Review match: Bayern Munchen (2) Vs. SS Lazio (1)
“Pergilah kau ke bintang-bintang, anak muda!” – Virgil (70-19 SM)
SS Lazio, setelah tiga belas tahun absen di kompetisi Liga Champions Eropa (UCL), di masa nostalgia ini akhirnya terhenti langkahnya di 16 Besar. Terasa wajar dan nyaris normal jika diukur dengan standar masa kini. Auranya memang beda, suasana kompetisi bagai festival, mirip acara yang unik. Menimbulkan emosi campur aduk. Saya sedang dalam suasana hati untuk menikmati menit-menit berharga Lazio di Liga Champions. Saya mencoba memenuhi tulisan ini dengan detail laga yang bisa kuingat.
Saat masuk lapangan, tak ada sesuatu yang teatrikal dalam perilaku pemain Lazio, dengan ban kapten tersemat di lengan Savic, Luis Alberto mengacungkan kedua tangan ke langit. Cara berjalan mereka biasa saja. Padahal Allianz Arena, tempat persidangan leg dua ini bernuansa teater, lengkap dengan puluhan mic di pinggir pentas, dan dengan logo besar Bayern di kursi penonton. Kedua pelatih berteriak sepanjang laga, kadang keluar garis menghasilkan efek tertentu. Tempat ini sudah banyak menjadi ladang pembantaian para tamu, ternyata kami bukan salah satunya.
Starter yang dipilih agak mengejutkan, tak ada Immobile. Tanpa memainkan Immobile yang dapat sepatu emas? Saya berusaha memahami apa yang belum bisa benar-benar dipahami. Inzaghi terkadang bisa sangat persuasif, tidak sering, sesekali. Ini partai penting, mungkinkah karena target agregat yang tinggi? Saya mendapat kesan, ia terlalu bekerja keras dengan skuat sepemberian Presiden Klub, tak banyak menuntut. Kesetiaan formasi 3-5-2 dengan berbagai modifikasi pemain sudah menjadi paten, bahkan setelah melatih lima tahun – keputusan ini masih membuatku terkejut.
Sisi kiper sudah paten. Bek selama Radu mau main akan diberi menit, begitu pula Acerbi, satu lagi bersyukurlah bukan ketiga pemain ini: Patric, Musacchio, Hoedt. Lazzari ternyata sudah fit, Escalante pertama kalinya starter, Savic dan Luis Alberto tetap yang terbaik, dan Fares-lah kepingan kelima. Keputusan memainkan penyerang termahal Lazio: Muriqi yang paling tak terantisipasi.
Biasanya kita ofensif, tapi berhubung ini bukan Serie A, pola mainnya menunggu, padahal kita dalam posisi butuh gol cepat. Strategi konsolidasi ini pada pokoknya bersifat aman, sumber dayanya saja yang terbatas. Tidak semua gagasan bagus bisa dipraktekkan. Kekuatannya adalah disiplin dan tindakan cepat saat pemain lawan menutup ruang. Kreativitas adalah sebuah peristiwa spiritual. Kesabaran permainan, memancing pemain lawan maju sungguh menggetarkan. Kita tak memiliki keuntungan waktu, dan kita sadar mereka akan turut bosan dengan bola-bola pendek memainkan posisi. Menanti mereka mengendurkan penjagaan, menunggu melakukan kesalahan. Harus diakui tuan rumah sukses meredamnya, siapa yang mau memperdebatkan keberhasilan?
Seperti yang sudah diduga, situasi lini belakang Lazio tampak sibuk bukan karena serangan lawan, tapi justru sebab susunan serangan sendiri, hanya sekadar melewati garis tengah terasa sulit. Rencananya cukup jelas, detailnya kacau balau. Dari kesabaran memainkan tempo itu, Lazio memiliki satu peluang emas yang prosesnya ciamik. Menit ke-14, Savic menerima umpan lambung dari Acerbi yang tepat di depan gawang, sayangnya sundulannya lemah. Sejatinya, skenario itu untuk Si Bajak Laut yang memang memiliki akurasi bagus saat berduel udara.
Setengah jam berlalu. Sesaat setelah sepak pojok tuan rumah diambil, meriam pertama berdentum di atas kepala kami, selama sepersekian detik saya mengira itu pelanggaran buat kami, ada yang melecut tajam di udara, dan karena kami sudah bermain apik sedari awal, protes dilancarkan, keadaan tegang, Acerbi diacungi kuning, kami membeku sejenak seakan tak percaya, lalu saya menggerung karena reaksi yang tertunda. Permainan tempo Lazio dirampok, secara instan terbesit judul tulisan ini melolong: “Lazio Dirampok”. Namun pada akhirnya pengalaman memang memberi andil semestinya. Senggolan Muriqi dalam kotak pinalti seolah ada dalam garis naskah cerita, bagaikan bubuk mesiu yang menunggu api kena tiup. Muriqi boleh diperbedat apakah benar melakukan pelanggaran, yang pasti justru dia membuatku ketakutan, padahal kita berada di pihak yang sama. Gol kelima agregat hadir dari pinalti, ah tekanan tambahan. Akibat gol pinalti itu, tanganku berkeringat, degub debar dimulai, telingaku berdenging. Setelahnya kami semua berlari dengan langkah-langkah berat, seperti orang yang menuju eksekusi. Awan gelap menggantung di langit, para pemain bergegas-gegas merapatkan barisan. Pertandingan terasa lebih singkat daripada yang diantisipasi.
Saya menyeruput kopi lagi, dan duduk lebih tegak di ruang tamu sendirian di dini hari yang pekat, menampari nyamuk yang sesekali datang, lalu menilai situasi. Ruangan ini penuh buku, laba-laba, berdebu, dan saya terjebak di sekelilingnya. Malam di musim penghujan di Karawang yang dingin, dari jendela terlihat bulan sabit, kesunyiannya menyusup.
Dengan memasukkan Lulic di pergantian babak, tampak Inzaghi kembali mencabut senjata dan berusaha menyamakan kedudukan. Inzaghi menunggu dengan sabar. Sebenarnya, kesabarannya justru mulai membuatku gugup. Namun setelah sepuluh menit tanpa perbedaan, ia menarik Muriqi dan bukannya memasukkan Immobile untuk menyelaraskan situasi. Maka masuknya gelandang bertahan Parolo adalah indikasi kami mengamankan diri. Gol pertama menembus kebuntuan mereka, gol kedua lebih ke kepastian terkuncinya kami tak melangkah ke 8 besar.
Parolo terlihat sangat menikmati satu golnya lagi di UCL, lihat selebrasi berlebihnya, senyumnya merekah. Merangkul Radu, keduanya adalah kombinasi arti setia sampai senja. Kesetiaannya yang luar biasa ini selalu memesonaku, membuatku bergetar terharu, bisa jadi ini musim terakhirnya bersama Lazio. Dengan gol itu, indikasi Parolo untuk bertahan jelas ada, secara terbuka sudah mengakui, mungkin semusim lagi, hanya saja saya tak tahu seberapa besar keinginan itu dikabulkan menajemen. Saya benar-benar menginginkannya tetap tinggal. Parolo dan senyumnya telah mewakili kami keluar arena dengan sehormat-hormatnya.
Kulihat Caicedo di baris kedua kursi cadangan, dan kita bisa memaklumi apa yang ada di pikiran sang pelatih. Maka sisa laga yang tak lama, bukan senjata rahasia yang dimasukkan tapi Akpa Akpro sebagai opsi menyimpan tenaga sang striker untuk kompetisi lokal.
Lazio di UCL 2021 memang tak semewah Lazio di UCL 2000, saya ingat cerita-ceritanya, detail-detail kenangannya, masa kejayaan bersama Sven-Goran Eriksson. Saya ingat keduapuluh tiga pemainnya dan perjalanan sampai ke fase gugur di perempat final. Lazio kini terhenti oleh sang juara bertahan yang gaji skuat cadangannya lebih tinggi dari seluruh pasukan kami, plus pelatih dan stafnya. Dalam konferensi pers seusai laga, Acerbi bilang, “Lazio pulang dari Jerman dengan kepala tegak.” Ia membumbui kegagalan ini dengan hujan alasan yang mengesankan.
Gempuran besar dengan serangan-serangan memukau dari juara bertahan yang kukhawatirkan ternyata tak ada. Mungkin sedikit membuat kecewa Romanisti, satu dua orang Tru Blue dan para Cules mencari teman sependeritaan. Tidak, kami keluar kompetisi dengan tepuk tangan meriah. Selamat, Bayern Munchen melaju ke daftar pendek melengkapi tujuh kontestan lain, saya tak peduli. Itu akan menjadi cerita bagi fans lain.
Membandingkan cerita, menciptakan detail baru. Seperti itulah kejadiaanya. Memang itulah yang terjadi. Karena ini hanya sesobek bukti kesabaran mendukung tim yang tak bertradisi di Liga Para Juara. Seni memuja cinta pertama, salah satu resep yang dianjurkan oleh semua orang. Apa saja yang sudah dimulai, jauh dari akhir. Sampai jumpa musim depan (di Liga Champions lagi). Jreng jreng jreng…
Karawang, 180321 – Setelah Jumpa Pertama
Lazione P. Budy
Kopi di kanan, buku di kiri, musik Jazz bergentayangan di sekitar. Laziale anggota tercatat nomor empat belas dari Karawang. Hobi makan bakso dengan kuah melimpah. Bisa disapa di twitter @lazione_budy