa hari mengantar Iwan, anaknya pulang ia harus balik ke tanah rantau. Haru biru ditinggal lama orangtua.

Ini jelas kisah nyata, ada nama abang Mahfud disebut.

#9. Kambing yang Sempurna untuk Idul Adha

Dalam pemahamannya yang sederhana, ia sudah merasa melakukannya.
Pengorbanan dan harga diri. Berkurban bisa dengan apa saja, dengan keikhlasan penuh mengharap ridho Allah. Hari Raya Kurban bisa pula jadi ajang pamer, siapa yang bisa kasih kambing gemuk jantan nan cemerlang. Sebuah kebanggaan tersendiri bisa menunaikan hajat memberi daging buat orang lain.

Naryo yang menginginkan berkurban, jauh hari sudah memiliki kampung bagus nan sempurna. Sampai jelang hari H, kambingnya buta. Ya, ia tak bisa melihat cuma mengembik berulang kali. Karena cedera kambing itu jelas tak bisa dijadikan hewan kurban, Naryo lalu melakukan hal-hal yang tak semestinya dilakukan. Menipu demi ambisinya.

#10. Mata, Bola

Ini kisah bisa terbaca bagus sekali, sayangnya saya sudah membaca kisah yang mirip milik Bung Yusi Avianto Pareanom. Bagaimana seorang kiper yang cedera dalam perjalanan kereta sebab kena lemparan batu supporter, yang lalu membunuh kariernya secara mendadak. Bayangkan, seorang calon bintang, calon kiper Timnas menjadi luka permanen karena keganasan pendukung yang membabi buta.
Nah, kisah itu sangat mirip dengan Mata, Bola. Slamet Sudarmanto apes kena pecahan kaca di matanya saat bertandang di stadion yang rusuh, ia yang awalnya adalah harapan bangsa malah menjelma beban sebab kariernya berantakan.

Kisah jadi begitu melankolis romantis saat pacarnya Nurhasanah tetap setia, bahkan saat akhirnya dipaksa main tarkam lalu pensiun dini, lalu menjadi manusia biasa yang sangat membenci sepakbola. Dunia berjalan dengan anehnya. Sang legenda berubah menjadi Suhu Mata Satu.

Secara keseluruhan sangat bagus, memainkan banyak ironi. Beberapa jelas adalah pengalaman pribadi, penyebutan Malaysia contohnya, di tradisi penulis merantau adalah kewajaran. Bahkan saya pernah baca di kumpulan esainya, orangtua Cak Mahfud-pun merantau ke Negeri Jiran. Dari pembuka sampai jelang akhir sangat memuaskan. Ditulis dengan apa adanya, menjadikan fiksi yang layak dipajang di rak buku berjejer dengan karya lainnya.

Sayang di cerpen terakhir terasa familiar, Mata, Bola bagus tapi citarasa original terenggut. Walau hanya ingatan samar, cerpen ini rasanya akan aneh bila dibilang hanya kebetulan.

Belajar Mencintai Kambing | by Mahfud Ikhwan | 2019 | Cet. 1, Januari 2016 oleh Buku Mojok | Cet. 2, April 2019 | vi + 132 hlm.; 12 x 18 cm | ISBN – | Editor Nody Arizona | Pemeriksa aksara Prima S. Wardhani | Penata letak isi M.S. Lubis | Perancang sampul Al Farisi | Penerbit Pojok Cerpen | Skor: 4/5

Karawang, 020621 – Al Jarreau – Midnight Sun

Seni Menulis #1

#30HariMenulis #ReviewBuku #1 #Juni2021

Tak ada seorangpun yang bisa melepaskanku dari kenikmatan membaca dan mendengarkan musik.”

Juni datang lagi, maka acara #30HariMenulis #ReviewBuku dimulai. Untuk tahun ini saya tak membatasi satu penulis dalam satu bulan, bisa saja tiga atau bahkan empat penulis sama kusajikan. Tak masalah, saya sendiri yang membuat acara, saya pula dong yang menetapkan. Aturan upaya mengulas 15 penulis lokal, 15 terjemahan tetap. Mari kita lihat, yang pertama jelas penulis favorit sepanjang masa, kali ini dari Circa yang tipis.

Seni menulis berisi tujuh tulisan plus satu lampiran wawancara rilis buku ‘Membunuh Commendatore’, dari berbagai sumber jadi kalian tak akan menemukan buku aslinya kecuali dari berbagai sumber yang disarikan. Menarik dan sangat menggairahkan melahap kata-kata dari idola. Setiap tulisan diawali dengan kutipan keren, saya ketik ulang kutipan tersebut biar nyaman dibaca online berulang kali.

#1. Pelajaran Menulis dari Musik Jazz

Saat menulis aku tak tahu apa yang akan terjadi dalam tulisanku. Aku dan pembaca berada di pijakan yang sama, saat memulai sebuah cerita aku tak memiliki kesimpulan akhir dan tahu adegan apa yang kelak akan terjadi. Misalkan cerita itu diawali dengan kasus pembunuhan, aku bahkan tak taju siapa pelakunya. Aku menulis cerita untuk menyingkap si pelaku tersebut, kalau ku sudah tahu pelakunya, taka da gunanya aku menulis. – Dari wawancara dengan John Wraym The Paris Review, edisi musim panas 2004

Ya, saya juga suka sekali musik jazz. Makanya sangat cocok sama Murakami, saya juga suka kucing, saya pun suka lari sore. Di sini, beliau berkisah bagaimana musik banyak memengaruhi karyanya. Salah satu pianis jazz favorit Thelonious Monk saat wawancara bagaimana bisa menghasilkan nada yang khas, ia menjawab, “Tak ada not baru, bot-bot itu sudah ada di sana, di kibor piano itu. Tapi kalau kau memainkannya dengan terarah, nada-nada itu akan terdengar berbeda. Maka kau harus benar-benar memainkan nada-nada itu secara lebih terarah!.”

Maka sama Murakami dimodif menjadi, “Tentu tak ada kata-kata yang baru. Tugas kita sebagai penulis adalah menyuntikkan makna dan nuansa baru atas kata-kata yang terlanjur dianggap terlalu biasa itu.” Artinya nun jauh di sana masih terbentang sehamparan wilayah subur yang luas dan belum terambah, wilayah yang menunggu untuk kita olah.

#2. Novelis di Masa Perang

Bagiku menulis itu seperti bermimpi. Saat menulis aku bisa bermimpi sekehendakku. Aku bisa memulai dan mengakhirinya kapan pun, dan bisa meneruskan mimpi itu keesokan harinya. – Dari wawancara bersama Deborah Treisman, The New Yorker, 10.02.19

Ini adalah adalah pidato yang disampaikan di tahun 2009 saat menerima Jerusalem Prize, di tengah konflik ia dengan tetap profesional. Sejenak mari kita pikirkan, masing-masing dari kita memiliki jiwa yang nyata dan hidup, sedang sistem tak berjiwa.

#3. Realitas A dan Realitas B

Kalau sedang tidak menulis, aku menerjemahkan, itu hal yang bagus untuk kukerjakan sambil menunggu datangnya ide: dengan menerjemahkan aku tetap menulis, tapi bukan karyaku sendiri. Bagiku menerjemahkan itu seperti latihan atau kerja fisik. Aku juga joging dan mendengarkan music dan melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti menyetrikan. Aku suka menyetrika. – Dari wawancara bersama Sarah Lyall, Independent, 12.10.18

Ini adalah ide dasar menciptakan 1Q84 di mana tercipta realitas lain dari tahun 1984. Jadi banyak menyampaikan pengandaian, cerita-cerita itu berubah menjadi bebas tiap kali menghirup udara di zaman baru. Kita tak akan bisa kembali ke tempat kita memulainya.
Tujuan novel ditulis bukan untuk menghakimi mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang jahat. Yang terpenting memastikan keselarasan antara elemen yang sifatnya berubah-ubah dan elemen yang bersifat tradisional dalam diri kami, memastikan apakah kisah-kisah individual dan komunal dalam diri kami memiliki akar yang sama.

#4. Penghayal yang Bebal

Hal yang harus dilakukan oleh seorang yang ingin menjadi novelis adalah membaca berton-ton novel. Maaf, kalau apa yang kusampaikan ini klise, tapi memang inilah latihan terpenting yang harus dijalani. Kalau kau ingin menulis novel, kau harus mengerti susunan sebuah novel. Kalau kau masih muda dan kau ingin menjadi novelis, membaca sebanyak mungkin novel adalah hal yang tak terelakan. Kau harus membaca segala jenis novel yang ada dalam jangkauanmu. Novel bagus, novel pas-pasan, bahkan novel sampai sekalipun, yang penting kau selalu membaca novel. Kau harus menyerap sebanyak mungkin cerita. Mulai bacalah tulisan-tulisan bagus, juga tulisan-tulisan semenjana. Itulah hal penting yang harus kau lakukan. – Dikutip dari esai berjudul “So What Shall I Write About?

Dalam bahasa Jepang ada kata berbunyi ‘mujo’ berarti segalanya bersifat sementara. Segala yang hadir di dunia berubah dan akhirnya akan lenyap tak tersisa. Kami hidup di dunia yang rapuh dan tak menentu, namun pada saat yang sama kami juga dikaruniai hasrat senyap untuk menjalin hidup, juga pikiran yang jernih.

Bermimpi adalah pekerjaan harian seorang novelis. Namun tugas utama kami adalah bagaimana membagikan mimpi-mimpi itu pada orang-orang.

#5. Kebudayaan sebagai Kekuatan yang Meluruskan Batas Wilayah dan Batas Sejarah

Kau harus percaya diri. Itu hal yang sangat penting. Kau harus yakin bahwa kau mampu berkisah, mampu mengendalikan arusnya, merangkai kepingan-kepingan pazel dengan benar. Tanpa kepercayaan diri kau takkan beranjak ke mana-mana. menulis itu seperti bertinju. Sekali kau masuk ring, kau tak bisa mundur. Kau harus bertarung hingga pertandingan berakhir. – Dari ceramah disampaikan di Berkeley tahun 1992, ditranskripsikan oleh Jay Rubin dan termuat di buku Haruki Murakami and the Music of Words.

Ini adalah ceramah saat menerima Japan Foundation 2012, ia tak bisa hadir sebab tinggal di luar negeri jadi dibacakan. Tentang proses menterjemahkan karya luar ke bahasa Jepang, dan karya Murakami ke bahasa manapun, melintas garis batas kebudayaan.

#6. Momen Ketika Aku Menjadi Seorang Novelis

Saat sedang mengerjakan novel aku bangun jam empat pagi dan menulis selama liam sampai enam jam. Sorenya, aku berlari sejauh sepuluh kilo atau berenang sejauh 1,5 kilo (atau melakukan keduanya), setelah itu membaca sebentar dan mendengarkan musik. Aku tidur jam 9 malam. Aku jalani rutinitas ini setiap hari tanpa variasi. Bagiku pengulangan adalah hal penting; itu sebentuk laku hipnotis diri. Aku menghipnotis diriku agar bisa mencapai dasar pikiranku. Namun untuk melakukan hal-hal yang berulang-ulang dalam waktu jangka yang lama – lamanya bisa enam bulan sampai setahun – dibutuhkan kekuatan mental dan fisik. Dengan demikian menulis novel bagaikan latihan bertahan hidup: kekuatan fisik sama pentingnya dengan kepekaan artistik. – Dari wawancara dengan John Wray, The Paris Review, Edisi musim panas 2004

Ini cerita terbaik, sudah baca di internet bagaimana detail ia memutuskan menulis, memutuskan menjadi penulis karena saat menonton bisbol antara Yakult Swallows vs. Hirosima Carp. Detailnya bisa kalian baca sendiri, sangat bagus dan inspiratif.

Aku tak butuh kata-kata yang rumit. Tak perlu mengesankan orang dengan kalimat-kalimat yang indah. Jadi penasaran sama penulis bernama Agosta Kristof.

#7. Membuang Kucing: Mengenang Ayahku

Dalam hidup ini aku tak bisa menjelma jadi orang lain, tapi dalam fiksi aku bisa menjadi apa saja. Aku bisa membayangkan diriku menjadi orang lain. Bisa dibilang ini semacam terapi. – Dari wawancara dengan Deborah Treisman, The New Yorker, 12 Februari 2019

Ini juga bagus banget, kenangan bersama ayah. Semacam memoar kecil, bagaimana mereka membuang kucing jauh dengan mengayuh sepeda, lalu tak butuh lama kucing itu bisa ada di rumah lagi. Dan kisah ayahnya bertempur yang penuh keajaiban, sampai akhirnya menjadi guru dan memiliki anak tunggal. Layak dibaca dengan lengkap dan komplit. Diterjemahkan dari esai pengantar novel Wind/Pinball.

#+++Lampiran

Kalau kau menulis setiap hari selama tiga tahun penuh, kau harus memiliki fisik yang kuat. Tentu saja kau juga harus memiliki mental yang kuat. Tapi yang utama adalah kekuatan fisik. Mental dan fisikmu harus kuat. Itu perkara yang amat penting. – Dari wawancara dengan Emma Brocker, The Guardian, Oktober 2011

Ini adalah wawancara jelang rilis buku Membunuh Commendatore, beberapa adalah bocoran kisah. Hiks, padahal baru saja diterjemahkan KPG dicetak dalam dua seri. Hati-hati…

Kita tak dapat bersandar pada logika atau berkaca pada pengalaman masa silam, sebab hal tersebut malah mengantarkan kita pada bahaya. Sejarah adalah ingatan kolektif yang mesti kita pikul.

Dari penulis favorit, rasanya menyenangkan sekali menyaksi di balik karya dicipta. Salah satunya yang membuat gidik adalah sejarah ayahnya dalam pertempuran, kebetulan pula saya lagi baca Kronik Burung Pegas ada bagian panjang saat pertempuran Jepang vs. China, dikisahkan detail sekali. Memang banyak sekali kisah nyata yang disadur fiksi, salah satunya jelas itu. Dibumbui banyak fantasi dan imaji liar sehingga tampak hidup, yah begitulah dunia. Begitulah seni menulis yang sesungguhnya…

Seni Menulis | by Haruki Murakami | Esai-esai Proses Kreatif | Circa 2020 | Penerjemah Rozi Kembara | Penyunting Tia Setiadi | Perancang sampul Abeje Project | vii + 138 hlm.; 12 x 18 cm | Cetakan pertama, Desember 2020 | ISBN 978-623-7624-36-3 | Skor: 5/5

Karawang, 010621 – Nikki Yanofsky – I Got Rhythm