Best Films 2020

Karena aku pun menari-nari

Dan minum dan bernyanyi

Sampai sebuah tangan tak bermata

Meremukkan sayapku

William Blake, Songs of Experience “The Fly”, Stanza 1-3 (1795)

Tahun yang berat dan sungguh aneh. Pandemi berlangsung dan lama, hingga kini. Oscar mundur ke April, secara otomatis daftar terbaik mundur 2 bulan pula. Setelah kejar sana-sini, akhirnya saya susun film terbaik 2020. Tanpa film lokal sebab sepanjang diumumkan kasus pertama Corona, saya otomatis tak ke bioskop.

Dari remaja melakukan aborsi sampai jiwa yang melayang di dunia antara, dari manusia tak terlihat yang mendendam sampai wanita muda yang mendendam, dari film berisi obrolan sepanjang samudra dari Amerika ke Eropa sampai lelaki tua yang tersingkir, dari sapi istimewa yang didatangkan sampai satu malam di hotel ngegoliam, dari deklamasi puisi dalam kunjungan ke calon mertua sampai proses rekaman jazz. Inilah film-film terbaik 2020 versi LBP (Lazione Budy Poncowirejo):

#14. Never Rarely Sometimes AlwaysEliza Hittman

Inilah film sedih dengan kemuraman akut menyelingkupi, sepanjang menit, sepanjang kisah, selama satu setengah jam yang muram. Proses pendewasaan manusia. Tumbuh besar itu pasti, tapi tak otomatis menjadi dewasa. Ada yang lebih cepat terutama kaum perempuan, dan kisah dalam Never Rarely Sometimes Always menampilkan sosok remaja yang harus mengambil keputusan penting kala seharusnya masih menikmati masa-masa menyenangkan di dunia pendidikan. Hamil di luar nikah, bersama temannya berkelana ke kota asing untuk melakukan aborsi. Lihat dunia yang sesak, hal-hal yang sejatinya damai menjelma sesak dan penuh keabu-abuan. Alur berat, aborsi. Ini masalah yang mencipta gema kolektif.

Your partner has threatened or frightened you. Never? Rarely? Sometimes? Always?”

#13. Promising Young WomanEmerald Fennell

Tidak ada perselisihan tentang rasa dan merasakan. Ini adalah film komedi, tapi ternyata tawa itu pahit. Ini film thriller, tapi ketegangannya merajah mual, ini film drama romantis, ah ga juga. Adegan pembunuhannya menampar roman indah para pujangga. Ini jelas kisah yang kompleks, aduhai sampai menang Oscar. Tepuk tangan untuk kelihaian plotnya. Menakjubkan, rentetan kepedihan menguar sampai menit akhir, bahkan setelah layar ditutup saya tak tahu mau bilang apa. Tema yang ditawarkan adalah dendam yang disimpan, lalu direncana dibalaskan dengan kesabaran tinggi dan gaya jungkir balik. Endingnya mungkin membuat shock, tak selancar itu tatanan rencana yang dibuat. Menohok dengan keras para penikmat happy ending Disney. Semua itu menyembur dari kalian bagaikan sebersit api dalam kegilaan balas dendam. Dan bilamana mereka menyebut diri manusia benar, hhhmmm… bagaimana ya menyebutkan, sederhananya takdir mencoba senyum dalam, yang baik dan yang adil.

Aku memaafkanmu.”

#12. Invisible ManLeigh Whannell

Dengan hanya mengenal Elizabeth Moss, saya benar-benar menikmati segala kejutan itu. Nyaman sekali, enak sekali, tanpa kena bocoran. Ga tahu cast and crew dibaliknya selain Moss, mencipta daya ledak luar biasa. Gabungan horror untuk musuh yang tak terlihat, sci-fi untuk temuan jubah gaib-nya, sampai thriller penuh ketegangan. Setiap detik begitu berharga, setiap helaan napas menjadi begitu mencekam karena musuh tak terlihat! Bisa dimana saja, bisa di pojok ruangan mengamati kita, bisa di kolong meja, menghitung kuman di jari kaki kita, bisa juga menatap tembok, hening. Sebuah pilihan tak terduga bisa dicipta setiap saat.

He said that whatever I went, he would find me, walk right up to me, and I’m wouldn’t be able to see him.”

#11. SoulPete Docter

Kehidupan setelah kematian yang diselimuti jazz, impian yang kandas karena ‘kematian’ mendadak lalu berhasil mengelabuhi malaikat maut sehingga muncul kesempatan bangkit dari dunia antara. Tema yang sangat berat, memainkan dunia gaib, dunia antah. Disampaikan dengan fun karena warna-warni animasinya benar-benar istimewa.

A Spark isn’t a soul’s purpose. Oh, you mentor and your passions. Your ‘purpose’. Your ‘meaning of life’. So basic.”

#10. Let Them All TalkSteven Soderbergh

Dia yang tersesat dari kita, kecuali mereka yang berdiri cukup diam untuk mendengarkan. Isinya orang ngobrol di atas kapal dari awal sampai menit menyisakan belasan. Ini adalah kisah yang mengedepankan kekuatan akting dan improvisasi. Para aktor diberi keleluasaan berbicara, naskahnya hanya memberi garis besar (30%, sisanya improvisasi). Lalu membiarkan mereka berbicara sesuka dan semenarik mungkin.

Kuharap kamu tidak kecewa, yang penting kamu sudah mencoba, mencoba adalah segalanya. Jika kamu tak mencoba, kamu tak akan tahu resikonya.”

#9. The Father Florian Zeller

Pikun di usia senja, melupakan banyak hal. Orangtua yang tinggal sama anaknya di apartemen, menjadi beban karena sang anak mau melalangbuana ke negeri jauh. Nasib, ingatan menjadi hal yang sangat penting, menjaganya, membuatnya tetap hidup saat usia tak lagi muda. Dunia telah menjadi tua dalam sesaat, sekejap mata, dan kita menjelma bersamanya. Hebat sekali yang bikin cerita, kita turut menjadi seorang Anthony, turut merasa bingung dan menempatkan diri dalam kebimbangan. Kenangan, memori, pori-pori samar apa itu dunia maya yang berkelebat di kepala, di awang-awang. Tanpa ingatan, setiap malam adalah malam yang pertama, setiap pagi adalah pagi pertama, setiap sapaan dan sentuhan adalah yang pertama. Semuanya serba kejadian baru. Lantas apa itu masa lalu?

I feel as if I’m losing all my leaves.”

#8. First Cow – Kelly Reichardt

Persahabatan yang erat, setia, saling mengisi selalu mengharukan saat tertimpa masalah. Dunia dengan ringannya memberi warna pada sajian kue istimewa, membentuknya menjadi makanan idola. Dengan antrian panjang pembeli, setiap orang normal pasti bertanya apa resepnya. Rencana Plankton sudah melegenda hanya untuk mencurinya dari Tuan Crab. Namun kita tak usah berpikir panjang dan rumit akan rumusnya, duduk nikmatilah. Maka saat para pembesar memintanya menyajikan makanan khas itu dalam jamuan menyambut tamu besar, duo kita kelimpungan. Resep rahasia itu melibatkan susu haram yang ditarik di gelap malam, milik peng-order-nya sendiri! Sapu pertama selalu istimewa, selanjutnya terasa biasa.

#7. Quo Vadis, Aida?Jasmila Zbanic

Jika perang selalu menjadi anakronisme sosial, masalahnya tidak akan selesai dengan menjadikan militer dan perang sebagai kambing hitam. Manusianya yang bermasalah, ideologinya hitam. Anarki dengan obsesi membunuh. Militer pada dasarnya tetap dibawah naungan politik, dan para elit militer di kawasan perang ini terjebak dalam persaingan militer. Korbannya tetap rakyat biasa. Kita tahu apakah itu kejahatan perang, dan kita tahu itu kenyataan.

General Mladic is looking for a civilian representiative with him. Are there any volunteers?”

#6. TenetChristopher Nolan

Tenet memiliki misi sejati menyelamatkan dunia, mulia sekali Nolan, ia mencoba mencegah kiamat. Bertiga merencana, rencananya sangat sederhana, pengaturan waktunya sempurna. Sepuluh menit itu dibagi dalam dua frame: di Siberia penuh ledakan guna membatalkan kiamat, dan di yatch dimana pembunuhan harus dilakukan setelah klik, Sator tak boleh mati sebelum dapat kode. Merah maju, biru mundur, catet! Seperti dalam lukisan yang baik, latar belakang merupakan bagian yang integral dari seluruh lukisan. Maka ledakan itu terasa hambar. Opini seni gambar harusnya dilakukan sedetail mungkin. Ini gambar gerak yang melibatkan Boeing-737, Booom! Happy ending. Hiburan ‘adegan perang’ dalam film menunjukkan ambivalensi pada pesta pora pembunuhan yang mencapai puncak.

#5. Little Big WomenJoseph Chen-Chieh Hsu

Kisahnya dibuka dengan muram, saya suka. Kabar duka menyelingkupi keluarga. Ada yang meninggal dunia, seorang ayah dan suami yang bermasalah. Setelah pergi lama, ia meninggal di saat sang istri sedang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Pesta dibatalkan? Oh tentu tidak, karaoke di restoran bersama orang-orang terkasih di tengah kabar duka. Prosesi pemakaman lebih bermasalah lagi, sebab tata cara dan hubungan apa di baliknya menyeret banyak poin, menyangkut hati dan kepercayaan.

Menjadi suami istri memang harus seumur hidup.”

#4. I’m Thinking of Ending ThingsCharlie Kaufmann

Kesepian, gembira, cemas, sedih. Dunia angan dan segala yang merombaknya. Selalu menarik saat kita memperbincangkan fantasi berbalut permainan waktu, ditambah sepanjang menit puisi-puisi berserakan, lagu klasik menyelingkupi. Tak ada yang lebih menyenangkan saat segala absurditas disatukan, ditumpukkan dalam gegap dingin salju yang menggigil, lalu segalanya tak jelas atau setidaknya tak terjelaskan dengan clir, kenapa si anu berdansa, kenapa sisa minuman menumpuk, kenapa muncul bersamaan di ruang sekolah itu beberapa karakter yang saling silang, dst. Dunia sejatinya seperti itu, maya lebih masuk akal ketimbang nyata, dan segala hal yang ditampilkan seolah maya. Semakin penonton bingung, Kaufman akan semakin girang. Duduk menyaksi film-film Kaufman adalah duduk di pangkuan kemewahan.

Mungkin aku sudah tahu selama ini. Terkadang pikiran lebih mendekati kebenaran, kenyataan, daripada tindakan. Kau bisa berkata atau berbuat apa pun tapi tak bisa memalsukan pikiran.”

#3. One Night in Miami Regina King

Ini malam yang aneh. Empat lelaki dewasa di dalam kamar hotel, ngobrol sepanjang malam. Luar biasa. One Night in Miami adalah film kedua Oscar tahun ini yang kuberi lima bintang. Powerful! Mereka diskusi tentang tujuan hidup, rencana-rencana ke depan, sebagai kumpulan influencers yang harus dilakukan, dan apa yang sudah menjadi komitmen harus dilakukan sepenuh hati, tak ada jalan kembali. Merenungkan sebuah euforia. Sebagai contoh dan cermin keindahan intelektual. Senyum yang sedikit terdistorsi dari keputusasaan. Untuk menemukan kedamaian dalam kesempurnaan adalah keinginan seseorang yang mencari keunggulan; dan bukankah ketiadaan merupakan bentuk kesempurnaan?

How many roads must a man walk down before you call him a man?”

#2. Ma Rainey’s Black BottomGeorge C. Wolfe

Proses rekaman lagu Ma Rainey’s Black Bottom yang menggairahkan. Apa yang terjadi: akan, sedang, dan setelah rekaman sepanjang satu setengah jam benar-benar luar biasa. Meledak bak delapan granat yang dilempar secara serentak. Berdentum bermenit-menit bahkan setelah film usia. Sinisme, harga diri, perjuangan persamaan hak, hingga apa arti kebersamaan. Tema yang asyik dengan durasi yang pas. Setting utama hanya di studio rekaman, hanya berkutat di situ. Apa yang ditampilkan sudah cukup mewakili suara para pihak yang terlibat. Ini adalah penghormatan terakhir Chadwick Boseman, Sang Black Panther yang meninggal dunia tahun lalu.

I can smile and say yessir to whoever I please. I got my time coming to me.”

#1. The Trial of the Chicago 7Aaron Sorkin

Kita akan menemukan apa yang kita bayangkan sejak awal. Perang harus diakhiri, dan itu butuh darah pengorbanan di jalanan kota. Film yang luar biasa menghentak. Segala peluru amunisi ditembakkan secara membabibuta di gedung pengadilan. Rentetan bom diledakkan seolah tak berujung. Setiap jebakan kata bisa meledak kapan saja. Adu cerdik, adu taktik di depan Yang Mulia menjadi pertempuran akbar tujuh aktivis kemanusiaan yang memperjuangkan Anti-Perang melawan Negara yang semena-mena. Semua ini masalah kemanusiaan, harga diri diredam, dan tameng-tameng itu kena rentetan tembak membabi buta. Mereka kalah jumlah, kalah senjata, kalah pasukan, kalah sebelum berperang. Namun tidak, tidak sepenuhnya sang raksasa berhasil mencincang sepasukan jagoan kecil ini. penonton dan warga dunia menyaksikan, dan mari kita beri aplaus yang paling meriah untuk laporan akhir yang mengguncang pengadilan yang terhormat.

Those are two contradictory instructions.”

Karawang, 310521 – A.J. Croce – Which Way Steinway

Let Them All Talk: Kita Semua Haus akan Hal-hal yang Menakjubkan

Alice: “Kuharap kamu tidak kecewa, yang penting kamu sudah mencoba, mencoba adalah segalanya. Jika kamu tak mencoba, kamu tak akan tahu resikonya.”

Dia yang tersesat dari kita, kecuali mereka yang berdiri cukup diam untuk mendengarkan. Isinya orang ngobrol di atas kapal dari awal sampai menit menyisakan belasan. Ini adalah kisah yang mengedepankan kekuatan akting dan makna kata-kata. Para aktor diberi keleluasaan berbicara, naskahnya hanya memberi garis besar (30%, sisanya improvisasi). Lalu membiarkan mereka berbicara sesuka dan semenarik mungkin.

Kisahnya mengambil sudut pandang penulis Alice Hughes (Meryl Streep) yang memenangkan penghargaan Pulitzer atas buku You Always/You Never. Penyerahan piala di Inggris, dan ia tak biasa melakukan perjalanan jauh menyeberangi samudra, apalagi dengan pesawat. Maka agennya memutuskan memberinya tiket kapal pesiar. Dari Amerika ke Inggris, di sinilah sebagian besar kisah disampaikan. Laut luas, selalu perawan dan selalu diarungi, agamaku bersama malam.

Alice berangkat mengajak keponakannya Tyler (Lucas Hedges), turut pula teman kuliahnya dulu Roberta (Candice Bergen) dan Susan Dianne Weist). Tak banyak konfliks besar disampaikan, memang ini Let Them tak menawarkan ledakan atau goncangan, tidak sama sekali, saking lembutnya perjalanan bahkan dalam tiap ruangan tak seperti dalam kapal. Dengan bioskop, resto, kafe, dst. Bak hotel mewah dengan pelayanan mewah.

Pembicaraan masa lalu tentu saja mengapung liar, banyak hal yang tak selesai diungkap dan ditanyakan. Beberapa menyinggung hati dan tak mengenakkan, beberapa seru dan menarik minat. Bagaimanapun, cara terbaik untuk berbicara mengenai apa yang kau suka adalah dengan membicarakannya secara ringan. Yang jelas bahwa orang-orang ini pernah muda sama seperti saat kita muda di zaman kuliah yang suka-benci dalam hubungan persahabatan, dan sekarang bahwa tidak lagi muda.

Buku-buku lama didedah, buku-buku baru dibicarakan. Termasuk kehidupan pribadi, bagaimana keseharian mencipta karya. Bertemu pula penulis lain Kelvin Kranz (Daniel Algrant), butuh waktu berapa lama menulis? Tiga bulan? Empat bulan? Bisa lebih. Penulis genre misteri dan thriller best seller. Salah satu topik menggairahkan adalah tata cara membunuh dalam novel, keracunan itu cara yang sangat intim untuk membunuh seseorang dan itu sangat kejam.

Muncul gadis cantik Karen (Gemma Chan) yang menarik hati Tyler, mereka jalan dan mencoba saling mengenal lebih dekat. Dengan gugupnya saat sudah nyaris berhasil, Tyler justru menyampaikan kalimat terlarang yang membuyarkan segalanya. Kata Alice, tak mengapa sebab setidaknya mencoba. Lebih baik mencoba dan gagal daripada baru akan mencoba. Apakah akan dicoba lagi? dengan senyum ponakannya bilang, oh rasanya tidak. Setiap keluarga punya rahasia yang tak bisa diutarkan kepada orang lain, walaupun orang itu bermaksud baik. Maka beberapa rahasia ini disimpan sahaja.

Perjalanan ini juga semacam ziarah, menuju makam Blodwyn Pugh penulis idola Alice. Namun pada akhirnya kejutan disajikan. Tak ada rentetan tembak atau ledakan besar menyampaikan akhir yang tak diduga itu, keinginan menaruh bunga di atas makam itu berakhir antiklimaks dan sangat tenang. Memang banyak hal yang tak sesuai ekspektasi, termasuk penulis senior kita.

Salah satu dialog menarik yang disajikan adalah nama Elon Musk yang mengirim banyak pesawat ke angkasa sehingga saat malam kita tak tahu mana bintang asli mana pesawat ulang aling, kita adalah generasi terakhir yang menyaksikan bintang asli. Sangat terakhir. Alam semesta ini terus mengembang, dan tidak cukup materi di dalamnya untuk menghentikan pengembangannya.

Film didedikasikan untuk mengenang Mary Jay. Akting Meryl Streep tentu saja tak perlu diragukan lagi, sangat tenang dan menawan. Menyajikan tata wicara dengan sempurna. Kapal mewah Queen Mary 2 menjadi gelanggang kisah yang mengajak kita merenungi kehidupan. Dunia yang terbatas, dengan waktu sempit, satu keputusan menyambung ke keputusan lain, satu tindakan berkonsekuensi dengan kejadian lain, begitulah… Kita tahu bahwa kita hidup dalam kontradiksi ini. Ada nyala kesedihan yang menunggu di Inggris.

Karena ini film ngobrol maka sesekali terjadi diskusi yang panas disertai dengan letupan berulang dari gabus botol-botol minuman atau ratapan yang tak henti-hentinya dari penyanyi Jazz. Ini memang dunia terapung yang menawan, ini menjadi setting bagus untuk sebuah film ngegoliam, ketenangan selama perjalanan di samudra yang luas seolah tak berbatas, hanya laut-laut-laut yang dinampari keadaan.

Let Them adalah literasi gambar bergerak. Banyak menyuguhkan daya kreatif dan tips menulis yang jitu hanya dari tatapan ke jendela kapal saja, kita bis mengambil narasi menawan tak terucap. Apa yang disebut sebagai penulis yang objektif adalah penulis yang memilih tema tanpa membuat dirinya sendiri sebagai objek. Inspirasi bisa datang dari banyak sektor, banyak sisi yang bila dieksplore dengan benar menghasilkan jelajah dunia imaji. Lebih tepat untuk memanfaatkan klise daripada nuansa. Mereka memilih klise atau nuansa yang terpenting eksekusinya. Yang kedua sama bagusnya dengan yang pertama.

Setelah perjalanan panjang ini, apa yang bisa dipetik selain keberhasilan bahwa mereka meninggalkan keheningan dan kesedihan pada air yang bergolak meninggalkan buritan? Dialog yang bagus, natural, dan pengalaman. Ya pengalaman sangat penting, mengarungi dunia baca yang luas, pengalaman akan menempatkan seseorang dalam situasi familiar guna mengambil keputusan tepat. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tak mempelajari surga dan neraka sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Let Them membicarakan manusia.

Namun kembali lagi, apa sebenarnya pembicaraan yang pas itu. Ah perjalanan ini, yang tertinggal hanyalah angkasa, membentang menuju perjalanan yang tak bergerak. Kita semua haus akan hal-hal yang menakjubkan, bisa jadi salah satunya dengan mendengar para penulis berbicara, biarkan mereka semua berbicara, saya bersaksi, “Kalian adalah pahlawan-pahlawan planet bumi dengan buku berkelas yang dicipta…”

Let Them All Talk | Tahun 2020 | Directed by Steven Soderbergh | screenplay Deborah Eisenberg | Cast Meryl Streep, Gemma Chan, Sianne Weist, Christopher Fitzgerald, Candice Bergen, Lucas Hedges | Skor: 4/5

Karawang, 290521 – Nicola Conte – Like Leaves in the Wind

Judas and the Black Messiah: Penghianatan dan Revolusi

Fred: “Reform, it’s just the masters teaching the slaves how to be better slaves.”

Bagi beberapa orang, dalam derajat yang berbeda-beda, sebagian panggung sejarah adalah ilusi. Penghianatan dan suara hati yang melawan. Judas menjadi pengandaian karakter jahat di era muram Amerika yang rasis tahun 1960-1980 di mana polisi versus penjahat dibuat samar, baik buruk tampak abu-abu. Kemanusiaan diredam, perjuangan persamaan hak disuarakan, pihak berwenang mencoba melindungi warga sekaligus menentang radikalisme. Sang Messiah tak menyadari ada penyusup dalam timnya. Apa yang ditampilkan adalah kisah nyata, perjuangan itu berakhir pilu untuk sang pejuang, tapi misinya abadi. Dilanda waktu, zaman, hening, dan muram. Kehidupannya merupakan serangkaian suka duka yang menggembirakan sekaligus menyedihkan.

Kisahnya tentang William ‘Bill’ O’Neal (LaKeith Stanfield) sang penghianat kaumnya sendiri. Ia adalah pencuri amatir, warga kaum hitam yang saat ditangkap ditawari kerjasama polisi. Umurnya masih 17 tahun kala itu, mengalami dilema, mau dipenjara lama atau melakukan tindakan perintah polisi melawan kaumnya. Opsi yang sulit, Bill memilih yang kedua. Agen FBI Roy Mitchell (Jesse Plemons) menjelaskan tugas dan wewenang dalam misi penyusupan ini, Bill dimasukkan ke organisasi Black Panther Party (BPP) yang dipimpin oleh Fred Hampton (diperankan bagus sekali oleh Daniel Kaluuya) Messiah hitam abad 20. Seorang pejuang kemanusiaan persamaan hak. Fred melakukan banyak perubahan dengan menulis, melakukan seminar, menyebarkan pamflet hingga perjuangan langsung demonstrasi.

O’Neal memulai pergerakan dengan mendekati Fred, dalam kalangan ini ada perseteruan internal dengan Program Makanan Gratis untuk Anak-anak. Seteru itu timbul tenggelam, dan setelah lama berselang akhirnya malah memilih koalisi. Dalam sebuah seminar, ada peserta cewek keling Deborah Johnson (Dominique Fishback) yang mendekatinya. Mereka lalu menjadi dekat dan menjalin kasih. Organisasi ini memang memiliki banyak seksi, O’Neal mendapat kepercayaan di bagian keamanan, yang lalu melaporkan perkembangan ke bosnya Mitchell. Orang-orang yang berbohong dengan sama mudahnya seperti bernapas tidak pernah mengakuinya. Mereka memiliki kemampuan tidak terbatas untuk terus menciptakan kebohongan baru yang menjelaskan kebohongan yang lama. Menurutku ini bukan masalah moralitas, melainkan penyakit kejiwaan. Penghianat!

Terjadi chaos informasi saat seorang agen Sams ditemukan tewas dibunuh dengan sadis. Ia dibunuh setelah ketahuan adalah penyusup BPP, hal ini sempat menggoyahkan O’Neal. Sempat ingin mundur tapi ditolak, ia berada di situasi sulit sebab maju mundur kena.

Perkembangan makin sulit sebab salah satu anggota BPP, Jimmy Palmer (Ashton Sanders ) dibunuh di rumah sakit saat dalam proses perpindahan. Tanpa keraguan, polisilah pelakunya. Mereka sedang bersih-bersih. Hal ini malah memicu pertarungan lain, Jake Winters (Algee Smith) dan polisi terjadi baku tembak dan keadaan runyam. Sebab kantor dibombardir yang akhirnya mengibarkan bendera putih.

Setelah Fred dibebaskan dari penjara, terjadi meeting penting rencana ke depan. Deborah yang hamil, keduanya sempat ditawari organisasi untuk kabur keluar negeri: ke Kanada, ke Brazilia, ke tanah seberang yang aman sebab posisi makin sulit dan panas. Kekhawatiran itu menjelma nyata, sebab malam itu markasnya dibombardir polisi. Polisi mengetahui peta kantor, siapa saja yang bertahan sampai rencana final pembunuh. Bill O’Neal yang merasa bersalah, tapi segalanya sudah terjadi. Sang penghianat sudah melakukan tugasnya dengan gemilang.

Film ditutup dengan sebuah pengakuan, sebuah penyesalan, sebuah fakta yang memerihkan. Bagaimana dunia warga kulit hitam berjibaku memerjuangkan persamaan hak, di tahun 1989 O’Neal membuka rahasia itu, dan menutupnya dengan dahsyat.

Sejarah harus mencatat bahwa tragedi terbesar era transisi sosial pada saat ini bukanlah keributan yang dibuat oleh orang-orang jahat, tapi diamnya orang-orang baik dan para penghianat yang menyusupinya. Sejatinya ada banyak hal semacam ini di dunia politik, jadi sulit melawan arus walaupun nasihat orang bijak bilang jadilah langka sebab Anda akan dicari orang dan bisa mempengaruhi orang tersebut. Berat, tapi baik. Saya yakin masih ada, tapi ya memang jarang. Politik hitam nan rumit. Martin Luther King pernah bilang, “Mimpi saya adalah dunia di mana orang-orang tidak diperlakukan berdasarkan warna kulit, tetapi berdasarkan nilai karakter.”

Sudah kuduga, Daniel Kaluuya akan menang Oscar. Penampilannya sangat konsisten menghentak. Layak, sebuah perjalanan karier akting yang menggemaskan. Ia baru benar-benar dikenal dalam Get Out tiga tahun lalu, sekarang sudah menyabet piala Oscar. Hebat.

Perbedaan antara pahlawan dan pemberontak sangat cair dan tipis, tergantung sejarah yang menang dan mencatatkan. Sebutan pembuat propaganda yang bertanggung jawab kedengarannya mengandung pertentangan, tetapi sebutan ini masuk akal jika dilihat sebagai suatu ketegangan antara dua kubu. Makna baru dan interpretasi baru yang diberikan oleh generasi sesudahnya, apalagi video pengakuan di ending jelas sekali kubu siapa di hitam kubu siapa putih. Hati nurani sering kali mengetuk di saat puncak keresahan meletup.

Film ini ternyata bertautan dengan film keren 2020, The Trial of the Chicago 7. Dalam sebuah adegan pengadilan, Fred menjadi seorang penasihat terdakwa dan berikutnya Fred ditembak. Kejadian Fred ditembak itulah yang menjadi inti kisah Judas.

Coleridge berpendapat bahwa setiap kehidupan – walaupun tak ada artinya, jika diceritakan secara jujur – pasti akan menarik. Apalagi kisah perjuangan untuk kemanusiaan, demi persamaan hak kaum kulit hitam pastinya menarik bila dieksekusi dengan tepat. Judas menampilkan sisi humanis itu dengan tepat. Kita tidak boleh memperjuangkan kemanusiaan kita dengan simbol. Kita memerlukan sesuatu yang lebih berbobot.

Terakhir, Perjuangan melawan rasisme memang tak ada matinya. Petir tidak membuat suara hingga ia menyerang. Kesetaraan terus disuarakan. Demi kemanusiaan, demi kehidupan umat manusia yang lebih baik.

Judas and the Black Messiah | Tahun 2021 | Directed by Shaka King | Screenplay Will Berson, Shaka King | Cast Daniel Kaluuya, LaKeith Stanfield, Jesse Plemons, Dominique Fishback, Ashton Sanders, Algee Smith | Skor: 4/5

Karawang, 220521 – Rihana – Umbrella

Minari: Berkebun dan Bagian Paling Lunak dari Lempengan Kehidupan

Monica: “For what? Isn’t it more important for them to see us together?”

Timur adalah awal dari segala sesuatu, pernah kubaca di sebuah buku, arah dari matahari terbit, dari mana angin datang. Jepang, Korea, Papua, Indonesia. Kita ada di sisi Timur dunia, maka budaya Timur yang baik tetaplah harus dipegang erat di manapun. Ini adalah kisah sebuah keluarga Korea Selatan, yang memulai petualangan barunya di rumah sepi di tengah kebun Arkansas tahun 1980-an. Selalu sulit memulai hal baru, selain adaptasi lingkungan kita perlu menyesuaikan suasana. Di sana segalanya tampak baru, dunia selalu begitu. Dan keluarga ini memiliki masalahnya sendiri, selain faktor menyesuaikan diri.

Kisahnya di tahun 1983 tentang keluarga imigran Korea yang dikepalai oleh Jacob Yi (Steven Yeun) yang memilki istri Monica (Yeri Han) dan dua anak Anne (Noel Cho) dan David (Alan S. Kim). Mereka pindah dari California ke rumah Arkansas dengan harapan bisa memproduksi bahan pangan yang didistribusikan ke Dallas. Perjuangan beradaptasi menjadi teman utama, sang istri melakukan hal-hal biasa dilakukan istri, mengeluhkan banyak hal. Sang suami mencoba sabar dengan keadaan. Kedua anaknya juga berusaha sebaik mungkin menerima keadaan. Jacob selalu menanamkan optimism, istinya yang mengeluh. Sedari mula keberangkatannya, sudah tampak ragu, sinis. Kebimbangan menjadi tema yang dominan ditampilkan Monica.

Mereka lantas berkebun, menanam sayur dan buah memanfaatkan lahan yang ada. Seorang pria lokal yang baik dan relijius disewa, Paul (Will Patton) seorang veteran Perang Korea. Memberi banyak nasihat bagaimana bertahan di kerasnya Amerika. Membeli segala peralatan, traktor dan sewa, mencari sumber air yang baik, membeli pupuk yang teratur. Semua dilakukan sembari tetap bekerja sebagai pemeriksa ayam di pabrik-peternakan. Cekin pantat ayam dengan telaten.

Keluarga ini lalu lebih mendekatkan diri sama hubungan masyarakat dengan ke Gereja, mengakrabkan diri, menjadikan masyarakat pada umumnya. David yang memiliki riwayat sakit jantung menjadi tema utama berikutnya, untuk perawatan dan kesabaran membesarkan buah hati terkasih. Ke Oklahoma untuk memeriksakan kesehatan. Fanatisme anak-anak yang diarahkan pada bagian paling lunak dari lempengan kehidupan.

Suatu hari datang sang nenek Soon-ja (Yu-Jung Youn) dari Korea langsung, ia turut tinggal dan membantu keluarga ini. sama, ia juga gegas adaptasi. Tumbuh kembang di Asia Timur, sang nenek tetap melakukan tradisi yang ada. Minari sendiri baru terungkap artinya saat berdua sama cucunya David ke sebuah sungai, menanam tanaman tersebut yang bisa berfungsi sebagai obat herbal. Minari adalah peterseli air yang banyak tumbuh di awal musim semi. Batangnya panjang, daunnya mirip peterseli di Amerika. Bisa dipanen tiga kali setahun, dengan masa tanam tiga hingga empat bulan. Takdir berkata, sang nenek sakit berat dan menjadikannya minim aktivitas. Nantinya malah jadi eksekusi kunci secara keseluruhan di akhir.

Berjalannya waktu, produksi buah dan sayur meningkat pesat. Jacob bisa menjualnya, mencari pemasok awalnya sulit tapi berkat koneksi ia mendapat konsumen. Nah, drama utama dipatik di sini. Segala yang sudah disiapkan menjadi berantakan karena kecelakaan yang berujung pada ludesnya investasi utama. Manusia merencana, melakukan, dan membumbui kenyataan dengan iqtiar tapi takdirlah yang memenangkan segalanya. Bahkan nantinya sang istri yang keras menuntut hal yang esensial, memang seperti itulah umumnya. Suami adalah kepala keluarga, harus kuat, sabar, dan sangat bijaksana memutuskan langkah. Kami bersamamu Jacob. Kehidupan mengalahkan diri sendiri, kehidupan yang keras demi kemakmuran keluarga mapan, dan rumit, yang telah diubahnya menjadi sebuah simbol kepahlawanan kontemporer – dia bisa menyebutnya maskulin dan berani dan baginya tampak seperti Eros. Lelaki dewasa, tabah dan tetaplah semangat. Bulir-bulir keringatmu untuk sesuap nasi anak-istri adalah bukti kejantanan sejati. Tuhan bersama suami-suami pejuang.

Demam Korea sudah melanda dunia, termasuk Hollywood. Kemenangan Parasite mengubah banyak hal, Minari jelas adalah salah satu buntut kesuksesan itu. Minari memberi Yuh-Jung Youn sebuah piala Oscar sebagai pemeran pembantu wanita terbaik atas peran nenek stroke-nya. Laik dan masuk akal walau saya jagoin Close di Hillbilly Elegy. Hollywood sudah terpikat oleh film dari Korea, dari Asia Timur. Tak menutup kemungkinan Negara lain, Negara kita akan dilirik suatu saat bukan? Untuk kategori utama terlepas semua, dan saya sepakat. Jelas Nomadland lebih bagus ketimbang ini. Film ini terinspirasi dari pengalaman nyata sang sutradara bahwa dulu tanaman Minari adalah satu-satunya yang tumbuh di lahan subur dalam proses usaha pertaniannya.

Hutan dan warna-warna alami yang menyelingkupi rumah sungguh indah. Kesepian diselingi suara jangkrik diguncang dengan kegembiraan ketika pikiran memberi penghormatan kepada keindahan. Pohon, pohon, jutaan pohon, bagai raksasa, tak habis-habis, menjulang tinggi ke atas; dan pada kaki-kaki mereka, memeluk kecil ciptaan menyelingkupi, menyelinap ke sela-sela rumah mungil mereka yang terpencil, seperti titik tahi lalat mungil di atas lantai portik yang megah. Pemandangan ini membuatmu merasa sungguh kecil, perasaan yang tersesat jauh, walaupun belum semuanya. Terlihat ideal dengan hidup mengandalkan kebun dan peternakan, sebuah perjuangan bersama orang-orang terkasih ini laik diacungi jempol. Siapa yang bosan hiruk-pikuk kota? Kita semua! Dunia, seperti inilah aslinya. Selalu memberi cabang pilihan, tak semua akan berakhir bahagia, selalu ada hal minor tetap terjadi. Pertengkaran membutuhkan dua orang yang saling peduli. Kalian tak bisa membayangkan betapa bisa efektifnya suatu percakapan, hal-hal yang diperdebat seusai memeriksa kesehatan David sungguh membuat debar terpacu.

Kesuksesan itu dia himpun dari lapisan demi lapisan, kesabaran dalam hari-hari kerja yang panjang, diramu dari ratusan inspirasi tunggal bahwa keluarga ini bisa, apa yang ditanam akan dituai. Setelah beberapa tahun kegelisahan, ketelatenan dan banyak mencoba berbagai opsi, seharusnya mereka benar-benar memetik hasil, sampai akhirnya dipatik kesedihan yang membara.

Kejadian di dunia ini hanyalah kejadian yang kacau, ‘penuh gemuruh dan amarah yang tak menandakan apa-apa’ begitu kata Macbeth karya Shakespeare. Tetap semangat Jacob, dan semua suami/ayah di seluruh dunia kalian adalah kepala keluarga dengan beban berat di pundak, meringis karena kewajiban hanya saat sendiri, tapi tetap tersenyum saat di depan umum. Tak perlu mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Cukup hiduplah dengan baik bersama orang-orang tercinta.

Minari | Tahun 2020 | Directed by Lee Isaac Chung | Screenplay Lee Isaac Chung | Cast Alan S. Kim, Yeri Han, Noel Han, Steven Yeun, Darryl Cox, Yuh-Jung Youn | Skor: 3.5/5

Karawang, 220521 – Westlife – Mandy

The SpongeBob Movie: Sponge On the Run – Misi Menyelamatkan Gary

Tuan Krab: “Aku suka uang, uang, uang.”

Tak ada yang baru di sini. Ini film anak-anak, ngalir sahaja. Only for fans, dengan catatan. Kutonton semalam dengan Hermione (6 tahun) yang suka sekali kartun, penggemar Boboiboy, Omar Hana, Sopo Jarwo, Nussa, hingga Keluarga Somat. Sederet panjang kartun masa kini yang sudah dikuasai negeri tetangga. Spongebob jelas bukan di antaranya. Sudah punah dari peredaran tv? Sebab penguasa kartun saat ini bukan lagi GTV, tapi RTV. Sedari pagi hingga malam, Hermione hapal jam-jam tayangnya, mengikuti, menyaksi, menjalani masa kanak-kanaknya. Pantas saja ia bertanya, cewek peneliti itu siapa? Sandy. ‘Saya suka Sandy’. Yah, saya maklumi yang ia kenal Ruby, Aya, dll. Kuselesaikan tonton jelang tengah malam, dan sesuai dugaku ia sangat suka. Siapa yang bisa menolak pesona Si Kuning? Kubandingkan kartun-kartun yang kita tonton sebelum-sebelumnya, dan tanpa ragu bilang Spongebob terbaik. Alhamdulilah… misi menyebar virus Spongebob berhasil, setidaknya sementara…

Kisahnya tentang pencarian dan penyelamatan Gary Siput. Dibuka dengan rutinitas Bikini Bottom, Spongebob Squarepants (Disuarakan oleh Ade Kurniawan) berwisata bersama Gary Siput binatang peliharaannya. Menampilkan kebersamaan kebahagiaan yang hakiki. Besoknya berangkat kerja lebih dini biar persiapan matang. Menyapa sobatnya Patrick Star (Darmawan Suseno), berteriak-teriak gaje menggangu tetangga. Di Krasty Krabs kita mengenal Tuan Eugene Krabs (Dadang Hidayat) bos yang kikir dan kasir pemalas Squidward Tentacles (Jumali Prawirorejo). Rutinitas biasa, hingga tetangga mereka yang jahat muncul dengan teropongnya, Planton Sheldon (Salman Pranata) yang berniat balas dendam. Istri komputernya, Karen selalu menasehati. Masalahnya bukan Krabs-nya tapi Spongebob yang bodoh sekaligus jenius.

Kebetulan hari itu Sandy tupai peneliti sedang menawarkan robot bos, pekerja otomatis yang selalu bilang ‘Kau dipecat’. Awalnya Krabs tak tertarik, tapi melihat potensi saving uang, direkrutlah. Namun tak lama sebab kalimat annoying itu menimbulkan kesal, ditendang jauh ke tempat sampah Cum Bucket.

Robot itu lalu dimodifikasi jadi jahat. Sesuai saran Karen, Plankton menculik Siput untuk ditempatkan di Kota Atlantis yang hilang. Dipimpin oleh raja Poseidon yang membutuhkan perawatan wajah, membutuhkan liur siput buat peremajaan. Kebetulan stok habis, maka proses pencarian itu menemui titik temu Gary.

Spongebob yang kalut kehilangan Gary, Plankton sok baik memberi kendaraan dengan sopir sang robot. Maka ditemani Patrick dimulailah misi penyelamatan. Rencana Plankton berjalan sempurna, ralat: nyaris sempurna. Kraby Patty runtuh tanpa Spongebob, gulung tikar dan formula rahasia diserahkan dengan mudah. Bendera putih dikibar.

Dalam perjalanan bertemu makhluk aneh, semacam rumput gulung kena angin bernama Sage (dengan wajah Keanu Reeves), memberi nasehat serta memberi koin keberuntungan. Sekarang tiap lihat sarang burung, Hermione akan bilang ‘Yah, ada Sage‘. Awalnya kukira bernama Syeikh, para jutawan Arab. Bertemu pula Snoop Dogg, Monsa X yang bernyayi di kasino, malam yang meriah dengan lagu Livin La Vida Loca. Koin itu tak sengaja dipertaruhkan, eh sengaja juga tapi karena teler dan terbawa suasana terlepas. Intinya di kasino mereka terjebak suasana gayeng, makanan minuman melimpah, wahana main yang asyik. Teler.

Sage mengingatkan misi, dan mereka melanjutkan perjalanan. Sementara di Bikini Bottom yang suram, Plankton diluar duga malah menjadi baik, melakukan pengakuan ialah dalang utama menjauhkan Gary, yang lalu menjauhkan Spongebob. Ia malah membantu, menyediakan akomodasi dan para tokoh yang saya sebut di awal turut serta melakukan petualangan menyelamatkan Gary ke Atlantis.

Kisah ini terinspirasi episode Have You Seen This Snail? Gary dan percobaan penggantian binatang peliharaan, yang ternyata tentu saja tak tergantikan. Saya sangat menikmati Spongebob The Movie (2004), sudah kutonton berulang kali, plotnya mirip sekali dengan film ini. Spongebob dan Patrick melakukan petualangan keluar dari Bikini Bottom, kalau sebelumnya demi menyelamatkan Tuan Krab yang jadi patung guna ketemu King Neptunus untuk mahkota kini Gary-lah pemicunya melawan Raja Poseidon. Bukan karena lebih bagus yang pertama, sebab utamanya saya menonton di usia yang pas, di euphoria yang tinggi, dan minimnya kisah sejenis. On the Run, tetap bagus tapi karena feel-nya tak segemerlap sebelumnya, terasa fun saja. Selalu mengasyikkan nonton film keluarga bersama orang terkasih, saya lihat dalam dubbing Bahasa Indonesia produksi Iyuno Media Group. Bagus, sudah sesuai ekspektasi. Semuanya mengalir, semacam nostalgia setelah sangat lama tak menonton kartun ini. Seri kedua Spongebob Squarepants: Out of Water (2015) justru belum kutonton karena menunda mulu.

Ya, tak ada yang baru di sini. Semuanya plek dengan episode sebelumnya. Ini adalah film yang fun, tak perlu berpikir kerut kening, tak perlu mumet memikirkan dialog berat. Duduk dan nikmatilah. Spongebob pernah menjadi kartun terfavorit sepanjang masa, dan akan selalu menjadi yang terbaik bagiku sebab masa lalu tak akan kembali, semua menjadi kenangan yang enak diingat sebagai bentuk nostalgia. Mungkin sudah menjadi kebiasaan dalam film ada aktor tamu yang disertakan. Kali ini Keanu Reeves kuanggap sukses. Patut dinanti siapa selebriti yang akan diajak bergabung. Tom Holland?

In memoriam Stephen Hillenburg, sang kreator meninggal dunia pada 27 November 2018. Terima kasih banyak sudah menemai masa-masa sulit di perantauan dulu. Spongebob abadi, karyamau abadi. “Whooo…. Live in pineapple that under the sea…”

The SpongeBob Movie: Sponge On the Run | Tahun 2020 | Directed by Tim Hill | Screenplay Tim Hill | Cast (Edisi Indonesia): Ade Kurniawan, Darmawan Susanto, Jumali Prawirorejo, Jhoni Ringo, Dadang Hidayat, Salman Pranata, Miftahul Jannah | Skor: 3.5/5

Karawang, 200521 – Ida Laila – Sepiring Berdua

Thang 5 de Danh: Cinta Pertama dan Terakhir

A Sunny schoolyard, your shirt fluttered.”

Cerita remaja. Cinta pertama yang menggelora, menjadikan gigil asmara. Bikin galau anak sekolah, segala yang pertama memang memunculkan sensasi tersendiri. Mau dibuat di Barat, atau Timur Tengah, atupun di Asia Tenggara cerita cinta remaja selalu mendebarkan hati mereka yang terlibat. Ini berdasarkan memoar yang laris di Vietnam, seperti hal lainnya di setiap tempat memiliki gegap gempitanya sendiri. Sunset Promise dibawa ke Indonesia, jelas hal asing.

Kishanya tentang Hieu (Xuan Hung), remaja puber yang mengalami mimpi basah. Ibunya sering marah di pagi karena telat bangun, mereka hidup berdua, ayahnya pergi entah ke mana. Hieu mimpi basah. Kamarnya penuh poster idola. Setiap orang adalah kumpulan sifat-sifat dari beberapa pujaannya (idola), umumnya tidak menyerap satu pribadi utuh. Poster di kamar remaja, lumrah bukan? Bersahabat dengan Son (Duc Nguy) yang merupakan tempat curhat banyak hal. Berangkat pulang sekolah naik sepeda dengan pemandangan sawah dan pepohonan rimbun, khas sekali desa. Sapi yang dibawa ke tanah lapang, sungai jernih mengalir, desir angin menempa wajah. Benar-benar suasana pedesaan, asri.

Di kelas Hieu jatuh hati sama Mai Ngoc (Minh Trang). Gadis favorit yang banyak dicinta. Nasib baik menempa Hieu sebab dalam lomba antar kelas membuat majalah dinding, mereka berdua ditunjuk sama guru. Keputusan itu otomatis mengikat erat hubungan. Pulang sekolah mereka duduk semeja mencipta karya, Hieu dikenal sebagai remaja puitis, suka melamun. Maka klop-lah mereka.

Dan seusai lomba, hubungan mereka resmi naik jenjang pacaran. Mengucap selamat ulang tahun di malam special dengan api membentuk love, ciuman pertama, hujan deras, hingga malam tak terlupa. Seperti laiknya anak muda yang galau, hubungan mereka timbul tenggelam sebab ini adalah pengalaman pertama.

Hieu yang pertama kali menyaksi video biru dari vcd yang dibawa Son, mencipta picu tindakan, dan suatu malam mereka terjebak di hutan. Hujan lebat, Ngoc sakit dan pingsan. Beruntung mereka menemukan rumah gubuk di hutan, seorang nenek menampung mereka. Karena ini kisah romantic, tak ada hantu mencekam atau penampakan setan walaupun film Asia Tenggara. Namun kelekatan ini memiliki sisi lain yang menjadi konsekuensi.

Sepulang dari perjalanan menginap tersesat itu, mereka digelandang ke kantor polisi. Orangtua Ngoc melaporkan anak gadisnya hilang, membuat marah orangtua Hieu, bahkan sampai menamparnya. Ngoc diajak pulang, walaupun ayah ibunya sedang kusut masai. Beriktunya Hieu dibelenggu kakinya agar tak keluar rumah, agar tak nakal. Cinta-cintaan hanya untuk orang dewasa, kamu masih anak sekolah. Fokus belajar sana…

Lantas adegan perpisahan dicipta, Ngoc pindah sekolah ke ibukota. Info terlambat itu didapat dari Son melalui surat selamat tinggal. Sempat kejar kereta ke stasiun, adegan ‘Ada Apa Dengan Cinta?’ Ciuman perpisahan tak terjadi, hampa dan kereta melaju deras meninggalkan semuanya. Setelahnya, berjalan semestinya. Kenangan bersemi, kata-kata puisi membekas, sekolah dengan kerumitan remaja pada umumnya. Namun masa-masa kebersamaan itu akan diingat selamanya.

Romance dengan bumbu penyedap yang sudah sangat umum, hanya settingnya aja di Vietnam. Cerita cinta pada umumnya. Tak banyak keistimewaan, mungkin pemandangan bagus dengan latar hijau yang asli dan asri yang menonjol. Akting natural para pemainnya, dan berdasar memoar tokoh terkenal, yang lainnya sama saja. Sinetron kita sudah sangat banyak memproduksi cerita cinta macam ini. Bunga-bunga keindahan masa muda penuh klise. Permasalahan remaja, tak jauh dari cinta, keluarga, dan peningnya belajar. Cinta kala itupun sudah mengarah ke seks yang tentu saja tabu untuk dibicarakan.

Sebagai penutup catatan ini, saya ingin mengutip lirik lagu ‘Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut’

Kau buat aku bertanya

Kau Buat aku mencari

Tentang rasa ini

Aku tak mengerti

Akankah sama jadinya

Bila Bukan kamu

Lalu senyummu menyadarkanku

Kau cinta pertama dan terakhirku.

Bahasa Vietnam, Thailand, Korea, India dan sekitarnya tampak eksotis diucapkan, sulit dicerna telinga. Bayangkan ada nama gadis cantik Ngoc. Lucu. Maka subtitle sangat membantu, film-film bahasa asing bagaimanapun perlu ada wadah khusus guna perkembangan budaya, mengetahui kehidupan luar yang jauh dan asing, tanpa perlu buka buku tebal, toh jarang juga buku terjemahan dari Asia ke Bahasa Indonesia. Film mengambil peran itu…

Sebab cinta pertama yang dialami remaja umumnya bersifat lahiriah dan sangat dangkal. Kesan pertama menetap dalam ingatan. Bila waktunya tiba untuk memutuskan para remaja lumrah bingung, apakah rasa itu akan tetap bersemayam atau malah tinggalkan, karena terbukti remaja memiliki pendirian yang tak mantab. Justru sering terjadi bahwa orang yang mencintai tidak pernah menyatakan apa-apa, cinta itu baru diketahui setelah beberapa lama lewat perbuatan atau tingkah laku. Sunset Promise mendayu dan mendakunya, semanis-manisnya, seelok-eloknya.

Sunset Promise | Vietnam | Judul asli Thang 5 de Danh | Tahun 2019 | Directed by Le Ha Nguyen | Screenplay Le Ha Nguyen | Adaptasi memoar legendaris Ranh Gio-Rain8x | Cast Duc Nguy, Xuan Hung, Minh Trang, Ns Ngoc Tan, Ns Thien Kieu | Skor: 3.5/5

Karawang, 200521 – Michael Learn to Rock – You Took My Heart Away

Oxygene: Kabut Ingatan untuk Semesta tak Berbatas

Liz: “Aku adalah kau. Aku adalah kau di dalam bahaya.”

===Catatan ini mengandung spoiler===

Semakin tahu sedikit film ini semakin bagus penampakan akhir cerita. Saran saya segera tonton film ini, baru baca review. Oksigen, jelas salah satu film terbaik tahun ini. Netflix mempersembahkan film sesak napas dengan cerita wow, sebuah romantisme kehidupan. Namun apa itu sejatinya kehidupan?

===Catatan ini memuat spoiler, saya sudah memeringatkan===

Film berpenampilan satu orang, yang suka film mikir harusnya suka. 1,5 jam menonton cewek rebahan pening pecahkan teka-teki dengan oksigen terbatas. Mengambil setting hanya satu tempat memanfaatkan ruang gerak sempit hanya dalam tabung, jelas mengingatkan Buried. Perjalanan nun jauh ke atas sana lalu kerusakan terjadi, jelas menautkannya pada Passenger. Scifi dengan klona demi menyelamatkan umat manusia di luar angkasa, jelas sekali terinspirasi Moon, mati satu tumbuh seribu. Ini adalah kisah fantasi, menanam ingatan mengembangbiakkan makhluk terancam segera punah, dan sesak napas tak terkira. Segala sesuatu yang tampak begitu infantil, begitu jauh dari realita.

Kisahnya benar-benar setting satu tempat, sesekali muncul ingatan masa lalu yang samar, sesekali kamera mengambil gambar di luar tabung, sesekali pula kita diajak berputar di angkasa. Namun tetap setting utama adalah dalam tabung, sebuah misteri apa dan kenapa ia terbaring di situ. Elizabeth Hassen (Christie LeBlanc) atau bisa juga dibilang setidaknya mendaku Liz terbangun dari tidur dalam tabung medis, ia terbungkus penuh dari ujung ke ujung semacam serat kepompong, ia terhubung banyak kabel: kaki, tangan, kepala, badan. Ia siuman bukan karena sesak tapi lebih ke kesalahan sistem saat seharusnya masih tertidur. Dengan memori terbatas ia memertanyakan banyak hal.

Tabung senyap merah berubah warna biru, ia masih terbaring dan akan tetap terbaring sampai akhir, lalu meminta tolong. Muncullah pemandu suara, berbentuk digital dengan suara berat. MILO (disuarakan oleh Mathieu Amalric) adalah asisten komputer medical tatapmuka Liaison. Ia siap menjawab dan siap pula membantu Liz seperti menghubungkan telpon, menghubungkan dengan mesin pencari internet, dan karena ia sistem maka menjalankan perintah sebisa mungkin. Terutama sekali untuk perintah darurat dan radikal membutuhkan kode otorisasi, hanya administrator yang bisa. Nantinya Liz bisa, karena ada suara dari seberang yang mewanti-wanti sekaligus memberinya wewenang.

Terdeteksilah, ia adalah pasien Omicron 267, setelah browsing lebih lanjut barulah menyadari Liz seorang ilmuwan terkemuka dengan banyak penghargaan. Semakin membingungkan saat menghubungi polisi, lokasi tak terdeteksi jelas yang langsung berprasangka ia ada di dalam tanah, tapi jawaban telpon di seberang terdengar ganjil. Liz lalu memutar ulang rekaman, ada bisikan di sana. Ia kini benar-benar ketakutan karena kini bergulat dengan prasangka. Siapa yang tega mengkapsulnya? Harapan hidupnya 82 tahun, sehat wal afiat. Siapa orang jahat itu?!

Berikut mencoba mengingat lainnya, ia punya suami bernama Leo Ferguson (Malik Zidi) yang setelah dikonfirmasi sudah meninggal. Anehnya ketika menelpon ke nomornya, seorang wanita selalu menolak berbicara, memutuskan sambungan dengan gusar. Lebih lanjut kita tahu, umat manusia ternyata terancam punah. Sebuah wabah mematikan menyergap dan para jagoan kewalahan. Penyakit-penyakit terus meluas, tetapi begitu pula obatnya, karena harapan itu menular. Harapan adalah yang dapat menyelamatkan dunia. Dan ya, Oxygene adalah misi penyelamatan!

Ia juga mencoba menelaah samar hal-hal yang memungkinkan sebab utama ia terkurung. Dengan jarum suntik ia menyakiti diri, menusuknya ke telapak tangan agar mengingat, rasa sakit menimbulkan kepedihan, kepedihan akan melalangbuanakan pikiran, yang dengan itu bisa menelisik memori. Samar ia melihat bangkai tikus, tikus-tikus yang dibedah guna diselidiki. Samar pula ia melihat baling biji akasia yang beterbangan, memicu angan dan gelombang kenang. Lihat, penderitaan adalah kenyataan. Untuk mengakuinya kita butuh sakit.

Semua yang ditampilkan penting, memberi klu demi klu seolah kepingan. Twist yang ditampilkan sangat menyentuh, kalau mau dijadikan satu bait berikut:

Aku ini ‘binatang klona’, dari kumpulannya yang terbuang.

Aku bertanya pada aku.

Aku meminta tolong pada aku.

Aku memberi tahu aku bahwa aku kabut ingatan aku.

Aku bingung, maka aku mengaku pada Milo.

Panggil aku Liz.

Laksanakan!

Bagaimanapun, penanaman kenangan menjadi lebih bermakna bila sumbernya adalah pengalaman asli. Tikus sebagai binatang utama tiap penelitian di adegan sangat mula menjadi kunci pencarian jalan keluar dalam labirin luas, ia berhasil ya tentu saja berhasil sebab sudah ditanam memori jalan-keluar seolah cabut-colok/copy-paste dalam file USB. Bukan mustahil kita suatu saat nanti bisa memindai, menghapus atau bahkan memindahkan berbagai kemampuan kognitif berupa kecerdasan, ingatan, rasa perhatian. Dunia masa depan memang begitu luar biasa aneh, banyak kemungkinan. Semakin gila semakin mungkin diwujudkan. Ilmu pengetahuan tidak bisa disangkal merupakan agama yang paling efektif karena ini adalah agama pertama yang mampu berevolusi dan memperbaiki dirinya sendiri. Klona? Mengapa tidak?!

Pada akhirnya, hanya emosilah yang menggerakkan kita untuk bertindak. Ini karena tindakan adalah emosi. Sekalipun hasil kloning? Sekali lagi, kenapa tidak? Pembentukan jiwa yang sukses tetap dikedepankan emosi. Ingat, Liz berteriak histeris ‘Aku tak mau mati’ yang hanya berselang berapa detik mengetahui fakta yang bahkan tak terselip liar dalam kepalanya. Dasar sampah semesta, dasar utama penjelajahan antariksa.

Bayangkan saja, semakin menit oksigen menipis, tata kelola tindakan dari 40-an persen menuju satu persen menjadi begitu bermakna sebab dasarnya jiwa manusia selalu mencari titik penyelamatannya. Fakta demi fakta dibuka, bukan hanya buat Liz tapi juga buat semua penonton. Jiwa ini dapat juga memproduksi perasaan, ingatan, kesedihan, dan kegembiraan, akal sehat, atau kekeruhan pikiran serta bisa pula dengan sangat menjengkelkan mengingatkan kita pada hal-hal yang ingin dilupakan, dan dapat membuat makhluk berpikir ini menjadi sasaran kekaguman, atau rasa kasihan serta air mata? Liz menangis bahagia sebagai bukti akhir yang jelas, ia meminta Milo mengubah identitas, bagaimanapun pengakuan penting. Jati diri (nantinya) setelah misi ini berhasil, baru juga 12 tahun berjalan. Planet Wolf 10-61c yang memiliki siklus orbit 18 hari jelas masih sangat jauh. Sangat jauh ke semesta tak berbatas.

Manusia tidak pernah berhenti tumbuh dalam pengetahuan mengenai nasibnya. Harapan adalah bahan bakar untuk mesin mental kita. Penjelajahan ke tempat baru demi harapan kehidupan, demi melawan kepunahan adalah iqtiar, kepada ilmu pengetahuanlah kita berpaling. Lantas saat jiwa itu tahu kebenaran, apakah ia patah hati karena kenyataan? Tak masalah, yang terpenting saya eksis, saya ada. Saya menghirup oksigen, maka saya ada. Tidak ada hal lain yang kita percayai dibanding perasaan kita sendiri, ego kita sendiri.

Oxygene | Tahun 2021 | French | Directed by Alexandre Aja | Screenplay Christie LeBlanc | Cast Melanie Laurent, Mathieu Amalric, Malik Zidi | Skor: 4.5/5

Karawang, 190521 – Boyzone – The Way You Loved Me

I’m Thinking of Ending Things: Memperkenalkan Kekasih yang Cerdas ke Orangtua Merupakan Kesenangan Tersendiri, tetapi Seperti Semua Kesenangan, Hal itu Tidak Berlangsung Lama

(opening) – “Mungkin aku sudah tahu selama ini. “Terkadang pikiran lebih mendekati kebenaran, kenyataan, daripada tindakan. Kau bisa berkata atau berbuat apa pun tapi tak bisa memalsukan pikiran.”

Kesepian, gembira, cemas, sedih. Dunia angan dan segala yang merombaknya. Selalu menarik saat kita memperbincangkan fantasi berbalut permainan waktu, ditambah sepanjang menit puisi-puisi berserakan, lagu klasik menyelingkupi. Tak ada yang lebih menyenangkan saat segala absurditas disatukan, ditumpukkan dalam gegap dingin salju yang menggigil, lalu segalanya tak jelas atau setidaknya tak terjelaskan dengan clir, kenapa si anu berdansa, kenapa sisa minuman menumpuk, kenapa muncul bersamaan di ruang sekolah itu beberapa karakter yang saling silang, dst. Dunia sejatinya seperti itu, maya lebih masuk akal ketimbang nyata, dan segala hal yang ditampilkan seolah maya. Semakin penonton bingung, Kaufman akan semakin girang. Duduk menyaksi film-film Kaufman adalah duduk di pangkuan kemewahan.

Memperkenalkan kekasih yang cerdas ke orangtua merupakan kesenangan tersendiri. Tetapi, seperti semua kesenangan, hal itu tidak berlangsung lama…

Kisahnya tentang kunjungan Jake (Jesse Plemons) ke rumah orangtuanya di kota seberang rumah peternakan kuno, ia berniat memperkenalkan kekasihnya, karakter tanpa nama (diperankan dengan unik oleh Jessie Buckley) untuk jamuan makan malam. Cuaca sedang buruk-buruknya, hujan salju menerpa kota sedari siang, rencananya mereka pergi-pulang sebab besok kekasihnya ada pekerjaan. Sedari mula memang sudah tampak aneh. Karena ini mengambil sudut pandang wanita muda, seolah kita bisa menelusup dalam pikirannya. Apa yang ia ucapkan dalam hati dinarasikan kepada penonton. Syair-syair liar dan bagaimana menghadapi kemungkinan-kemungkinan. Dasarnya puisi, semua bebas disenandungkan, keras, berisik, dan merdeka. Namun melelahkan sekali.

Jake cowok manis, ia menyetir dengan tenang bukan hanya karena sedang badai salju, ia memang karakter baik yang tenang. Beberapa kali kita menyaksi ucapan dalam hati kekasihnya terdengar dan direspon sama Jake, salah satunya rencana ia menjadi kekasih sebentar dan semua kejadian manis ini akan jadi masa lalu yang patut dikenang.

Saat sampai di rumah peternakan, ia diajak ke kandang hewan Melihat kematian babi yang sudah membusuk disergap belatung. Sudah berapa lama? Babi itu mati kedinginan dan terlupa tak dikeluarkan.

Saat akhirnya masuk rumah, keadaan makin liar dalam keabsurd-an. Keduanya menua, diterpa penyakit dementia dan kepikunan. Ibunya (Toni Collette) tampak sangat ramah, bangga pada putranya yang cerdas. Brilian. Ayahnya (David Thewlis) juga sama ramahnya, tapi karena pikun ia sering lupa bahkan untuk hal-hal yang baru saja terjadi, barang-barang diidentifikasi dengan menempel tulisan di kertas. Lalu semakin larut, kita menjadi saksi permainan waktu. Berulang kali waktu diacak, menemui kedua orangtua Jake dengan berbagai ekspresi dan bisa menua dan kembali muda dalam sekian menit saja. Suasana kebahagiaan dalam keluarga sama seperti ketidakbahagiaan.

Sang gadis ideal, pintar melukis, berdeklamasi, belajar filsafat dan begitu memuja keindahan. Jake tampak memikat, cerdas, sayang orangtua, perhatian. Keduanya aneh, tapi memang manusia kan aneh, yang tak aneh hanya dinding rumah yang ditempel wallpaper berbatik. Bayangkan keduanya bisa dengan fasih menukil karya-karya klasik musikal dari Oklahoma!, Phantom, Carousel, South Pasific, Guys and Dolls, hingga Flower Drum Song. Karena cinta dapat mengusir rasa takut, dan rasa terima kasih dapat menaklukkan kesombongan.

Beberapa rahasia memang diluapkan, kamar masa kecil yang menjadi rekam jejak kejeniusan Jake. Anjing yang sudah mati, ada abu pembakaran dalam guci, tapi anjingnya muncul lagi. sebuah buku kumpulan puisi yang dibacanya dalam perjalanan ke situ, sudah tercetak dan tergeletak di meja. Buku berjudul Rotten: Perpect Mouth by Eva H.D. Sampai keadaan kejiwaan Jake yang tak stabil. Keanehan demi keanehan dalam selip syair romantisme. Saat mereka akhirnya nekad pulang dalam badai salju, keputusan ini menjadi tak terlalu riskan lagi, saat Jake mampir ke sekolah untuk membuang minuman dan tersesat di dalamnya. Labirin waktu diacak, Jake dan kekasihnya tak bisa kembali tepat waktu malam itu.

Di sela-sela pemaparan hubungan utama kisah, kita akan menyaksi kakek-kakek yang mengepel lantai sebuah sekolah, ada adegan dansa di loker, ada pula adegan dalam film di sebuah restoran yang mana pelayan bernama Yvonne (Colby Minifie) dipecat sebab saat bekerja malah memamerkan kemesraan, padahal ia sangat butuh pekerjaan untuk menunjang kuliahnya. Film itu dibuat oleh Robert Zemeckis. Kalian mungkin akan menemukan benang merahnya, tapi benang itu memang sengaja dibuat kusut dan amburadul. Tak perlu jeli dan telaah rumit untuk menikmati ketidakjelasan itu. Semua mengepul bak asap yang keluar dari cerobong rumah yang menaungi kenyamanan dan kehangatan keluarga.

Untuk mencapai di sekolah itu dan sebuah penelusuran absurd dibalik pesan yang dikirim, kita butuh berputar melingkar panjang, sungguh melelahkan. Dunia lebih luas dari perkiraan kita. Dari sisi yang suram dan patah hati. Saya suka mendengarkannya lewat suaramu dan kau jago menyampaikannya. Angan kekasih yang dibacakan dalam lantunan syair dibangun untuk sidang baca puisi yang spektakuler. Jake dan kekasihnya menekankan betapa kita terperangkap oleh waktu, oleh budaya, oleh struktur biologis. Betapa terbatasnya kita membayangkan makhluk atau peradaban yang secara mendasar sangat berbeda.

Catatan ini saya tutup dengan potongan puisi dari William Blake tentang lalat yang ditampar oleh tangan manusia iseng, begitulah hidup. Kehidupannya merupakan serangkaian suka duka yang menggembirakan sekaligus menyedihkan.

Karena aku pun menari-nari

Dan minum dan bernyanyi

Sampai sebuah tangan tak bermata

Meremukkan sayapku

William Blake, Songs of Experience “The Fly”, Stanza 1-3 (1795)

I’m Thinking of Ending Things | Tahun 2020 | Directed by Charlie Kaufman | Screenplay Charlie Kaufman | Cast Jesse Plemons, Jessie Buckley, Toni Collette, David Thewlis, Colby Minifie | Skor: 4.5/5

Karawang, 180521 – Netral – Dunia Koma

Enola Holmes: The Case of the Missing Marquess

Masa depan kita, ada di tangan kita.”

Hal-hal yang paling rumit biasanya sangat bergantung pada hal-hal yang paling sepele. Tak terlampau perlu telaah untuk cerita remaja ini. Adik detektif paling fenomenal Sherlock Holmes yang kini mendapat tongkat estafet menjadi juru selamat kasus (potensi) kejahatan di London. Bayangkan, di usia remaja seharusnya belajar di meja sekolah ia menjadi sosok yang mengagalkan percobaan pembunuhan putra mahkota, mengubah hasil akhir sebuah voting keputusan politik di parlemen, jelas Enola menciptakan gegap gempitanya sendiri. London di akhir abad ke-19 dengan rona klasiknya yang bersemu. Cantik, cerdas, gemesin.

Kisahnya tentang Enola Holmes (diperankan dengan ciamik oleh Millie Bobby Brown) adalah seorang yatim yang dididik mandiri oleh ibunya Eudoria Holmes (Helena Bonham Carter). Belajar di rumah menjadikannya berbeda, tak terikat sistem, tak terikat kurikulum. Ia tumbuh dengan sangat berani, belajar filsafat, sains, bela diri, hingga catur. Kedua kakaknya, Sherlock Holmes (Henry Cavill) dan Mycroft Holmes (Sam Claflin) sudah merantau sejak ia kecil, jadi memang tak banyak kesan yang tersimpan. Keduanya secara garis besar jelas sudah kita ketahui, yang satu detektif yang lainnya pegawai pemerintah. Suatu hari mereka diminta pulang kampung mendadak sebab Eudoria menghilang. Tanpa banyak kata, hanya meninggalkan jejak-jejak yang harus diselidiki. Besar sekali perbedaan di antara mengetahui sesuatu dan mendapati sesuatu itu terbukti. Sesampai di stasiun dengan Enola bernarasi ke penonton, menyambut kedua saudaranya, yang ternyata dicuekin. Oh, mereka sudah sangat lama tak berjumpa sehingga asing.

Enola, 16 tahun tak sekolah formal. Sama Mycroft sebagai walinya mendaftakan ke sekolah putri para ningrat, yang tentu saja memberatkan. Sehari sebelum dijemput gurunya, ia kabur mencari sang ibu. Dengan uang bekal, naik kereta menuju London, kota metropolitan. Dalam kereta api keadaan mencipta berkenalan dengan Tewkesbury (Loius Partridge), yang saat itu dikejar penjahat Linthorn (Burn Gorman). Dengan sangat dramatis mereka lompat di pinggir sungai (sempat kepikir sepintas akan ke sungainya seperti Sherlock Holmes 2) dan selamatlah mereka.

Saling mengenal dalam petualang ini, makan jamur di hutan, memasak bahan makanan di alam liar, buah dan sayur apa saja yang bisa dan tidak bisa dimakan. Mengasah pisau menjadi teknik istimewa sebab penampilan Tewkesbury menjadi cepak. Setelah waktu-waktu bersama mereka tetap memutuskan pisah jalan, dua karakter beda jenis kelamin, rupawan, pintar. Gampang sekali memprediksi arahnya. Aspek romantis ditampilkan, aspek praktis diselipkan. Sang cowok melanjutkan petualang, Enola say bye menuju losmen murah, berdandan cantik, memikat hati. Menyelidiki, dengan petunjuk minim di mana keberadaan ibunya.

Mengarah pada kedai teh Edith (Susan Wokoma) yang lalu menuju tempat penyimpanan bubuk mesiu, berhadapan dengan penjahat yang sama. Dan dengan rencana-rencana dan segala alurnya, Enola kembali bersatu dengan partner. Mengungkap kejanggalan demi kejanggalan. Mengetahui identitas aslinya, mengungkap hal-hal yang tak tampak di mula.

Dalam pembunuhan apa pun, kita harus mempertimbangkan motif dan kesempatan. Dalang utama pembunuhan ayahnya Tewkesbury diungkap dengan bagus, di rumah sepi dalam remang malam baku tembak terjadi, dengan nuansa keberuntungan dan sedikit terlihat konyol sang assassin dilumpuhkan, tapi musuh utama bukan dia, dia hanya pesuruh. Kita di sini untuk mencegah pembunuhan, tapi pembunuhan siapa? Malam itu Enola berhasil mengungkap kasus ini dengan jitu, bahkan sebelum Sherlock menyampaikan perintah tangkap pada Lestrade (Adeel Akhtar).

Berdasarkan buku karya Nancy Springer berjudul ‘The Case of the Missing Marquess: An Enola Holmes Mystery.’ Kisah Elona dibuat fun dan komikal, tak terlalu terbahak sebab cara bercerita tokoh utama ke penonton terdengar aneh sekaligus keren. Ia bertutur bagaimana cara memecahkan teka-teli kata, bagaimana ia tak mahir bersepeda, bagaimana Jiu-Jitsu dipelajari, dst. Tampak santai, tapi karena ini kisah misteri maka santainya menjadi mencekam. Penjahatnya tampil standar tapi dengan pisau atau senapan mengacung tetap saja membuat ngeri, dan yah kalau ada komplain utama jelas akhir bahagia. Bukannya anti keceriaan di akhir, cerita remaja dengan eksekusi macam itu terasa tipikal. Enola mungkin adalah satu film detektif yang paling sederhana. Tak banyak pertanyaan yang membuat penasaran penonton, dan solusi untuk teka-teki ini ternyata luar biasa mudah.

Cerita detektif memang gampang-gampang susah saat ditelaah, apalagi detektif remaja. Tidaklah mungkin bagi orang dalam profesi subjektif seperti penyelidik untuk merasa yakin tentang apapun juga. Segalanya dicipta abu, ditelaah deduksi, lalu dipilah fakta-maya, dan diungkap motif utama. Alurnya selalu seperti itu. Temanya politik, reformasi di Inggris jelang pergantian abad, tapi itu sekadar penggerak alur. Yang utama adalah memperkenalkan artis muda Millie Bobby Brown, perannya kuanggap sukses dan kelanjutan Enola hanya masalah waktu. Peran Sherlock justru yang biasa sekali. Cavill tetap kaku, kurang mencerminkan kecerdasan, terkesan monoton malah. Ini aktor entah mengapa datar sekali. Padahal Sherlock adalah seorang humoris dengan memainkan ironi, pecinta musik yang santai, ia mengungkap dengan gaya, bukannya kaku seperti itu.

Saya teringat dalam kumpulan kisah Holmes berjudul Kasus Jembatan Thor, saat pencarian tersangka seolah mentok dalam kebimbangan dan kebingungan. Sherlock berujar, “… Kita harus mencari hal-hal yang konsisten, kalau tak ada konsistensi, kita harus mencurigai tipu muslihat.” Nah kan, dalam Enola ada terapan proses tipu muslihat. Dalam lingkar keluarga istana ada hal-hal yang tak ditampilkan, saat muncul karakter yang mencoba membantu, padahal gerak selidik masih jauh, justru itulah yang harus dicurigai. Tak ada yang lebih pas menebak, siapa yang paling tak mungkin adalah paling potensial. Kebutuhan untuk memahami suatu teka-teki cerita yang kita huni dengan harapan dapat menyumbangkan sesuatu sebagai solusi. Enola menjadi Alone? Yaaa bolehlah, apalagi yang berujar cewek secantik Millie. Mari kita mengaguminya, dan menanti peran apalagi yang terbentang di depan.

Inggris dengan kisah detektifnya, selalu menarik dan terdengar aduhai.

Enola Holmes | Tahun 2020 | Directed by Harry Bradbeer | Screenplay Jack Thorne | Cast Millie Bobby Brown, Henry Cavill, Sam Claflin, Helena Bonham Carter, Loius Partridge, Burn Gorman, Adeel Akhtar | Skor: 3.5/5

Karawang, 170521 – Ario Wahab – Sepenuh Hati

7. Koğuştaki Mucize: Berderai-derai Air Mata

7. Kogustaki Mucize

Ova: “Lingo-lingo…” / Memo: “Siseler…”

Air mata menganaksungai. Benar-benar bagus dan menyentuh hati, saya sampai speechless menyaksikan drama kasih sayang tak bertepi. Apalagi kejutan demi kejutan disampaikan, ditambah dengan akting dan skoring yang luar biasa pula. Tak ada alasan lain, jelas film lima bintang. Mantab di segala sisi. Hukuman mati yang dijalani serasa sebuah titik akhir, dunia memang sudah gila dan saat kebenaran disampaikan, tak peduli apalah itu, kepuasan nafsu sendiri dikedepankan, membutakan banyak hal, tapi tangan Tuhan menyambut hambanya yang baik dan rela berkorban. Sentuhan naskah yang hebat, seperti judulnya, ini jelas sebuah keajaiban di ruang sel nomor 7. Saat menegangkan, dan terpojok rumit. Kita sudah lupa pada faktor-faktor yang mestinya menjadi andalan terakhir, yaitu harapan dan keyakinan.

Kisahnya tentang Memo (Aras Bulut Iynemli), seorang orang tua tunggal yang mengalami keterbelakangan mental, ia adalah ayah yang terus saja tersenyum, menyambut hari dengan bahagia. Pikirannya terjebak di dunia anak-anak. Memiliki seorang putri kecil Ova (Nisa Sofiya Aksongur) yang memberi warna tersendiri. Kisah utama adalah mereka berdua, yang lainnya seolah adalah planet-planet yang mengeliling dan mendukung bagaimana rotasi itu berproses.

Dibuka dengan Ova dewasa (Hayal Koseoglu) yang akan menikah, ia lalu teringat masa lalu yang menjadi titik utama cerita ini. Latar film ke tahun 1980-an. Ova kecil ingin tas bergambar Heidi dan karena uangnya tak cukup, mereka besoknya berjualan di festival. Sepulang sekolah saat ke toko, ternyata tas sudah dibeli temannya Seda, seorang siswi kaya anak jenderal. Sedih memang tapi memang ini kisah sedih, ini hanya mula. Neneknya (Celile Toyom Uysal) membesarkan hati, waktu akan menyembuhkan.

Suatu siang yang terik di hari libur, keluarga tentara ini sedang ada jamuan pesta kebun. Ngumpul keluarga, anak-anak main berlarian. Kebetulan di situ, Memo sedang menggembala kambing. Dan momen mencipta, Memo bertemu dengan Seda di pinggir danau. Apes, Seda terpeleset, Memo gagal menyelamatkan. Dengan posisi ia mengangkat tubuh korban di perairan dan keluarga besar sang jenderal gegas ke sana, ia didakwa membunuh. Sejatinya ada sebuah kuil lawas di puncak yang terlihat ada kemungkinan muncul saksi, dan kebetulan ada seorang prajurit yang kabur dari kesatuan, ngumpet di sana. Ia tahu Memo tak membunuh, tapi ia juga dalam bahaya kalau muncul ke publik sebagai pelarian.

Proses sidang ini cepat dan instan, Memo dijatuhi hukuman mati. Menanti hari H, ia ditempatkan di sel nomor 7. Sel yang luar biasa, mengubah banyak hal, hati-hati yang rapuh itu tumbuh kembang menjelma jiwa-jiwa yang terbebaskan. Dikepalai oleh preman yang keras Askorozlu (ilker Aksum) tapi berhati lembut seketika saat tahu sebuah kebaikan, ia mengatur segala yang ada dalam sel. Saat pertama tahu, kasus Memo adalah membunuh anak kecil, ia di-massa hingga babak belur.

Muncul instruksi dari kepala penjara agar ia tak disentuh sampai hari penghukuman, dunia lalu berjalan dengan ajaibnya. Memo yang polos justru mengubah para penghuni penjara, mengajarkan banyak hal arti kebersamaan. Mengetahui betapa rapuh dan baiknya Memo, semuanya berbalik menyayanginya. Bahkan kepala preman nomor 7 lalu melakukan penyelundupan, Ova dibawa masuk ke sel dengan sembunyi, dan upaya mempertemukan anak-ayah itu menjadi haru biru membuncah, air mata meleleh tak terbendung. Ditambah lagi, informasi bahwa nenek meninggal dunia. Selama film berlangsung, baru kali inilah kita menyaksi Memo berduka, kelam sekali melihat lelaki autis ini menjerit sedih, kehilangan ibunya. Sedih maksimal.

Tahu bahwa Memo tak bersalah, Sang Bos lalu meminta bantuan kepala penjara, yang meminta koneksinya memburu saksi kunci. Singkatnya saksi berhasil diamankan, diinterogasi, dipastikan ia menyaksi bahwa hari itu memang hanya kecelakaan, sang tersangka tak bersalah. Dihadapkan ke jenderal mulanya kurasa kelegaan yang kuyakini juga dirasa mayoritas penonton, tapi saat proses tanya-jawab itu berlangsung berdiri dengan ketegasan militer dan saat di belakang kepala saks, ia mencabut pistol, runyam sudah segalanya. Rasanya mustahil Memo diselamatkan dari hukuman gantung.

Menit menuju hari H menjadi sangat mencekam, dan keajaiban apa lagi yang ditampilkan? Inilah film adaptasi dari Korea yang mencengangkan. Benar-benar luar biasa. “Lingo-lingo…” ujar Ova yang dibalas dengan teriakan, “siseler…” oleh Memo. Sungguh menyentuh hati.

Ini salah satu film terbaik yang berkisah hubungan anak-ayah, dunia menjalinnya dalam banyak bentuk cinta. Tema utamanya adalah keyakinan, sebuah prinsip dasar eksistensi yakni kasih memberi harapan. Dan harapan itu lalu menguar di sekeliling sel, secercah harapan berkerlap-kerlip di hati, seperti cahaya lilin di malam hari. Saat mereka bahu membahu mencari saksi kunci, timbul kemungkinan terbaik, yah itu jelas punya rencana bagus. Namun benar-benar boom saat, justru kemungkinan selamat itu di puncak. Lemas, film ini mengandung irisan bawang melimpah. Ada banyak air mata, ciuman, dan cerita dengan cara sederhana dan penuh kasih sayang.

Tahun ini dalam proses adaptasi ke Indonesia dengan bintang Vino G. Bastian, patut dinanti seberapa bagus. Saya belum menyaksikan versi originalnya. Jadi pengalaman ke Turki adalah pengalaman pertama. Dengan cerita sebagus ini, jelas versi lain akan kusaksikan dengan keluarga. Bisa versi manapun, entah mana duluan yang bisa digapai.

Korea sedang di puncak popularitas, tak hanya film, banyak hal juga sedang hit-hitnya: musik, teknologi, ekonomi, dst. Budaya Korea Selatan yang mengglobal, keniscayaan yang akan menyerang pula generasi mendatang. Keajaiban Sel Nomor 7 hanyalah segelintir itu…

7. Kogustaki Mucize | Tahun 2019 | Turki | Based on Miracle in Cell No. 7 (Korea Selatan) | Directed by Mehmet Ada Oztekin | Screenplay Ozge Efendioglu, Kunilay Tata | Cast Aras Bulut Iynemi, Nisa Sofiya Aksongur, Deniz Baysal, Celile Toyon Uysal, Iiker Aksum, Mesut Akusta, Yurdaer Okur | Skor: 5/5

Karawang, 280521 – Sara Lazarus – Morning