The White Tiger by Aravind Adiga
“Seumur hidupku, aku diperlakukan seperti keledai. Aku hanya ingin salah satu putraku – satu saja – hidup layaknya pria sejati.”
Teori kandang ayam, dengan pisau jagal mengacung di tengah ayam-ayam berkotek, mereka pasif menyaksikan saudara-saudara dipenggal satu demi satu, sampai tiba gilirannya. Inilah gambaran rakyat jelata India yang digambarkan dalam The White Tiger.
Drama India yang menyentuh. Terasa berat menyongsong kisah pilu, tapi terasa tak adil. Betapa kehidupan fana ini menjelma emosional saat kita menyaksi, menjadi saksi kisah perjalananan yang tak adil. Sopir miskin yang diangkat, sedikit diangkat derajatnya malah menjadi pembunuh sukses secara finansial, menjadi monster keluarga setelah disekolahkan, bisa baca tulis. Menjelma macan panas, mencaplok mangsa apa saja yang ada. Dan tak tersentuh hukum, bahkan menyuap hukum untuk memuluskan rencana-rencana bisnis. Lantas apa bedanya ia dengan para koruptor yang di cerita muak? Orang-orang datang dan pergi. Pekerja yang baik tidak pernah menetap.
Kisahnya mengambil sudut pandang mantan sopir Balram, yang bercerita kepada Yang Mulia Wen Jiabao, perdana menteri China yang akan berkunjung ke Bangalore, India. Jadi cerita satu arah secara keseluruhan. Ia kini menjadi pemikir dan entrepreneur sukses. Ia bertutur perjalanan hidupnya, bagaimana kisah masa lalu membentuknya kini. Bermula dari keluarga miskin, tak buta huruf seperti saudara lainnya, mentas menjadi sopir orang kaya, lalu budaya baru membentuknya. Pembantu yang dapat dipercaya adalah dasar dari seluruh perekonomian India. Meliar, dan tak terkendali. Pria minum karena dia muak akan hidupnya. Kau tak pernah berdoa ya? Kau ini apa? Naxal?
Balram adalah anak penarik ricksaw, ia drop out dari sekolah sebab keluarga tak kuat membayar biaya pendidikan. Lalu kerja sebagai pelayan di kedai teh, gambaran jelata sejati di Negara surplus penduduk. Ia sejatinya murid cerdas, tapi keadaan memang memaksanya merasakan pahitnya kehidupan lebih dini. Bekerja di kedai the nyaris sepenuhnya tak jujur, tanpa dedikasi, dan tidak tulus – jadi bekerja di sana merupakan pengalaman yang memperkaya batin. Memata-matai setiap pelanggan di setiap meja dan menguping semua perkataan mereka. Inilah caranya melanjutkan pendidikan, terutama pendidikan diri sendiri. Judul buku diambil dari diskusi sang protagonist dengan seorang inspektur yang menjelaskan bahwa India di masa kini memberi peluang yang sama untuk setiap anak mencapai cita-citanya, bahkan mimpi menjadi Perdana Menteri. Lalu mengibaratkan sesuatu, Balram yang istimewa. Di hutan, hewan apakah yang paling langka – sosok yang hanya muncul sekali dalam satu generasi? Harimau putih. “Kau bagaikan harimau putih di tengah hutan.”
Lalu muncul ide demi memperbaiki nasib, ia dikursuskan menyetir oleh neneknya, dengan syarat nantinya setelah jadi orang mengirim rutin uang. Benar saja, singkat cerita ia menjadi sopir keluarga kaya yang sejatinya memuakkan sesuai cerita kebanyakan. Keempat binatang ini tinggal di rumah megah berdinding tinggi, tepat di luar Laxmangarh – wilayah tuan tanah. Mereka punya kuil sendiri di dalam rumah, juga sumur serta kolam sendiri, dan mereka tak pernah turun ke desa, kecuali untuk memungut upah.
Keluarga ini kaya raya, memiliki dua sopir dan banyak pembantu. Dua mobil yang dipakai untuk mengantar kemana saja, sang senior bertanggung jawab mobil yang lebih bagus, Balram lalu dekat dengan bosnya: Tuan Ashok sang majikan, ia adalah bos ideal. Baik hati dan pengertian, sayangnya memiliki masalah dengan istrinya yang Amerika: Madam Pinky. Keluarga ini korup, suka menyogok pejabat demi banyak hal. Bobrok, khas pejabat kita. Nah, suatu kali mereka di Delhi lama, sang istri belanja, sang suami mengatur banyak meeting. Kota Delhi, kota setengah matang yang dibuat untuk penduduk setengah matang.
Pinky suatu malam mengalami kejadian mengerikan, dalam keadaan mabuk menabrak anak di jalan. Tabrak lari yang menggetarkan ini nyaris menyeret Balram ke penjara, tapi ternyata setelah mengaku palsu ke polisi, tak ada laporan kecelakaan. Kejadian ini membuat pasangan ini cerai, trauma dan memang hubungan bermasalah. Balram sang sopir jelas menjadi banyak saksi drama keluarga. Sopir-sopir biasanya cerdas, mereka mendengar hal-hal menarik.
Dan inti kisah ini menemui titik saat suatu malam, Tuan Ashok membawa sekoper uang tunai, di antar Balram di tengah jalan yang hujan, ia melakukan pembunuhan. Ini jelas motif utamanya uang, walau berlapis filosofis akan penegakan hak, penghakiman atas tak adil hidup, bla bla bla. Bah, jelas ini adalah pembunuhan berencana dengan motif uang. Fakta aneh: bunuhlah seorang pria dan kau akan merasa bertanggungjawab atas hidupnya – bahkan posesif.
Mengabaikan detail-detail tak penting Buku ini membekas lama dalam ingatan setidaknya ada tiga hal: pertama teori kandang ayam yang memberi gambaran bahwa masyarakat terjebak dalam budaya dan kebiasaan yang sudah dilakukan. Kita akan menjalani rutinitas yang ada bahkan saat dalam kondisi terancam, seperti kandang ayam di penjagalan. Menunggu giliran untuk dibantai, melihat kawanan lain yang dicerabut, padahal ada kesempatan kabur, tapi justru pasif dan akhirnya menjadi korban berikutnya. Seperti penggambaran bagus di sini: Beberapa orang di Negara ini telah terlatih – 99.99 persen – yang sama kuatnya, sama berbakatnya, serta sama cerdasnya dalam berbagai aspek – untuk terus-menerus melayani; semangat melayani; semangat melayani yang sedemikian kuat sehingga sekalipun Anda menaruh kunci kebebasan di tangan seseorang, dia pasti akan melempar kembali kepada Anda dengan marah.
Kedua tentang kebaikan yang disalahguna oleh orang tak bertanggung jawab. Apapun alasan Balram melakukan pembunuhan, demi apa dan tujuan akhirnya, jelas salah. Apalagi sang majikan sangat baik, memberi uang ekstra dan menghormatinya walaupun jelata. Dan balasan yang didapat sungguh biadab. Pembunuhan, apapun bentuknya kurasa tak bisa dibenarkan. Alasan kita menjaga jarak dengan manusia asing, dan kotor, dan potensi menyakitkan menjadi benar di sini. Mungkin ini fiksi, tapi alur yang disampaikan masuk akal untuk diterima oleh akal sehat. India, kumuh dan parahnya populasi mirip (kalau tak mau dikatakan sama) dengan Indonesia.
Ketiga terkait makna hidup. Berulang kali disebut, hidup ini hanya menunggu giliran mati. Entah kenapa, diluar segala kepercayaan yang dianut, saya tak sepakat akan tindakan jahat demi kebaikan lain. Selalu ada jalan baik, untuk niat baik. Dalam kasus Balram yang mentas, lalu mengorbankan anggota keluarga lain, tindakan ini tak sebanding. Bagiku keluarga nomor satu, segala tindakan harus dipikir panjang untuk orang-orang yang kita cintai, apapun yang kita lakukan tak akan cukup membalas kebaikan orangtua (di sini nenek) yang telah merawat masa lalu. Tanpa keluarga, seseorang tak berarti. Sama sekali tak berarti.
Sebagai buku yang memenangkan Man Booker Prize, sejatinya drama yang ditampilkan sudah sangat umum. Upaya memutus kemiskinan silsilah keluarga, dengan cara jahat. Di Negara yang kelebihan warga, membunuh satu orang baik, dikiranya tak mengapa. Demi kelangsungan hidupnya, caranya juga tak bisa diterima. Sinetron kita sudah banyak menampilkan kisah sejenis ini. berlebihan malah. Banyak buku Pemenang Man Booker Prize yang lebih bagus dari ini. Buku debuat Adiga ini agak di bawah ekspektasiku yang memuja drama.
Seandainya setiap orang bisa meludahkan masa lalu dengan mudahnya.
The White Tiger | by Aravind Adiga | Original English Version edition copyright © 2008 by Grove Atlantic Ltd. | Penerjemah Rosemary Kesauly | Editor Benedicta Rini W. | Setting Deddy Harmoko | Desain sampul Ellen R. Sasahara | Modifikasi desain smapul Christmastuti | Korektor Amanda | Edisi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Sheila, imprint CV. Andi Offset copyright 2010 | Edisi I, 2010 | viii + 360 hlm; 14 x 12 cm | ISBN 978-979-29-1286-9 | Skor: 4/5
Untuk Ramin Bahrani
Karawang, 090321 – Ida Laila – Khayalan Masa Lalu
Thx to September Books, Bks