Membela Inzaghi

Anda harus belajar aturan permainan dan kemudian Anda harus bermain lebih dari orang lain.”Albert Einstein

Satu saja bek nakal bisa jadi racun. Dia membuatku khawatir, itu saja.

Ini adalah Pertempuran melawan Kemapanan. Bayern Munchen sang sixtuple tidak bagus-bagus amat semalam, tiga dari empat gol adalah kesalahan tiga bek kita. Saat jeda laga ketinggalan tiga gol, grup bola FOC riuh ramai akan kekhawatiran tragedi 1-7, saya sih tenang saja. Saya menyaksikan setiap detiknya bagaimana bola bergerak, Bayern tak bagus mainnya walau unggul tiga gol mereka keteteran pressing dan possession. Seperti yang kubilang di preview, kelemahan kita ada di lini belakang. Terbukti segalanya berantakan gara-gara blunder bek, bahkan kekonyolan sudah dimulai saat menit baru 9. Gol yang tak semestinya terjadi, Mateo Musacchio dengan entengnya menyerahkan bola ke striker paling subur Jerman di depan Reina! Pantas langsung ditarik saat setengah jam berjalan, memasukkan kapten yang baru sembuh. Fakta bahwa Lewa menikmati gol bejan hanyalah bonus kecil kekesalan. Selebrasinya seolah habis mencetak gol brilian ke gawang Marchegiani.

Savic mendengus dan menggelengkan kepala perlahan-lahan, semua orang menunggu terjadinya ledakan. Membiarkan saat genting ini mengendap. Berkat gol cepat bodoh itu tampak Lazio panik. Susunan bata itu berantakan bukan karena tempaan faktor terjangan angin atau badai, justru malah tukang batunya yang merubuhkan. Praktis Lazio harus kembali menyusun mental, yang sayangnya langsung remuk ulang tak lama berselang, Remaja puber Jamal Musiala menggandakan skor. Dia baru saja mengumumkan membela Jerman, walau sudah ditempa di Chelsea. Luar biasa ini bocah. Derita tuan rumah di separuh awal dilengkapi lewat blunder Patric yang gagal menyapu bola sehingga menggelinding ke kaki lawan yang lantas menekan gas maksimal ke depan gawang. Ini bukan Alianz, Patric! Ini kandang kita, ya ampun.

Lihatlah, ini kesalahan-kesalahan dasar bukan berkat strategi hebat klub yang dinobatkan juara dunia. Grogi setelah belasan tahun tak bersapa dengan gadis pujaan sejatinya wajar, tapi kalau sudah melangkah lebih hingga berkenan dengan aroma gelar di fase gugur, sungguh tak bisa dimaafkan. Babak kedua baru disemprit wasit, giliran bek senior Acerbi yang linglung yang lantas menghujamkan bola telak ke gawang sendiri. Di sinilah, saya mulai khawatir. Mereka langsung diam, keheningan mencekam. Malu, marah, kecewa. Setelah beberapa detik barulah saya mengangkat kelapa dan, dengan setengah lelah, kembali menatap layar HP. Terlihat Bayern terus saja tak kelihatan kehebatan yang digembar-gemborkan, mereka menuai poin dari kerikil yang kita tebar sendiri. Kopiku tampak tak nikmat lagi, kukira Inzaghi sudah mendisiplinkan pasukan, degub itu malah memicu saat gol cantik Correa tercipta melalui skema serangan apik. Beginilah seharusnya skor terjadi, bukan sekadar nemu.

Setelahnya imbang, banyak peluang banyak terbuang. Pertandingan sendiri praktis berakhir bagi Biancoceleste menit 81 saat menarik dua pilar terpenting lini tengah: Luis Alberto dan Savic memasukkan Akpa Akpro yang pernah meminta bola, tapi saat dikasih malah terlepas mudah saat seharunsya berderap menyerang. Dan Cataldi yang sepertinya pemuda lokal ini sudah sulit dikembangkan lebih jauh. Linglung semua. Skor akhir yang kini mencipta posisi Lazio menyetarakan diri dengan Barcelona yang dipukul PSG minggu lalu.

Orang-orang memang memuakkan, kompetisi ini sungguh sulit dan tak bisa ditebak. Kebanyakan dari kita mendukung dengan landai, berhaha-hihi di media sosial. Sebagian lagi fanatisme membabi buta, mencaci maki saat kalah lalu memuji tinggi saat menuai hasil positif seolah lupa pekan sebelumnya misuh-misuh. Dan sebagian lagi sungguh tersesat. Inilah sepakbola, kita ditakdirkan untuk selalu bertikai akan perbedaan-perbedaan kecil. Contoh paling nyata Marusic, sepanjang musim lalu dihujat akan inkonsistensi penampilan. Musim ini menjelma hebat. Hal-hal semacam ini saya yakini juga terjadi di komunitas fans lain, dan ini wajar.

Memperhatikan setiap kemungkinan, sehingga tidak akan terjadi sesuatu yang mengerikan setelah berlangsung ‘malam tiga kesalahan’ yang tidak kuperhitungkan masak. Maka di Allianz, seharusnya sebelum mereka menyusun rencana yang konkret, kita harus memberi kejutan di menit-menit awal. Kita harus mengandalkan kekuatan kita sendiri. Juara Liga Antah ini sepertinya jarang bikin kesalahan. Saya memandang leg kedua dengan harapan besar dan kekhawatiran yang besar. Harapan masih ada walau peluang kecil, mereka main ga bagus-bagus amat, bisa dilumpuhkan dengan formula yang tepat. Rasa kekhawatiran karena berbagai kelemahan (bek bek bek) dan kesalahan berulang, ini bisa menghancurkan. Kuncinya langsung serang sejak menit pertama. Orang biasa mungkin pasrah dengan memainkan pola aman, bertahan. Inzaghi sejauh yang kuingat, adalah orang luar biasa. Siapa tahu berani memasang Muriqi di tengah Immo dan Correa. Bukankah cara terbaik untuk bertahan adalah menyerang. Dengan mengamati leg satu, bagaimana Bayern menjalankan operasi tunggu dan pressing ketat antar individu.
Inzaghi selalu sibuk di sepanjang menit, hingga nyaris terlalu letih dan ia tak pernah berhenti cukup lama untuk melihat sekitarnya. Ia boleh marah besar, seperti biasa; itu bukan hal baru, sebab dalam keadaan tertinggal jauh seperti ini ia seharusnya beringas. Tapi apakah ia akan mengumpat dan mengancam, mungkin melempar barang-brang, atau sekadar mendidih di permukaan?

Kata Aristoteles, harapan adalah mimpi dari seseorang yang terjaga. Masih ada 90 menit buat terus didekap nyala api harapan itu. Melihat sepak terjang Simone Inzaghi selama bermain dan melatih Lazio, saya percaya ada sesuatu yang besar akan diraih setidaknya dalam kurun dua-tiga tahun ke depan. Scudetto? Mari di-amin-kan. Ia memiliki kharisma, kualitas dan kapasitas kantong cocok sama manajemen sehingga sudah merupakan keputusan terbaik. Apapun hasil akhir dalam perjalanan di Liga Para Juara ini, saya jelas membela Inzaghi yang berujar seusai laga, “Kami akan akan mempersiapkan pertandingan mendatang dengan tenang dan memaksimalkannya.” #ForzaLazio

Lazio akan ke Jerman 18 Maret 2021, dan melakukan misi mustahil empat gol.

Karawang, 250221 – New York Jazz Lounge (Bar Jazz Classic)

Lazione P. Budy

Kopi di kanan, buku di kiri, musik Jazz bergentayangan di sekitar. Laziale anggota tercatat nomor empat belas dari Karawang. Hobi makan bakso dengan kuah melimpah. Bisa disapa di twitter @lazione_budy

Kisah Pemburu Hantu dari London

Lockwood & Co.: The Screaming Staircase by Jonathan Stroud

Barnes: “Orang bilang Marissa Fittes bercakap-cakap dengan hantu-hantu Tipe Tiga di masa lalu, dan bisa mempelajari banyak hal. Tapi itu kekuatan langka, dan hantu-hantu semacam itu juga langka. Kita semua harus puas dengan informasi remeh apa pun yang bisa kita dapatkan…”

Membaca Jonathan Stroud tentu saja akan membicarakan Bartimaous Trilogy yang fenomenal itu. Kesuksesan luar biasa jin jenaka itu memang jadi patokan kualitas karya-karya berikutnya. Sempat menikmati Heroes of Valley yang juga luar biasa indah, The Leap yang walau menunjukkan penurunan tetap bagus sebab fantasi bersinggung kehidupan nyata selalu menarik. Karya Stroud yang sangat biasa akhirnya muncul juga, ketika dalam The Last Sieges ia menuturkan kisah yang murni dunia nyata. Imaji dibumbu sangat sedikit, dan akhirnya benar-benar berakhir bencana. Genre utama Stroud memang fantasi imaji, maka saat Lockwood kembali kulahap, kisahnya menawarkan penangkapan hantu, dan sebuah agen yang menjadikan dunia gaib sebagai otoritas, sungguh aduhai. Kubaca kilat saat Karawang banjir, tiga hari pada 19-21 Februari kemarin.

Kisahnya mengambil sudut pandang Lucy Carlyle, ia menjadi penyelidik paranormal sejak kecil. Punya pendengaran tajam akan keberadaan makhluk halus. Dalam kisah ini ada dua tingkat: tingkat satu adalah makhluk lemah yang mudah diabaikan, cere, Cuma pengganggu iseng. Jenisnya: Cold Maiden, Gibbering Mist, Grey Hazel, Lurker, Raw Bone, dll. Tingkat Dua berbahaya, ia bisa membunuhmu bisa saat penanggulangan salah. Jenisnya: Dark Spectre, Changer, Phantasm, Poltergeist, Screaming Spirit, dll. Tingkat Tiga adalah legenda, sejauh ini belum ada, hanya kabar kabur bahwa Marissa Fittes pernah menaklukkannya.

Dibuka dengan sangat gaya. Lucy dan Lockwood dari agen Lockwood and Co. mendapat tugas menyingkirkan makhluk halus di rumah Mr. Hope yang baru saja tewas di Shreen Road nomor 62. Lucu, mereka sudah sampai di rumah, tapi tak ada orang, justru dari jalan muncul tuan rumah. Dikira Mrs Hope, ternyata Suzie Martin, anaknya. Oh betapa mudanya! Dia berkomentar. Dalam misi ini mereka menemukan liontin gadis yang dibunuh 50 tahun lalu, jasad Annabel Ward (Annie Ward) tak ditemukan, ia ternyata ditanam di tembok oleh sang pembunuh. Ia gentayangan, dan dengan penemuan ini maka kasus lama ini dibuka lagi. Misteri kematian seorang gadis jelita miskin yang masuk ke dunia jetset, terakhir dilihat oleh mantan kekasih Hugo Blake. Namun misi ini berakhir kekacauan fatal. Efek penyelesaian kasus adalah gedung itu terbakar habis, sebab ketika mengalahkan arwah mereka menyalakan suar dan keselamatan yang utama, pakai terjun dari lantai atas lewat jendela! Efek hancurnya rumah klien menjadi boomerang bagi agen ini. mereka dituntut uang ganti rugi sebesar 60 ribu pound, hanya dalam dua minggu. Pening!

Kisah lalu ditarik mundur, semasa kecil Lucy di Inggris Utara. Terlahir miskin dan bungsu dari banyak bersaudara, kehidupannya biasa sekali sampai akhirnya ia direkrut agen Jacobs saat berusia 8 tahun. Naas, dalam sebuah misi mengerikan rekan-rekannya tewas. Kasus di Lembah Wythe mencuat dan ia memutuskan meninggalkan segalanya, merantau ke London dengan bekal pas-pasan.

Setelah dua minggu mencoba mencari kerja, banyak lamaran gagal diwujudkan menjadi profesi hingga akhirnya sampailah ia di Lockwood and Co., proses ujian wawancara dan seleksinya lucu. Toh, akhirnya ia diterima. Walau agen kecil, mereka tampak antusias. Apartemen nyaman dengan kamar mandi kecil, tempat latihan memadai: dua boneka Joe Mengambang dan Lady Esmeralda, dua hantu terkenal di Memoir-nya Marissa Fittes. Tanpa penyelia, tanpa banyak properti jadilah mereka satu tim. Hingga kasus pembuka itulah, mereka kini dalam lilitan utang.

Kepolisian DEPRAC yang dipimpin oleh Inspektur Barnes menangkap Blake tua, dijebloskan ke penjara sembari mencari bukti dan saksi. Sang tersangka tetap mengelak, ia merasa mengantar sang mantan seusai pesta sampai rumah, setelah itu tak tahu menahu. Di tengah tekanan inilah, muncul Sir John William Fairfax pemilik Perusahaan Fairfax Iron yang legendaris. Ia menawarkan uang besar, menjamin uang ganti rugi dibayarkan bila terjadi deal, dan beberapa bonus. Oiya, sebelumnya saat mereka ke kantor polisi, saat pulang malam itu mendapati pencuri masuk ke apartemen, memakai topeng, mencari liontin. Untungnya liontinnya selalu dipakai Lucy.

Maka dengan persiapan mepet, hanya dua hari. Dilarang memakai suar sebab banyak properti berharga yang dikhawatirkan terbakar, kasus sebelumnya mengerikan. Banyak yang tewas di Combe Carey, ini jelas tantangan tinggi. Mempertaruhkan nyawa. Menegangkan, berhasilkah mereka menuntaskan kasus Kamar Merah dan Undakan Menjerit?

Saya sudah bisa menebak saat Lockwood and Co. mendapat utang 60 ribu Pound pasti mereka menemukan jalannya. Saya juga bisa menebak saat foto polaroid yang janggal ditunjukkan Lucy saat mencoba mencari jawab dengan memanggil arwah, lalu Lockwood menangkap getar samar, ada sesuatu yang wajib dicurigai. Langsung pupus nama Hugo. Lantas ketika ia tiba dan harus gegas ke toilet, saya sudah menduganya melakukan tindakan ilegal. Begitu juga saat sang penyewa adalah mantan aktor ketika berusia remaja hingga memerankan kisah-kisah Shakespeare yang terkenal. Hal-hal semacam ini muncul dan sering menaungi gagasan, pengalaman membaca ribuan buku, intuisi arah bakalan ke mana, juga tindakan para tokoh itu terbaca. Apalagi ini buku ke sekian yang kubaca karya Stroud maka ada alur yang mirip dan tertebak. Namun tenang, secara cerita dan penyampaian plot, jelas Lockwood and Co. sukses besar. Komedi masih sangat kental, memainkan ironi dalam debat masih bertebaran: Lucy dan George berdebat sepanjang halaman bak air dan minyak, dan hanya berdamai saat keputusan mendadak diambil sang bos tanpa konsultasi. Lucu imut di usia 15 tahun, masih kiyis-kiyis dan sungguh segar, kalian bisa tertawa lepas, yah minimal tersenyum nyengir deh setiap duo ini berdebat.

Keputusan memainkan tiga tokoh utama malah langsung mengingatkanku pada Harry Potter, Hermione, dan Ron. Kombinasi saling melangkapi. George Cubbins dengan segala pengetahuan luar biasa, berkutat dengan buku bak mainan, makan donat dengan rakus, dan penjabaran ilmu yang diserap sangat pas. Lucy Carlyle dengan intuisi dengar yang istimewa, empati berlebih terhadap korban, keberanian dan inisiatif mencari jalan keluar, keluar dari beberapa prosedur dasar (dan makanya tak cocok sama George yang tak suka kejutan), dan ia menjadi tokoh utama pengambil sudut pandang. Cocok sekali. Anthony Lockwood sendiri memiliki daya lihat bagus, optimis remaja (jelang dewasa) yang tak kenal takut, dan tentu saja tindakan ambil resiko, seorang pemimpin memang harus berani ambil keputusan. Kombinasi bagus ini mengarungi dunia mistik yang keras di London. Nama-nama cantik, seolah siap diangkat ke layar lebar.

Kisah hantu semacam ini sudah sangat banyak dibuat di Indonesia, yang membedakan jenisnya. Tak ada pocong, kuntil anak, jelangkung, atau suster ngesot Namun kenapa ini bisa berkelas? Jelas cara penyampaiannya yang hebat, tak tergesa, detail, jenaka menjadi ciri utama keseruan. Beginilah seharusnya kisah penangkap hantu dibuat. Paranormal beraksi aduhai. Stroud mencipta dunianya sendiri, mencipta aturannya sendiri. Bayangkan, kalian tak akan menemukan memoar Marissa di toko buku sebab itu buku karangan sahaja. Atau aturan main, bagaimana para penyelidik ini bekerja. Besi melingkar, rapier bermata dua, suar, bom garam, dst. Peralatan umum mengusir hantu yang sudah kita sepakati. Hantu takut hal-hal itu, mereka suka sekali sarang laba-laba. Seolah pengejawantahan rumah kosong memiliki penghuni kabur.

Dan saya juga bisa menebak di seri-seri berikutnya entah yang ke berapa Lockwood and Co. akan menjadi Penangkap Hantu nomor satu.

Tormentum meum laetitia mea…

Lockwood & Co.: Undakan Menjerit | by Jonathan Stroud | Diterjemahkan dari Lockwood & Co.: The Screaming Staircase | copyright 2013 | 6 16 1 64 010 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Poppy D. Chusfani | Editor Barokah Ruziati | Desain sampul Martin Dima (martin_twenty1@yahoo.co.id) | 2014, cetakan ketiga, September 2017 | ISBN 978-602-03-3420-2 | 424 hlm; 20 cm | Skor: 4.5/5

Untuk Mum & Dad, dengan cinta

Karawang, 240221 – Ronan Keating – Life is a Rollercoaster

Thx to Rani W, Skom

Menyemai Kemungkinan-kemungkinan

Apa yang tak bisa kita katakan, kita harus biarkan tetap membisu.”Ludwig Wittgenstein.

Saya Laziale, saya akan menceritakan kebenaran dan tidak memedulikan konsekuensinya. Pertengahan Desember lalu “Lazio menerima dengan senang hati dan bahagia kembali ke fase knock-out di Liga Champion”, begitu kata sang pengundi beberapa detik sebelum membuka kertas bertulis tim Jerman ini. Semakin baik kondisi lawan yang kita dapatkan, semakin yakinlah Laziale. Lawan-lawan ofensif adalah lawan-lawan favorit kita. Ingat kita kesulitan menumbangkan Cagliari yang super defensif tapi enak sekali menyaksikan Atalanta porak poranda dengan daya serang hebatnya. Kekuatan yang mendesak kita untuk mengisi kesenjangan-kesenjangan tersebut, mencipta emosi luap untuk diladeni. Dalam hal ini, setiap tindakan mendatangkan reaksi emosi yang kadarnya setara, dan itu direproduksi muncul dari pihak lawan.

Simone Inzaghi baru saja mencipta 100 kemenangan di Serie A, rekor pelatih tercepat keempat yang tercatat. Gol satu biji milik Luis Alberto cukup mengamankan jalur pendakian klasemen. Minimal bisa membuat Romanisti geram melihat tabel dan Juventini mengotak-atik peluang. Hasil minor justru didapat FC Hollywood, tumbang memprihatinkan saat tandang ke Eintracht Frankfurt. Tanda-tanda menyenangkan bukan? Ini terjadi hanya berselang hari jelang laga akbar. Saya rasa saya memiliki optimis berlimpah.

Inzaghi jelas sosok istimewa, ia Laziale sejati, pahlawan setempat. Pribadi yang sangat hangat, ramah, dan bersahabat. Lihat saja, cuplikan selebrasi gol-gol pasukannya, banyak sekali menghampiri dalam peluk, atau kala pergantian pemain, ia dengan bangga menyalami pemain yang ditarik. Padahal di pinggir lapangan ia fasih meneriakinya, tak kenal lelah, asertif elegan. Sepintas lalu tampak murka karena meletup-letup terus apapun keadaannya, Lazio tampak memiliki pelatih segalak sabun alkali.

Skuat kita sudah sangat siap. Kiper berpengalaman nan tenang Reina, laga-laga penting musim ini banyak mendulang poin sebab bukan Strakosha di bawah mistar. Lini tengah sangat istimewa, posisi paling vital. Luis Alberto pemain kreatif, Leiva memainkan tempo, Savic pemain energik, bersama selalu menyusun rencana dan mencari-cari kesempatan, selalu menunggu peluang… menyelaraskan aliran bola. Sisi depan mungkin terlalu bertumpu pada Immobile, cadangan masih bongkar pasang, tandem ideal belum ditemukan, tapi bergantian memberi andil disaat yang pas. Improvisasi yang baik tak mungkin dilakukan tanpa mengetahui strategi pokok dan teknik dasar untuk pengungkapan secara kreatif. Bulan Januari, Lazio nyaris menyapu bersih poin Serie A. Momen bagus ‘kan.

Kelemahan utama memang di belakang. Patric labil, Radu menua, Luis Felipe lagi-lagi terkapar di meja dokter, Hoedt lebih mirip foto model ketimbang tukang jagal memesona, bakat yang lebih merepotkan ketimbang berguna. Hanya Acerbi yang istimewa, manusia robot. Menit bermainnya mencengangkan untuk seorang yang pernah divonis kanker. Jelajah dayanya mengagumkan. Sejatinya Lotito sudah tahu, manajemen sudah paham, budget transfer tengah musim kita yang tak selaras, uangnya tak semewah kas Manchester City. Maka saat Januari kemarin jendela transfer dibuka kita mencoba mendatangkan bek. Formello tidak berurusan dengan isu, isu-isu pemain bintang yang akan didatangkan otomatis membumbung tinggi bak asap disapu angin. Setiap tahun selalu berulang, kebutuhan mendesak itu dijawab dengan mendatangkan bek camat – cadangan mati, berumur 30 tahun milik Milan, Mateo Musacchio yang saat debut langsung melakukan blunder. Tak mengapa, masih ada Parolo.

Sejak tahun 2016, Inzaghi sudah tentu bongkar pasang skuat. Ini kutipan yang terlalu bagus untuk dilewatkan, jadi harus kuketik dengan antusias. “Tak ada seorang yang lebih meragukan hasil eksperimen selain pelaksana eksperimen itu sendiri sebab merekalah yang paling tahu tentang kekurangan dan ketidaksempurnaan pelaksanaan”, kata W.I.B Beveride dalam The Art of Scientific Investigation (1950). Selama saya menjadi Laziale, itu berarti 23 tahun terakhir, bisa jadi ini puncak kemegahan. Sebuah kesempatan langka, lawan kita didaulat terbaik saat ini, semua gelar kompetisi yang mereka ikuti disabet. Jadi alangkah bergairah menyambut hari H, eksperimen apalagi yang bakal diapungkan?

Tahun 2021 adalah tahun Piala Eropa, Immobile pernah kecewa bersama Timnas tahun 2018, kejuaraan yang sejatinya dilakukan tahun lalu tergeser akhir musim ini. Ciro sedang di puncak karier dan kontribusi kepada Negara masih begitu minim, maka melalui hasil karya permainan di Laziolah langkah-langkah itu disajikan. Kisah ini bisa panjang lebar dan terinci, ini memang momennya, ini memang saatnya.

Kalau cuaca bisa memicu argumentasi, bayangkan apa yang bisa dipicu angan ini.

Karawang dan daerah sekitar diguyur hujan lebat dalam seminggu ini. Luapan air terjadi di banyak tempat. Bisa kurasakan pipiku panas karena antusias dan emosional. Jadi momen ini harus dibuat kesan, ini tentang kefanatikan.
Bisa kubayangkan Rabu dini hari nanti, dengan kopi terhirup dan mendecakkan lidah seakan telah berada di padang pasir begitu lama. Dahaga di Liga Para Juara, menyaksikan Inzaghi meluap-luap dalam teriakan, membiarkan kata-katanya mengambang di udara untuk dicerna dan dinikmati. Ia selalu ada di pinggir lapangan bak senapan menyalak sepanjang laga, ia menghibur kita. Ia sesekali memandang kamera, dan sejenak tampak menikmati jadi pusat perhatian. Ia memancarkan kepercayaan diri. Kegiatan pembunuh waktu yang menyenangkan terutama saat unggul.

Lawan kita memiliki segala keunggulan: statistik, pengalaman, kualitas pemain, jumlah gelar, dan tentu saja uang. Segala kombinasi itu tak ada yang enak dilihat untuk dijadikan patokan prediksi. Teman saya bahkan bilang, “Jangan coret Juventus walau tertinggal satu gol di Stadio do Drago, tapi coretlah Lazio.” Itu adalah seminggu lalu. Namun tunggu dulu, Bayern Munchen bisa kita kalahkan, camkan itu, bahkan sebelum saya mengetik kata pertama. Saya meyakininya, menumbangkan klub yang dinyatakan terbaik saat ini bukanlah sebuah delusional. Kalian bisa bilang, ini mungkin bisa jadi tindakan intimidasi halus. Memang tidak ada yang masuk akal saat ini, selain keyakinan membuncah melibas sang sextuple. Gap dua gol cukup untuk bersafari ria balik ke Allianz Arena bulan depan. Champions, jreng jreng jreng….

Sesederhana itu.

Karawang, 220221

Lazione P. Budy

Kopi di kanan, buku di kiri, musik Jazz bergentayangan di sekitar. Laziale anggota tercatat nomor empat belas dari Karawang. Hobi makan bakso dengan kuah melimpah. Bisa disapa di twitter @lazione_budy

Bincang-Bincang New York

Pretend It’s a City Season satu Episode satu.

Audien: “Bagaimana kamu menggambarkan gaya hidupmu?” / Fran: “Gaya hidup? Saya tak akan memakai kata ‘Gaya Hidup’” (tepuk tangan membahana), seorang audien nyeletuk: “great” / Fran: “Begitulah saya menggambarkannya.”

Review singkatku, sungguh menyenangkan menyaksikan penulis tua curhat panjang lebar mengenai kehidupan modern dengan berbagai teknologi dan kebiasaan. Well, kemajuan teknologi adalah salah satu menifestasi ‘Ekonomi Perasaan’. Orang-orang tua seperti kita harus beradaptasi, memeluk kelambanan bisa jadi solusi, bisa jadi opsi, tapi tetap saja ada gesekan di sana. Ok, saya coba ulas seribu kata seperti biasa.

Dengan label “A Netflix Documenter Seri”, kita menjelajah kota metropolitan paling akbar di dunia. Sepanjang film kita hanya mendengar ocehan Fran Lebowitz (berperan sebagai dirinya sendiri) yang mencerita kehidupan kota New York, dan potongan-potongan rutinitas kota. Ocehan itu beberapa dihasilkan dari wawancara, beberapa dari narasi sepihak, beberapa kita dengar muncul dalam talk show santai, beberapa di ruang seminar. Pembukanya sudah lucu, “apakah kalian kesal sama orang-orang di jalan?” Ya. (dalam hati saya bilang ya juga). Lalu jelajah kata berkelindan. Mayoritas sama kok dengan kota-kota (besar) di dunia. Orang main ponsel sambil jalan. Iklan di mana-mana. Naik sepeda (kendaraan) dengan tangan kanan pizza, kiri ponsel, stang dengan lengan! Transportasi moda yang kotor. Tanaman-tanaman palsu, dst.

Tokoh utama hanya Fran Lebowitz, seorang penulis, aktor, pembicara publik. Beberapa kali muncul pula aktor lain, tapi sepintas saja: Spike Lee, Alec Balwin, Olivia Wilde, termasuk Martin sang sutradara. Menyampaikan hal-hal yang umum, tapi asyik atau bisa dibilang cerdas. Banyak tawa, semacam sitcom, tawanya ditempel, beberapa tergelak. Kalau jenis film macam gini selalu ingat Mr. Bean atau serial Friends. Beberapa tentu saja benar-benar lucu, dan mengena seperti, “apakah kau orangnya suka meremehkan?” Lalu dengan lugas dijawab, “Meremehkan? Maksudmu, apa saya sombong? Ada beberapa jenis keangkuhan yang menurutku buruk. Tentu saja, itu bukan keangkuhan yang kumiliki, paham? (Keangkuhanku) berkaitan dengan ‘Apa kau setuju denganku tentang ini?’” Hehe.. Damn it’s true. Atau lelucon tentang, banyak orang menanyakan arah, dan dijawab dengan “Apakah saya tampak ramah?” Hahaha… Beberapa biasa saja, atau bisa jadi tak relate sama kehidupan Karawang sehingga saat tawa palsu penonton membahana saya diam saja misal, menghakimi bahwa pekerjaan yang paling membosankan adalah psikiater di New York, 14 jam mendengarkan keluh kesah orang, berisik. Wah, banyak orang mengaku kepadaku profesinya membosankan. Guru, petani, penulis, buruh, dan masih banyak, bosan adalah tanggapan kita akan sebuah kejadian. Jadi tergantung sudut pandang dan kepribadian. Atau kereta api bawah tanah ditutup karena bau? Oh my… Seperti kata Durkhein, “semakin nyaman dan etis sebuah masyarakat, semakin pikiran kita membesar-besarkan kesembronoan yang sepele.”

Tak ada adegan ledakan atau hantaman penuh aksi, benar-benar kita menjadi penyimak segala omongan. Sesekali muncul narasi orang lain, warga kota tapi sepintas saja. Karena nuansa klasik banyak ditampilkan, maka aura jadul terasa aduhai. Nyenengke dan wow digabung. Seperti bagaimana kalau kehidupan tahun 1970-an? Lalu ditanya lagi gmana kalau kehidupan tahun 1930-an? Hahaha…

Dari semua adegan aksi, paling bagus dan agak menghibur untuk ‘cuci mata’, hanya satu yakni adegan Fran ketika berdiri di atas miniatur kota. Memperhatikan gedung-gedung, berdiri sepanjang sungai Hudson, eh atau bukan ya itu East River. Diambil dengan ciamik, dari atas lalu bergerak mendekat, dan yang semula kita duga adalah kota New York ternyata hanya miniatur. Kota yang padat, Big Apple yang sesak.

Frances Ann Lebowitz, aktor senior yang sering disebut sebagai Dorothy Parker modern, bernarasi panjang lebar. Basa-basi, bahas sana bahas sini. Terlihat sudah menguasai panggung, jelas sekali santuy menghadapi pertanyaan atau di hadapan orang banyak. Sangat meyakinkan mengingatkanku pada pengaplikasian buku Dorothy Sarnoff berjudul ‘Berbicara Dapat Mengubah Hidup Anda’, yang meragu justru ketika di jalanan, di gedung, di sudut kota. Meragu dalam arti kikuk, semisal menyebrang jalan dengan sepeda melintas, lalu ia menggerakkan tangan tanda halau, kesal. Hanya saya yang taat pada rambu, yang lain sudah gila kali ya?! Bagaimana ia memiliki tempat duduk strategis di tengah panggung opera, yang menurutnya enggak. Sebab tempat duduk ideal itu di dekat pintu, jadi ketika opera dimulai ia bisa langsung kabur. Di jalanan New York yang kacau, bagaimana kita bisa bertahan hidup? Padahal potensi terbunuh sangat besar. Dengan santainya menyebut berbagai sisi hitam, tapi ada nada ironis ketika ditanya, jadi apakah betah? Oh betah banget. Hahaha… Emang kamu punya saran tinggal dimana? Saya akan jawab dengan meyakinkan, tanah kelahiran. Mayoritas orang pasti sepakat, setelah melalangbuana, tempat tinggal terbaik adalah rumah. Saya bisa sebut Palur, istriku bisa teriak kencang bilang Wonogiri, tetanggaku orang Bandung akan senang tinggal di Ciwidey kalau kutanya. Kenapa? Kampung halaman adalah tempat terbaik untuk membuncah kenangan. Dan itulah kenapa Fran bilang betah tinggal di tengah kekacauan.

Ia menjawab dengan lugas dan yakin, tampak sekali literatur kata tinggi. Sepintas lalu, membuat Martin terbahak, sepintas lalu mencipta Alec tersenyum, ia sungguh berpengalaman. Sebuah perjalanan kota yang disajikan dengan jalan-jalan bersama penjelasan asyik, kata-kata yang jelas dibuat dengan tekun dan terbuka. Sebagai seorang yang tak menyusup teknologi, ia tak memakai ponsel, komputer atau sejenisnya. Dunia memang butuh perlambatan, yang jadul memang asyik, yang klasik dan minim sentuhan tekno lebih – apa ya menyebutnya, lebih elegan. Saya sendiri sejatinya membatasi diri akan kemajuan, sayangnya beberapa akhirnya jebol. E-money, platform jual beli daring, permainan dengan akselerasi tinggi dalam genggaman, sampai aplikasi buang waktu video (bah bah bah) kini sudah terpasang. Duh, menyedihkan ya.

Pretend It’s mungkin bisa disebut stand up comedy tanpa penonton langsung. Bagian yang terasa sama dan relate dengan suasana ruwet Karawang terasa pas, coba bayangkan kalian memaki segala aktivitas warga Karawang, tapi sekaligus mencintai segala nuansanya. Terobos lampu merah, buang sampah sembarangan, parkir seenaknya, ibu-ibu naik matic tanpa helm, berkendara di kanan, jalanan berlubang yang cocok buat kebun di tengah jalan (perbaikan jalan yang bagus dan permanen? Dasar udik!), sungai yang kotor karena sampah berbaris di atasnya, sampai hiasan kota dengan spanduk kampanye terpasang. Sepanjang jalan, sepanjang hari, sepanjang waktu. Dengan wakil rakyat berpeci atau kerudung dan membuat kutipan buruk, yang dengan penafsiran umum akan berbunyi: ‘Dukung saya, Pilih saya!’ Dan ketika ditanya, kamu betah? Jawabmu betah. Ironi? Mungkin. Kesal? Pasti, jadi kenapa tak pindah? Dibilangin betah. Saya (dan orang lain kebanyakan) akan menjawab dengan tegas, saya hidup di sini, menikah di sini, bekerja di sini, dan sudah menjadi warga sini. Memang kalian mau menyarankan tinggal di mana yang lebih baik? Lalu kembali lagi, semua berputar. Ya, saya tidak tinggal di New York tapi saya bisa merasakan jab dan upper cut Fran yang membahana itu. Reaksi-reaksi emosional kita terhadap aneka masalah tidak ditentukan oleh ukuran masalah tersebut.

Film ini kutonton di libur akhir pekan Minggu malam jelang partai Lazio di sofa tengah yang nyaman sama Hermione yang setiap menit bertanya, ‘kenapa dia tertawa?’, ‘kenapa gambarnya ada di layar, dia tahu tidak?’, ‘meremehkan itu apa?’, ‘Itu berdiri di mana?’, dst. Selain banyak tanya, ia juga sering kehilangan teks subtitle, yah maklum anak SD kelas satu. Apa pendapatnya setelah usai nonton? “Ayah, saya pengen ke New York! Sama London bagusan mana?” hahaha… saya ketawa saja. Kenapa? Sebab dalam doanya seusai salat selalu diselipkan doa, Hermione ingin sekolah ke London buat melihat langsung tempat para maestro cerita (novel) dibuat: Narnia, Harry Potter, Alice, dst.

Lagu penutupnya adalah “New York’s My Home” yang dibawakan Ray Charles. Sekali lagi, jazz menguasai kota, termasuk sinema ponsel kita. Season satu ada tujuh episode, saya akan kupas per episode, menarik disimak sejauh mana omongan Fran nantinya. Ya, saya marah karena saya tak berdaya mengubah orang-orang (bermasalah itu). Fran adalah kita, Fran adalah (mewakili) saya.

Pretend It’s a City | 2021 | Episode 1 | Directed by Martin Scorsese | Cinematography Ellen Kuras | Cast Fran Lebowitz, Spike Lee, Alec Balwin, Olivia Wilde, Martin Scorsese | Skor: 5/5

Karawang, 160221 – Bill Withers – Harlem

Pretend It’s a City sudah tayang di Netflix

Thx to Takdir atas rekomendasinya 🥰

Little Big Women: Pengakuan, Pengakuan, Kerelaan

Shoying: “Menjadi suami istri memang harus seumur hidup.”

Kisahnya dibuka dengan muram, saya suka. Kabar duka menyelingkupi keluarga. Chen Bochang (Han Chang) meninggal dunia meningggalkan masalah dalam reuni hitam. Setelah pergi lama, ia meninggal di saat sang istri sedang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Pesta dibatalkan? Oh tentu tidak, karaoke di restoran bersama orang-orang terkasih di tengah kabar duka. Selama prosesi pemakaman lebih bermasalah lagi, sebab tata cara dan hubungan apa di baliknya menyeret banyak poin, menyangkut hati dan kepercayaan.

Lin Shoying (Shu-Fang Chen) membesarkan ketiga anaknya sendiri, hubungan dengan suaminya rumit, apa dan bagaimana, nah film ini banyak menyorotnya, sabar nanti dikulik. Kenangan, ingatan, pori-pori samar apa itu dunia maya yang berkelebat di kepala, di awang-awang. Tanpa ingatan, setiap malam adalah malam yang pertama, setiap pagi adalah pagi pertama, setiap ciuman dan sentuhan adalah yang pertama. Namun tidak, kita semua tak bisa memilah mana yang melekat di kepala mana yang bisa begitu saja terlupa, dunia memang terasa ganjil kalau bicara ingatan.

Ching (Ying-Hsuan Hsieh) memiliki masalah kesehatan, kanker yang dideritanya sudah sembuh, tapi di saat ayahnya meninggal, ia berobat dan ternyata kambuh. Kali ini kanker ganas, harus segera operasi yang bisa memperpanjang umurnya kira-kira lima tahun. Worth it or not? Sementara suaminya menolak tanda tangan surat cerai, sebinal dan senakal apapun ia mencintai Ching. Sementara, sobat lamanya muncul menjadi penengah hubungan ini. Muncul adegan pedih saat surat cerai ditawarkan di depan Ching dilihat semua keluarga, dan aib-aib diungkap. Sang ibu menasehati, jika nanti usia senja kamu akan sengsara jika janda, dan dengan jleb dibalas: “Saya tak akan mencapai usia itu!” Apalagi saat ‘pamit’ ke adiknya nantinya untuk menggenggam tangannya saat ajal tiba.

Yu (Vivian Hsu) yang sudah menikah, lulusan kedokteran ternama seolah adalah kebanggan keluarga, seorang anak ideal di mata keluarga, apalagi ambisi dan sifatnya paling mirip sang ibu. Masing-masing dari kita, ada kalanya, suka memperdaya diri sendiri dengan percaya bahwa apa yang baik untuk kita pasti juga baik untuk semua orang. Putrinya Clementine (Buffy Chen) menjadi harapan keluarga, dekat sekali sama neneknya, dan berencana disekolahkan ke Amerika. Anak kedua ini tampak istimewa, sempurna. Namun tidak, saat ia mengatur masa depan anaknya, dan Clementine membantah, jelas ada masalah di sana.

Jia-jia (Ke-Fang Sun) si bungsu yang menemani kehidupan tua ibunya berjualan di restoran milik keluarga di Tainan, dibesarkan dengan perjuangan dari kaki lima hingga sekelas resto. Memiliki masalahnya sendiri memeluk teologi, masih lajang di usia matang. Seperti kebanyakan keluarga, bila tinggal seatap maka sering berantem, sering seteru padahal justru yang paling disayang. Dan ia adalah penghubung utama dengan almarhum, bahkan mengenal dekat Wanita Lain. Terlihat jelas dengan pemberian bingkisan makanan sejenis tahu yang diminta ayahnya, tapi tak sempat dikasih. Hiks.

Polemik pertama diangkat, bagaimana tata cara perhormatan terakhir almarhum, dengan cara penghormatan ala Tao sebagai pegangannya sejak kecil atau cara Buddha dikremasi sesuai pegangannya. Si bungsu mengajak jamaah mengirim doa-doa sutera saat persemayaman, yang ditentang sang istri sehingga secara bersamaan memanggil pemuka Zhaungzi guna mengirim doa, sungguh aduhai menyaksikan dua kepercayaan tempur di depan jenazah, entah ritual siapa yang menyangkut. Apalagi nantinya saat secara dramatis muncul kecoa di dekat, membuat histeris lalu refleks dibantai. Gmana kalau itu reinkarnasi almarhum? Oh hidup ini ya… Agama dan kepercayaan itu tahan banting karena sifatnya supranatural tidak pernah bisa dibuktikan keberadaannya atau dibuktikan ketiadaannya.

Polemik sesungguhnya ada di sini. Masa muda Chen tak bagus, ia bermasalah dengan keluarga besar sebab utang dan perjuangan yang diambil mengakibat bangkrut. Maka ia mengajukan surat cerai, yang baru kita ketahui di akhir ternyata tak mau ditandatangani sang istri. Ia kabur ke Taipe, hidup bersama kekasih barunya Nona Tsai Meilin (Ding Ning), catat ya statusnya masih suami orang. Secara umum, jelas kita di kubu Lin Shoying sang Little Big Women, sang istri sah sebab berjuang membesarkan tiga anak itu tak mudah. Namun tahan dulu, ada hal luar biasa di akhir yang patut didiskusikan, apa makna baik hati itu, apa yang disampaikan mungkin akan mengubah persepsi kita, tapi tetap saja, ini masalah hati, apalagi saat Lin memutuskan mencari Nona Tsai, rasa penasaran bisa membuatmu demam! Maka saat yang dicari malah datang untuk memberi penghormatan terakhir tanpa sepengetahuannya, ia dengan polos bertanya sama rombongan bu-ibu, “Kenapa Nona Tsai tak hadir?” Hahaha….

Kita tahu, Chen adalah seorang romantis, mantan polisi yang jago ngegombal bak pujangga. Dari surat-surat masa muda yang dibuka dalam kotak kaleng Lin yang disimpan rapat sama kenangan lain; foto-foto, benda bersejarah, surat cinta. Bagaimana keputusan di masa muda akan berdampak akan nasib manusia di hari tua. Segala desas-desus dan fakta akhirnya bersatu, saat sang perlente sudah tiada. Beberapa laki-laki menjadi gila saat memasuki usia empat puluh tahun, krisis paruh baya membuat mereka mendorong mencari istri baru, atau kembali ke teman-teman sekolah, atau minimal lingkaran pertemanan baru dengan tetangga yang cantik. Chen melebarkan telunjuknya ke seberang, dan ia bukan duda.

Banyak adegan haru, ini bisa jadi pecah di akhir. Penuh pengakuan, betapa kita ternyata tak banyak curhat sama orang-orang terdekat. Penuh kelegaan, setelah menandatangani, lalu mengirim boks kenang itu ke nirwana, seolah inilah yang seharusnya dilakukan dari dulu, mengalah bisa jadi adalah kemenangan hati, tak ada yang abadi, segalanya akan lebur oleh waktu. Duh! Betapa fana manusia. Sampai akhirnya saat hari H, keputusan yang melegakan. Merelakan dalam arti sesungguhnya.

Saat akhirnya sang protagonist bertemu dengan sadar sama wanita yang selama ini menemani suaminya jelang akhir hayat, terlihat suaranya lebih lirih, dan bergetar. Karena masa lalu itu belum lengkap, masa yang akan datang sulit dibayangkan. Rencana masa depan rasanya tak mungkin dibuat selama bayang-bayang masa lampau masih bergerak di belakang sana. Lin tak akan membicarakan intim masa depan bila masalah lama suaminya tak dibereskan. Dan benar juga, musik adalah obat mujarab yang dengan bijak kita sebut pelarian pas, apalagi endingnya. Dalam laju tenang sebuah mobil, sumbangsih lagu bersama orang terkasih. Itu adalah buah kerelaan. Perasaan lega itu terasa hebat, sehingga ia ingin menangis.

Setiap keputusan dilapisi ironi, saat sang ibu marah anaknya tak mencerita masalah besarnya. Sang anak bisa dengan liar membalas, sang ibu juga menyimpan rahasia lainnya. Lebih-lebih sang bungsu yang ketika disodori nama Mei, ia malah jadi yang terakhir tahu. padahal selama ini dialah yang menemani hari tua ibunya. Begitulah hidup fana ini, setiap manusia punya rahasia.

Sesuatu harus memiliki makna karena tanpa ada sesuatu yang bermakna, maka tidak ada alasan untuk terus menjalani hidup ini. kegelisahan merupakan masalah emosi. Ikhlas, ya aku ikhlas. Segalanya biarkan mengalir… Terhadap masa lampau kita harus berterima kasih, mengetahui bahwa kita berutang. Terhadap masa depan kita harus terbuka: siap untuk menghadapinya memeluk, menerima takdirNya.

Manusia memang makhluk yang selalu diboncengi perasaan bersalah. Pengakuan-pengakuan rahasia, dan tameng kuasa akan kehendak membentuk kekuatan untuk pasrah, sudahlah segalanya sudah berjalan semestinya, seharusnya. Kejujuran lebih penting ketimbang mendapatkan apa yang Anda inginkan atau meraih suatu target atau keinginan. Kejujuran pada dasarnya adalah baik dan bernilai, dalam situasi apa pun. Relakanlah… Perasaan lega yang menghasilkan delusi, halusinasi, dan bentuk-bentuk yang barangkali, secara fundamental merupakan makna pencarian hidup: bahagia.

Little Big Women | Year 2020 | Taiwan | Directed by Joseph Chen-Chieh Hsu | Screenplay Joseph Chen-Chieh Hsu, Maya Huang | Cast Shu-Fang Chen, Ying-Hsuan Hsieh, Vivian Hsu, Ke-Fang Sun, Buffy Chen, Ning Ding | Skor: 4/5

Karawang, 110221 – Boyzone – Words

Rekomendasi Lee, Thx Lee

“Bagaimana Cara Mendapatkan Ide?”

Menumis itu Gampang, Menulis Tidak by Mahfud Ikhwan

Saya berharap bisnisnya kali ini bagus, atau setidaknya baik-baik saja. Namun, melihat intensitasnya ngopi bersama saya, saya khawatir yang terjadi adalah sebaliknya. Ia memang banyak gagal, dan mungkin karena itu kami berteman.”

Tentu saja tak banyak, karena menulis tidak memberi saya banyak uang…

Melihat ilustrasi bukunya saja sudah bikin males, tiga pose santuy, rebahan dalam kebosanan. Dan warna kuning, jersey Malaysia yang mengesalkan itu. Banyak hal mewakili pengalamanku sendiri, otomatis banyak hal pula menjadikannya ironi hidup. Sepakbola, buku, Muhammadyah, resign di tahun 2009, males keluar rumah (apapun modanya), kopi melimpah dst. Lazio, Chelsea, La Coruna rasanya hanya tim gurem yang tak ada apa-apanya dalam sejarah Eropa dibanding gelimang gelar AC Milan, Liverpool, dan eehhheemmm Madrid. Saya benar-benar mencintai bola lebih belakangan, baru di Piala Dunia 1998 kala Italia bersama aksi Vieri-nya, yang hanya semusim, maka ketika hijrah dengan rekor hatiku tetap bertahan di Olimpico. Sepakat sekali segala apa yang dikisah panjang lebar dalam ‘Menunggu”, yang menyata bahwa kecintaan pada permainan ini sungguh absurd.

Walau terkesan sombong, seperti yang terlihat dalam wawancara di Youtube, “saya punya buku baru lagi…” atau ketika mengunggah gambar di sosmed saat membubuhkan untuk momen pra-pesan. Keterangan yang tertera, ‘resiko penulis produktif’ bagiku, Cak Mahfud adalah pribadi rendah hati. Dalam esai yang diproduksi untuk kolom Mojok selama 2020 ini, kita bisa mengenal Sang Penulis, sebagian besar lucu, sebagian besarnya lagi ngomong ngalor ngidul nostalgia masa lalu. Apa yang disampaikan adalah hal-hal umum, kegiatan sehari-hari, hal-hal yang biasa kita hadapi. Tak ada yang muluk-muluk, ngawang-ngawang, atau seperti yang sering disebut sama beliau, “tak rumit dan tidak ndakik-ndakik”.

Kebetulan saya baru saja menyelesaikan baca Zarathustra. Bagus sih, tapi benar-benar melelahkan, serius sekali, dan mencoba ‘mengesankan’, bagus di sisi lain tapi tak nyaman. Benar-benar Menumis Itu adalah penawar jitu. Sebagai buku pertama yang kuselesaikan baca bulan ini, ini benar-benar fun, ketawa ketiwi sendiri, dan seringkali bilang, ‘wah aku banget’ hahahaha…. Berisi 21 tulisan dengan tema yang berkutat di kontrakan. Sebenarnya mau ulas acak dan sekenanya aja, ternyata malah ketikannya tak bisa dihentikan. Lagian baca biografi Bung Karno sudah selesai, dan waktuku melimpah. Yo wes, setiap kolom kukupas singkat-singkat sahaja.

#1. Ayam di Beranda

Dibuka dengan cerita ayam yang suka ‘main’ di beranda kontrakan, suka buang tahi, dan gelisah nangkring di pohon kala hujan. Apa yang ditampilkan adalah kejadian lumrah yang seringkali dialami masyarakat Pedesaan. Sampai akhirnya seorang penulis muda berkunjung, menyingkirkan kursi dari beranda, dan membantu ngepel. See, tak ada bom yang meledak di pekarangan!

#2. Dapur Hijau

Tentang dapur yang asri, memberi corak hijau di dalamnya dengan sebuah wastafel. Well, so sorry bukannya sombong kita-kita warga urban, sudah biasa dengan wastafel rumah. Bukan perabot mewah, bukan pula sesuatu yang patut dibanggakan. Namun inilah keunikan kisah, ia lalu bernostalgia ke era masa perjuangan semasa kecil. Dan, sayangnya apa yang dicerita di masa lalu, sungguh mirip denganku di Palur. Lantai tanah, cuci piring dengan abu gosok, nimba sumur buat ditampung di ember cuci.

#3. “Pulang

Cerita ketiga bisa jadi yang terbaik (yah yang kedua deh), memaknai kata ‘pulang’. Pengalaman pribadi jua, sebagai perantau sejak lulus STM, saya tenggelam dan ada kesan sentimental bila berbicara rumah. Dulu saya selalu bilang, pulang kampung. Pulang ya ke Palur, dan selalu bilang berangkat kembali ke Cikarang. Namun sejak terikat gadis di Karawang, arti rumah memberi kesan berbeda sebab ada tujuan di sini, dan apa yang ditampilkan dalam kolom ini sungguh tepat sekali. Jadi pas ia mudik ke Lamongan, lalu pamit balik ke Bantul, ia berujar ‘pulang’ ke temannya. Rasanya apakah ia menemukan rumah baru di Yogyakarta? Apalagi, tiap update berita, “saya sudah tak tahu lagi, siapa yang lahir, siapa yang mati.” Sungguh tepat sekali. Bukankah apa yang terjadi pada saya juga terjadi dengan kebanyakan perantau? BIG ya!

#4. Menumis itu Gampang

Tulisan keempat lucu, dan cocok jadi judul buku. Kita harus hargai orang-orang yang mau memasak sendiri. Dan ini ia lakukan, dengan nada tak serius. “Saya memang ahlinya melakukan tindakan sia-sia dengan cara yang rumit.” Begitu katanya ketika nasi gagal itu dikasih ke ayam di halaman. Patut dihargai pula tentang pijakan hidup dalam pergulatan fikih tentang nasi orang mati. Dan poin utamanya, memasak tumis kangkung yang nikmat dengan sachet produksi Indofood Racik ternyata gampang, rasanya sama dengan kuliner Yogya yang enyak-enyak itu. Rahasia penting seolah terbongkar. Hahaha tawa Plankton Sheldon. Mereka memakai bumbu instan yang sama. Oh catet!

#5. Perjalanan

Dalam Perjalanan, ini jelas mewakili kata hatiku. Tahun 2009 atau 2010, dalam catatan facebook saya pernah nulis 100 about me, salah satu poinnya saya tak suka jalan-jalan, tapi selalu ingin merenung di gunung atau main air di pantai, selfi di bukit hijau, nah kok bisa? Saya tak suka traveling. Di sini dibongkar. Ia menyebutnya, “kegelisahan yang tak terjelaskan.

#6. TV

Saya punya TV merek-nya Oke tahun 1998 kala Piala Dunia berlangsung (atau setahun sebelumnya, lupa), dan betapa bangganya saya bisa nonton di rumah sendiri, biasanya saya nebeng nongkrong di tetangga atau saudara sekadar menikmati Layar Emas RCTI atau Dunia dalam Berita TVRI. Kalau remote rusak, kaki menjulur untuk mengganti channel, antena harus diputar bila kena angin, atau baru baterai yang di-pepe di atap kala ‘habis’.

#7. Bonsai

Ketika tahun 2009 saya keluar dari pekerjaan, punya waktu berlimpah untuk ngopi dan punya sedikit tabungan untuk bersantai…” Persis saya, pengen leha-leha menyusun bebek rencana di pematang sawah. Namun saya mbalik ke tanah rantau untuk kembali jadi buruh, karena menurut bebek rencana umur 28 harus nikah, dan ngopeni anake wong, harus punya penghasilan. Oh, saya pecundang sejati, tak punya keberanian penuh mewujudkan impian liar, tak berani bertaruh. Hanya berani separuh gerak, lalu terpenjara lagi. “Kurang lebih seperti orang-orang yang memelihara pohon hanya untuk dikerdilkan.” Hiks, sedih mengingat itu. Ternyata masa itu baru 11 tahun, dan pertaruhan telah luntur. Salut buatmu, Cak Mahfud.

#8. Beradab

Rebahan, tidur, bengong berlama-lama memandang rak buku. Saya juga sudah sering melakukan sebelum pandemi. Maka kini menjadi beradab, dianjurkan, bahkan didesak. Sewaktu kecil, sudah biasa menunggu jambu jatuh di bawah pohon tetangga, sudah jadi kebiasaan menanti pelem ranum kena goyang angin atau badai, bahkan sisa codot juga kita embat, setelah jatuh di kalen? Kenapa tidak? Yah, kalau tak mau jatuh karena alam, gmana kalau kita jatuhkan. Pakai ketapel misalnya. Di sini, kita tahu iklan ‘belum lima menit’ adalah lelucon. Tisu? Idem!

#9. Tiga Jumat

Kita semua di masa yang sama, larangan kumpul apapun termasuk menggelar Jumatan sungguh terasa janggal. Apalagi ancamannya adalah label munafik, hadisnya jelas dan shahih. Dan dengan bijak (jiah… memang bijaksana) ia menjawab, “Aku ikut keputusan PP Muhammadyah saja.”

#10. Kolom

Akhirnya ketemu juga yang namanya ‘ide mandek’ (saya tak buntu, hanya kosong). Menulis kolom memang pekerja, ada tuntutan bergaris waktu yang harus dipenuhi, persis sama buruh yang harus datang dan pulang di waktu yang ditentukan. Maka ia pun ngedabrus panjang lebar betapa tanggung jawab itu harus dilaksanakan. “…Anda haruslah seorang tukang jagal sekaligus juru masak untuk tulisan Anda.”

#11. Festival

Ramadan dan hingar bingarnya. Dari sekian banyak festival rutin ini, saya nyaris turut serta semua yang disebut. Menambahkan daftar sahaja; main monopoli, catur, ular tangga di teras rumah orang dari subuh sampai capek. Kadang jalan kaki memutar kampung, sambil ngobrol apapun. Malamnya tadarus menanti makanan, hingga petasan yang membahana di banyak malam. Kalau siang, ada ‘long bumbung’ dari pring (bambu) yang dilubangi, sulut api, saling tembak (apa kabar The Gunners?) Sungguh merindu masa-masa itu. Yah, kurang lebih begitulah Cak Mahfud menuturkan tulisan kesebelas ini. “Sekolah ke luar daerah kemudian mencipta rutinitas baru, dan menempatkan rutinitas lama sebagai nostalgia.”

#12. Kolom (2)

Ketemu lagi kata mandek? Yah, mirip. Mungkin ini yang digambarkan dalam cover. “Jika siang malas karena lapar, saat malam malas karena kekenyangan.” Di masa pandemi, dengan banyak larangan keluar, beli gorengan sang penjual mengucap terima kasih dengan begitu tulus.

Baik, bulan depan saya baca The Year of Living Dangerously-nya Christopher Koch yang katamu murahan, nge-pop.

#13. Sepeda

Sepeda, idem. Saya baru bisa naik sepeda saat kelas tiga atau empat SD dan menjadi olok-olok teman sekampung. Lambat benar ya, bahkan saya tak punya sepeda sendiri sampai akhirnya jelang lulus SD punya federal ungu ke-merah jambu-an. Itupun second, dari tetangga yang menang hadiah, bosan pakai, lalu dijual murah ke kita. Dibayar kredit, berbunga! Mantab. Kali ini Sang Penulis berkisah sejarah sepedanya, “angin dan kumbang”. Well, suatu saat saya mau cerita Sikusi, sepeda (motor) berusia 15 tahun dan akan terus kugunakan hingga ia kehabisan energi.

#14. Perayaan

Lega setelah libur paksa lama sepakbola, akhirnya bisa menyaksikan Haaland beraksi dan merayakan gol tanpa pelukan, ‘jaga jarak’. Yah, bahkan saya yang tak suka Bundeslig, saya tonton laga come bek itu seiklan-iklannya! Saya sendiri juga tak terlalu antusias Hari Raya, keliling kampung salaman. Saya lebih suka Cuma sama keluarga dekat, santuy ngumpul saja. Nyatanya, tahun 2020 tak ada mudik. Benar-benar Lebaran tak biasa, “Bagaimana lagi”, katanya, memaklumi.

#15. Berguna

Ini mungkin yang terbaik, lebih bagus dari “Pulang” sebab hakikat manusia yang berguna itu sangat lebar jabarannya. Jadi ingat, siang tadi istriku May menggalang baju layak pakai, makanan, dan segala bantuan buat korban banjir sama ibu-ibu sekompleks. Saya berdalih, “Kaosku mayoritas tak layak sumbang, bisa lima enam tahun sekali belinya” Ia memulai menggalangnya, tanpa banyak rencana, refleks saja melihat berita banjir di Karawang meluas. Dan berhasil. Tepuk tangan untuk May, hebat sayang. Saya turut terharu menyaksikan, barang bantuan itu menumpuk di rumahku hanya dalam waktu kurang dai 24 jam! Sungguh mulia dan berguna istriku, untuk masyarakat.

Berbanding terbalik denganku. Saya males keluar rumah, males turut ngopi bapak-bapak kompleks (beda sama teman lama rasanya), males ronda, males ikut kerja bakti. Dua minggu ini ada kegiatan perbaikan fasum, dan saya absen keduanya. Males sekadar nyupir antar arisan. Benar-benar tak guna saya ini, egois atau lebih ke cuek. Nah, tema itu dijabarkan panjang lebar sama Cak Mahfud di sini, jelas kamu sangat berguna, peranmu lebih besar Mas. Saya HRD Perusahaan, yang bahkan ketika ada sanak family nitip lamaran saja saya tolak, atau ketika saya terima (dengan terpaksa) surat lamarannya, saya ikutkan tes dengan fair, banyak yang gagal. See, benar-benar tak berguna ‘kan saya?! Lebih ke males urusan sama orang aja, dan kerjaanku setiap hari adalah konsultasi, konseling karyawan, kasih nasehat, mendengar orang-orang bermasalah menjelaskan masalah. Lalu memberi opsi solusi. Ironis, malesi ‘kan?

Karena melihat ke-“berguna”-an buku/tulisan bisa sangat konkret sekaligus abstrak, bisa sangat spesifik tapi juga bisa sangat luas, dank arena itu sulit diukur, maka tujuan “berguna” untuk buku pelajaran ini saya modifikasi yang lain lagi, saya lakukan untuk novel berikutnya lagi.”

#16. Menunggu

Ini menarik. Bagaimana menunggu Liverpool juara Liga, dirayakan dalam kekaleman. Tak perlu emosional, setelah rontok pertama kali tiga gol di tangan Watford, kalah sama Atletico, dan lepas FA. Akhirnya penantian itu berakhir kala Chelsea ‘membantu’ memastikan gelar juara Reds di tengah pekan, ini terjadi setelah laga-laga sepakbola ditunda. Lalu ia bercerita bagaimana mencintai tiga klub BESAR di Eropa. Jadi pengen cerita detail bagaimana saya mencinta klub jagoan. “Nikmati selagi bisa. Jika gembira, terharu, keranjingan, edan, atau diksi-diksi meluap-luap yang lain…

#17. Ideal dan Ironi

Dulu, kos terakhir saya sebelum nikah adalah sebuah rumah sepi, kontrakan terpencil dengan pemandangan sawah, dan kuburan tepat di depan halaman rumah. Rumah sendirian di tengah lapang, rumah terdekat sekitar lima puluh meter, selepas Isya, benar-benar sunyi. Kontrakan itu tak laku, maka sama induk semang disewakan teramat murah. Saya betah tinggal di sana sebab sepi banget. Tiap malam kubaca buku di teras, ditemani suara jangkrik ya sesekali dengar mp3 HP track list George Benson, semilir angin, selepas nyeruput kopi dan jeda baca memandang ke depan, kuburan yang sungguh tenang. Batu-batu nisannya jelas terlihat sebab kuburan itu di atas, rumah yang kuhuni di bawah. Manteb! Saya merindukan masa itu.

Maka Cak Mahfud terasa terganggu saat pohon-pohon di dekat rumah itu ditebang, suara pembangunan menggeber, menyayat sepi, lalu ia bercerita masa kecilnya sebagai side-kick pencuri kayu di hutan.

#18. Tercerabut

Sungguh ironis, seorang bocah tegalan seperti saya membutuhkan wabah untuk kembali ke umbi-umbian.” Mana salah kupas lagi, hahahahaha… well, di kampung saya punya kebun penuh singkong dan ketela. Entah dari jenis apa, dulu sampai muak sama pohong. Benar banget, tanamnya simple. Tinggal tancap, di pelajar IPA baru kutahu namanya stik, bisa dilakukan untuk pohon-pohon istimewa, sebab tahan segala cuaca, dan sehat.

#19. Perempuan Tua dan Benang Rayutnya

Menyukai sepakbola, seperti benang yang susah payah dirajut dan kemudian dibongkar, adalah rasa sakit dan sulit yang dinikmati, kebahagiaan yang fana dan dengan cepat memudar, dan ia lakukan berulang-ulang. Dan saya kira karena itulah, saya tak membutuhkan rasa sakit yang lain.”

#20. Hasil

Apakah lagi-lagi saya sedang bercerita tentang hal-hal sia-sia yang bias akita alami?” Ya, kok tahu? Setelah membaca tujuh halaman, saya sempat agak boring, mana menariknya penghijauan dapur itu? Dan hebatnya, ia tahu, ia sudah merasakan apa yang akan pembaca rasakan.

Bagaimana merasakan simpati atas ‘nyawa’ tanaman kangkung, memberi tambahan waktu hidup walau tak lama. Hahaha… pengen tak lempar potnya ke tembok, biar ambyar sekalian. Hahaha

#21. Dua Jendela

Sebagai cerita penutup, tertanggal tulis 14 Juni 2020 yang berarti kolom ini berlangsung enam bulan. Cerita ini lebih tenang, memandang jendela dengan perpektif dua arah. Jendela depan dan belakang rumah yang memberi pandang horizon bahwa Cak Mahfud ternyata jarang menulis tentang masa kini, seorang sentimental? Ya lebih tepatnya, ia adalah pemuja masa lalu. Idem, sepakat, seiya sekata. “Gampangnya, semulia apa pun pekerjaanmu, pada akhirnya larinya ke dapur juga.”

Kubaca dalam tiga hari (5-7 Feb 21), Karawang hujan bertubi-tubi, saya yang memang dasarnya malas keluar rumah, makin rapat selimut dan membuncahkan daftar baca. Ini adalah buku ke, hhmm… bentar saya hitung lagi. Dawuk check, Kambing dan Hujan check, Sepakbola Tidak akan Pulang check, Cerita Bualan check, Dari Kekalahan check, dan ini. berarti sudah lebih dari separuh karya beliau kulahap. Ulid, Belajar Mencintai, Aku dan India (jilid 1) sudah kumiliki, rencana bakal kubaca tiap bulan satu bukunya. Jilid II India sudah pesan, kemungkinan kubeli bersamaan dengan sekuel Dawuk. Itu artinya, setidaknya sampai bulan Juli sudah terjejer daftar baca-ulasnya. Mantab bukan? Mahfud Ikhwan adalah salah satu Penulis terbaik di era kita, jaminan kualitas, tak pernah mengecewakan setidaknya sampai buku keenam yang kulahap.

(Ket: Kambing dan Hujan setelah ku bongkar rak sejam tidak ketemu, ternyata dulu pernah dipinjam teman, dikembalikan, kutaruh laci, terlupakan. Sampai sekarang, terlelap di sana)

Salut sama keberanian pilihan hidup kala di persimpang jalan, hal yang nyaris kulakukan tahun 2009 saat resign dari kerja dan coba menata ulang arti hidup. Namun saya tak seberani itu, saya hanyalah manusia kebanyakan yang turut dibelenggu jam kerja, terpenjara kewajiban tahun 2011 menikah. Darani pernah bilang, “Kenikmatan pujian dan kepasrahan hati yang bisa dirasakan bujangan tidak akan bisa dihayati orang yang kawin.” Ibrahim ibn Adham mengungkapkan hal serupa, “Ketika seorang lelaki kawin, ia naik perahu; kalau anaknya lahir, perahu itu karam.”

Sebagai penutup saya kutip ‘kebanggan’ Cak Mahfud yang sukses dengan pilihan hidupnya. Seperti Murakami yang berani menutup kafe-nya demi fokus menulis. Walaupun taraf-nya beda, tapi keberaniannya di frekuensi yang sama. “Meski sering menolak menyebut kegiatan menulis saya sebagai pekerjaan, pada dasarnya memang inilah pekerjaan saya. “Menjalankan darma”, “membeli buku”, “bersenang-senang”, “melakukan apa yang bisa saya lakukan”, atau frasa lain yang kadang terlalu agung dan selalu sulit diverifikasi…”

Sekali lagi, selamat, kamu berhasil memukauku. kapan-kapan saya pengen icip-icip tumis kangkung buatanmu.

Menumis itu Gampang, Menulis Tidak | by Mahfud Ikhwan | 2021 | Penyunting Prima Sulistya | Pemeriksa aksara Dyah Permatasari | Penata isi dan desain sampul M. Saddam Husaen | Ilustrator isi Nurul Ismi Fitrianty | Cetakan pertama, Januari 2021 | xiv + 252 halaman | ISBN 978-623-7284-48-2 | Penerbit Mojok | Skor: 4/5

Karawang, 090221 – Dizzy Gillespie feat. Charlie Parker – A Night in Tunisia

Thx to Dema Buku, Jakarta

Sabda dari Gua

Zarathustra by Friedrich Nietzsche

Adalah kata-kata paling hening yang mendatangkan badai. Pikiran-pikiran yang datang pada kaki merpati-merpati membimbing dunia…”

Buku yang luar biasa (membingungkan). Kubaca ditanggal 1 Januari di rumah Greenvil sebagai pembuka tahun, di tengah mulai kehilangan arah (bosan dan mumet), maka kuselipkan bacaan-bacaan lain yang setelah bulan berganti kuhitung ada 9 buku, tapi tetap target baca kelar buku ini di bulan Januari terpenuhi tepat di tanggal 31 di lantai 1 Blok H, walau tersendat dan sungguh bukan bacaan yang tepat dikala pikiran mumet. Awal tahun ini banyak masalah di tempat kerja, pandemik harus ini itu, aturan baru semakin meluap, dan tindakan-tindakan harus diambil. Di rumah, lagi mumet urusan buku yang menggunung. Maka lengkap sudah Sang Nabi menambah kesyahduan hidup ini dengan sabda aneh nan rumitnya. Tuhan adalah sebuah dugaan, tetapi aku ingin dugaan kalian tidak lebih kuat dari kehendak cipta kalian.

Kisahnya dibuka dengan Zarathustra yang berusia tiga puluh tahun meninggalkan kampung halaman dan danau di dekatnya demi melangkah ke pegunungan. Menikmati gairah jiwa dan kesunyian, selama sepuluh tahun tanpa jemu. Dan inilah segala cerita ia kembali menuruni gunung menyebar sabdanya. Kita bangunkan sarang kita di atas pohon Masa Depan; elang elang akan membawa kita makanan dengan paruh-paruh mereka. Balas dendam terpatri dalam jiwamu: sebuah kerak hitam tumbuh di bekas gigitanmu, dengan dendam, racunmu, membuat jiwa puyeng.

Dari awal sampai akhir kita disuguhi kata-kata tak berkesudahan. Semacam motivasi, inspirasi, sampai hal-hal nyeleneh. Tak semua sepakat, tak semua bagus, bahkan ada beberapa yang bertentangan dengan norma. Namun tetap saja, apa yang disampaikan memang seperti omong kosong. Ada orang-orang yang mengkhotbahkan dokrin kehidupanku: namun pada saat yang sama mereka adalah pengkhotbah-pengkhotbah persamaan, dan tarantula-tarantula.

Menyerang Tuhan, dan semua pengikutnya tak terkecuali. Semua kepercayaan dicoret, segala teologi dikecam. Ia memiliki pendengar berbagai kalangan, dari rakyat biasa di pasar, pendeta, elang, ular, hingga tembok-tembok gua. Semua diceramahi, semua diocehi berbagai hal. Aku ini pagar di samping sungai, ia dapat meraihku, biarkan saja ia berpegang padaku. Namun aku bukan tongkat kruk bagimu.

Banyak kalimat saling silang, pernyataan pertama dibantah pernyataan kedua, dari orang yang sama pula. Kalian menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Bukan ketinggian, tetapi juranglah yang mengerikan. Kiasan juga tersebar di mana-mana. Semenjak engkau membunuh, usahakan agar engkau membenarkan kehidupan.

Zarathustra adalah pemecah suatu krisis intelektual yang berlarut-larut. Kita mencintai kehidupan, bukan sebab kita sudah biasa hidup tapi sebab kita biasa mencintai. Di mana kehidupan adalah kerja yang tak ada batasannya dan kecemasan: tidakkah engkau lebih menghadapi hidup? Bukankah engkau pun sangat masak bagi khotbah kematian? Di mana kesunyian usai, mulailah pasat, sedang di mana pasar bermula, mulailah aum para aktor agung dan dengung lalat-lalat berbisa.

Ambigu menjadi hal yang biasa di sini. “… Namun aku duduk dalam kereta itu, lagi pula sering akulah kereta itu.” Hahaha… rancu. Membuang sesuatu berarti, membuktikan sesuatu. Menimbulkan kekalutan – baginya berarti: meyakinkan. Dan darah adalah argument terbaik baginya. Segala sesuatu yang direnungkan dalam-dalam akhirnya dipikirkan dengan curiga.

Gagasan dapat membuatmu demam. Tak sedikit yang berusaha mengenyahkan setan mereka, ternyata malah kerasukan babi. Penilaian itu penciptaan: dengarlah, hai manusia berdaya cipta! Penilaian itu sendiri adalah nilai dan pertama dari seluruh benda bernilai. Cintamu yang buruk pada dirimu membuat kesunyian menjadi penjara bagimu.

Ia ambil satu-satunya jalan yang terbuka baginya; ia mendorongnya sampai ke tapal batas terjauh. Wuuuuuzzzzz….. Tabiat perempuan adalah permukaan, lapisan tipis bisa berubah yang bergolak di muka perairan dangkal. Tabiat laki-laki itu dalam, aliran derasnya menggemuruh di gua-gua bawah tanah: perempuan merasakan kekuatannya tapi tidak memahaminya.

Aku ingin kemenanganmu dan kemerdekaanmu merindukan anak. Engkau harus membangun kenangan-kenangan hidup buat kemenangan dan pembebasanmu. Banyak orang terlambat mati dan beberapa mati terlalu dini. Tapi dokrin itu masih terdengar asing, “Matilah pada saatnya yang tepat.”

Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Lagi pula ia tak begitu sendu: ia memahami hidup dan mati dengan lebih mantab. Bilamana roh kalian ingin bicara lewat citra, perhatikanlah; sebab itulah saat terbentuknya asal mula kebajikan. Kemudian jiwa kalian terangkat naik, dengan kegembiraannya ia menyenangkan roh, karena ia bisa menjadi pencipta dan penilai dan kekasih dan dermawan apa saja.

Kita masih berkelahi selangkah demi selangkah dengan raksasa Peluang, dan hingga kini si tolol dan si rak bermakna itu, masih berkuasa atas umat manusia. Pada padang rumput yang lembut di hati-hati kalian, teman-temanku – pada cinta kalian dia ingin menidurkan anak-anak tersayang.

Sering pula mengulang-ulang ‘Manusia Unggul’. Sosok yang ideal atau tinggi ketimbang orang lain. Pernah kalian katakan, “Tuhan” ketika kalian memandang laut-laut yang jauh itu, tapi kini telah ajari kalian mengatakan “Manusia Unggul.” Tuhan adalah sebuh dugaan, Pada padang rumput yang lembut di hari-hati kalian, teman-temanku! – pada cinta kalian dia ingin menidurkan anak-anak yang tersayang.

Jam pasir kehidupan yang abadi akan dibolak-balik lagi dan lagi, engkau ada di dalamnya. Pernah kalian katakan, “Tuhan” ketika kalian memandang laut-laut yang jauh itu; tapi kini aku telah ajari kalian mengatakan, “Manusia Unggul”

Segala yang kekal – itu tidak lain hanyalah khayalan! Dan para penyair itu terlalu banyak dusta. Dan kita sangat tidak adil, bukan terhadap dia yang tidak kita sukai, melainkan terhadap dia yang tak ada urusan sama sekali dengan kita.
Dan seandainya teman kalian itu melakukan suatu kesalahan, maka katakan, “Aku memaafkan engkau apa yang engkau perbuat padaku, tetapi kalau itu engkau lakukan terhadap dirimu sendiri – bagaimana bisa aku memaafkan itu?”

Kesombongan-diri yang masam, rasa iri yang dipendam, barangkali kesombongan-diri dan iri kakek moyang kalian: senua itu menyembur dari kalian bagaikan sebersit api dan kegilaan balas dendam. Dan bilamana mereka menyebut diri, “yang baik dan yang adil”, jangan lupa bahwa mereka itu sudah menjadi golongan Farisi dan hanya kekurangan satu hal – kekuasaan.

Dan umat manusia itu tidak boleh menjadi sama! Buat apakah aku mencintai Manusia-Unggul jika aku berkata yang lain itu dari itu? Sesuatu yang tak terpuaskan, tak bisa terpuaskan, berada dalam diriku, ingin berbicara. Sebuah kelaparan terhadap cita berada dalam diriku, ia sendiri berbicara bahasa cinta.

Ah, es di sekelilingku, tanganku terbakar oleh es! Ah, haus dalam diriku, yang merindukan kehausanmu! Dan ketika aku berbicara diam-diam dengan Kearifanku yang liar, dia berkata kepadaku dengan marah: “engkau berkehendak, engkau berkeinginan, engkau mencinta, itulah satu-satunya alasan engkau memuji Kehidupan.”

Itulah keseluruhan kehendak kalian, kalian manusia-manusia paling bijak; ialah kehendak untuk kuasa; dan itu tetap demikian bahkan bilamana kalian berbicara tentang baik dan jahat dan tentang penilaian atas nilai-nilai.

Tetapi di mana pun aku temukan makhluk-makhluk hidup, di sana pula aku dengar bahasa kepatuhan. Semua makhluk hidup adalah makhluk patuh.

Di mana aku temukan makhluk hidup, di situ aku temukan kehendak untuk kuasa, dan bahkan dalam kehendak aksi aku temukan dalam kehendak tuan. Dan dia yang harus menjadi pencipta dalam kebaikan dan kejahatan, sungguh mula-mula harus menjadi penghancur dan pelanggar nilai-nilai. “Makhluk hidup menghargai banyak hal yang lebih tinggi daripada kehidupan itu sendiri; namun dari penilaian ini sendiri berkata – kehendak untuk kuasa!”

Tidak ada perselisihan tentang rasa dan merasakan? Semua kehidupan adalah perselisihan atas rasa dan merasa. Ia ingin menyedot laut dan meminum kedalaman laut sampai ketinggiannya: kini nafsu laut membumbung dengan seribu susu. Aku panas dan hangus oleh pikiran-pikiranku: itu sering membuatku tidak bisa bernapas.

Mereka menunggu orang-orang yang kehendaknya berjalan dengan kaki-kaki lemah – mereka menunggu-nunggu seperti laba-laba. Akhirnya dia mendesah dan menarik napas. Aku adalah dari hari ini dan dari yang telah-terjadi (kemudian dia berkata); tetapi terdapat sesuatu dalam diriku yang dari hari esok dan hari lusa dan dari yang-akan-terjadi. Semua rengekan biola mereka bagiku hanyalah batuk dan dengus hantu-hantu; tahu apa mereka itu tentang hangatnya nada-nada!

Kehidupanmu sendiri merupakan tafsir impian ini kepada kami, O Zarathustra! Dan kenapa Zarathustra tidak belajar dari rakyat, bila rakyat belajar dari Zarathustra? “Memang sulit hidup di antara manusia karena berdiam diri itu sulit sekali. Terutama untuk seorang yang nyinyir.”

Bukankah bangga-diri yang dilukai itu ibu dari semua tragedi? Tetapi dimana terdapat keangkuhan di situ pasti tumbuh sesuatu yang lebih baik daripada keangkuhan.

Roland Barthes memandang teks dari segi plaisir (kenikmatan karena mengerti yang dibaca) maupun jouissance (kenikmatan ekstatik kare efek-efek tak terduga dari yang dibacanya) – termasuk misalnya jika pembaca terbosankan. Dan rasanya tanpa banyak perdebatan buku ini masuk golongan kedua. Puisi-puisi yang di-prosa-kan mencipta keindahan yang membosankan. Begitulah pembalasan menyebut dirinya: ia menenangkan nuraninya dengan sebuah dusta.

Tak perlu telaah mendalam, ngalir saja seakan kalian hanyut di tengah rimba kata-kata. “Kita adalah realis komplit dan tanpa kepercayaan atau takhayul.”

Entah kalian memasukkan dalam fiksi atau non-fiksi yang jelas buku ini laik dikoleksi, sangat layak dibuka dan baca ulang suatu ketika. Segala hampa, segalanya satu, segalanya sudah berlalu. Namun ada pengecualian, Zarathustra abadi. Embun jatuh di rumput ketika malam pada saat terheningnya.

Zarathustra | by Friedrich Nietzsche | Diterjemahkan dari Also Sprach Zarathustra | Terbitan Alfred Kroner derlag, Leipzig & Thus Spoke Zarathustra | Penguin Books, 1977 | Penerbit Narasi | Kerjasama Pustaka Promethea, 2015 | Penerjemah H.B. Jassin, Ari Wijaya, Hartono Hadikusomo | Penyunting Hartono Hadikusumo | Desain cover Sugeng | 16 x 24 cm | vi + 438 hlm | ISBN Soft cover (10) 979-168-464-2 (13) 978-979-168-464-4 | Cetakan pertama, 2015 | Skor: 5/5

Karawang, 050221 – 080221 – The Corrs (Breathless) – Boyzone (Father and Son)

Thx to Olih (stan buku), Yogya
Buku ini dibeli 260115, Prepare for audit Nestle

#Januari2021 Baca

Saya masih memberi kesempatan kepada klub-klub untuk kembali ke kompetisi yang resmi. Paling tidak sampai Senin ini. Ya, paling lambat Senin malamlah.”Johar Arifin dalam buku Dari Kekalahan ke Kematian (Mahfud Ikhwan)

Awal tahun yang padat. Saya sudah coba baca santai, tapi kondisi malah mencipta waktu luang lebih banyak. Saya kena shift seminggu masuk jam 12:00 karena pembatasan skala besar Karawang. Maka punya waktu baca pagi lebih panjang habis subuh sampai jam 09:00, luar biasa pagiku benar-benar melimpah.

Dimula dengan Zarathustra di tanggal 1 selesai tepat 31, lalu diselingi buku-buku lain yang lebih ringan. Gila, buku berat dan melelahkan. Namun kelar juga, tepat sebulan! Buku baru sudah Sembilan paket, jadi tumpukan masih sangat tinggi. Semangat!

Segala genre saya lahap!

#1. Life of Pi by Yann Martel

Fantasi atau fakta? Ada dua cerita, yang pertama bersama sesekoci sama macan yang tak bisa dilogika, yang kedua bersama pembunuh yang terbunuh. Endingnya dijelaskan, tapi tetap absurd. Begini seharusnya cerita sebuah perjalanan dibuat. Kalau kita, para warga negara, tidak memberikan dukungan kepada seniman-seniman kita, berarti kita telah mengorbankan imajinasi kita di altar realitas yang kejam, dan pada akhirnya kita jadi tidak percaya pada apa pun, dan mimpi-mimpi kita tidak lagi berarti. Jelas novel yang laik didiskusikan lanjut.

Jangan sampai patah semangat, boleh merasa kecil hati tapi jangan menyerah. Ingat semangat sangat penting, melebihi lain-lainnya. Kalau Anda memiliki kemauan untuk hidup, Anda pasti bisa bertahan.”

#2. Dari Kekalahan ke Kematian by Mahfud Ikhwan

Cak Mahfud memang jaminan, sejauh ini. Ini buku kedua tentang sepakbola yang kunikmati, jelas lebih baik ketimbang rangkuman review per pekan sepakbola Eropa dalam ‘Sepakbola Tak Akan Pulang’. Kali ini fokus ke cerita lokal, mayoritas diangkut dari blog-nya belakanggawang.blogspot.com yang diampu bersama Bung Darmanto Simaepa. Sobatnya tersebut, ternyata sobat kental beberapa kali disebut menjadi teman curhat dan nonton bareng. Setara Grandong yang jadi sobat misuhi Liverpool dengan kepleset Gerard-nya. Masih ingat review buku Tamasya Bola? Kata Pengantarnya keren sekali oleh Cak Mahfud, di Dari Kekalahan, dibalik. Pengantarnya oleh Darmanto, panjang meliuk-liuk liar, dan muatan isi bukunya segaris lurus.

Barangkali sepakbola unik karena ia bisa memberikan harapan berulang kali.”

#3. Oliver’s Story by Erich Segal

Kisah cinta lanjutan. Memang sulit melanjutkan cerita wow, atau setidaknya menyamai. Sekuel yang mengalami penurunan kualitas, tapi masih bagus sebab endingnya pahit, cara berceritanya bagus, pemilihan plotnya lumayan juga. Tak seperti kebanyakan cerita romantis yang mellow. Sesuai harapan, untung sekali mereka ambyar. Walau alasannya terlalu politis, terlalu kurang alami, sekalipun itu terkait aturan birokrasi, menentang prinsip hidup, idealism yang dipegang, sebagai Sarjana Hukum ia jelas menentang eksploitasi anak-anak untuk bekerja, tapi kisah ini jadinya malah muluk, dan adegan Hongkong itu jauh dari kesan asyik seperti eksekusi di Rumah Sakit, ending luluh lantak sebelumnya. Seperti kata Jimi Hendrix waktu Woodstock.

Keadaan cukup buruk dan dunia ini perlu dibersihkan.”

#4. My Beautiful Feeling by Walter & Ingrid Trobisch

Masturbasi perempuan. Tema yang tabu dari dulu, bahkan sampai era digital ini. Di sini dikupas panjang, dari surat-surat remaja Jerman di masa SMA hingga kuliah, surat-surat pribadi itu dikirim ke seorang psikolog yang biasa mengisi rubrik di Koran nasional tentang tanya-jawab pembaca. Lalu, entah apakah surat ini ditayangkan atau tidak, malah dibukukan. Ini adalah buku kedua terbitan BPK yang kubaca, setelah curhat masa muda Indonesia tahun 1980-an dengan Suhartin, apa yang harus saya lakukan?

Kalau kau tahu tujuannya, kau dapat menemukan jalannya.”

#5. Mata dan Riwayat Semesta by Wija Sasmaya

Buku tipis yang aslinya hanya berisi 75 halaman. Namun menjadi dua kali lipatnya sebab buku ini bilingual, diterjemahkan jua ke dalam Bahasa Inggris. Dicetak bolak-balik, tapi karena saya saat ini nyaman dengan Bahasa Indonesia, dan celetuk, ‘kurasa buat apa membaca Inggris-nya toh, isinya sama’, maka buku ini hanya kunikmati separuh. Separuhnya bagaimana, mungkin suatu hari nanti kubaca lagi, entah kapan, yang jelas bukan dalam waktu dekat. Dua kali saya memiliki dua sejenis ini, yang pertama karya Marga T, versi separuh asing jelas ku-skip. Benar-benar tak rekomendasi deh ide bikin bilingual gini, boros kertas. Kecuali diterjemahkan, lalu dijual terpisah, jelas itu lain soal sebab tak menempel langsung.

Hidup itu ibarat cuma mampir minum, dan sebaik-baiknya minum tentu minum air jernih yang menyejukkan jiwa.

#6. Memoar Ronny Patinasarany by Andreas J. Waskito

Memoar yang berkesan, jadi tahu detail era emas Timnas Indonesia-pun penuh intrik politik. Bagaimana ia dilarang merokok, tak mau nurut dicoret dari skuat, lalu hukuman lama itu dikurangi menjadi beberapa bulan. Buku ini gambaran umum saja, dari karier bolanya yang cemerlang dari Makassar, Surabaya, hingga Jakarta. Bagaimana ia menjadi pegawai Bank BNI, menjadi pencari bakat, lalu musibah kanker yang dialami. Sepertiga akhir adalah masa sulit, pengobatan ke China hingga akhir hidupnya. Lalu sebelum epilog sang istri, kita menyimak pendapat beberapa rekan, keluarga, dan bosnya. Buku yang padat dan emosional.

Kalaupun anak saya meninggal, dia meninggal dalam kasih sayang saya. Saya rela menghilangkan harga diri, popularitas, hidup… tapi saya tidak pernah rela kehilangan kasih sayang saya kepada keluarga.”

#7. Pembunuh by Rayni N Massardi

Dengan kata pengantar oleh maestro sastra kita, Seno Gumira Ajidarma, sesuatu yang sangat menjual dicetak tahun 2005, di mana dunia sedang mengalami proses transisi ke data digital besar-besaran, apa yang disampaikan secara garis besar mewakili kehidupan kaum urban kebanyakan. Wanita karier yang bosan di ibukota, kekejaman vonis keluarga atas nasib tak bagus saudara dalam acara ngumpul rutin, gadis desa yang merantau, keputusan penting jadi mudik ke Indonesia atau menetap di tanah orang, istri yang cerewet atas kesetiaan suami, kehidupan pagi di stasiun kereta, sampai kehidupan rutin di kantor yang mencipta ‘demo’ akan mesin pencatat kehadiran.

Kita tidak mungkin bangga akan orang lain, tapi dapat bangga pada diri kita sendiri.”

#8. Kuntilanak Pondok Indah by Lovanisa

Cerita yang aneh, tapi lumayan menghibur juga. Nama-nama karakter utamanya kebarat-baratan semua: pearly (putih dan berkilau seperti mutiara), Cherie (siapanya Cher?), Shena x Xena, dst. Pola hidup orang kota yang kental, jelas kalangan menengah atas: rutin ke salon, makan pizza, naik Yaris, kos? Sewa pembantu merangkap chef merangkap intel dong, mainnya bilyar, di sini disebut Four Hole, mungkin diselingi miras dan obat, tapi tak boleh disebut kena rating ntar. Lupakan logika sebab memang ini buku fun aja, bedakan ‘di’ disambung dan ‘di’ dipisah saja sulit. Bahasanya gaul, lo gue end, No Prob. Melamar pakai cincin berlian dengan mata berwarna putih dikelilingi permata-permata kecil. Romantis itu pakai kawat yang disambung, tapi ya tak level-lah. Liburan? Ke Bali sewa vila, semudah mengucapkan pesan nasi orek di Warteg.

Mana gue tahu, lo sih Conan bukan, FBI juga bukan, sok-sokan main selidik-selidik aja.”

#9. Zarathustra by Frederick Nietzschie

Buku yang luar biasa (membingungkan). Kubaca ditanggal 1 Januari di rumah Greenvil sebagai pembuka tahun, di tengah mulai kehilangan arah (bosan dan mumet), maka kuselipkan bacaan-bacaan lain yang setelah bulan berganti kuhitung ada 9 buku, tapi tetap target baca kelar buku ini di bulan Januari terpenuhi tepat di tanggal 31 di lantai 1 Blok H, walau tersendat dan sungguh bukan bacaan yang tepat dikala pikiran mumet. Awal tahun ini banyak masalah di tempat kerja, pandemik harus ini itu, aturan baru semakin meluap, dan tindakan-tindakan harus diambil. Di rumah, lagi mumet urusan buku yang menggunung. Maka lengkap sudah Sang Nabi menambah kesyahduan hidup ini dengan sabda aneh nan rumitnya.

Kita mencintai kehidupan, bukan sebab kita sudah biasa hidup tapi sebab kita biasa mencintai.”

#10. Si Lugu by Voltaire

Buku kecil yang luar biasa. Padat, renyah, sesak, dan pace-nya sangat cepat. Kubaca hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya pada hari Sabtu pagi, 30 Januari 2021 di teras rumah langsung kelar. Seperti inilah novelet harusnya dibuat, ga bertele-tele, gayanya dapat, plotnya bagus, endingnya nyesek, dan ada motivasi yang bisa dipetik. Paket lengkap setengah hari.

Aneh juga. Kok air mata bisa menimbulkan rasa lega? Saya kira malahan bisa menimbulkan akibat sebaliknya.”

Karawang, 050221 – Dewa 19 – Kamulah Satu-satunya

Memoar Libero Terbaik Indonesia

Biografi Ronny Pattinasarany by Andreas J. Waskito

Ada yang lebih berharga dari uang dan harta, yaitu kasih sayang.”

Memoar yang berkesan, jadi tahu detail era emas Timnas Indonesia-pun penuh intrik politik. Bagaimana ia dilarang merokok, tak mau nurut dicoret dari skuat, lalu hukuman lama itu dikurangi menjadi beberapa bulan. Buku ini gambaran umum saja, dari karier bolanya yang cemerlang dari Makassar, Surabaya, hingga Jakarta. Bagaimana ia menjadi pegawai Bank BNI, menjadi pencari bakat, lalu musibah kanker yang dialami. Sepertiga akhir adalah masa sulit, pengobatan ke China hingga akhir hidupnya. Lalu sebelum epilog sang istri, kita menyimak pendapat beberapa rekan, keluarga, dan bosnya. Buku yang padat dan emosional.

Sejak kecil memang bercita-cita menjadi pemain sepakbola. Ini berkat lingkungan yang membentuk. Ingin menjadi pemain sepakbola yang dikagumi banyak orang. Seperti sang idola Suardi Arland. Sedangkan dari luar negeri, terinspirasi oleh penampilan George Best.

Ayahnya pernah menjadi asisten pelatih kesebelasan PSM, banyak perlengkapan di rumah, di antaranya 20 buah bola dari kulit, dan bertugas menyemirnya sampai mengkilap sepulang sekolah dan sehabis makan. Ketika PSM main, menjadi anak gawang. Sebuah kesempatan langka karena bisa melihat langsung pemain-pemain top Indonesia kala itu, seperti Aang Witarsa, Omo, Wowo, Isak Udin, Fatah Hidayat, atau palang pintu Sunarto. Mereka adalah beberapa pemain yang memperkuat timnas kala melawan Uni Soviet di penyisihan Olimpiade di Melbourne, Australia.

Ronny menjadi pemain bola sejak junior, bergabung dengan klub Persatuan Sepakbola Anak Mawas (PSAM) dilatih langsung oleh Anwar Rampang. Tak ada batasan umur, yang dipakai adalah batasan tinggi badan, standarnya tak boleh lebih dari 1.45 meter. Pada kompetisi PSAM melaju ke final, kalah sama Mamajang, tapi Ronny dinobatkan sebagai pemain terbaik kompetisi.

Ayahnya menentang ia jadi pemain bola, sebab trauma kakaknya meninggal dunia. Maka setelah pulang, rasa bangga itu remuk sebab pialanya justru dibanting ayahnya. Ternyata sesuatu yang baik buat saya, belum tentu juga baik buat orang lain.

Postur tubuh kecil, kerempeng. Menurut pandangan banyak orang ini postur tubuh yang tak ideal untuk pemain bola, maka ayah berpesan untuk menutupi kelemahan ini, harus punya skill dan teknik yang yang sempurna. Harus berlatih lebih keras lagi. tahun 1966 ia pun masuk tim senior PSM, masih ada pemain legendaris Ramang dan pelatihnya Suardi Arland. Dua idola yang menempa.

Saat bergabung di PSAD, kariernya menanjak sebab pengelolaan yang bagus, semua pemain diasramakan, diberi makanan yang bergizi menurut standar atlet, gaji bulanan, di samping fasilitas lainnya seperti diberi sepeda merek Simking untuk tiap pemain. Tangan dingin Pak Sajidiman mendatangkan hasil, PSAD juara III di kejuaraan antar klub se-Indonesia di bawah klub Jayakarta dan Assyabaab.

Tahun 1972 di usia 23 tahun, debut timnas senior dalam PSSI Selection untuk berlaga di Anniversary Cup, turnamen yang dipersiapkan untuk HUT Jakarta. Dari sinilah, kariernya terus benar-benar tak terbendung. Dipanggil ke banyak turnamen berkelas internasional.

Salah satu pengalaman tak terlupa tentu saja bersua Franz Beckenbauer saat Cosmos menang lawan Timnas, idola Bung Ronny. Juga saat vs Santos 3-2 ketemu Pele. Dari ajang inilah ia menjadi libero, yang melekat sampai kini, hingga berjuluk ‘Beckanbauer Indonesia’ atau ‘Beckanbauer-nya Asia’. Istilah libero menjadi terkenal sebab permainan legendaris Franz di Timnas Jerman Barat.

Bung Ronny juga pernah bekerja di Bank BNI 1946, penghasilan tak menentu pemain bola menjadikan BUMN menjadi tempat support pemain, selain BNI ada Pertamina dan Bulog. Tapi kegiatan ini memberi dilemma, tetap ikut BNI atau dicoret dari timnas, akhirnya tetap demi kepul nasi di rumah ramai-ramai mengundurkan diri dari timnas. BNI 1946 sudah memberikan segalanya. Namun tetap saja, dia adalah kunci permainan, bahkan muncul kata ‘Ronny Depending’. Sebagai libero, Bung Ronny bisa bertahan di timnas selama 13 tahun. Rentang yang lama, apalagi banyak dilemma di dalamnya. PSSI sejak dulu memang bermasalah, dan politik selalu merongrong. Legenda besar sepakbola kita.

Dalam memoar ini ia menulis email sebagai jawaban atas beberapa pertanyaan sang Penulis. Dilakukan ketika ia dalam perawatan di China. Seperti pengakuannya ketika diagnosa muncul, “Satu hal yang membuat saya heran, meski termasuk perokok berat, justru sakitnya bukan disebabkan rokok. Begitu pula ginjal, ternyata yang kena malah pankreas karena pola makan yang tak sehat.”

Sebenarnya buku tak tuntas sebab terputus dalam prosesnya, maka muncullah banyak pendapat orang-orang terdekat. Dari orang-orang PSSI, teman seperjuangan semasa aktif bermain dan melatih, dan tentu saja keluarga. Semua anaknya, baik yang kandung atau yang angkat diminta isi. Dengan penutup sang istri Stella Pattinasarany.

Berikut beberapa pendapat mereka:

Papa memang orangnya pantang menyerah dan memiliki integritas.” Kata anaknya.

Prestasi terbesar papa adalah ‘meninggalkan karier untuk keluarga’. Padahal, saat itu papa pelatih terbaik dengan bayaran termahal id Indonesia. Papa sedang di puncak karier. Papa sedang berada dalam mimpinya. “Kalaupun anak saya meninggal, dia meninggal dalam kasih sayang saya. Saya rela menghilangkan harga diri, popularitas, hidup… tapi saya tidak pernah rela kehilangan kasih sayang saya kepada keluarga.”

Dia memang framboyan di lapangan dan di luar. Dia pandai membaca permainan, dengan umpan-umpan yang terukur.”

Yang patut diteladani adalah pengabdian dan kepedulian terhadap perkembangan sepakbola Indonesia. Hampir sepanjang hidupnya dihabiskan untuk memikirkan pembinaan usia dini. Masa depan prestasi sepakbola nasional sebenarnya bergantung dari sini. “Suksesnya sepakbola Indonesia adalah suksesnya pembinaan usia muda. Masa depan sepakbola Indonesia adalah suksesnya pembinaan usia muda.”

Yang paling mengesankan, walaupun pimpinan saya tapi bila menyuruh mengerjakan sesuatu selalu dengan kata ‘tolong’.”

Ronny meninggal pada Minggu pagi dalam pelukan keluarga pada 9 Maret 2008 setelah berjuang sejak bulan November 2007 ketika ia didiagnosa kanker pankreas. Berjuang berbulan-bulan, awalnya diprediksi hanya bertahan sebulan. Sosok relijius itu berpulang.

Pertandingan diselesaikan papa dengan luar biasa, seperti pahlawan yang pulang kepada penciptanya, dengan penuh penghargaan penuh dari segenap bangsa Indonesia. Dari kepala Negara sampai tukang pijit, memberi penghormatan yang terbaik buat papa.

Pria yang hebat adalah pria yang memiliki integritas. Pahlawan selalu datang dan pergi, pahlawan tidak pernah mati.

Memoar Sang Legenda Sepak Bola: Ronny Pattinasarany – Dan, Saya pun Telah Menyelesaikan Pertandingan Ini | by Andreas J. Waskito | Penerbit Sarana Bobo | Copyright 2009 | Editor M.H. Giyarno | Desain sampul Cita Pattinasarany | Layout dan Pewajah isi Nelis Pertina | Foto sampul Valent Hartadi | Foto-foto Dokumen Keluarga | ISBN 979-969-484-8 | Skor: 4/5

Karawang, 040221 – Linkin Park – Point of Authority (Live in Texas)

Thx to Joseph, Ciamis

Masturbasi Ilona, Tanya Jawab Seputar Remaja

Surat-Surat Pribadi Ilona by Walter & Ingrid Trobisch

Jalan menuju diri sendiri adalah jalan yang paling sukar.”Soren Kierkegaard

Kalau kau tahu tujuannya, kau dapat menemukan jalannya.”

Ilona, 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA. Masturbasi perempuan, tema yang tabu dari dulu, bahkan sampai era digital ini. Di sini dikupas panjang, dari surat-surat remaja Jerman di masa SMA hingga kuliah, surat-surat pribadi itu dikirim ke seorang psikolog yang biasa mengisi rubrik di Koran nasional tentang tanya-jawab pembaca. Lalu, entah apakah surat ini ditayangkan atau tidak, malah dibukukan. Ini adalah buku kedua terbitan BPK yang kubaca, setelah curhat masa muda Indonesia tahun 1980-an dengan Suhartin.

Pergaulan dengan lawan jenis tidaklah mudah, dibutuhkan kedewasaan untuk menghadapi keberadaan si dia, untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang begitu ‘asing’, begitu berbeda dengan kita.

Rentang waktu surat-menyuratnya lama, setahun dari bulan Oktober sampai September tahun berikutnya, dan sempat pula pasangan psikolog ini tak menjawab bersama sebab pas akhir tahun sang istri keluar kota jadi dijawab sang suami. Ilona adalah remaja kebanyakan yang tak tahu mau cerita pribadi ini ke mana, maka ia pun mengirim ‘buku harian’-nya ke suami istri Walter dan Ingrid Trobisch. Lalu mereka membalasnya, dari rentang beberapa hari kemudian. Dibalas lagi, dan dijawab lagi, begitu terus sampai selesai. Lalu dicantumkan dua potongan bab dalam Gadis Cintaanku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981) halaman 90-93 dan buku V. Mary Stewart, Sexual Freedom (Downers Grove, III: Inter Varsity Press, 1974) halaman 9-20. Keduanya keren menjadi rujukan. Sejujurnya saja, isi buku agak boring, cerita remaja yang merasa bersalah, tak tahan hasrat sensualnya, lalu melakukan dengan tangannya untuk melepas beban. Sempat sembuh, lalu terulang lagi, sempat beku, namun lagi-lagi terulang, begitu terus.

Memiliki pacar yang malah turut curhat masalah yang sama, dan dijawab dengan bijak Trobisch. Apa yang disampaikan mungkin sudah bisa banyak kita cari di internet, apa dan bagaimana sebaiknya, pelarian untuk membebaskan pikiran itu dengan olahraga, memenuhi hati dengan hobi, kembali ke agama, dan seperti dalam Islam, agama Kristen juga menyuruh puasa untuk meredam nafsu atau di sini juga ada kegiatan ektrakulikuler, latihan selo.

Masturbasi bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu gejala, suatu tanda akan adanya problem yang lebih dalam. Lagi pula tidak dilakukan terlalu sering, maka ia belum menjadi kebiasaan. Namun lebih cepat ditanggulangi tentu lebih baik, supaya jangan menjadi kebiasaan. Doa akan selalu menolong, apalagi doa itu merupakan ekspresi dengan Tuhan. Karena doa yang difokuskan pada satu hal saja, yaitu satu keinginan kita yang belum terpenuhi. Doa semacam ini bagaikan karikatur belaka. Kalau kau berdoa secara demikian mengenai masalah masturbasi, sia-sia. Itu seperti mengemudi tengah malam. Kalau kita menatap dari depan langsung cahaya lampu kendaraan dari depan karena kita takut bertabrakan dengannya, malah lebih besar kemungkinan tabtrakan terjadi.

Masturbasi hanyalah tahap dalam perkembangan seksual yang sehat dan kebiasaan itu akan hilang sendiri kelak. Hanya kalau terlalu sering dilakukan, baru dianggap abnormal. Masturbasi tidak akan mengakibatkan gangguan fisik atau psikologi. Masturbasi dan motif-motif yang terdapat di balik itu juga merusak perkembangan normal, kalau sampai mengalami ketergantungan batin, hingga ia tak mampu mengontrolnya seperti orang yang tak mampu menguasai keinginannya untuk bersetubuh.

Seksualitas adalah suatu bahasa. Ia dimaksudkan sebagai sarana untuk komunikasi, ditujukan kepada orang lain. Ia ingin berbicara. Masturbasi bagi gadis-gadis ada kaitannya dengan hubungan ibu-anak. Semakin kuat seorang gadis merasa bahwa ibunya tak ramah, dingin, jauh, atau bahkan mementingkan diri sendiri saja, semakin sering godaan timbul untuk bermasturbasi.
Semua kemungkinan masih terbuka dalam situasi Ilona (dan kalian para remaja).

Dalam proses pertumbuhan kita mengalami tiga fase. Satu, ketika kita mencintai diri kita sendiri, kedua ketika kita lebih tertarik kepada teman sejenis, ketiga ketika kita mulai mampu memasuki ‘pergaulan’ yang sulit dengan lawan jenis. Masturbasi adalah perbuatan jasmaniah pada fase ‘cinta pada diri sendiri’ waktu kau bermasturbasi sebenarnya kau berkata, ‘Aku belum dewasa, aku masih berada di fase pertama ini’.

Berusaha membuang keinginan atau dorongan itu lebih sulit daripada mengalah. Hal ini juga dianggap kuno oleh banyak orang. Di masa modern ini, kecenderungan orang justru sebaliknya, yaitu mengkonsumsi, mengejar kesenangan, mengurangi ketegangan, dan menghindari penderitaan. Maka orang zaman sekarang banyak yang tidak dewasa dan egosentris, maka hubungan-hubungan pria-wanita menjadi persoalan besar, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Maka kita harus berenang melawan arus.

Ada orang-orang mungkin membutuhkan jalan keluar darurat ini lebih sering atau untuk jangka waktu yang lebih lama. Karena itu, setiap orang harus kita tangani dengan cara berlainan. Dan masing-masing orang harus menjadi ‘juru terapi’-nya sendiri. Saya telah berjalan di pinggir sekali dari jurang ketergantungan, ya bahkan hampir sampai ke titik kecanduan, dan betapa cepatnya saya masuk lagi ke dalam keadaan ini.

Mungkin masturbasi dapat menjadi jalan keluar sementara yang membantu untuk melepas segala tekanan dan meredakan ketegangan, tapi pendapat saya, adalah jauh lebih ‘perlu’ kita belajar bagaimana bertahan dalam keadaan-keadaan yang menekan dan bagaimana hidup dalam ketenangan.

Penerimaan diri masih menjadi masalah bagi saya, pikiran ini semakin lama semakin memenuhi batin saya. Masturbasi membagi orang menjadi dua, karena orang tersebut harus memainkan dua peranan yang bertentangan sekaligus, yaitu peran si pemberi rangsangan dan peran si penerima rangsangan. Masturbasi bukanlah bahasa, melainkan macam pengasingan yang diam dan bisu. Tak ada komunikasi, tak ada hubungan yang tercipta olehnya. Pelakunya tak berbicara kepada siapa pun; ia hanya mengambil sesuatu untuk dirinya sendiri.

Gadis sejak remaja harus mulai ‘hidup dengan kesadaran akan siklus haidnya’.

Di zaman ini, kemauan yang kuat terlampau jarang dimanfaatkan dan kemauan yang kuat sebagai daya penolak masih dipandang enteng. Tak seorang pun benar-benar puas dengan masturbasi, termasuk juga mereka yang menganggap masturbasi itu tidak merugikan atau bahkan positif. Bukan saja kebanyakan dari mereka tidak puas, tetapi juga menderita. Yang penting di sini bukanlah pengakuan dosa, melainkan pernyataan pengampunan. Seorang pemuda memang memerlukan gadis untuk membuat perubahan arah.

Dua nukilan bukunya yang menaikkan pamor rate buku ini. keren banget, layak dikutip dan direnungkan. Addendum Pertama: Cerita Tentang Seekor Harimau (Gadis Cintaanku halaman 90-93) dan Addendum Kedua: Kebebasan Seksual oleh V. Mary Stewart. Ini sebagain yang saya ketik ulang.

Kutipan pertama surat kepada Francois yang intinya menggambarkan Kristus datang ke dunia ini. ia seorang pemuda. Ia mengenal sentuhan tangan wanita, ciuman wanita, airmata wanita. Dialah Orang yang telah menang justru karena ia hidup sama seperti manusia-manusia lain.

Kutipan kedua banyak bahasan dan mendalam, seperti kata Pascal, “hempaan yang Tuhan ciptakan” ketika menggambarkan antara dua makhluk ada persamaan dalam penyerahan diri, rasa peduli, dan komunikasi. Atau alasan kenapa masturbasi bukan ‘latihan yang baik untuk hubungan seks yang sebenarnya’ dan juga bukan katup pengaman yang baik. Sebab rangsangan seksual mempunyai potensi luar biasa untuk dapat ‘disesuaikan’. Rangsangan ini dapat menyesuaikan diri dengan dorongan apa pun yang dikaitkan dengan masa lalu. Dan karena dorongan ini mencipta dorongan lain yang tak laik maka keadaan ini jelas membuat orang tidak merdeka. Khayalan yang lambat laun digabungkan erat sekali dengan orgasme, akibatnya, tujuan hubungan seks dengan orang lain berubah menjadi pelaksanaan isi khayalan tersebut sedekat mungkin. Nah, tak ada satu pun kenyataan di dunia yang bisa menandingi khayalan. Kenyataan tidak begitu luwes dan serba enak.

Semakin naïf Anda soal seks ketika memasuki pernikahan, akan semakin besar kepuasan bersama, lahir maupun batin yang dialami. Menahan diri punya arti bila dilihat dari segi mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk saling berbagi yang sesungguhnya dengan teman hidup yang sesungguhnya pula.

Khayalan seksual adalah salah satu hal yang dilakukan semua orang terus-menerus. Berkhayal merupakan suatu cara untuk mengatasi kebosanan, kelelahan, frustasi, dan kecemasan, sehingga nampaknya berguna.

Kejadian di dunia ini hanyalah kejadian yang kacau, ‘penuh gemuruh dan amarah yang tak menandakan apa-apa’ seperti kata Macbeth karya Shakespeare.

Pergumulan saya tidak sempurna. Kepercayaan saya padaNya sewaktu-waktu goyah. Ada saatnya saya lebih percaya bahwa penyelesaian saya lebih baik daripada penyelesaiannya. Tetapi selalu, Ia membuktikan bahwa saya keliru, dan saya cepat belajar. Sebab itu pula saya sama sekali tidak merasa kehilangan.

Catatan ini kututup dengan kutipan lucu. “Ada satu hal yang iblis tidak tahan menghadapinya, yaitu humor. Selama kita memperlakukan masalah-masalah kita dengan sangat serius, kita menjadi mangsanya yang empuk.” Sepakat?!

Makna kehidupan jauh lebih besar daripada seksualitas.

Surat-Surat Pribadi Ilona: Jalan Keluar dari Permasalahan Seksual Seorang Gadis | by Walter & Ingrid Trobisch | Diterjemahkan dari My Beautiful Feeling | Hak terjemahan Indonesia PT. BPK Gunung Mulia | Kwitang 22, Jakarta Pusat | Atas kerjasama dengan Editions Trobisch, Postfach 2048, D-7640 Kehl/Rhein Germany | Copyight Editions Tobisch, 1980 | Terjemahan: My. Ina Hidayat | Desain sampul F.B. Indradi | Cetakan pertama: 1983, Cetakan kedua: 1985 | Skor: 4/5

Karawang, 030221 – Sheila On 7 – Sound From The Corner Live

Thx to Ramones, Jakarta