(opening) – “Mungkin aku sudah tahu selama ini. “Terkadang pikiran lebih mendekati kebenaran, kenyataan, daripada tindakan. Kau bisa berkata atau berbuat apa pun tapi tak bisa memalsukan pikiran.”
Kesepian, gembira, cemas, sedih. Dunia angan dan segala yang merombaknya. Selalu menarik saat kita memperbincangkan fantasi berbalut permainan waktu, ditambah sepanjang menit puisi-puisi berserakan, lagu klasik menyelingkupi. Tak ada yang lebih menyenangkan saat segala absurditas disatukan, ditumpukkan dalam gegap dingin salju yang menggigil, lalu segalanya tak jelas atau setidaknya tak terjelaskan dengan clir, kenapa si anu berdansa, kenapa sisa minuman menumpuk, kenapa muncul bersamaan di ruang sekolah itu beberapa karakter yang saling silang, dst. Dunia sejatinya seperti itu, maya lebih masuk akal ketimbang nyata, dan segala hal yang ditampilkan seolah maya. Semakin penonton bingung, Kaufman akan semakin girang. Duduk menyaksi film-film Kaufman adalah duduk di pangkuan kemewahan.
Memperkenalkan kekasih yang cerdas ke orangtua merupakan kesenangan tersendiri. Tetapi, seperti semua kesenangan, hal itu tidak berlangsung lama…
Kisahnya tentang kunjungan Jake (Jesse Plemons) ke rumah orangtuanya di kota seberang rumah peternakan kuno, ia berniat memperkenalkan kekasihnya, karakter tanpa nama (diperankan dengan unik oleh Jessie Buckley) untuk jamuan makan malam. Cuaca sedang buruk-buruknya, hujan salju menerpa kota sedari siang, rencananya mereka pergi-pulang sebab besok kekasihnya ada pekerjaan. Sedari mula memang sudah tampak aneh. Karena ini mengambil sudut pandang wanita muda, seolah kita bisa menelusup dalam pikirannya. Apa yang ia ucapkan dalam hati dinarasikan kepada penonton. Syair-syair liar dan bagaimana menghadapi kemungkinan-kemungkinan. Dasarnya puisi, semua bebas disenandungkan, keras, berisik, dan merdeka. Namun melelahkan sekali.
Jake cowok manis, ia menyetir dengan tenang bukan hanya karena sedang badai salju, ia memang karakter baik yang tenang. Beberapa kali kita menyaksi ucapan dalam hati kekasihnya terdengar dan direspon sama Jake, salah satunya rencana ia menjadi kekasih sebentar dan semua kejadian manis ini akan jadi masa lalu yang patut dikenang.
Saat sampai di rumah peternakan, ia diajak ke kandang hewan Melihat kematian babi yang sudah membusuk disergap belatung. Sudah berapa lama? Babi itu mati kedinginan dan terlupa tak dikeluarkan.
Saat akhirnya masuk rumah, keadaan makin liar dalam keabsurd-an. Keduanya menua, diterpa penyakit dementia dan kepikunan. Ibunya (Toni Collette) tampak sangat ramah, bangga pada putranya yang cerdas. Brilian. Ayahnya (David Thewlis) juga sama ramahnya, tapi karena pikun ia sering lupa bahkan untuk hal-hal yang baru saja terjadi, barang-barang diidentifikasi dengan menempel tulisan di kertas. Lalu semakin larut, kita menjadi saksi permainan waktu. Berulang kali waktu diacak, menemui kedua orangtua Jake dengan berbagai ekspresi dan bisa menua dan kembali muda dalam sekian menit saja. Suasana kebahagiaan dalam keluarga sama seperti ketidakbahagiaan.
Sang gadis ideal, pintar melukis, berdeklamasi, belajar filsafat dan begitu memuja keindahan. Jake tampak memikat, cerdas, sayang orangtua, perhatian. Keduanya aneh, tapi memang manusia kan aneh, yang tak aneh hanya dinding rumah yang ditempel wallpaper berbatik. Bayangkan keduanya bisa dengan fasih menukil karya-karya klasik musikal dari Oklahoma!, Phantom, Carousel, South Pasific, Guys and Dolls, hingga Flower Drum Song. Karena cinta dapat mengusir rasa takut, dan rasa terima kasih dapat menaklukkan kesombongan.
Beberapa rahasia memang diluapkan, kamar masa kecil yang menjadi rekam jejak kejeniusan Jake. Anjing yang sudah mati, ada abu pembakaran dalam guci, tapi anjingnya muncul lagi. sebuah buku kumpulan puisi yang dibacanya dalam perjalanan ke situ, sudah tercetak dan tergeletak di meja. Buku berjudul Rotten: Perpect Mouth by Eva H.D. Sampai keadaan kejiwaan Jake yang tak stabil. Keanehan demi keanehan dalam selip syair romantisme. Saat mereka akhirnya nekad pulang dalam badai salju, keputusan ini menjadi tak terlalu riskan lagi, saat Jake mampir ke sekolah untuk membuang minuman dan tersesat di dalamnya. Labirin waktu diacak, Jake dan kekasihnya tak bisa kembali tepat waktu malam itu.
Di sela-sela pemaparan hubungan utama kisah, kita akan menyaksi kakek-kakek yang mengepel lantai sebuah sekolah, ada adegan dansa di loker, ada pula adegan dalam film di sebuah restoran yang mana pelayan bernama Yvonne (Colby Minifie) dipecat sebab saat bekerja malah memamerkan kemesraan, padahal ia sangat butuh pekerjaan untuk menunjang kuliahnya. Film itu dibuat oleh Robert Zemeckis. Kalian mungkin akan menemukan benang merahnya, tapi benang itu memang sengaja dibuat kusut dan amburadul. Tak perlu jeli dan telaah rumit untuk menikmati ketidakjelasan itu. Semua mengepul bak asap yang keluar dari cerobong rumah yang menaungi kenyamanan dan kehangatan keluarga.
Untuk mencapai di sekolah itu dan sebuah penelusuran absurd dibalik pesan yang dikirim, kita butuh berputar melingkar panjang, sungguh melelahkan. Dunia lebih luas dari perkiraan kita. Dari sisi yang suram dan patah hati. Saya suka mendengarkannya lewat suaramu dan kau jago menyampaikannya. Angan kekasih yang dibacakan dalam lantunan syair dibangun untuk sidang baca puisi yang spektakuler. Jake dan kekasihnya menekankan betapa kita terperangkap oleh waktu, oleh budaya, oleh struktur biologis. Betapa terbatasnya kita membayangkan makhluk atau peradaban yang secara mendasar sangat berbeda.
Catatan ini saya tutup dengan potongan puisi dari William Blake tentang lalat yang ditampar oleh tangan manusia iseng, begitulah hidup. Kehidupannya merupakan serangkaian suka duka yang menggembirakan sekaligus menyedihkan.
Karena aku pun menari-nari
Dan minum dan bernyanyi
Sampai sebuah tangan tak bermata
Meremukkan sayapku
— William Blake, Songs of Experience “The Fly”, Stanza 1-3 (1795)
I’m Thinking of Ending Things | Tahun 2020 | Directed by Charlie Kaufman | Screenplay Charlie Kaufman | Cast Jesse Plemons, Jessie Buckley, Toni Collette, David Thewlis, Colby Minifie | Skor: 4.5/5
Karawang, 180521 – Netral – Dunia Koma
Ping balik: Best Films 2020 | Lazione Budy
Ping balik: 101 Film yang Kutonton 2021 | Lazione Budy